"Sepertinya hubungan mereka mulai renggang, Nyonya. Tadi saya melihat sendiri respon Baladewa yang dingin dan mengacuhkan OG itu."" .... ""Baik, Nyonya, saya akan mengawasi dan berusaha membuat mereka berpisah."Sambungan telepon di tutup sepihak. Aditama menarik napas panjang menatap ponselnya nanar."Apa yang ayah lakukan? Ayah mengawasi Baladewa?"Pria itu tersentak memdengar sebuah suara dari ambang pintu. Ia segera menyorot tajam anaknya yang tanpa izin menguping pembicaraannya."Kau ... tidak sopan!"Viola memutar bola matanya malas kemudian bersedekap dada. "Bukankah itu tadi Oma Helena?" tanyanya tak terusik dengan amarah ayahnya.Lagi-lagi ayahnya itu menghela napas berat. Ia tertunduk kemudian mengacak rambutnya. "Jangan ikut campur, Viola, ayah tak yakin kau bisa menerima konsekuensinya," sahut Adi dengan suara rendah."Kalau kubilang aku telah mencintai Baladewa apa ayah masih melarangku?" Pertanyaan Viola itu membuat Adi tersentak. Ia menatap anaknya penuh arti. "Aku
Sebuah mobil van hitam melaju kencang di jalanan raya. Mobil itu tampak tergesa menyusuri jalanan yang ramai kendaraan. Seorang pria di dalamnya mengemudikan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajahnya menegang dengan cengkeraman erat pada kemudinya.Tersirat sorot mata kekecewaan dan amarah yang menjadi satu. Laju mobilnya terhenti ketika di hadapannya ada kemacetan panjang yang menghalanginya untuk berjalan.Brakk!Pria itu memukul kemudinya tanpa ampun."Sialan!" geramnya dengan gemeretuk gigi berusaha menekan amarahnya yang menggebu. Satu tangannya merogoh saku jaketnya mengambil kertas kecil yang tersimpan di dalamnya."Nirmala, kenapa kau tega membohongiku!" serunya marah ia meremas kartu nama yang ia pegang.Tak berselang lama, bahu pria itu terlihat tergetar hebat. Kepalanya tertunduk dalam. Matanya tak bisa berbohong, sekalipun ada amarah di dalamnya, air matanya meluruh mencoba menyembuhkan kekecewaan yang tak akan mungkin menghilang. Lelaki itu menangis, menangisi takd
"Baladewa tunggu!" Langkah kecilnya kewalahan mengejar langkah lebar kekasihnya. Saking tergesanya ia mengejar, sesekali hampir tergelincir akibat bebatuan di bawah alas kakinya. Meski begitu ia tak gentar untuk terus mengejar."Baladewa tolong dengarkan aku dulu!!" teriaknya lagi dengan selingan isakan tangis. Seiring langkahnya bergerak, satu persatu air mata jatuh dari pelupuk matanya. Sayangnya pria yang berjalan cepat di depannya tak menggubris. Ia justru semakin mempercepat langkahnya menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempatnya kini.Rahang tegasnya nampak menonjol dengan bibir yang terkatup rapat. Matanya yang kelam menyorot penuh amarah dengan telinga yang berusaha ia buat tuli. Ceklek Tangan besarnya membuka pintu mobil dengan cepat kemudian membantingnya dengan keras.Tok ... tok ...Baru juga pintunya tertutup, dari jendela luar terdapat seorang wanita yang mengetuknya. "Baladewa! Tunggu!" teriaknya berharap suaranya dapat didengar Baladewa Seorang wanita m
Seorang wanita terduduk di bangku pasien dalam keadaan tertunduk. Tatapannya kosong namun pikirannya tengah berkecambuk. Dadanya bergemuruh begitu bayang-bayang kekasihnya mulai melintasi pikirannya.Tatapan kelam itu,Sorot amarah,Dan kebencian.Sesak, dadanya sesak hingga berusaha ia redam dengan pukulan kecil. Dadanya naik turun mencari pasokan oksigen yang semakin menurun dalam paru-parunya.Air matanya mulai meluruh membasahi pipi tirusnya. Semakin deras ketika ingatannya berputar pada kejadian siang tadi."Nirmala."Panggilan itu membuat Nirmala segera mengubah arah duduknya, membelakangi pria paruh baya untuk menutupi kesedihannya."Pulanglah saja, Nirmala," ucap Surya ikut duduk di sebelah Nirmala yang sibuk mengusapi air matanya. Meski berusaha ditutupi, Surya tahu gadis itu tengah terguncang. Setelah memastikan wajahnya segar kembali, Nirmala duduk lurus menghadap tembok kemudian menoleh ke arah Surya dengan tersenyum paksa."Tidak apa, Om. Saya yang tadi membuat Bhaskara
Setelah berjam-jam mengurung diri, kini pintu kamar Nirmala terbuka. Hari itu yang telah menujukkan pukul 2 pagi membuat situasi sunyi.Tadi usai ia menangis hingga kelelahan, tanpa sadar Nirmala tertidur di lantai dan bangun-bangun ia merasa haus dan lapar.Ketika ia baru menginjakkan selangkah keluar kamar, ia dikejutkan dengan tubuh mungil seorang gadis yang bersandar di tembok. Nirmala menatap nanar Ganesha yang rupanya sedari sore tadi menungguinya di depan pintu. Hatinya teriris perih menyadari betapa kejamnya ia membiarkan adiknya tidur dengan keadaan seperti ini.Nirmala menarik napas panjang-panjang menahan air mata yang sebentar lagi menetes. Ia merasa sudah cukup merepotkan adiknya, ia tak ingin semakin larut dalam kesedihan hingga membuatnya dalam kungkungan rasa bersalah.Dengan tenaga yang tersisa, Nirmala menggendong tubuh Ganesha. Untung saja ia terbiasa mengangkat benda berat sehingga tak begitu kesulitan menggendong Ganesha untuk ditidurkan di kamarnya.Setelah memas
Ganesha menatap sedih sepiring nasi goreng dengan toping telur ceplok di atasnya. Pagi tadi ketika ia terbangun, ia terkejut ketika terbangun di kamarnya padahal seingatnya semalam ia sedang menunggui kakaknya. Ia bergegas bangkit mencari keberadaan kakaknya, ia yakin orang yang memindahkannya ke kamar adalah kakaknya.Sayangnya ketika ia cari kamar kakaknya telah terbuka dan tidak ada seorang pun di sana. Bahkam seragam kakaknya yang tergantung di belakang pintu pun telah raib. Menyadari kakaknya telah berangkat kerja, Anes hanya bisa berdoa semoga kakaknya benar-benar telah baik-baik saja. Kemudian saat Anes telah bersiap untuk berangkat sekolah, ia melihat sepiring nasi goreng di meja makan dan juga telur ceplok bikinannya malam itu. "Kenapa kakak tidak memakannya? Kenapa malah menyiapkan sarapan untukku?" gumam gadis itu sendu. Ia menjadi khawatir mengingat hari ini kakaknya bekerja dengan perut kosong sedangkan semalam kakaknya juga belum sempat mengisi perut.Akhirnya dengan b
Brakkk!Pintu yang terbuat dari kayu itu bergerak terbuka seiring tenaga besar Bhaskara merobohkannya."KAKAK?!" Anes berteriak kencang melihat kondisi kakaknya di dalam kamar. Di tengah kegelapan kamar Nirmala kala itu, ia terbaring meringkuk dengan kondisi lemas. Di sebelahnya ada sebuah gelas yany telah pecah tak beraturan."Aku bersalah. Ini semua karena aku. Aku pembawa sial," gumam Nirmala kecil sekali hampir mirip seperti bisikan.Bhaskara mencari letak saklar lampu agar dengan mudah bisa bergerak dikegelapan. Clap!Seketika itu juga kondisi kamar Nirmala yang berantakan segera terlihat. Terlihat juga ada bercak darah diubin kamar."Kakak apa yang kau lakukan?!" seru Anes bergegas mendekati kakaknya.Bhaskara terlebih dahulu menyingkirkan pecahan beling yang berserakan. Ia khawati Nirmala maupun Anes akan terluka nantinya."Kakak, hiks!" Anes segera membangunkan kakaknya dan memeluknya erat. Tangisnya sudah tak terbendung lagi melihat kondisi sang kakak yang jauh dari kata
"Kemana lagi aku harus mencari pekerjaan?" Wanita berpakaian kemeja itu mengusap peluh pada wajahnya. Dengan sebelah tangannya memegang sebuah map, ia terlihat duduk kelelahan. Sudah lebih dari setengah hari ia berkeliling untuk mencari pekerjaan, namun tak satupun mau menerimanya. Padahal ia rela melalukan pekerjaan apa saja asalkan halal. Ia menghela napas berat. Lukanya belum sembuh tapi ia terpaksa harus berjuang kembali. Seperti ucapan ibunya dahulu, sekuat apapun masalah menerpa, jangan melupakan kehidupan yang berjalan tanpa jeda. Kita tidak bisa hanya terus terpaku pada luka, jika ingin menyembuhkannya. Kita perlu bangkit untuk melawan rasa sakit agar bisa beranjak dari kehidupan pahit. Wanita itu kembali bangkit, mencoba terus mencari gedung mana yang belum ia singgapi. Di ujung jalan kini hanya tersisah dua gedung. Yang satu sebuah kafe dan satunya lagi merupakan restoran cepat saji. "Semoga kali ini nasib bersahabat." Meskipun bayang-bayang penolakan masih menghantuin