Pagi itu Nirmala menjalani rutinitas seperti biasa, berangkat kerja dipagi buta dengan berjalan menyusuri jalanan lalu menghirup udara pagi yang belum terpapar polusi. Bedanya hari ini wajahnya nampak tak begitu berseri dan tak bersemangat. Tak hanya itu, kantung matanya nampak menghitam seperti kurang tidur.
Sepanjang jalan ia cenderung diam dan memandang jalanan dengan tatapan kosong. Ia pun beberapa kali mendengus keras seolah ada beban berat yang sedang ia pikul. "Boleh gak sih cuti dulu? Rasanya aku belum sanggup kalau harus ketemu Baladewa." Nirmala menatap seragam biru putih yang ia kenakan. Seragam ini masih tercium aroma kain baru, ya memang seragam ini adalah pemberian Baladewa kemarin. Saat wanita itu berjalan dengan langkah perlahan, tiba-tiba sebuah motor melaju cepat di jalanan sampingnya. Akibat kencangnya motor itu melaju, Nirmala hampir ikut terhuyung saking kuatnya angin yang menerpa. Ia lantas berteriak marah "Wey! Jangan mentang-mentang jalanan sepi jadi seenaknya ngebut gitu aja. Awas aja nanti nyusruk." Usai Nirmala mengucap sumpah serapah, tanpa di duga tak ada angin tak ada hujan, laju motor itu oleng dan terhempas membentur aspal. Wanita OG itu terbelalak syok dengan mulut menganga. "ASTAGA!" Jantungnya hampir meloncat keluar melihat pengendara yang ia sumpah serapahi telah terkapar di jalan. Tanpa babibu Nirmala berlarian menghampiri. Sejenak ia merada bersalah karena secara tidak langsung ia mendoakan kejelekan terhadapnya. "Kau baik-baik saja?" tanya Nirmala khawatir membantu mengangkat motor yang menindihnya. Seseorang dibalik helm full face itu nampak lemas. Dengan panik Nirmala membuka helm yang membungkus kepalanya. Kemudian memeriksa denyut nadi sang pengendara dengan menempelkan jarinya dibagian leher. "Huh masih bernapas," gumamnya bernapas lega. "Hei, apa kau mendengarku?" Masih dengan kepanikan yang tersisa, wanita itu berusaha menyadarkan sang pengendara yang diketahui pingsan. "Aish! Sepertinya butuh penanganan medis," gumamnya segera mengambil ponsel kecil dari saku. "Halo, saya butuh bantuan medis. Apakah bisa mengirim ambulan ke—" Perkataan Nirmala terpotong ketika lengannya ditarik paksa oleh pria pengendara yang tergeletak di sampingnya. "Heh?! Kau sudah sadar?" kejutnya melihat korban kecelakaan tunggal itu telah sadar. "Jangan menelpon ambulan, aku baik-baik saja." Nirmala membeku mendengar sang pria bersuara. Jiwanya seolah terbius oleh merdu dan lembutnya suara pria itu. "Halo, Mbak?" Nirmala tersedak ludahnya sendiri dan spontan berdiri. "Eh— oh ya .... " jawabnya gugup dengan senyuman canggung dan menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Bisa tolong bantu aku berdiri?" pinta pria itu kesusahan untuk berdiri. "Oh iya astaga!" Nirmala kembali berjongkok kemudian setengah merangkul membantu untuk bangun. Meskipun agak kesulitan mengangkat karena tubuh yang mungil, ia akhirnya berhasil. Setelah berhasil berdiri, ia mengibas-ibaskan pakaiannya yang kotor terkena debu. "Ap—apa ka—u terluka?" tanya Nirmala dengan terbata-bata Dengan terang-terangan pria itu melirik Nirmala penuh minat. "Tentu, aku sudah terlatih untuk jatuh seperti ini hehehe," jawabnya setengah bercanda. "Kamu santai saja tak usah ketakutan seperti itu, aku bukan orang jahat yang akan menculikmu," sambungnya terkekeh geli menunjuk tangan wanita dihadapannya yang masih bergetar. "Eh?!" Wajah Nirmala mendadak merah padam dan segera menyembunyikan tangannya malu. "Maafkan aku," cicitnya tiba-tiba meminta maaf. Melihat tingkah menggemaskannya, pria itu lagi-lagi tergelak. "Tenanglah, untuk apa meminta maaf memangnya kau yang menyumpahiku?" Gerakan Nirmala mendadak kaku. "Ehehe iy—iya." "Oh iya kalau begitu karena kamu baik-baik saja, aku akan melanjutkan perjalananku," lanjutnya mengalihkan pembicaraan kemudian berjalan terburu-buru. Jujur saja jika terlalu banyak berbincang, jantungnya terasa tak aman. "Tunggu!" Nirmala menoleh, memandang pria itu penuh tanya. "Daripada berjalan kaki mending kuantarkan sebagai bentuk terima kasihku,," ajak pria tak dikenal itu sembari memainkan kedua alisnya naik turun. Satu pelajaran yang Nirmala dapatkan hari ini, seseorang bersuara lembut dan menengkan belum tentu berperilaku tenang dan terkendali. Lihat saja pria di depannya ini, ia begitu agresif dan meresahkan. "Eh! Maaf tidak perlu, lebih baik kau beristirahat dan menenangkan diri terlebih dahulu," saran Nirmala berusaha menolak sehalus mungkin. Pria itu sama sekali tidak mendengarkan perkataan Nirmala. Ia justru mendekati motornya lalu menaikinya. "Ayo naik. Tak baik menolak kebaikan orang lain loh!" Nirmala menggaruk belakang kepalanya bimbang. "Udah ayolah naik saja. Aku nggak akan menculikmu, sungguh," sahut sang pria lagi berusaha membujuk. "Baiklah, tapi berjanjilah jangan mengebut seperti tadi," cetus Nirmala menggigit bibir bawahnya khawatir. Tiba-tiba pria itu terkekeh geli. "Jadi alasanmu ragu untuk kuantarkan karena melihatku mengebut tadi?" Dengan raut polos Nirmala mengangguk. Melihat kepolosan dan raut menggemaskan Nirmala, sang pria lebih tertawa geli. "Tenang saja aku ahli dalam berkendara." Ucapan jumawa itu segera membuat Nirmala mengangkat sebelah alisnya tak percaya. "Hehe tadi hanya sedikit tidak fokus. Sudahlah ayo naik kau kan harus bekerja. Yang kudengar di Rajya Corp tidak menoleransi keterlambatan sedikitpun, kan?" lanjut pria itu membela diri. Kedua netra hazel Nirmala membulat. "Bagaimana kau tau?!" Sejenak wanita itu merasa merinding dan menatap pria di depannya penuh selidik. Pria itu mendecak kecil. "Bahkan anak kecil pun akan tahu dimana tujuanmu ... Kau kan pakai seragam." Nirmala dibuat kepalang malu. Karena tak ingin memperpanjang kekonyolan yang ia lakukan, Nirmala bergegas menaiki jok motor sport milil pria tadi. Dan seperti yang sudah disepakati motor melaju perlahan menuju perusahaan di mana Nirmala bekerja. Sepanjang perjalanan tidak ada seorang pun yang membuka suara. Mereka saling berfokus pada pikiran masing-masing hingga tanpa sadar motor yang mereka kendarai telah berhenti di depan gedung megah yang menjulang tinggi bertuliskan Rajya Corp. "Terima kasih banyak, Tuan .... " "Bhaskara, panggil aja Bhaskara," potong Bhaskara cepat. "Oh iya terima kasih, Bha—Bhaskara," lanjut Nirmala mengoreksi ucapannya sendiri. Saat mereka tengah berbincang di depan gerbang, seorang wanita tiba-tiba datang tanpa diundang. "Oh astaga! Aku tidak dapat mempercayai dengan apa yang kulihat ini. Selain gemar menggoda pasangan orang lain, kau juga tipe wanita yang tak cukup dengan satu pria rupanya." Tbc"Oh iya terima kasih, Bha—Bhaskara." Nirmala melontarkan senyuman ketulusan. "Nope ... kalau nam—" "Oh astaga! Aku tak percaya dengan apa yang kulihat ini. Selain gemar menggoda pasangan orang lain, kau juga tipe wanita yang tak cukup dengan satu pria rupanya." Ucapan Bhaskara terhenti. Sedang Nirmala spontan berbalik. Matanya melebar begitu melihat wanita berpenampilan modis menatapnya remeh. "No—na Viola?" lirih Nirmala dengan degup jantung yang berdetak cepat. Bhaskara sendiri memberikan tatapan sinis pada wanita berlidah tajam itu. "Apa dia juga karyawan di sini?" bisik Bhaskara yang belum paham jika Nirmala merasa terintimidasi. Nirmala mengangguk patah-patah. "Halo apa kau kekasihnya?" tanya Viola yang tiba-tiba menodong pertanyaan kepada Bhaskara. Nirmala panik, ia khawatir jika Viola berbicara yang tidak-tidak kepada Bhaskara. "Bhaskara, kau segeralah pergi," bisik Nirmala mendorong lengan Bhaskara agar lekas menaiki motornya. Pria itu menoleh ke arah
Karena pertengkaran kecil pagi tadi, suasana hati Nirmala mendadak berubah buruk. Namun di samping segala percekcokan pagi itu, ia begitu khawatir dengan ancaman Viola. Viona adalah putri dari sekretaris Raja sehingga cukup dekat dengan sang CEO. Nirmala khawatir jika kejutan yang Viona maksud adalah surat pemecatan. Pasalnya bukan hal sulit untuk Viola mengadukan keluhan kepada ayahnya dan akan dilaporkan kepada Raja. Meskipun harinya diawali dengan bersitegang, hari itu Nirmala melaksanakan tugasnya sebagai OG dengan cukup baik. Tak ada hal yang spesial dan tak ada masalah seperti hari lalu. Dan Nirmala cukup bersyukur tak bertemu Baladewa seharian ini. Waktu jam kerja telah usai, Nirmala bergegas berkemas untuk pulang. Beberapa hari ke belakang, Nirmala harus pulang dengan berjalan kaki karena ongkosnya harus dialihkan untuk biaya berobat adiknya. Ketika Nirmala keluar gerbang, ia dikejutkan dengan atensi seorang pria tengah duduk di atas motornya. Dia adalah Bhaskara, pr
"ARGH!" Nirmala tergelepar di tanah. Mendengar suara benda terjatuh, Bhaskara juga Baladewa menoleh ke sumber suara. Bughh! Bhaskara bergegas bangkit dan memukul rahang Baladewa dengan kerasnya. "Argh!" Baladewa yang lengah akhirnya terkena serangan telak. Ia terhuyung menjauhi Nirmala "Astaga! Hey, kau tidak apa-apa?" pekik Bhaskara langsung menghampiri Nirmala yang tergeletak. Ia mengangkat kepala Nirmala ke pangkuannya. Wajah kiri Nirmala memerah tepat di bawah mata kirinya. Ia meringis kesakitan merasakan pipinya berdenyut. Jari Bhaskara mengusap pipi kiri Nirmala yang terkena tonjokan tanpa peduli wajahnya yang juga babak belur. "Maafkan aku, Nirmala. Aku ... aku tidak sengaja," ucap Baladewa bergegas menghampiri Nirmala sembari memegangi rahang kananya. Nirmala berusaha bangkit di bantu Bhaskara. "Tidak sengaja kau bilang?!" sungut Bhaskara tersulut amarah. "Sudah! Jangan lagi berantem!" seru Nirmala mencegah percekcokan yang dikhawatirkan akan me
Kepergian Nirmala bersama pria yang tak ia kenali itu membekas di ingatan Baladewa. Bahkan sehari telah berlalu, pikirannya masih tertuju pada kejadian sore itu. Entah apa yang mendadak merasukinya, yang pasti ia merasa khawatir dan penasaran bagaimana kondisi Nirmala sekarang. "Dewa, cepat bawa masuk koper oma!" Teriakan itu membuat lamun Baladewa seketika buyar. "Memangnya oma udah sampai?" tanya Baladewa justru dengan santai mengambil segelas air mineral di meja makan. "Ya ampun! itu omamu udah di depan rumah!" Muncullah sosok wanita paruh baya dengan rambut setengah bahu. Ia menatap garang anak lelakinya yang malas-malasan. Tak ingin terkena semprot lagi, Baladewa bergegas keluar rumah. Begitu sampai diambang pintu, mata Baladewa langsung dimanjakan dengan rimbunnya dedaunan dan rerumputan hijau yang membentang luas. Pandangannya seketika tertuju pada sebuah mobil yang terparkir di garasi rumah. "Halo, Oma, kukira oma pulang bulan depan." Dengan cekatan Baladew
Seorang wanita berambut sebahu menyusuri lorong dalam keadaan gelap. Tak ada sedikitpun perasaan takut kala tak seorang pun hadir di sekitarnya. Ia tetap fokus memperhatikan kedua kakinya melangkah sepanjang lorong. Ia lantas berbelok ke kanan begitu sampai di simpang tiga. Lagi-lagi wanita itu sama sekali tak mengidahkan kesunyian dan kegelapan yang menemaninya. Ceklek .... Wanita itu membuka sebuah loker bertuliskan 'Nirmala' pada pintunya. Selanjutnya meletakkan tas ransel yang ia bawa ke dalam. Ia membuka resleting tasnya kemudian mengambul sebuah baju kerja yang juga bertuliskan 'Nirmala' pada nametag-nya. Saat ia hendak membuka baju yang ia pakai untuk diganti dengan pakaian seragam, ia dikejutkan dengan sebuah suara gaduh yang berasal dari area kamar mandi. Mata Nirmala yang tadinya sudah setengah tertutup, segera terbuka lebar. "Siapa di sana?!" seru Nirmala mulai was-was dengan sekelilingnya. Ia juga kembali membenarkan kancing bajunya yang sudah sempat ia lepas. Tak
Waktu telah menujukkan pukul 04.50. Di depan sebuah gedung bertuliskan 'Rajya Corp'terlihat sebuah mobil van hitam terparkir di sana. Tak berselang lama, sesosok pria mengenakan pakaian serba hitam dan mengenakan penutup wajah turun dari mobil itu dan berjalan mengendap-endap. Langkahnya begitu was-was ketika memasuki pintu darurat yang tak terkunci. Sekali lagi pria itu mengendap berjalan menelusuri lorong dengan posisi menempel tembok. Pria itu sepertinya tahu betul bagian mana yang tersorot kamera sehingga menggunakan teknik penyamaran untuk mengantisipasi. Krekkk ... Pergerakannya mendadak berhenti. Dari balik penutup wajahnya, wajah tampannya berubah pucat. Dengan hati-hati ia melongokkan kepalanya, namun segera tersadar ternyata bunyi itu timbul akibat dirinya yang tak sengaja menginjak minuman kaleng yang tergeletak di sekitar tempat sampah. Ia lekas mengelus dadanya lega. "Sial, membuat panik saja," bisiknya mengumpat. Ia kembali meneruskan langkahnya hingga tan
Pria memakai setelan jas maroon terlihat termagu menatap keluar jendela yang jelas terlihat pucuk gedung yang begitu menjulang. Wajahnya menyiratkan kegelisahan juga kekhawatiran. "Akkkk!" Ia bangkit kemudian menengadah wajahnya. Matanya terpejam sesaat. "Gak bisa!" serunya keras. Ia lantas berjalan cepat keluar ruangannya. "Hey!" Baladewa menoleh kepada pria paruh baya yang baru saja muncul dari balik pintu di belakangnya. "Mau kemana?" Wajah gelisah Baladewa mengundang banyak tanya ayahnya. "Dewa ... ada urusan sebentar, Yah. Baladewa pergi dulu." Raja hendak mencegah, namun Baladewa kadung menjauh. Pria berambut two block itu menyusuri lorong sembari sesekali menilik nama ruangan ditiap pintunya. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat sosok wanita yang beberapa waktu lalu ia buat kelimpungan. "Hey!" panggilnya segera menyentak wanita modis yang tengah berbincang dengan beberapa staf. "Oh kau rupanya ... " gumam Viola menatap Baladewa memberengut. "Kena
Biasanya para pekerja kantoran akan mulai berbondong-bondong pulang begitu waktu menunjukkan pukul 4 sore. Jalanan yang semula sepi berubah padat dalam sekejap. Kemacetan terjadi dimana-mana akibat menumpuknya kendaraan pada jam pulang kantor. Sementara dalam gedung Rajya Corp, penghuninya mulai berangsur meninggalkan tempatnya. "Nirmala ... " Seorang wanita berambut keriting berlarian menghampiri Nirmala yang sebentar lagi menyelesaikan pekerjaannya. Nirmala menoleh memandang lawan bicaranya heran. "Bisa tungguin aku sebentar nggak?" ucapnya dengan wajah memelas. "Kerjaanku di gudang masih ada dikit lagi, tapi orang-orang udah mulai pulang duluan. Jadi temenin aku dulu mau ya?" lanjutnya tiba-tiba bergelendotan di lengan Nirmala. Nirmala berfikir sembari melihat sekitar yang memang mulai lengang. Hanya ada beberapa orang saja yang masih tinggal. "Oke deh. Kamu ke gudang duluan aja. Habis nyimpen alat, aku nyusul." Setelah bersepakat, Nirmala pun bergegas menuju lokerny
Malam itu, Bhaskara duduk sendirian di kamarnya, menatap ponsel yang tergeletak di meja. Pandangannya kosong, tetapi sorot matanya menunjukkan hatinya tengah penuh kegelisahan. Kegelisahannya bukan tanpa alasan, iatelah mengirimkan pesan demi pesan kepada Nirmala, tetapi tak satu pun yang mendapat balasan.Pikirannya terus melayang ke arah percakapan terakhir mereka, ketika Nirmala, dengan nada lelah dan penuh tekanan, mengatakan bahwa dia butuh waktu untuk sendiri. Bhaskara tahu betul bahwa semuanya bukan karena cinta mereka memudar, melainkan karena tekanan yang mereka hadapi selama berbulan-bulan terakhir ini—dari skandal Aditama, ditambah dengan dirinya harus menstabilkan kembali keadaan perusahaan, hingga beban tanggung jawab yang tak pernah surut.“Apa aku terlalu menekannya?” gumam Bhaskara, menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya.Ponselnya bergetar, tetapi hanya notifikasi pesan otomatis dari operator. Tidak ada pesan dari Nirmala. Tidak ada kabar sama sekali.Bhaskara men
Hari itu tibalah waktunya untuk rapat dewan pemegang saham di Rajya Corp. Suasana dalam rapat itu berlangsung tegang. Aditama duduk di kursinya dengan senyum penuh kemenangan, sementara Nirmala, Bhaskara, dan kini hadir pula Surya berdiri di depan ruangan.“Baiklah,” ujar Aditama dengan nada sinis. “Anda mengatakan memiliki sesuatu yang ingin disampaikan kepada dewan, Pak Surya?”Surya menatap Aditama dengan dingin. “Aku tahu apa yang kau lakukan selama ini, Aditama. Dan aku di sini untuk memastikan semua orang tahu.”Nirmala melangkah maju, meletakkan dokumen di meja dewan. “Ini adalah bukti bahwa Aditama telah memanipulasi proyek Narpati dan menggunakan dana perusahaan untuk keuntungan pribadinya.”Para pemegang saham mulai bergumam, suasana ruangan menjadi semakin gaduh.Aditama tetap tenang. “Bukti ini tidak cukup untuk menjatuhkanku. Kalian tidak punya saksi yang dapat mendukung klaim kalian.”Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka, dan seorang pria masuk dengan langkah mantap. Semua o
Di sebuah ruangan yang remang-remang, Aditama duduk di belakang meja besar dengan segelas anggur di tangannya. Senyumnya dingin, menandakan keyakinannya bahwa permainan ini hampir mencapai puncaknya. Di hadapannya, beberapa dokumen berserakan, sementara layar komputer menampilkan data-data rahasia dari Rajya Corp. “Apa laporan terakhir?” tanya Aditama kepada Arya, yang berdiri di sudut ruangan. Arya, dengan raut wajah serius, mendekat dan menyerahkan sebuah map berisi laporan terkini. “Surya telah kembali bersama Nirmala. Mereka pasti sedang menyusun langkah untuk melawan kita.” Aditama membaca laporan itu dengan seksama, lalu menutup map tersebut dengan keras. “Kita tidak bisa membiarkan mereka mendapatkan kendali atas informasi ini. Waktunya memutar balikkan fakta.” “Bagaimana caranya?” tanya Arya dengan hati-hati. Aditama mengangkat salah satu dokumen dari meja, lalu melemparkannya ke arah Arya. “Kita buat mereka terlihat seperti dalang di balik kehancuran proyek Narpati. Publ
Malam itu, hujan turun deras, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Mobil yang dikendarai Bhaskara melaju di jalanan gelap menuju lokasi yang tertera dalam email misterius. Di dalam mobil, Nirmala duduk di kursi penumpang, sesekali menatap layar ponselnya dengan gelisah. “Ini pasti jebakan,” kata Bhaskara, memecah keheningan. Tangannya mencengkeram setir mobil erat-erat. “Aku tahu,” balas Nirmala tanpa menoleh. Ia mendesah pelan berusaha meredakan dadanya yng berdegup cepat. “Tapi kita tidak punya pilihan lain. Jika Om Surya benar-benar ada di sana, kita harus mencarinya.” Vira yang sedari tadi duduk di kursi belakang, menambahkan, “ya memang, kita harus tetap waspada. Aditama bukan orang yang akan menyerah begitu saja.” Tak butuh waktu lama, mereka akhirnya tiba di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Bangunan itu tampak usang, dengan pintu besi besar yang hampir sepenuhnya tertutup karat. Bhaskara mematikan mesin mobil dan memandang gedung itu dengan ragu. “Seberapa yakin
Pagi yang tegang menyelimuti Rajya Corp. Di ruang rapat utama, Nirmala duduk sendirian, memandang kursi kosong di seberangnya. Pikirannya berputar, membayangkan segala kemungkinan yang akan terjadi. “Dia akan datang,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Sebenarnya ia masih menyimpan keraguan ketika menjalankan strategi ini, namun jika Aditama tidak dipancing, ia tak dapat memiliki bukti kuat. Jadi ini lah waktunya, ia harus yakin usahanya akam berhasil. Beberapa menit kemudian, pintu ruang rapat terbuka, dan Aditama masuk dengan langkah mantap. Wajahnya memancarkan kepercayaan diri yang tinggi. Wajah penuh wibawanya itu menampakkan senyuman miring. “Kau benar-benar berani mengundangku, Nirmala,” ucapnya sambil mengambil tempat di seberang meja. “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” Tak ingin terintimidasi, Nirmala menatapnya dengan penuh tekad. “Aku ingin tahu di mana kau menyembunyikan Pak Surya.” Aditama tersenyum tipis, seolah menikmati momen itu. “Surya? Aku
Vira masuk dengan ekspresi serius, membawa dokumen yang baru saja ia periksa.“Kita punya bukti kuat,” katanya. “Namun, untuk menjatuhkan Aditama, kita butuh lebih dari ini. Dia punya banyak pengaruh di luar sana.”Bhaskara mengangguk. “Kita harus memastikan bahwa semua bukti ini dipublikasikan secara luas. Tidak ada jalan keluar baginya.”“Tapi bagaimana dengan Om Surya?” tanya Nirmala. “Aku merasa dia tahu lebih banyak daripada yang ia ceritakan. Dan aku tidak bisa mengabaikan keterlibatan ayahku dalam semua ini.”Vira menghela napas. “Kita memang membutuhka Surya untuk bersuara. Jika dia tidak berbicara, permainan ini tidak akan pernah berakhir.”"Tapi di mana ayahku. Aku juga tak tahu sekarang dia ada dimana," ujar Bhaskara frustrasi."Kita harus menemukan ayahmu, Bhaskara," tandas Nirmala tak terbantahkan.***Langit malam tampak kelabu, seolah menandakan sesuatu yang buruk sedang terjadi. Bhaskara duduk di ruang tamu apartemen dengan wajah tegang, matanya terus menatap layar po
Nirmala dan Bhaskara saling bertukar pandang tanpa sadar menahan napas saat langkah kaki Aditama semakin mendekat. Suara pintu besi yang terbuka sepenuhnya bergema di ruangan kecil itu. Cahaya lampu senter menyapu dinding, nyaris mengenai tempat mereka bersembunyi.“Aku tahu kalian ada di sini,” ujar Aditama dengan nada rendah, tetapi penuh ancaman. “Kalian pikir bisa menggali masa lalu tanpa konsekuensi?”Pria yang bersama Aditama menyisir ruangan dengan cermat. Sementara itu, Nirmala menggenggam tangan Bhaskara erat-erat, berharap keheningan mereka cukup untuk menghindari deteksi.“Apa kalian ini ingin menjadi anak kecil? Aku tidak suka bermain petak umpet,” lanjut Aditama. “Tapi aku juga tidak keberatan. Semakin lama kalian bersembunyi, semakin aku menikmati permainan ini.”Nirmala menatap Bhaskara, memberikan isyarat agar mereka bersiap. Namun, sebelum mereka sempat bergerak, pria yang bersama Aditama berbicara.“Pak, ada dokumen di sini. Sepertinya mereka sudah menemukannya.”Adi
Nirmala dan Bhaskara berdiri di tengah ruang kerja Surya yang berantakan. Dokumen-dokumen berserakan di lantai, kursi terbalik, dan tanda-tanda mencurigakan terlihat jelas.“Dia tidak mungkin pergi begitu saja meninggalkan ruangannya seberantakan ini,” lirih Bhaskara, matanya penuh kekhawatiran.Nirmala memungut sebuah dokumen dari lantai, lalu menatap surat Rajendra yang tertinggal di meja. Sesuatu terasa tidak beres.“Kita harus menemukannya, Bhaskara,” kata Nirmala, suaranya gemetar. “Kepergian Om Surya dalam keadaan seperti ini, ditakutkan karena ulah seseorang. Kau tahu kan Aditama orangnya nekat, dia bisa saja merencanakan penculikan ayahmu untuk menggagalkan rencana kita.”Bhaskara nampak termagu sejenak. “Aku akan menghubungi orang-orang kepercayaan Ayahku. Mungkin mereka tahu di mana dia berada.”Namun, jauh di dalam hati, Bhaskara merasa cemas. Jika benar Surya telah diculik, maka ini bukan lagi sekadar permainan kekuasaan. Ini adalah perang total.***Keesokan harinya, Nirm
Di tengah malam, di sebuah kafe kecil yang sepi di pinggir kota, Bhaskara dan Nirmala bertemu dengan Vira lagi. Kali ini, mereka sedang menyusun rencana yang lebih berani yaitu memanfaatkan bukti-bukti sementara untuk menjebak Aditama dan memancingnya ke langkah berikutnya.“Aku telah menelusuri lebih dalam,” ujar Vira sambil membuka laptopnya. Ia lantas memutarkan laptopnya membuat Nirmala juga Bhaskara mampu melihat isinya. “Ada jaringan transaksi gelap yang melibatkan Aditama, PT Laksana Bhumi, dan sebuah perusahaan cangkang di luar negeri. Tapi ini hanya pucuk dari keseluruhan jaringan.”Nirmala dan Bhaskara melihat secara saksama.“Berapa banyak waktu yang kita punya sebelum mereka menyadari kita sudah menemukan ini?” tanya Bhaskara.Sejenak wanita berambut panjang itu menganalisa. “Tidak lama,” jawab Vira. “Tapi kita bisa memanfaatkan waktu ini untuk melancarkan serangan kecil.”“Serangan kecil seperti apa?” tanya Nirmala yang sedari tadi memilih bungkam.Vira tersenyum tipis. “