"Oh iya terima kasih, Bha—Bhaskara."
Nirmala melontarkan senyuman ketulusan. "Nope ... kalau nam—" "Oh astaga! Aku tak percaya dengan apa yang kulihat ini. Selain gemar menggoda pasangan orang lain, kau juga tipe wanita yang tak cukup dengan satu pria rupanya." Ucapan Bhaskara terhenti. Sedang Nirmala spontan berbalik. Matanya melebar begitu melihat wanita berpenampilan modis menatapnya remeh. "No—na Viola?" lirih Nirmala dengan degup jantung yang berdetak cepat. Bhaskara sendiri memberikan tatapan sinis pada wanita berlidah tajam itu. "Apa dia juga karyawan di sini?" bisik Bhaskara yang belum paham jika Nirmala merasa terintimidasi. Nirmala mengangguk patah-patah. "Halo apa kau kekasihnya?" tanya Viola yang tiba-tiba menodong pertanyaan kepada Bhaskara. Nirmala panik, ia khawatir jika Viola berbicara yang tidak-tidak kepada Bhaskara. "Bhaskara, kau segeralah pergi," bisik Nirmala mendorong lengan Bhaskara agar lekas menaiki motornya. Pria itu menoleh ke arah Nirmala dan segera paham begitu melihat raut wajahnya yang pucat dan ketakutan. Karena tak ingin mencampuri urusan wanita yang baru dikenalnya, Bhaskara pun menurut. "Kalau ditanya tu jawab, gak sopan!" sindir Viola membuat Nirmala semakin tak enak hati dengan Bhaskara. "Maaf, Nona. Jika Nona Viola ada pertanyaan bisa bertanya ke saya saja," sahut Nirmala cepat. Viola tak menggubris ucapan Nirmala. Ia justru mengamati Bhaskara dari ujung rambut sampai kaki kemudian tersenyum miring. "Mas, lain kali ajarin ceweknya yang bener. Juga make over sedikitlah penampilan masnya biar ceweknya nggak gatel ke cowok lain. Bisa-bisanya cuma OG berani godain anak bosnya." Nirmala terbelalak dan spontan berdiri di hadapan Bhaskara mencoba menghalangi Viola untuk berinteraksi dengannya. "Mohon maaf, Nona, ini tidak ada hubungannya dengan dia. Bisakah kita berbicara berdua saja?" mohon Nirmala dengan suara setengah bergetar. "Apa? Kamu udah berani ngatur-ngatur saya? Jangan mentang-mentang Baladewa belain kamu, kamu jadi ngeremahin saya. Dasar cewek penggoda!" Menyadari ada yang tidak beres, Bhaskara pun kembali turun dari motornya dan berdiri di samping Nirmala. Bhaskara membuat gerakan tak terduga, ia memutar bahu Nirmala agar wanita itu berhadapan dengannya. Tak sampai disitu, ia menutup telinga Nirmala tanpa permisi. "Apa yang kau lakukan!" Nirmala berseru kecil melihat apa yang Bhaskara lakukan. Perasaannya berubah tak karuan ketika melihat ekspresi serius yang Bhaskara tunjukkan. Amarah Viola meradang begitu melihat respon tak terduga Bhaskara. "Apa-apaan kau ini!" Dengan sikap acuh dan tak merasa bersalah, Bhaskara menoleh. "Nona, kemana manner anda? Bukankah tidak etis menghina profesi orang? Apa Nona tidak pernah belajar menghargai perasaan orang lain? Jangan karena Nona memiliki jabatan tinggi jadi seenaknya dengan bawahan sendiri," ujar Bhaskara memberondong berbagai pertanyaan yang membuat Viola tersudut. Perkataan menyentil yang Bhaskara ucapkan itu membuat Viola semakin naik pitam. "Kamu siapa? Jangan sok mengajari saya!" bentak Viola tak terima. Viola melongok melihat Nirmala yang masih membeku mematap dada bidang Bhaskara. Gigi Viola bergemertuk menahan kekesalannya yang membuncah. "Kau ... tunggu saja sebentar lagi akan ada kejutan untukmu." Setelah membuat ancaman, Viola pergi dengan perasaan campur aduk. Wajahnya memerah pertanda masih memendam sebagian amarah. Sepertinya jika tidak ada Bhaskara, Nirmala telah habis ditanganya. Setelah memastikan nenek lampir itu pergi, Bhaskara menarik tangannya dari telinga Nirmala. "Sorry aku sedikit ikut campur," sesalnya begitu melihat raut wajah Nirmala yang menunjukkan ketidaksukaan. "Lagian kamu kalau ngadepin orang kayak gitu, jangan pasrah dan jangan tunjukkan kalau kamu lemah. Yang ada nanti kamu akan semakin—" "Siapa yang memintamu untuk ikut campur?!" bentak Nirmala merasa malu. "Apa dengan kamu bicara kayak gitu jadi merasa keren?" Nirmala lantas menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan, menetralkan emosi yang mulai mengendalikannya.. Nirmala menatap Bhaskara sendu. Sejujurnya ia merasa tertampar, tapi disatu sisi ia merasa pria ini berlebihan. "Aku hanya tak ingin egoku membuat tonggak kehidupanku runtuh. Lain kali pahamilah, tidak semua hal harus disikapi dengan perlawanan. Kita juga perlu acuh agar setetes air keruh tak membuat sekolam air terkotori." Usai mengucapkan kata-kata itu, Nirmala pergi begitu saja. Ia takut berbagai emosi yang selama ini dipendam akan meluap kepada orang tak bersalah. Bhaskara hanya menatap kepergian Nirmala iba. Ia menjadi tahu wanita di hadapannya ini bukannya tak ingin melawan, tapi tak mampu untuk kehilangan segalanya hanya karena menuruti ego. Pria itu lantas tertunduk dan mengacak rambutnya frustrasi. Bhaskara mendadak kehilangan kata-kata akibat rasa bersalahnya. "Argh! Seharusnya tidak begini. Maafkan aku." TbcKarena pertengkaran kecil pagi tadi, suasana hati Nirmala mendadak berubah buruk. Namun di samping segala percekcokan pagi itu, ia begitu khawatir dengan ancaman Viola. Viona adalah putri dari sekretaris Raja sehingga cukup dekat dengan sang CEO. Nirmala khawatir jika kejutan yang Viona maksud adalah surat pemecatan. Pasalnya bukan hal sulit untuk Viola mengadukan keluhan kepada ayahnya dan akan dilaporkan kepada Raja. Meskipun harinya diawali dengan bersitegang, hari itu Nirmala melaksanakan tugasnya sebagai OG dengan cukup baik. Tak ada hal yang spesial dan tak ada masalah seperti hari lalu. Dan Nirmala cukup bersyukur tak bertemu Baladewa seharian ini. Waktu jam kerja telah usai, Nirmala bergegas berkemas untuk pulang. Beberapa hari ke belakang, Nirmala harus pulang dengan berjalan kaki karena ongkosnya harus dialihkan untuk biaya berobat adiknya. Ketika Nirmala keluar gerbang, ia dikejutkan dengan atensi seorang pria tengah duduk di atas motornya. Dia adalah Bhaskara, pr
"ARGH!" Nirmala tergelepar di tanah. Mendengar suara benda terjatuh, Bhaskara juga Baladewa menoleh ke sumber suara. Bughh! Bhaskara bergegas bangkit dan memukul rahang Baladewa dengan kerasnya. "Argh!" Baladewa yang lengah akhirnya terkena serangan telak. Ia terhuyung menjauhi Nirmala "Astaga! Hey, kau tidak apa-apa?" pekik Bhaskara langsung menghampiri Nirmala yang tergeletak. Ia mengangkat kepala Nirmala ke pangkuannya. Wajah kiri Nirmala memerah tepat di bawah mata kirinya. Ia meringis kesakitan merasakan pipinya berdenyut. Jari Bhaskara mengusap pipi kiri Nirmala yang terkena tonjokan tanpa peduli wajahnya yang juga babak belur. "Maafkan aku, Nirmala. Aku ... aku tidak sengaja," ucap Baladewa bergegas menghampiri Nirmala sembari memegangi rahang kananya. Nirmala berusaha bangkit di bantu Bhaskara. "Tidak sengaja kau bilang?!" sungut Bhaskara tersulut amarah. "Sudah! Jangan lagi berantem!" seru Nirmala mencegah percekcokan yang dikhawatirkan akan me
Kepergian Nirmala bersama pria yang tak ia kenali itu membekas di ingatan Baladewa. Bahkan sehari telah berlalu, pikirannya masih tertuju pada kejadian sore itu. Entah apa yang mendadak merasukinya, yang pasti ia merasa khawatir dan penasaran bagaimana kondisi Nirmala sekarang. "Dewa, cepat bawa masuk koper oma!" Teriakan itu membuat lamun Baladewa seketika buyar. "Memangnya oma udah sampai?" tanya Baladewa justru dengan santai mengambil segelas air mineral di meja makan. "Ya ampun! itu omamu udah di depan rumah!" Muncullah sosok wanita paruh baya dengan rambut setengah bahu. Ia menatap garang anak lelakinya yang malas-malasan. Tak ingin terkena semprot lagi, Baladewa bergegas keluar rumah. Begitu sampai diambang pintu, mata Baladewa langsung dimanjakan dengan rimbunnya dedaunan dan rerumputan hijau yang membentang luas. Pandangannya seketika tertuju pada sebuah mobil yang terparkir di garasi rumah. "Halo, Oma, kukira oma pulang bulan depan." Dengan cekatan Baladew
Seorang wanita berambut sebahu menyusuri lorong dalam keadaan gelap. Tak ada sedikitpun perasaan takut kala tak seorang pun hadir di sekitarnya. Ia tetap fokus memperhatikan kedua kakinya melangkah sepanjang lorong. Ia lantas berbelok ke kanan begitu sampai di simpang tiga. Lagi-lagi wanita itu sama sekali tak mengidahkan kesunyian dan kegelapan yang menemaninya. Ceklek .... Wanita itu membuka sebuah loker bertuliskan 'Nirmala' pada pintunya. Selanjutnya meletakkan tas ransel yang ia bawa ke dalam. Ia membuka resleting tasnya kemudian mengambul sebuah baju kerja yang juga bertuliskan 'Nirmala' pada nametag-nya. Saat ia hendak membuka baju yang ia pakai untuk diganti dengan pakaian seragam, ia dikejutkan dengan sebuah suara gaduh yang berasal dari area kamar mandi. Mata Nirmala yang tadinya sudah setengah tertutup, segera terbuka lebar. "Siapa di sana?!" seru Nirmala mulai was-was dengan sekelilingnya. Ia juga kembali membenarkan kancing bajunya yang sudah sempat ia lepas. Tak
Waktu telah menujukkan pukul 04.50. Di depan sebuah gedung bertuliskan 'Rajya Corp'terlihat sebuah mobil van hitam terparkir di sana. Tak berselang lama, sesosok pria mengenakan pakaian serba hitam dan mengenakan penutup wajah turun dari mobil itu dan berjalan mengendap-endap. Langkahnya begitu was-was ketika memasuki pintu darurat yang tak terkunci. Sekali lagi pria itu mengendap berjalan menelusuri lorong dengan posisi menempel tembok. Pria itu sepertinya tahu betul bagian mana yang tersorot kamera sehingga menggunakan teknik penyamaran untuk mengantisipasi. Krekkk ... Pergerakannya mendadak berhenti. Dari balik penutup wajahnya, wajah tampannya berubah pucat. Dengan hati-hati ia melongokkan kepalanya, namun segera tersadar ternyata bunyi itu timbul akibat dirinya yang tak sengaja menginjak minuman kaleng yang tergeletak di sekitar tempat sampah. Ia lekas mengelus dadanya lega. "Sial, membuat panik saja," bisiknya mengumpat. Ia kembali meneruskan langkahnya hingga tan
Pria memakai setelan jas maroon terlihat termagu menatap keluar jendela yang jelas terlihat pucuk gedung yang begitu menjulang. Wajahnya menyiratkan kegelisahan juga kekhawatiran. "Akkkk!" Ia bangkit kemudian menengadah wajahnya. Matanya terpejam sesaat. "Gak bisa!" serunya keras. Ia lantas berjalan cepat keluar ruangannya. "Hey!" Baladewa menoleh kepada pria paruh baya yang baru saja muncul dari balik pintu di belakangnya. "Mau kemana?" Wajah gelisah Baladewa mengundang banyak tanya ayahnya. "Dewa ... ada urusan sebentar, Yah. Baladewa pergi dulu." Raja hendak mencegah, namun Baladewa kadung menjauh. Pria berambut two block itu menyusuri lorong sembari sesekali menilik nama ruangan ditiap pintunya. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat sosok wanita yang beberapa waktu lalu ia buat kelimpungan. "Hey!" panggilnya segera menyentak wanita modis yang tengah berbincang dengan beberapa staf. "Oh kau rupanya ... " gumam Viola menatap Baladewa memberengut. "Kena
Biasanya para pekerja kantoran akan mulai berbondong-bondong pulang begitu waktu menunjukkan pukul 4 sore. Jalanan yang semula sepi berubah padat dalam sekejap. Kemacetan terjadi dimana-mana akibat menumpuknya kendaraan pada jam pulang kantor. Sementara dalam gedung Rajya Corp, penghuninya mulai berangsur meninggalkan tempatnya. "Nirmala ... " Seorang wanita berambut keriting berlarian menghampiri Nirmala yang sebentar lagi menyelesaikan pekerjaannya. Nirmala menoleh memandang lawan bicaranya heran. "Bisa tungguin aku sebentar nggak?" ucapnya dengan wajah memelas. "Kerjaanku di gudang masih ada dikit lagi, tapi orang-orang udah mulai pulang duluan. Jadi temenin aku dulu mau ya?" lanjutnya tiba-tiba bergelendotan di lengan Nirmala. Nirmala berfikir sembari melihat sekitar yang memang mulai lengang. Hanya ada beberapa orang saja yang masih tinggal. "Oke deh. Kamu ke gudang duluan aja. Habis nyimpen alat, aku nyusul." Setelah bersepakat, Nirmala pun bergegas menuju lokerny
Blugh! Tubuh Nirmala terhuyung membentur kursi penumpang yang tepat di sebelah Baladewa duduk. "CEPAT PASANG SEATBELTMU!" Nirmala masih berusaha mencerna apa yang dilakukan pria di sampingnya itu. Ia masih membeku melihat Baladewa dengan cekatan menghidupkan mesin mobilnya. "APA YANG KAU LAKUKAN!" teriak Baladewa mengetahui Nirmala masih termagu. Nirmala tersentak segera mengikuti perintah Baladewa tanpa penolakan. Bisa terlihat di mata Nirmala raut wajah Baladewa berubah menyeramkan. "Kita pergi dari sini sebelum orang gila itu mengejar." Perkataan singkat itu menguatkan aura mencekam yang menguar dari tubuhnya. Nirmala yang ada di dekatnya sampai tak dapat berkutik. "HEY, AKU HANYA INGIN BERBICARA SEBENTAR!" Sayup-sayup teriakan Bhaskara mampu Nirmala dengar meski semakin menjauh di belakangnya. Ia hanya melihat dari kaca spion Bhaskara menatapnya sedih. Mobil yang dikendarai Baladewa melaju begitu cepat hingga tanpa sadar telah berada jauh dari Rajya Corp.
Nirmala memandangi pesan di ponselnya dengan perasaan bercampur aduk. Pesan itu singkat memberikan sebuah informasi, tetapi cukup pikiran Nirmala semakin berkecambuk.—'Kau tidak tau apa yang sedang terjadi. Jika ingin tahu kebenarannya, temui aku besok di tempat ini.'Ia berulang kali membaca pesan yang disertai titik lokasi. Titik lokasi itu terasa asing baginya dan terasa sedikit mencurigakan. Alamat yang dikirim berada di pinggiran kota. Yang membuat mencurigakan tempat itu jauh dari pusat bisnis dan gedung-gedung megah yang biasa para pembisnis kunjungi.“Aishh! Siapa sih yang mengirimkan pesan anonim ini? Apa aku harus pergi? Tapi bagaimana kalau ini hanyalah orang iseng atau orang yang hanya akan memperkeruh keadaan?” gumamnya dengan ragu.Namun, rasa ingin tahu tentang masa lalu ayahnua itu jauh lebih besar dari kecurigaan yang singgah dibenaknya. Akhirnya, setelah mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan buruk, Nirmala memutuskan untuk memenuhi undangan tersebut karena ia te
Malam semakin larut, tapi Nirmala masih saja kesulitan menutup mata. Kata-kata Aditama terus bergema di kepalanya membuatnya terus terjaga dalam kegelisahan.'Ayahmu pernah membuat Surya bangkrut dan jatuh miskin.'Apa yang sebetulnya terjadi? Mengapa tak ada seorang pun yang menceritakan hal ini kepadanya? Bahkan Surya, yang selama ini membantunya dan memberi arahan kepadanya, tak sama sekali menunjukka adanya hubungan buruk kepada ayahnya.Di kamarnya yany cukup sunyi, ia mencoba kembali memutar ulang semua percakapan yang pernah dilakukan dengan Surya, Vani, bahkan Gergio. Dan ia tak menemukan ada yang pernah menyebut masa lalu Rajendra dengan Surya. Semua terasa seperti rahasia besar yang sengaja disembunyikan darinya.“Aku harus mencari tahu,” gumamnya sambil memandang pantulan dirinya di kaca. Tetapi pertanyaannya adalah, di mana ia harus mencari tahu? Dan bagaimana ia harus mulai?***Keesokan harinya, Nirmala memutuskan untuk menemui Vani. Ia berpikir, jika ada orang yang mung
Siang itu, ruang rapat di Rajya Corp dipenuhi ketegangan. Para pemegang saham, investor, dan dewan direksi hadir dalam pertemuan yang disebut-sebut pertemuan penting untuk menentukan langkah perusahaan ke depannyaSelain tokoh penting itu, rupanya Nirmala juga hadir. Ia duduk di tengah perkumpulan itu dengan punggung tegak, mencoba terlihat tenang meskipun pikirannya kalut. Ia tahu bahwa kehadirannya di rapat kali ini akan menjadi sorotan utama. Lebih dari itu, apa yang ia ucapkan nanti akan membawa dampak besar untuk perusahaan inu.Aditama, yang kali ini memimpin rapat, membuka pertemuan dengan pembahasan tentang kebijakan perusahaan untuk menangani krisis. Ia memaparkan situasi finansial terkini dan langkah strategis yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas. Namun, semua itu hanyalah pembuka, nyatanya pembahasannya lebih luas dari itu.Ketika pembahasan mulai mengarah pada pengangkatan CEO baru, suasana berubah lebih tegang.“Baik,” ucap Aditama sambil menatap sekeliling mej
Malam itu, kamar Nirmala terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena angin yang bertiup dari jendela, melainkan karena rasa hampa yang memenuhi dadanya. Keputusan yang ia buat semalem untuk membuat Bhaskara kecewa yang berujung menghancurkam hatinya terus menggerogoti pikiran Nirmala. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk kedua lututnya dengan erat mencoba meredam kehampaan yang tak kunjung reda."Aku melakukannya untuk dia," gumam wanita itu dengan suara serak. "Aku ingin melindunginya."Sayangnya hatinya tak sejalan dengan ucapannya. Rasa bersalah terus menghantuinya, bahkan membuatnya merasa seperti menghianati cinta yang selama ini mereka perjuangkan.Memori beberapa hari lalu kembali berputar dalam benak Nirmala.~~~"Coba kau pilih kau rela melihatnua kecewa atau melihatnya merasakan kembali trauma masa lalunya?"Kata-kata itu menggema di kepalanya seperti palu yang memukul hati kecilnya. Surya memang tak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud trauma masa lalunya, sampai V
Malam itu tak seperti biasanya langit begitu kelam, seolah menyimpan rahasia gelap yang tak ingin diungkap. Tak ada bintang, apalagi bulan. Hanya ada angin dingin yang menusuk tulang, berembus lembut dari jendela kamar yang terbuka. Nirmala termenung di sana, menopangkan kepalanya pada kusen jendela. Rambut sebahunya bergoyang lembut ditiup angin, wajahnya terlihat berat penuh beban. Pandangannya menerawang jauh menembus pekarangan rumah yang sunyi tetapi pikirannya melayang entah kemana."Huh .... "Helaan napas kembali lolos dari bibirnya. Pundak yang beberapa waktu lalu mulai ringan, kini kembali memberat oleh segala tekanan yang menghimpit."Apa yang harus aku lakukan? Kenapa tidak berjalan seperti yang aku inginkan," gumamnya dengan suara yang dipenuhi kegelisahan yang sulit diungkapkan.Ponsel di meja bergetar, menyental lamun wanita itu. Layar ponselnya menyala dan terpampang satu nama yang membuat hatinya bergetar. 'Bhaskara's Calling'.Panggilan itu sudah muncul lebih dari
Sudah beberapa hari ini Nirmala berusaha untuk tidak menghubungi Bhaskara. Meski begitu ia masih menanti di roomchat dan melihat puluhan kali pesan terakhir yang ia kirim belum juga mendapat balasan.“Harus sampai kapan?” gumam Nirmala menggigit bibir bawahnya. Rasa khawatir terus menghantui pikirannya beberapa hari ini.Ingatan tentang percakapan dengan Vani beberapa hari lalu kembali menggema di kepalanya.'Untuk sementara waktu, tolong jangan menghubungi Bhaskara dahulu. Tante takut ayahnya akan berbuat macam-macam kepadanya.'Hatinya terasa berat, seperti dihimpit batu besar. Ia tak ingin egois membuat kekasihnya terjebak dalam masalah, tapi hatinya juga tersiksa.Ketika pikirannya masih berkecambuk, ponselnya tiba-tiba bergetar. Ia meraihnya cepat, berharap itu dari Bhaskara, tetapi ternyata bukan."Nirmala, kita perlu bicara. Bisa temui aku besok di kantor pusat? Aditama."Pesan singkat yang mengatas namakan Aditama itu pikiran Nirmala kembali terpecah. “Ada apa ini? Apa yang in
Di kamar utama rumahnya, Vani duduk di kursi dekat ranjang dengan wajah yang tampak kusut. Ia baru saja menyaksikan Bhaskara mengunci diri di kamar setelah perbincangan sengit dengannya. Air mata Vani yang tertahan sejak tadi akhirnya mengalir. Ia tahu betapa besar tekanan yang kini dirasakan putranya.Pintu kamar terbuka perlahan dan sosok pria paruh baya masuk dengan langkah berat. Wajahnya masih menyiratkan sisa-sisa kemarahan yang belum reda.Vani segera mengusap air matanya dan terdiam memangu.“Mas Surya,” panggil Vani pelan. Ketika sang istri telah memanggil dengan sebutan nama, dapat diketahui akan ada perbincangan yang serius. Dan Surya sudah paham akan mengarah kemana pembicaraan itu.“Aku tidak ingin membicarakan apa pun, Vani,” jawab Surya dingin kemudian memasuki kamar mandi dalam kamarnya. Jika seperti ini Vani harus sedikit lebih sabar. Ia akan menunggu hingga suaminya keluar.Lima belas menit Vani menunggu, akhirnya suara shower terhenti pertanda sebentar lagi Surya
Bhaskara baru saja memarkir mobilnya di halaman rumah dengan hati yang gelisah. Sepanjang perjalanan pulang, ia tidak bisa menyingkirkan rasa khawatir yang terus menghantui pikirannya. Teringat suara keras ibunya di telepon, ia mulai bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi hingga membuat mamanya terdengar marah.Setelah memasuki rumah, Bhaskara segera mencari keberadaan sang ibu. “Mama?” panggilnya dengan nada penuh kebingungan.Vani, yang sudah menunggu dengan hati resah, muncul dari ruang tamu. Wajahnya yang biasanya lembut kini penuh tanda tanya dan kecemasan. Ia melangkah cepat menghampiri anaknya.“Bhaskara, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa pulang-pulang ayahmu marah? Kau berulah apa hari ini?” tanyanya memberondong pertanyaan dengan suaranya tegas namun penuh kekhawatiran.Bhaskara mengerutkan dahi. Ia benar-benar bingung maksud sang ibu. Boro-borok berulah dengan ayahnya, sudah dua hari ini ia belum bertemu ayahnya.“Aku nggak tahu, Ma. Justru Bhaskara dari kemarin nggak
Malam itu, Surya turun dari mobilnya dengan gerakan kasar, menutup pintu dengan suara bantingan yang menggema. Wajahnya yang lelah terlihat membeku dingin menegaskan amarah yang ia bawa pulang. Rahangnya yang mengeras dan langkah cepatnya menuju rumah memancarkan aura yang membuat siapa pun enggan mendekat.Dari dalam rumah Vani, istrinya, mendengar suara gaduh dari luar. Dengan raut khawatir, ia segera berlari ke depan untuk memeriksa.“Astaga! Ayah ada apa?!” seru Vani terkejut melihat suaminya yang nampak dilingkupi badai amarah.Surya tak menjawab. Ia melangkah cepat melewati istrinya dan menuju kamar mereka. Vani yang kebingungan menatap punggung suaminya dengan ekspresi resah.“Aduh, apa lagi ulah Bhaskara kali ini?” gumamnya, suara kecil yang menggambarkan keresahan seorang ibu. Ia dapat menebaknya karena suaminya cenderung menyembunyikan amarahnya ketika itu adalah masalah di kantor.Vani menyusul Surya ke kamar. Dengan cekatan, ia membantu melepas jas dan dasi yang masih meli