Nirmala duduk disamping kursi kemudi dengan tenang. Tatapannya lurus memandang jalanan yang bergerak lamban akibat penumpukan kendaraan. Ia memang nampak tenang, namun tetap saja kegugupannya tak dapat ia tutupi kala terlihat jelas kedua tangannya bergerak gelisah. Pikirannya bekerja keras memikirkan mengapa ia dengan mudahnya menurut pada anak bosnya itu. "Yang mengirimkan obat-obatan itu memanglah aku." Kepala Nirmala berputar, melirik lamban pria di sebelahnya. "Orang suruhanku yang mengantarkannya pagi itu," lanjut Baladewa cepat seolah tak ingin disela. Nirmala manggut-manggut tak menanggapi dengan verbal. Ia masih menanti apa pembicaraan selanjutnya, namun Baladewa kembali terdiam mencengkeram setirnya dan fokus pada jalanan. "Kau memanggilku masuk hanya untuk memberi klarifikasi itu?" tanyanya tak tahan terjadi keheningan kembali. Baladewa mengangguk tak yakin. Jelas diraut wajahnya bahwa sebenarnya ada sesuatu yang belum ia sampaikan. Karena tak ada yang perlu
Saat Nirmala berjalan menyusuri lorong, dari arah berlawanan muncul OG dan OB yang baru akan menjalankan pekerjaannya masing-masing. Mereka terlihat memandang Nirmala dengan sinis. Bahkan beberapa terlihat membuang muka. Dalam hati Nirmala tentu bertanya-tanya, sekalipun ada yang tak suka dengannya, mereka akan bersikap acuh tak acuh. Namun kini mereka justru terlihat berbeda. "Aduh!" Nirmala hampir saja terjerembab, untung saja ada sebuah bangku yang dapat dijadikan pegangan. "Ups!" pekik seorang OG berambut keriting berpura-pura terkejut. "Sorry, tanganku licin jadi sapunya jatuh deh." Nirmala hanya melirik dalam diam. Ia mampu melihat dengan jelas jika Siska sengaja menjatuhkan sapunya tepat ketika Nirmala melintas. Karena tak ingin memperpanjang masalah, Nimala pun hanya tersenyum palsu kemudian melanjutkan langkah kembali. "Liat, bisa-bisanya dia masih menutupi perbuatan menjijikan itu dengan wajah sok lugunya?!" "Asli! Muak banget liat wajah sok polosnya itu."
Kabar kejadian yang menimpa Nirmala santer terdengar dan dibicarakan tiap divisi Rajya Corp. Sebuah potongan video tidak senonoh yang di dalamnya terpampang wajah salah satu pegawai membuat kegemparan seantero Rajya Corp. Selain Nirmala, sosok Baladewa juga ikut terseret dalam perbincangan hangat itu. Berawal dari peristiwa sore itu, banyak spekulasi mulai bermunculan mengenai kedekatan Nirmala dengan anak CEO Rajya Corp tersebut. Kabar itu pun akhirnya sampai di telinga Maharaja Wahyatma. Ia marah besar ketika mengetahui anaknya justru mengambil tindakan yang menurutnya berpotensi mengancam nama baiknya. "Yah, itu semua tidak seperti yang ayah kira! Percaya sama Dewa." Plakkk! Tamparan keras mendarat pada sisi kanan wajah sang pemuda. "Terus apa?! Percuma kamu menjelaskan ke ayah kalau diluaran sana telah banyak beredar rumor yang mencoreng nama baikmu!" Raja meluapkan amarahnya kepada anak semata wayangnya itu. Pasalnya berkat tindakan gegabah sang putra, menyebabka
Banyak karyawan menyaksikan pertikaian besar di lantai dasar. Mereka yang awalnya hanya menyimak, kini terpecah menjadi dua kubu. Satu kubu mencemooh Nirmala yang tak tahu malu menyangkal bukti nyata dan satu kubu lainnya mengasihani Nirmala dan berharap keadilan untuknya. "Siapa yang tahu ketika orang tengah butuh uang dia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan uang termasuk mengambil jalan pintas menjadi wanita pel*cur!" sindir Viola yang masih tak gentar. "VIOLA!" bentak Aditama, sekretaris Raja, memperingatkan putrinya untuk tak melewati batas. Raja lantas menengadahkan kepalanya membuat pertimbangan. Suasana kala itu seketika hening, tak ada seorangpun yang berani bersuara bahkan staff yang hanya menonton dari kejauhan. "Aditama, segera bentuk tim untuk menyelidiki masalah ini. Aku ingin masalah ini selesai dua hari lagi." "Baik, Pak." Seketika itu juga Nirmala sujud syukur menangis sejadi-jadinya. Keinginannya dikabulkan, ia masih memiliki peluang untuk berta
Pagi itu mentari bersinar begitu cerah, langit yang membentang luas pun nampak bersih tanpa awan. Cuaca yang mendukung untuk berlibur atau sekadar berpergian. "Anes cepat kemari bawa bantal gulingmu yang basah." Seorang wanita dewasa tengah kerepotan memindahkan sebuah kasur tipis menuju depan rumahnya. Di depan rumah yang bisa dikatakan kecil itu terdapat sebuah tangga bambu yang sengaja digeletakkan di tanah. Tangga bambu itu dimaksudkan untuk dijadikan alas menjemur kasur yang ia bawa. "Nih, Kak. Untung aja selimutnya aman jadi nggak begitu kerepotan untuk menjemur," ujar seorang gadis kecil yang keluar dari rumahnya menentang satu bantal dan sebuah guling. Nirmala yang telah selesai merebahkan kasur pada tangga, segera menerima bantal dan guling milik Anes. "Iya, berdoa aja seharian ini panas jadi bisa kering kasur kamu ya." Agnes mengangguk patuh. "Nanti malem kalau masih hujan tidur dikamar kakak aja, gak papa ya? Soalnya gentengnya masih bocor takutnya basah la
"Sial! Aaaa udah jam 7 lewat aduh gimana nih." Wanita berseragam OG itu berlari tunggang langgang memasuki tempatnya bekerja. Semalam ia tidur terlalu larut sehingga ia dengan bodohnya bangun kesiangan. Raut kekhawatiran nampak begitu kentara. Namun ketika ia melihat rekannya, dengan langkah kilat ia melipir. "Keli, Pak Teti udah dateng?" Keli menoleh dan menatap Nirmala dari ujung kaki hingga ujung rambut. Wajahnya terlihat tidak mengenakan membuat Nirmala berpikir macam-macam. "Kau beruntung, Nirmala. Pak Teti katanya berangkat telat. Udah sana cepet ambil alatmu!" Nirmala menarik napas panjang. "Oke, bagus." Ia segera kembali berlarian menuju basecamp alias ruangan loker. Baru juga Nirmala hendak menuju lorong belakang, tiba-tiba sebuah suara yang tak pernah ia duga terdengar. "Hey! Apa kau telat lagi, Nirmala?" Langkah nirmala terhenti, kemudian menoleh kaku. Ia tak tahu harus bagaimana sekarang, padahal baru kemarin ia lolos dari pemecatan. Apakah hari ini wa
"Hey kau petugas kebersihan! Bisakah kau mematikan ponselmu, deringnya membuat kepalaku serasa pecah!" omel seorang resepsionis yang terganggu oleh suara ponsel Nirmala yang tak hentinya berdering. Nirmala yang sengaja mengabaikan telepon masuk dan fokus pada pekerjaannya menjadi tak enak. Ia tak menyangka dering ponselnya ternyata terdengar hingga resepsionis. "Oh, maafkan saya." Dengan segera ia matikan ponsel majapahitnya itu. Ia mendengus kesal melanjutkan aktivitas mengelap jendela. Belum juga sehari ia memiliki seorang kekasih, sudah merasa kerepotan. Nirmala nyaris terjungkal saat sedang membersihkan jendela kaca, tiba-tiba ada sebuah wajah yang muncul dari dalam ruangan. Ia nyaris lupa bagaimana cara bernapas saking terkejutnya melihat wajah Baladewa yang terpampang di sana. "Astaga!" pekiknya sembari mengelus dada. Ia mendelik garang pada atasannya itu. Ingin sekali ia memarahinya, namun situasi sedang tidak tepat. Nirmala lantas bergeser berusaha terlihat tak tergan
Bayangan pria dengan balutan kemeja casual menambah daya tariknya terpantul dari cermin besar. Karismanya semakin terpancar dengan gaya rambutnya yang lebih tertata. Senyuman yang tak luntur pada wajahnya juga membuat wajah rupawannya tak bosan dipandang. Lengan panjangnya meraih sebuah kotak berudu berwarna maroon ya g tersimpan di laci meja. Ia membuka, memastikan isiannya masih utuh di tempat. "Kuharap Nirmala menyukai ini," gumamnya mengusap bandul berlian yang tergantung di tali kalung perak terlihat berkilauan. Hari ini genap tiga bulan hubungannya bersama Nirmala terjalin. Selama tiga bulan ini mereka menikmati masa-masa indah, menikmati tiap momen bersama membuat benih cinta mereka mulai berkembang menjadi bunga yang indah. Meskipun tak jarang mereka berselisih paham, semua dapat diselesaikan dengan baik. Termasuk merahasikan hubungan mereka, selama tiga bulan ini berjalan mulus. Baladewa meraih ponselnya kemudian menelpon nomor kontak bernama Nirmala yang diakhiri ga
Sesampainya di rumah, Nirmala merasa seperti dihantam badai. Cerita Surya sejalan dengan apa yang Arya katakan, tetapi dengan sudut pandang yang berbeda. Hal ini membuat keraguannya terhadap Arya perlahan memudar. Melihat respon Surya tadi, Nirmala melihat ada luka dan amarah yang tercipta ketika menceritakannya. “Apakah aku harus mempercayainya?” pikir Nirmala mulai goyah. Satu hal yang sayangnya baru ia sadari ialah bahwa ia berada di tengah permainan besar yang melibatkan dendam, ambisi, dan kebohongan. Dan sekarang, ia harus memutuskan langkah apa yang harus ia ambil untuk melindungi dirinya sendiri dan masa depan perusahaan.Nirmala membuang napas berat ketika sekelebat kejadian bersama Bhaskara menghinggapi kepalanya. Kejadian bersama Bhaskara siang tadi membuatnya merasa seperti kehilangan separuh dirinya. 'Jika kau ingin melibatkan aku dalam hidupmu lagi, aku ada di sini.' Kata-kata pria itu terus terngiang di kepalanya, membuatnya semakin bingung tentang apa yang sebenar
Usai berbincang dengan adiknya, Nirmala kembali terfokus pada dokumen-dokumen yang berserakan di sekitarnya. Kata-kata Gergio terus terngiang di kepalanya, menambah lapisan kebingungan yang sudah menghimpitnya.“Kalau benar ayahku melakukan sesuatu yang tidak adil kepada Om Surya, apa yang harus aku lakukan?” pikir Nirmala.Di satu sisi, ia merasa harus membela kehormatan keluarganya. Tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa ayahnya pernah membuat keputusan yang merugikan orang lain."Sepertinya aku memang harus berbicara langsung dengan Om Surya untuk meluruskan segala kabar simpang siur ini," gumam Nirmala akhirnya menyerah. Sesuai dengan keputusannya malam itu, Nirmala menemui Surya di kantornya. Tapi sayangnya ketika wanita itu tiba dikantor notaris, orang yang ingin ia temui justru sedang cuti. Nirmala berpikir berulang kali untuk menemui pria itu di rumahnya, entah mengapa feelingnya terasa buruk jika harus menemui di rumah Surya sekaligus rumah mantan
Dalam perjalanan pulang, Nirmala merasa pikirannya semakin kacau. Kata-kata Arya terus membayangi, tetapi ia juga teringat peringatan Gergio tentang sifat manipulatif Arya.“Mungkin Arya hanya ingin menanamkan keraguan,” pikirnya. Tetapi bagaimana jika apa yang Arya katakan benar?Nirmala belum bisa mempercayai peringatan Gergio, tapi ia juga belum mempercayai ucapan Arya. Tapi hari ini ia menemukan satu fakta pahit yang memang jelas kebenarannya, yaitu ayahnya memiliki sangkut paut dengan kebangkrutan keluarga Bhaskara.Setelah terlarut dalam pikirannya beberapa saat, tanpa sadar langkahnya telah menginjak pekarangan rumah. Ia segera kembali ke dunia nyata, memasuki rumah dengan pikiran penuh dan campur aduk.Nirmala disambut oleh Ganesha, yang langsung menyadari perubahan di wajah kakaknya.“Kak, kenapa? Kenapa wajahmu seperti habis bertemu hantu,” kata Ganesha sambil menyodorkan secangkir teh hangat.Nirmala tersenyum lemah. Ia menerima secangkir teh hangat itu. “Mana ada hantu. Ka
Nirmala terus saja berpikir keras. Ia tak tahu anakan pihak yang benar Kata-kata Arya seperti duri yang menusuk pikirannya, menciptakan rasa ragu yang semakin dalam terhadap sosok Surya yang selama ini ia percayai dan ia segani. Namun, semakin ia memikirkan hal itu, semakin ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Meskipun Surya dikenal tegas dan kadang keras, Nirmala sulit mempercayai bahwa pria itu akan sekejam itu.“Apa Pak Arya itu mengatakan yang sebenarnya? Bagaimana kalau justru sebaliknya” gumam Nirmala berpikir keras. Ia menatap ponselnya yang menyala dengan nomor Arya yang terpampang di sana. Ada dorongan untuk menghubunginya lagi untuk meminta penjelasan lebih lanjut karena ia pasti info banyak mengenai ayahnya, tetapi ada juga rasa ragu dan takut jika sebenarnya ini semua hanyalah kebohongan belaka. Nirmala tak ingin terus tercuci otaknya dan terseret lebih jauh dalam jaring kebohongan.Saat Nirmala menggulir Log panggilan, matanya memicing. "Pak Gergio..." gumamnya memba
Nirmala memandangi pesan di ponselnya dengan perasaan bercampur aduk. Pesan itu singkat memberikan sebuah informasi, tetapi cukup pikiran Nirmala semakin berkecambuk.—'Kau tidak tau apa yang sedang terjadi. Jika ingin tahu kebenarannya, temui aku besok di tempat ini.'Ia berulang kali membaca pesan yang disertai titik lokasi. Titik lokasi itu terasa asing baginya dan terasa sedikit mencurigakan. Alamat yang dikirim berada di pinggiran kota. Yang membuat mencurigakan tempat itu jauh dari pusat bisnis dan gedung-gedung megah yang biasa para pembisnis kunjungi.“Aishh! Siapa sih yang mengirimkan pesan anonim ini? Apa aku harus pergi? Tapi bagaimana kalau ini hanyalah orang iseng atau orang yang hanya akan memperkeruh keadaan?” gumamnya dengan ragu.Namun, rasa ingin tahu tentang masa lalu ayahnua itu jauh lebih besar dari kecurigaan yang singgah dibenaknya. Akhirnya, setelah mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan buruk, Nirmala memutuskan untuk memenuhi undangan tersebut karena ia te
Malam semakin larut, tapi Nirmala masih saja kesulitan menutup mata. Kata-kata Aditama terus bergema di kepalanya membuatnya terus terjaga dalam kegelisahan.'Ayahmu pernah membuat Surya bangkrut dan jatuh miskin.'Apa yang sebetulnya terjadi? Mengapa tak ada seorang pun yang menceritakan hal ini kepadanya? Bahkan Surya, yang selama ini membantunya dan memberi arahan kepadanya, tak sama sekali menunjukka adanya hubungan buruk kepada ayahnya.Di kamarnya yany cukup sunyi, ia mencoba kembali memutar ulang semua percakapan yang pernah dilakukan dengan Surya, Vani, bahkan Gergio. Dan ia tak menemukan ada yang pernah menyebut masa lalu Rajendra dengan Surya. Semua terasa seperti rahasia besar yang sengaja disembunyikan darinya.“Aku harus mencari tahu,” gumamnya sambil memandang pantulan dirinya di kaca. Tetapi pertanyaannya adalah, di mana ia harus mencari tahu? Dan bagaimana ia harus mulai?***Keesokan harinya, Nirmala memutuskan untuk menemui Vani. Ia berpikir, jika ada orang yang mung
Siang itu, ruang rapat di Rajya Corp dipenuhi ketegangan. Para pemegang saham, investor, dan dewan direksi hadir dalam pertemuan yang disebut-sebut pertemuan penting untuk menentukan langkah perusahaan ke depannyaSelain tokoh penting itu, rupanya Nirmala juga hadir. Ia duduk di tengah perkumpulan itu dengan punggung tegak, mencoba terlihat tenang meskipun pikirannya kalut. Ia tahu bahwa kehadirannya di rapat kali ini akan menjadi sorotan utama. Lebih dari itu, apa yang ia ucapkan nanti akan membawa dampak besar untuk perusahaan inu.Aditama, yang kali ini memimpin rapat, membuka pertemuan dengan pembahasan tentang kebijakan perusahaan untuk menangani krisis. Ia memaparkan situasi finansial terkini dan langkah strategis yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas. Namun, semua itu hanyalah pembuka, nyatanya pembahasannya lebih luas dari itu.Ketika pembahasan mulai mengarah pada pengangkatan CEO baru, suasana berubah lebih tegang.“Baik,” ucap Aditama sambil menatap sekeliling mej
Malam itu, kamar Nirmala terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena angin yang bertiup dari jendela, melainkan karena rasa hampa yang memenuhi dadanya. Keputusan yang ia buat semalem untuk membuat Bhaskara kecewa yang berujung menghancurkam hatinya terus menggerogoti pikiran Nirmala. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk kedua lututnya dengan erat mencoba meredam kehampaan yang tak kunjung reda."Aku melakukannya untuk dia," gumam wanita itu dengan suara serak. "Aku ingin melindunginya."Sayangnya hatinya tak sejalan dengan ucapannya. Rasa bersalah terus menghantuinya, bahkan membuatnya merasa seperti menghianati cinta yang selama ini mereka perjuangkan.Memori beberapa hari lalu kembali berputar dalam benak Nirmala.~~~"Coba kau pilih kau rela melihatnua kecewa atau melihatnya merasakan kembali trauma masa lalunya?"Kata-kata itu menggema di kepalanya seperti palu yang memukul hati kecilnya. Surya memang tak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud trauma masa lalunya, sampai V
Malam itu tak seperti biasanya langit begitu kelam, seolah menyimpan rahasia gelap yang tak ingin diungkap. Tak ada bintang, apalagi bulan. Hanya ada angin dingin yang menusuk tulang, berembus lembut dari jendela kamar yang terbuka. Nirmala termenung di sana, menopangkan kepalanya pada kusen jendela. Rambut sebahunya bergoyang lembut ditiup angin, wajahnya terlihat berat penuh beban. Pandangannya menerawang jauh menembus pekarangan rumah yang sunyi tetapi pikirannya melayang entah kemana."Huh .... "Helaan napas kembali lolos dari bibirnya. Pundak yang beberapa waktu lalu mulai ringan, kini kembali memberat oleh segala tekanan yang menghimpit."Apa yang harus aku lakukan? Kenapa tidak berjalan seperti yang aku inginkan," gumamnya dengan suara yang dipenuhi kegelisahan yang sulit diungkapkan.Ponsel di meja bergetar, menyental lamun wanita itu. Layar ponselnya menyala dan terpampang satu nama yang membuat hatinya bergetar. 'Bhaskara's Calling'.Panggilan itu sudah muncul lebih dari