Waktu telah menujukkan pukul 04.50. Di depan sebuah gedung bertuliskan 'Rajya Corp'terlihat sebuah mobil van hitam terparkir di sana. Tak berselang lama, sesosok pria mengenakan pakaian serba hitam dan mengenakan penutup wajah turun dari mobil itu dan berjalan mengendap-endap. Langkahnya begitu was-was ketika memasuki pintu darurat yang tak terkunci. Sekali lagi pria itu mengendap berjalan menelusuri lorong dengan posisi menempel tembok. Pria itu sepertinya tahu betul bagian mana yang tersorot kamera sehingga menggunakan teknik penyamaran untuk mengantisipasi. Krekkk ... Pergerakannya mendadak berhenti. Dari balik penutup wajahnya, wajah tampannya berubah pucat. Dengan hati-hati ia melongokkan kepalanya, namun segera tersadar ternyata bunyi itu timbul akibat dirinya yang tak sengaja menginjak minuman kaleng yang tergeletak di sekitar tempat sampah. Ia lekas mengelus dadanya lega. "Sial, membuat panik saja," bisiknya mengumpat. Ia kembali meneruskan langkahnya hingga tan
Pria memakai setelan jas maroon terlihat termagu menatap keluar jendela yang jelas terlihat pucuk gedung yang begitu menjulang. Wajahnya menyiratkan kegelisahan juga kekhawatiran. "Akkkk!" Ia bangkit kemudian menengadah wajahnya. Matanya terpejam sesaat. "Gak bisa!" serunya keras. Ia lantas berjalan cepat keluar ruangannya. "Hey!" Baladewa menoleh kepada pria paruh baya yang baru saja muncul dari balik pintu di belakangnya. "Mau kemana?" Wajah gelisah Baladewa mengundang banyak tanya ayahnya. "Dewa ... ada urusan sebentar, Yah. Baladewa pergi dulu." Raja hendak mencegah, namun Baladewa kadung menjauh. Pria berambut two block itu menyusuri lorong sembari sesekali menilik nama ruangan ditiap pintunya. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat sosok wanita yang beberapa waktu lalu ia buat kelimpungan. "Hey!" panggilnya segera menyentak wanita modis yang tengah berbincang dengan beberapa staf. "Oh kau rupanya ... " gumam Viola menatap Baladewa memberengut. "Kena
Biasanya para pekerja kantoran akan mulai berbondong-bondong pulang begitu waktu menunjukkan pukul 4 sore. Jalanan yang semula sepi berubah padat dalam sekejap. Kemacetan terjadi dimana-mana akibat menumpuknya kendaraan pada jam pulang kantor. Sementara dalam gedung Rajya Corp, penghuninya mulai berangsur meninggalkan tempatnya. "Nirmala ... " Seorang wanita berambut keriting berlarian menghampiri Nirmala yang sebentar lagi menyelesaikan pekerjaannya. Nirmala menoleh memandang lawan bicaranya heran. "Bisa tungguin aku sebentar nggak?" ucapnya dengan wajah memelas. "Kerjaanku di gudang masih ada dikit lagi, tapi orang-orang udah mulai pulang duluan. Jadi temenin aku dulu mau ya?" lanjutnya tiba-tiba bergelendotan di lengan Nirmala. Nirmala berfikir sembari melihat sekitar yang memang mulai lengang. Hanya ada beberapa orang saja yang masih tinggal. "Oke deh. Kamu ke gudang duluan aja. Habis nyimpen alat, aku nyusul." Setelah bersepakat, Nirmala pun bergegas menuju lokerny
Blugh! Tubuh Nirmala terhuyung membentur kursi penumpang yang tepat di sebelah Baladewa duduk. "CEPAT PASANG SEATBELTMU!" Nirmala masih berusaha mencerna apa yang dilakukan pria di sampingnya itu. Ia masih membeku melihat Baladewa dengan cekatan menghidupkan mesin mobilnya. "APA YANG KAU LAKUKAN!" teriak Baladewa mengetahui Nirmala masih termagu. Nirmala tersentak segera mengikuti perintah Baladewa tanpa penolakan. Bisa terlihat di mata Nirmala raut wajah Baladewa berubah menyeramkan. "Kita pergi dari sini sebelum orang gila itu mengejar." Perkataan singkat itu menguatkan aura mencekam yang menguar dari tubuhnya. Nirmala yang ada di dekatnya sampai tak dapat berkutik. "HEY, AKU HANYA INGIN BERBICARA SEBENTAR!" Sayup-sayup teriakan Bhaskara mampu Nirmala dengar meski semakin menjauh di belakangnya. Ia hanya melihat dari kaca spion Bhaskara menatapnya sedih. Mobil yang dikendarai Baladewa melaju begitu cepat hingga tanpa sadar telah berada jauh dari Rajya Corp.
Brak! Pintu dibanting dengan kerasnya. Baladewa dengan gontai menuju ranjangnya. Kepalanya tertunduk menatap ubin dengan tatapan kosong. Bahunya turun menyiratkan tubuhnya yang lemas juga terdengar deru napas lemah dari bibir mungilnya. "Argh!" Baladewa tiba-tiba berteriak frustrasi, menjambak dan mengacak rambutnya yang telah acak-acakan. Bahkan kemejanya turut kusut seolah baru saja melakukan aktivitas berat. "Mau ditaruh di mana wajahku ini?!" serunya dengan wajah tertekan. Semua ini karena Nirmala. Wanita yang bekerja sebagai petugas kebersihan di perusahaan ayahnya itu berhasil mengobrak-abrik hati seorang Baladewa yang terkenal dingin pada seorang wanita. Ia tak pernah menyangka hanya karena wanita 'rendahan' itu membuat Baladewa rela kalang kabut mempertaruhkan harga dirinya. Tadi seusai Nirmala turun, ia tak lantas pergi begitu saja. Karena begitu menyadari Nirmala mengetahui kebohongannya soal obat, dadanya mendadak hampir meledak saking kencangnya jantungnya berd
Baladewa berjalan santai begitu mulai memasuki pintu otomatis. Pandangannya menyapu ke penjuru arah melihat betapa sibuknya para pegawai berlalu lalang. Ia yang merupakan CEO masa depan perushaan ini harus mulai mengakrabkan diri dan beradaptasi dengan kinerja staffnya. Namun begitu pandangannya searah jarum jam 9, langkahnya terhenti. Ia dengan langkah senyap beringsut mundur. Itu Nirmala. Kehadiran sosok itu nampaknya masih mempengaruhi batinnya pagi ini. Pandangannya menatap lurus wajah Nirmala yang tersenyum anggun. Jantungnya kembali berulah begitu senyumannya nerekah bak bunga. Spontan saja Baladewa menyentuh dadanya yang berdetak tak sehat. Tak ingin terlalu lama membiarkan dirinya dalam pisisi sulit, Baladewa berbalik. Ia butuh menenangkan emosionalnya. Ya! Untuk sementara waktu ia tidak boleh bertemu dengan Nirmala. Ketika hendak keluar lagi, siapa sangka dari dalam ada seseorang yang meneriaki namanya. "Baladewa!" Baladewa sontak menoleh kembali agar tak dicuri
Nirmala duduk disamping kursi kemudi dengan tenang. Tatapannya lurus memandang jalanan yang bergerak lamban akibat penumpukan kendaraan. Ia memang nampak tenang, namun tetap saja kegugupannya tak dapat ia tutupi kala terlihat jelas kedua tangannya bergerak gelisah. Pikirannya bekerja keras memikirkan mengapa ia dengan mudahnya menurut pada anak bosnya itu. "Yang mengirimkan obat-obatan itu memanglah aku." Kepala Nirmala berputar, melirik lamban pria di sebelahnya. "Orang suruhanku yang mengantarkannya pagi itu," lanjut Baladewa cepat seolah tak ingin disela. Nirmala manggut-manggut tak menanggapi dengan verbal. Ia masih menanti apa pembicaraan selanjutnya, namun Baladewa kembali terdiam mencengkeram setirnya dan fokus pada jalanan. "Kau memanggilku masuk hanya untuk memberi klarifikasi itu?" tanyanya tak tahan terjadi keheningan kembali. Baladewa mengangguk tak yakin. Jelas diraut wajahnya bahwa sebenarnya ada sesuatu yang belum ia sampaikan. Karena tak ada yang perlu
Saat Nirmala berjalan menyusuri lorong, dari arah berlawanan muncul OG dan OB yang baru akan menjalankan pekerjaannya masing-masing. Mereka terlihat memandang Nirmala dengan sinis. Bahkan beberapa terlihat membuang muka. Dalam hati Nirmala tentu bertanya-tanya, sekalipun ada yang tak suka dengannya, mereka akan bersikap acuh tak acuh. Namun kini mereka justru terlihat berbeda. "Aduh!" Nirmala hampir saja terjerembab, untung saja ada sebuah bangku yang dapat dijadikan pegangan. "Ups!" pekik seorang OG berambut keriting berpura-pura terkejut. "Sorry, tanganku licin jadi sapunya jatuh deh." Nirmala hanya melirik dalam diam. Ia mampu melihat dengan jelas jika Siska sengaja menjatuhkan sapunya tepat ketika Nirmala melintas. Karena tak ingin memperpanjang masalah, Nimala pun hanya tersenyum palsu kemudian melanjutkan langkah kembali. "Liat, bisa-bisanya dia masih menutupi perbuatan menjijikan itu dengan wajah sok lugunya?!" "Asli! Muak banget liat wajah sok polosnya itu."