"Hey kau petugas kebersihan! Bisakah kau mematikan ponselmu, deringnya membuat kepalaku serasa pecah!" omel seorang resepsionis yang terganggu oleh suara ponsel Nirmala yang tak hentinya berdering. Nirmala yang sengaja mengabaikan telepon masuk dan fokus pada pekerjaannya menjadi tak enak. Ia tak menyangka dering ponselnya ternyata terdengar hingga resepsionis. "Oh, maafkan saya." Dengan segera ia matikan ponsel majapahitnya itu. Ia mendengus kesal melanjutkan aktivitas mengelap jendela. Belum juga sehari ia memiliki seorang kekasih, sudah merasa kerepotan. Nirmala nyaris terjungkal saat sedang membersihkan jendela kaca, tiba-tiba ada sebuah wajah yang muncul dari dalam ruangan. Ia nyaris lupa bagaimana cara bernapas saking terkejutnya melihat wajah Baladewa yang terpampang di sana. "Astaga!" pekiknya sembari mengelus dada. Ia mendelik garang pada atasannya itu. Ingin sekali ia memarahinya, namun situasi sedang tidak tepat. Nirmala lantas bergeser berusaha terlihat tak tergan
Bayangan pria dengan balutan kemeja casual menambah daya tariknya terpantul dari cermin besar. Karismanya semakin terpancar dengan gaya rambutnya yang lebih tertata. Senyuman yang tak luntur pada wajahnya juga membuat wajah rupawannya tak bosan dipandang. Lengan panjangnya meraih sebuah kotak berudu berwarna maroon ya g tersimpan di laci meja. Ia membuka, memastikan isiannya masih utuh di tempat. "Kuharap Nirmala menyukai ini," gumamnya mengusap bandul berlian yang tergantung di tali kalung perak terlihat berkilauan. Hari ini genap tiga bulan hubungannya bersama Nirmala terjalin. Selama tiga bulan ini mereka menikmati masa-masa indah, menikmati tiap momen bersama membuat benih cinta mereka mulai berkembang menjadi bunga yang indah. Meskipun tak jarang mereka berselisih paham, semua dapat diselesaikan dengan baik. Termasuk merahasikan hubungan mereka, selama tiga bulan ini berjalan mulus. Baladewa meraih ponselnya kemudian menelpon nomor kontak bernama Nirmala yang diakhiri ga
Nirmala membuka pintu dengan segera ketika pria itu menyatakan memiliki hubungan dengan Rajendra, ayahnya. Nama Rajendra seperti memiliki daya magis tersendiri bagi sosok Nirmala."Tangan kanan ayah kau bilang?" tanya Nirmala menatap tak percaya. Pria paruh baya bernama Surya itu mengangguk yakin. "Kau adalah Nirmala Hapsari, apa betul?" Wajah Nirmala masih menyiratkan keterkejutan juga kebahagiaan. Selama ini tak ada seorangpun teman ayahnya yang mengunjungi rumahnya bahkan saat ayah dan ibunya wafat pun tak ada seorang pun teman ayahnya yang melayat."Apa yang kau inginkan? Mengapa kau baru mengunjungi rumah ayahku sekarang?" tanya Nirmala muram. Mengingat ingatan betapa sepinya pelayat kala itu membuat hatinya perih. Ia tahu betul ayahnya sosok yang baik dan senang menolong teman-temannya, namun kala itu tak seorang pun yang dahulu dibantu olehnya datang untuk berbelasungkawa.Surya menduduk sesal. "Maaf aku baru sempat berkunjung ke rumah ini. Aku memiliki alasan yang tidak bisa
"Kau ini hanya anak kemarin sore, Baladewa. Kau tak mengerti apapun persaingan dalam dunia bisnis. Oma yakin Nirmala menggodamu hingga membuatmu jatuh hati kepadanya tak lebih karena ingin memperdayamu!"Merasa direndahkan juga tersinggung karena kekasihnya yang dituduh tidak-tidak, Baladewa berbalik marah. "Oma gak boleh menuduh orang sembarangan. Baladewa lebih tahu dari siapapun, siapa dan bagaimana sosok Nirmala itu!" ujarnya tegas.Raja yang melihat perdebatan sengit antara anak dan ibunya, bergagas melerai."CUKUP! Kita bicarakan baik-baik. Oma sampai menuduhkan hal itu pasti punya bukti yang akurat, kan?" "Tentu, Aditama yang selama ini telah menyelidiki," sambar Helena tak ingin kalah.Baladewa memberenggut kesal. "Mana buktinya. Katakan kepadaku.""Aditama ... " panggil Raja membuat anak buahnya itu mendongak. "Jelaskan!"Aditama yang merasa bertanggung jawab atas pecahnya pertengkaran ini pun seger menjelaskan."Sebelumnya maafkan saya yang bekerja sama dengan Oma Helena t
Di tengah kegelapan pagi itu, terlihat seorang wanita terduduk di depan pintu. Ia nampak terdiam seolah sengaja menjelma sebagai patung di kegelapan.Ceklek Pintu segera terbuka menampakkan seorang gadis belia yang telah mengenakan seragam putih birunya. Saat ia hendak mengambil kaus kaki, ia dikejutkan dengan tubuh seseorang di depannya."ASTAGA KAKAK! Apa yang kakak lakukan di sini? Kenapa belum berangkat kerja?" pekiknya terkejut melihat kakaknya duduk terdiam.Nirmala menoleh dengan raut datarnya. Ia terlihat menatap kosong kepada adiknya. "Entahlah, Nes. Kakak kayaknya nggak sanggup berangkat kerja hari ini.""HAH?! Kakak sakit?"Perkataan ambigu kakaknya itu membuat Anes khawatir. Pasalnya kemarin bahkan semalam ia melihat kakaknya sehat-sehat saja walaupun terkadang terlihat tak fokus.Nirmala kembali menatap lurus tanpa menjawab. Lama ia termagu menatap langit hitam di atasnya. Hingga helaan napas membuat Anes menatap khawatir."Kakak gak punya muka dihadapan Kak Baladewa la
"Untuk apa meminta maaf jika kau masih memandangku sebagai tuanmu, bukan kekasihmu?"Nirmala segera terdiam tak percay. Ia menatap kekasihnya meminta penjelasan."Tanpa kau sadari, selama ini masih ada penghalangan di antara kita. Kau tidak merasa, ya?" Baladewa terkekeh sedih. "Bagi seorang kekasih tak seharusnya memandang nominal pada hadiah yang diberikan. Terlebih merasa sungkan menerima sesuatu yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari."Wanita itu masih tertunduk menyesal. Jawaban itu mampu menohok hatinya yang terdalam. Selama ini ia mengira semua baik-baik saja, namun ternyata itu hanya kelihatannya saja."Salahku sendiri yang kurang bisa membuatmu nyaman.""TIDAK! Selama ini kamu telah membuatku nyaman hingga aku tak tahan didiamkan olehmu barang sejenak," sergah Nirmala cepat. "Sepertinya apa yang kau katakan benar adanya. Selama ini aku masih denial hingga tanpa sadar memperlakukanmu sebagai tuanku bukan kekasihku."Tangan Nirmala terulur menyentuh punggung tangan Baladewa. "U
Usai saling berbaikan, akhirnya Nirmala dan Baladewa pulang bersama. Keadaan kantor kala itu sudah sepi karena waktu sudah hampir malam. Tak terasa ternyata mereka menghabiskan hampir 1 jam untuk berbincang dan menuntaskan semuanya."Sudah hampir malam aku antar kamu, ya," usul Baladewa sembari menyelipkan anak rambut Nirmala yang terjatuh ke depan.Nirmala membalas dengan senyuman indah. "Kita lihat dulu kalau aman kamu boleh mengantarkanku."Baladewa mendesah pelan. "Kira-kira sampai kapan kita harus sembunyi-sembunyi seperti ini. Aku kan juga ingin memamerkan kekasihku yang cantik ini," ujarnya pura-pura merajuk.Melihat kekasihnya bertingkah demikian, Nirmala terkekeh kecil. Ia lantas meninju lengan lelakinya pelan. "Kau ini berhentilah menggombal." Wanita itu berusaha menutupi rasa tersipunya hingga salah tingkah sendiri."Kenapa gitu? Cieee ada yang salting nih ye," goda Baladewa sembari mencolek dagu Nirmala gemas.Nirmala tak tahan terus menerus di goda. Karena tak kuasa mered
"Sepertinya hubungan mereka mulai renggang, Nyonya. Tadi saya melihat sendiri respon Baladewa yang dingin dan mengacuhkan OG itu."" .... ""Baik, Nyonya, saya akan mengawasi dan berusaha membuat mereka berpisah."Sambungan telepon di tutup sepihak. Aditama menarik napas panjang menatap ponselnya nanar."Apa yang ayah lakukan? Ayah mengawasi Baladewa?"Pria itu tersentak memdengar sebuah suara dari ambang pintu. Ia segera menyorot tajam anaknya yang tanpa izin menguping pembicaraannya."Kau ... tidak sopan!"Viola memutar bola matanya malas kemudian bersedekap dada. "Bukankah itu tadi Oma Helena?" tanyanya tak terusik dengan amarah ayahnya.Lagi-lagi ayahnya itu menghela napas berat. Ia tertunduk kemudian mengacak rambutnya. "Jangan ikut campur, Viola, ayah tak yakin kau bisa menerima konsekuensinya," sahut Adi dengan suara rendah."Kalau kubilang aku telah mencintai Baladewa apa ayah masih melarangku?" Pertanyaan Viola itu membuat Adi tersentak. Ia menatap anaknya penuh arti. "Aku
Malam itu, Bhaskara duduk sendirian di kamarnya, menatap ponsel yang tergeletak di meja. Pandangannya kosong, tetapi sorot matanya menunjukkan hatinya tengah penuh kegelisahan. Kegelisahannya bukan tanpa alasan, iatelah mengirimkan pesan demi pesan kepada Nirmala, tetapi tak satu pun yang mendapat balasan.Pikirannya terus melayang ke arah percakapan terakhir mereka, ketika Nirmala, dengan nada lelah dan penuh tekanan, mengatakan bahwa dia butuh waktu untuk sendiri. Bhaskara tahu betul bahwa semuanya bukan karena cinta mereka memudar, melainkan karena tekanan yang mereka hadapi selama berbulan-bulan terakhir ini—dari skandal Aditama, ditambah dengan dirinya harus menstabilkan kembali keadaan perusahaan, hingga beban tanggung jawab yang tak pernah surut.“Apa aku terlalu menekannya?” gumam Bhaskara, menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya.Ponselnya bergetar, tetapi hanya notifikasi pesan otomatis dari operator. Tidak ada pesan dari Nirmala. Tidak ada kabar sama sekali.Bhaskara men
Hari itu tibalah waktunya untuk rapat dewan pemegang saham di Rajya Corp. Suasana dalam rapat itu berlangsung tegang. Aditama duduk di kursinya dengan senyum penuh kemenangan, sementara Nirmala, Bhaskara, dan kini hadir pula Surya berdiri di depan ruangan.“Baiklah,” ujar Aditama dengan nada sinis. “Anda mengatakan memiliki sesuatu yang ingin disampaikan kepada dewan, Pak Surya?”Surya menatap Aditama dengan dingin. “Aku tahu apa yang kau lakukan selama ini, Aditama. Dan aku di sini untuk memastikan semua orang tahu.”Nirmala melangkah maju, meletakkan dokumen di meja dewan. “Ini adalah bukti bahwa Aditama telah memanipulasi proyek Narpati dan menggunakan dana perusahaan untuk keuntungan pribadinya.”Para pemegang saham mulai bergumam, suasana ruangan menjadi semakin gaduh.Aditama tetap tenang. “Bukti ini tidak cukup untuk menjatuhkanku. Kalian tidak punya saksi yang dapat mendukung klaim kalian.”Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka, dan seorang pria masuk dengan langkah mantap. Semua o
Di sebuah ruangan yang remang-remang, Aditama duduk di belakang meja besar dengan segelas anggur di tangannya. Senyumnya dingin, menandakan keyakinannya bahwa permainan ini hampir mencapai puncaknya. Di hadapannya, beberapa dokumen berserakan, sementara layar komputer menampilkan data-data rahasia dari Rajya Corp. “Apa laporan terakhir?” tanya Aditama kepada Arya, yang berdiri di sudut ruangan. Arya, dengan raut wajah serius, mendekat dan menyerahkan sebuah map berisi laporan terkini. “Surya telah kembali bersama Nirmala. Mereka pasti sedang menyusun langkah untuk melawan kita.” Aditama membaca laporan itu dengan seksama, lalu menutup map tersebut dengan keras. “Kita tidak bisa membiarkan mereka mendapatkan kendali atas informasi ini. Waktunya memutar balikkan fakta.” “Bagaimana caranya?” tanya Arya dengan hati-hati. Aditama mengangkat salah satu dokumen dari meja, lalu melemparkannya ke arah Arya. “Kita buat mereka terlihat seperti dalang di balik kehancuran proyek Narpati. Publ
Malam itu, hujan turun deras, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Mobil yang dikendarai Bhaskara melaju di jalanan gelap menuju lokasi yang tertera dalam email misterius. Di dalam mobil, Nirmala duduk di kursi penumpang, sesekali menatap layar ponselnya dengan gelisah. “Ini pasti jebakan,” kata Bhaskara, memecah keheningan. Tangannya mencengkeram setir mobil erat-erat. “Aku tahu,” balas Nirmala tanpa menoleh. Ia mendesah pelan berusaha meredakan dadanya yng berdegup cepat. “Tapi kita tidak punya pilihan lain. Jika Om Surya benar-benar ada di sana, kita harus mencarinya.” Vira yang sedari tadi duduk di kursi belakang, menambahkan, “ya memang, kita harus tetap waspada. Aditama bukan orang yang akan menyerah begitu saja.” Tak butuh waktu lama, mereka akhirnya tiba di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Bangunan itu tampak usang, dengan pintu besi besar yang hampir sepenuhnya tertutup karat. Bhaskara mematikan mesin mobil dan memandang gedung itu dengan ragu. “Seberapa yakin
Pagi yang tegang menyelimuti Rajya Corp. Di ruang rapat utama, Nirmala duduk sendirian, memandang kursi kosong di seberangnya. Pikirannya berputar, membayangkan segala kemungkinan yang akan terjadi. “Dia akan datang,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Sebenarnya ia masih menyimpan keraguan ketika menjalankan strategi ini, namun jika Aditama tidak dipancing, ia tak dapat memiliki bukti kuat. Jadi ini lah waktunya, ia harus yakin usahanya akam berhasil. Beberapa menit kemudian, pintu ruang rapat terbuka, dan Aditama masuk dengan langkah mantap. Wajahnya memancarkan kepercayaan diri yang tinggi. Wajah penuh wibawanya itu menampakkan senyuman miring. “Kau benar-benar berani mengundangku, Nirmala,” ucapnya sambil mengambil tempat di seberang meja. “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” Tak ingin terintimidasi, Nirmala menatapnya dengan penuh tekad. “Aku ingin tahu di mana kau menyembunyikan Pak Surya.” Aditama tersenyum tipis, seolah menikmati momen itu. “Surya? Aku
Vira masuk dengan ekspresi serius, membawa dokumen yang baru saja ia periksa.“Kita punya bukti kuat,” katanya. “Namun, untuk menjatuhkan Aditama, kita butuh lebih dari ini. Dia punya banyak pengaruh di luar sana.”Bhaskara mengangguk. “Kita harus memastikan bahwa semua bukti ini dipublikasikan secara luas. Tidak ada jalan keluar baginya.”“Tapi bagaimana dengan Om Surya?” tanya Nirmala. “Aku merasa dia tahu lebih banyak daripada yang ia ceritakan. Dan aku tidak bisa mengabaikan keterlibatan ayahku dalam semua ini.”Vira menghela napas. “Kita memang membutuhka Surya untuk bersuara. Jika dia tidak berbicara, permainan ini tidak akan pernah berakhir.”"Tapi di mana ayahku. Aku juga tak tahu sekarang dia ada dimana," ujar Bhaskara frustrasi."Kita harus menemukan ayahmu, Bhaskara," tandas Nirmala tak terbantahkan.***Langit malam tampak kelabu, seolah menandakan sesuatu yang buruk sedang terjadi. Bhaskara duduk di ruang tamu apartemen dengan wajah tegang, matanya terus menatap layar po
Nirmala dan Bhaskara saling bertukar pandang tanpa sadar menahan napas saat langkah kaki Aditama semakin mendekat. Suara pintu besi yang terbuka sepenuhnya bergema di ruangan kecil itu. Cahaya lampu senter menyapu dinding, nyaris mengenai tempat mereka bersembunyi.“Aku tahu kalian ada di sini,” ujar Aditama dengan nada rendah, tetapi penuh ancaman. “Kalian pikir bisa menggali masa lalu tanpa konsekuensi?”Pria yang bersama Aditama menyisir ruangan dengan cermat. Sementara itu, Nirmala menggenggam tangan Bhaskara erat-erat, berharap keheningan mereka cukup untuk menghindari deteksi.“Apa kalian ini ingin menjadi anak kecil? Aku tidak suka bermain petak umpet,” lanjut Aditama. “Tapi aku juga tidak keberatan. Semakin lama kalian bersembunyi, semakin aku menikmati permainan ini.”Nirmala menatap Bhaskara, memberikan isyarat agar mereka bersiap. Namun, sebelum mereka sempat bergerak, pria yang bersama Aditama berbicara.“Pak, ada dokumen di sini. Sepertinya mereka sudah menemukannya.”Adi
Nirmala dan Bhaskara berdiri di tengah ruang kerja Surya yang berantakan. Dokumen-dokumen berserakan di lantai, kursi terbalik, dan tanda-tanda mencurigakan terlihat jelas.“Dia tidak mungkin pergi begitu saja meninggalkan ruangannya seberantakan ini,” lirih Bhaskara, matanya penuh kekhawatiran.Nirmala memungut sebuah dokumen dari lantai, lalu menatap surat Rajendra yang tertinggal di meja. Sesuatu terasa tidak beres.“Kita harus menemukannya, Bhaskara,” kata Nirmala, suaranya gemetar. “Kepergian Om Surya dalam keadaan seperti ini, ditakutkan karena ulah seseorang. Kau tahu kan Aditama orangnya nekat, dia bisa saja merencanakan penculikan ayahmu untuk menggagalkan rencana kita.”Bhaskara nampak termagu sejenak. “Aku akan menghubungi orang-orang kepercayaan Ayahku. Mungkin mereka tahu di mana dia berada.”Namun, jauh di dalam hati, Bhaskara merasa cemas. Jika benar Surya telah diculik, maka ini bukan lagi sekadar permainan kekuasaan. Ini adalah perang total.***Keesokan harinya, Nirm
Di tengah malam, di sebuah kafe kecil yang sepi di pinggir kota, Bhaskara dan Nirmala bertemu dengan Vira lagi. Kali ini, mereka sedang menyusun rencana yang lebih berani yaitu memanfaatkan bukti-bukti sementara untuk menjebak Aditama dan memancingnya ke langkah berikutnya.“Aku telah menelusuri lebih dalam,” ujar Vira sambil membuka laptopnya. Ia lantas memutarkan laptopnya membuat Nirmala juga Bhaskara mampu melihat isinya. “Ada jaringan transaksi gelap yang melibatkan Aditama, PT Laksana Bhumi, dan sebuah perusahaan cangkang di luar negeri. Tapi ini hanya pucuk dari keseluruhan jaringan.”Nirmala dan Bhaskara melihat secara saksama.“Berapa banyak waktu yang kita punya sebelum mereka menyadari kita sudah menemukan ini?” tanya Bhaskara.Sejenak wanita berambut panjang itu menganalisa. “Tidak lama,” jawab Vira. “Tapi kita bisa memanfaatkan waktu ini untuk melancarkan serangan kecil.”“Serangan kecil seperti apa?” tanya Nirmala yang sedari tadi memilih bungkam.Vira tersenyum tipis. “