"Baladewa tunggu!" Langkah kecilnya kewalahan mengejar langkah lebar kekasihnya. Saking tergesanya ia mengejar, sesekali hampir tergelincir akibat bebatuan di bawah alas kakinya. Meski begitu ia tak gentar untuk terus mengejar."Baladewa tolong dengarkan aku dulu!!" teriaknya lagi dengan selingan isakan tangis. Seiring langkahnya bergerak, satu persatu air mata jatuh dari pelupuk matanya. Sayangnya pria yang berjalan cepat di depannya tak menggubris. Ia justru semakin mempercepat langkahnya menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempatnya kini.Rahang tegasnya nampak menonjol dengan bibir yang terkatup rapat. Matanya yang kelam menyorot penuh amarah dengan telinga yang berusaha ia buat tuli. Ceklek Tangan besarnya membuka pintu mobil dengan cepat kemudian membantingnya dengan keras.Tok ... tok ...Baru juga pintunya tertutup, dari jendela luar terdapat seorang wanita yang mengetuknya. "Baladewa! Tunggu!" teriaknya berharap suaranya dapat didengar Baladewa Seorang wanita m
Seorang wanita terduduk di bangku pasien dalam keadaan tertunduk. Tatapannya kosong namun pikirannya tengah berkecambuk. Dadanya bergemuruh begitu bayang-bayang kekasihnya mulai melintasi pikirannya.Tatapan kelam itu,Sorot amarah,Dan kebencian.Sesak, dadanya sesak hingga berusaha ia redam dengan pukulan kecil. Dadanya naik turun mencari pasokan oksigen yang semakin menurun dalam paru-parunya.Air matanya mulai meluruh membasahi pipi tirusnya. Semakin deras ketika ingatannya berputar pada kejadian siang tadi."Nirmala."Panggilan itu membuat Nirmala segera mengubah arah duduknya, membelakangi pria paruh baya untuk menutupi kesedihannya."Pulanglah saja, Nirmala," ucap Surya ikut duduk di sebelah Nirmala yang sibuk mengusapi air matanya. Meski berusaha ditutupi, Surya tahu gadis itu tengah terguncang. Setelah memastikan wajahnya segar kembali, Nirmala duduk lurus menghadap tembok kemudian menoleh ke arah Surya dengan tersenyum paksa."Tidak apa, Om. Saya yang tadi membuat Bhaskara
Setelah berjam-jam mengurung diri, kini pintu kamar Nirmala terbuka. Hari itu yang telah menujukkan pukul 2 pagi membuat situasi sunyi.Tadi usai ia menangis hingga kelelahan, tanpa sadar Nirmala tertidur di lantai dan bangun-bangun ia merasa haus dan lapar.Ketika ia baru menginjakkan selangkah keluar kamar, ia dikejutkan dengan tubuh mungil seorang gadis yang bersandar di tembok. Nirmala menatap nanar Ganesha yang rupanya sedari sore tadi menungguinya di depan pintu. Hatinya teriris perih menyadari betapa kejamnya ia membiarkan adiknya tidur dengan keadaan seperti ini.Nirmala menarik napas panjang-panjang menahan air mata yang sebentar lagi menetes. Ia merasa sudah cukup merepotkan adiknya, ia tak ingin semakin larut dalam kesedihan hingga membuatnya dalam kungkungan rasa bersalah.Dengan tenaga yang tersisa, Nirmala menggendong tubuh Ganesha. Untung saja ia terbiasa mengangkat benda berat sehingga tak begitu kesulitan menggendong Ganesha untuk ditidurkan di kamarnya.Setelah memas
Ganesha menatap sedih sepiring nasi goreng dengan toping telur ceplok di atasnya. Pagi tadi ketika ia terbangun, ia terkejut ketika terbangun di kamarnya padahal seingatnya semalam ia sedang menunggui kakaknya. Ia bergegas bangkit mencari keberadaan kakaknya, ia yakin orang yang memindahkannya ke kamar adalah kakaknya.Sayangnya ketika ia cari kamar kakaknya telah terbuka dan tidak ada seorang pun di sana. Bahkam seragam kakaknya yang tergantung di belakang pintu pun telah raib. Menyadari kakaknya telah berangkat kerja, Anes hanya bisa berdoa semoga kakaknya benar-benar telah baik-baik saja. Kemudian saat Anes telah bersiap untuk berangkat sekolah, ia melihat sepiring nasi goreng di meja makan dan juga telur ceplok bikinannya malam itu. "Kenapa kakak tidak memakannya? Kenapa malah menyiapkan sarapan untukku?" gumam gadis itu sendu. Ia menjadi khawatir mengingat hari ini kakaknya bekerja dengan perut kosong sedangkan semalam kakaknya juga belum sempat mengisi perut.Akhirnya dengan b
Brakkk!Pintu yang terbuat dari kayu itu bergerak terbuka seiring tenaga besar Bhaskara merobohkannya."KAKAK?!" Anes berteriak kencang melihat kondisi kakaknya di dalam kamar. Di tengah kegelapan kamar Nirmala kala itu, ia terbaring meringkuk dengan kondisi lemas. Di sebelahnya ada sebuah gelas yany telah pecah tak beraturan."Aku bersalah. Ini semua karena aku. Aku pembawa sial," gumam Nirmala kecil sekali hampir mirip seperti bisikan.Bhaskara mencari letak saklar lampu agar dengan mudah bisa bergerak dikegelapan. Clap!Seketika itu juga kondisi kamar Nirmala yang berantakan segera terlihat. Terlihat juga ada bercak darah diubin kamar."Kakak apa yang kau lakukan?!" seru Anes bergegas mendekati kakaknya.Bhaskara terlebih dahulu menyingkirkan pecahan beling yang berserakan. Ia khawati Nirmala maupun Anes akan terluka nantinya."Kakak, hiks!" Anes segera membangunkan kakaknya dan memeluknya erat. Tangisnya sudah tak terbendung lagi melihat kondisi sang kakak yang jauh dari kata
"Kemana lagi aku harus mencari pekerjaan?" Wanita berpakaian kemeja itu mengusap peluh pada wajahnya. Dengan sebelah tangannya memegang sebuah map, ia terlihat duduk kelelahan. Sudah lebih dari setengah hari ia berkeliling untuk mencari pekerjaan, namun tak satupun mau menerimanya. Padahal ia rela melalukan pekerjaan apa saja asalkan halal. Ia menghela napas berat. Lukanya belum sembuh tapi ia terpaksa harus berjuang kembali. Seperti ucapan ibunya dahulu, sekuat apapun masalah menerpa, jangan melupakan kehidupan yang berjalan tanpa jeda. Kita tidak bisa hanya terus terpaku pada luka, jika ingin menyembuhkannya. Kita perlu bangkit untuk melawan rasa sakit agar bisa beranjak dari kehidupan pahit. Wanita itu kembali bangkit, mencoba terus mencari gedung mana yang belum ia singgapi. Di ujung jalan kini hanya tersisah dua gedung. Yang satu sebuah kafe dan satunya lagi merupakan restoran cepat saji. "Semoga kali ini nasib bersahabat." Meskipun bayang-bayang penolakan masih menghantuin
Batin Nirmala kembali terguncang. Kenyataan pahit kehidupannya yang berusaha dihancurkan membuatnya begitu terpuruk.Belum usai sakit hatinya akibat patah hati, kini harus diterpa masalah yang lebih buruk. Prospek kerja dan haknya sebagai pekerja dicabut paksa oleh keluarga mantan kekasihnya. Betapa remuknya hati Nirmala hingga menangis pun rasanya tak berguna.Ia berjalan dengan tatapan kosong seperti orang yang telah hilang kewarasan. Belum juga bangkit, ia masih tertatih menata langkahnya yang masih sulit. Kini ia dibuat babak belur dan dipaksa jatuh tersungkur. Sungguh ia tak menyangka dampaknya akan separah ini. Harapan yang semula tumbuh kini terpaksa pupus.Langkah Nirmala terhenti, ia tak sanggup lagi melarikan diri. "Jika aku mati, apakah kesengsaraan ini akan berhenti? Haruskah .... "Namun pemikiran buruk itu seketika terhenti ketika seorang lelaki hadir di hadapannya. "Terserah jika kau memandangku sebagai tokoh antagonis. Tapi di sini kaulah yang serakah. Kau yang tega m
Langkah Nirmala terhenti di depan sebuah gerbang berwarna hitam. Dapat ia lihat dari celah pagar sebuah rumah besar dan luas di dalamnya. Yap, kini ia berada di kediaman keluarga Wahyatma.Dengan sedikit gugup ia menekan bel rumah mewah itu. Tampilan bel rumah pun tidak sesederhana biasanya. Tepat dipinggir gerbang ada sebuah benda persegi berwarna hitam dengan bawahnya terdapat tombol bel. Tak beberapa lama usai bel tersebut di tekan, terdengar sebuah suara lelaki dari kotak persegi itu."Dengan siapa? Dan ada keperluan apa?"Nirmala yang menyadari itu adalah suara satpam pun segera mengerti rupanya bel tersambung ke pos keamanan bukan langsung ke rumah."Saya ingin bertemu Baladewa, Pak. Apakah ada?"Gerbang hitam itu pun terbuka dan nampak seorang satpam keluar dari sana. "Apakah Tuan Baladewa mengenali anda?" Dengan sedikit kaku Nirmala mengangguk. Setelah itu sang satpan terlihat menelpon seseorang. "Nama anda siapa?"Nirmala menegang. Ketika mengaku bernama Nirmala, ia tak
Malam itu, Bhaskara duduk sendirian di kamarnya, menatap ponsel yang tergeletak di meja. Pandangannya kosong, tetapi sorot matanya menunjukkan hatinya tengah penuh kegelisahan. Kegelisahannya bukan tanpa alasan, iatelah mengirimkan pesan demi pesan kepada Nirmala, tetapi tak satu pun yang mendapat balasan.Pikirannya terus melayang ke arah percakapan terakhir mereka, ketika Nirmala, dengan nada lelah dan penuh tekanan, mengatakan bahwa dia butuh waktu untuk sendiri. Bhaskara tahu betul bahwa semuanya bukan karena cinta mereka memudar, melainkan karena tekanan yang mereka hadapi selama berbulan-bulan terakhir ini—dari skandal Aditama, ditambah dengan dirinya harus menstabilkan kembali keadaan perusahaan, hingga beban tanggung jawab yang tak pernah surut.“Apa aku terlalu menekannya?” gumam Bhaskara, menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya.Ponselnya bergetar, tetapi hanya notifikasi pesan otomatis dari operator. Tidak ada pesan dari Nirmala. Tidak ada kabar sama sekali.Bhaskara men
Hari itu tibalah waktunya untuk rapat dewan pemegang saham di Rajya Corp. Suasana dalam rapat itu berlangsung tegang. Aditama duduk di kursinya dengan senyum penuh kemenangan, sementara Nirmala, Bhaskara, dan kini hadir pula Surya berdiri di depan ruangan.“Baiklah,” ujar Aditama dengan nada sinis. “Anda mengatakan memiliki sesuatu yang ingin disampaikan kepada dewan, Pak Surya?”Surya menatap Aditama dengan dingin. “Aku tahu apa yang kau lakukan selama ini, Aditama. Dan aku di sini untuk memastikan semua orang tahu.”Nirmala melangkah maju, meletakkan dokumen di meja dewan. “Ini adalah bukti bahwa Aditama telah memanipulasi proyek Narpati dan menggunakan dana perusahaan untuk keuntungan pribadinya.”Para pemegang saham mulai bergumam, suasana ruangan menjadi semakin gaduh.Aditama tetap tenang. “Bukti ini tidak cukup untuk menjatuhkanku. Kalian tidak punya saksi yang dapat mendukung klaim kalian.”Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka, dan seorang pria masuk dengan langkah mantap. Semua o
Di sebuah ruangan yang remang-remang, Aditama duduk di belakang meja besar dengan segelas anggur di tangannya. Senyumnya dingin, menandakan keyakinannya bahwa permainan ini hampir mencapai puncaknya. Di hadapannya, beberapa dokumen berserakan, sementara layar komputer menampilkan data-data rahasia dari Rajya Corp. “Apa laporan terakhir?” tanya Aditama kepada Arya, yang berdiri di sudut ruangan. Arya, dengan raut wajah serius, mendekat dan menyerahkan sebuah map berisi laporan terkini. “Surya telah kembali bersama Nirmala. Mereka pasti sedang menyusun langkah untuk melawan kita.” Aditama membaca laporan itu dengan seksama, lalu menutup map tersebut dengan keras. “Kita tidak bisa membiarkan mereka mendapatkan kendali atas informasi ini. Waktunya memutar balikkan fakta.” “Bagaimana caranya?” tanya Arya dengan hati-hati. Aditama mengangkat salah satu dokumen dari meja, lalu melemparkannya ke arah Arya. “Kita buat mereka terlihat seperti dalang di balik kehancuran proyek Narpati. Publ
Malam itu, hujan turun deras, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Mobil yang dikendarai Bhaskara melaju di jalanan gelap menuju lokasi yang tertera dalam email misterius. Di dalam mobil, Nirmala duduk di kursi penumpang, sesekali menatap layar ponselnya dengan gelisah. “Ini pasti jebakan,” kata Bhaskara, memecah keheningan. Tangannya mencengkeram setir mobil erat-erat. “Aku tahu,” balas Nirmala tanpa menoleh. Ia mendesah pelan berusaha meredakan dadanya yng berdegup cepat. “Tapi kita tidak punya pilihan lain. Jika Om Surya benar-benar ada di sana, kita harus mencarinya.” Vira yang sedari tadi duduk di kursi belakang, menambahkan, “ya memang, kita harus tetap waspada. Aditama bukan orang yang akan menyerah begitu saja.” Tak butuh waktu lama, mereka akhirnya tiba di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Bangunan itu tampak usang, dengan pintu besi besar yang hampir sepenuhnya tertutup karat. Bhaskara mematikan mesin mobil dan memandang gedung itu dengan ragu. “Seberapa yakin
Pagi yang tegang menyelimuti Rajya Corp. Di ruang rapat utama, Nirmala duduk sendirian, memandang kursi kosong di seberangnya. Pikirannya berputar, membayangkan segala kemungkinan yang akan terjadi. “Dia akan datang,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Sebenarnya ia masih menyimpan keraguan ketika menjalankan strategi ini, namun jika Aditama tidak dipancing, ia tak dapat memiliki bukti kuat. Jadi ini lah waktunya, ia harus yakin usahanya akam berhasil. Beberapa menit kemudian, pintu ruang rapat terbuka, dan Aditama masuk dengan langkah mantap. Wajahnya memancarkan kepercayaan diri yang tinggi. Wajah penuh wibawanya itu menampakkan senyuman miring. “Kau benar-benar berani mengundangku, Nirmala,” ucapnya sambil mengambil tempat di seberang meja. “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” Tak ingin terintimidasi, Nirmala menatapnya dengan penuh tekad. “Aku ingin tahu di mana kau menyembunyikan Pak Surya.” Aditama tersenyum tipis, seolah menikmati momen itu. “Surya? Aku
Vira masuk dengan ekspresi serius, membawa dokumen yang baru saja ia periksa.“Kita punya bukti kuat,” katanya. “Namun, untuk menjatuhkan Aditama, kita butuh lebih dari ini. Dia punya banyak pengaruh di luar sana.”Bhaskara mengangguk. “Kita harus memastikan bahwa semua bukti ini dipublikasikan secara luas. Tidak ada jalan keluar baginya.”“Tapi bagaimana dengan Om Surya?” tanya Nirmala. “Aku merasa dia tahu lebih banyak daripada yang ia ceritakan. Dan aku tidak bisa mengabaikan keterlibatan ayahku dalam semua ini.”Vira menghela napas. “Kita memang membutuhka Surya untuk bersuara. Jika dia tidak berbicara, permainan ini tidak akan pernah berakhir.”"Tapi di mana ayahku. Aku juga tak tahu sekarang dia ada dimana," ujar Bhaskara frustrasi."Kita harus menemukan ayahmu, Bhaskara," tandas Nirmala tak terbantahkan.***Langit malam tampak kelabu, seolah menandakan sesuatu yang buruk sedang terjadi. Bhaskara duduk di ruang tamu apartemen dengan wajah tegang, matanya terus menatap layar po
Nirmala dan Bhaskara saling bertukar pandang tanpa sadar menahan napas saat langkah kaki Aditama semakin mendekat. Suara pintu besi yang terbuka sepenuhnya bergema di ruangan kecil itu. Cahaya lampu senter menyapu dinding, nyaris mengenai tempat mereka bersembunyi.“Aku tahu kalian ada di sini,” ujar Aditama dengan nada rendah, tetapi penuh ancaman. “Kalian pikir bisa menggali masa lalu tanpa konsekuensi?”Pria yang bersama Aditama menyisir ruangan dengan cermat. Sementara itu, Nirmala menggenggam tangan Bhaskara erat-erat, berharap keheningan mereka cukup untuk menghindari deteksi.“Apa kalian ini ingin menjadi anak kecil? Aku tidak suka bermain petak umpet,” lanjut Aditama. “Tapi aku juga tidak keberatan. Semakin lama kalian bersembunyi, semakin aku menikmati permainan ini.”Nirmala menatap Bhaskara, memberikan isyarat agar mereka bersiap. Namun, sebelum mereka sempat bergerak, pria yang bersama Aditama berbicara.“Pak, ada dokumen di sini. Sepertinya mereka sudah menemukannya.”Adi
Nirmala dan Bhaskara berdiri di tengah ruang kerja Surya yang berantakan. Dokumen-dokumen berserakan di lantai, kursi terbalik, dan tanda-tanda mencurigakan terlihat jelas.“Dia tidak mungkin pergi begitu saja meninggalkan ruangannya seberantakan ini,” lirih Bhaskara, matanya penuh kekhawatiran.Nirmala memungut sebuah dokumen dari lantai, lalu menatap surat Rajendra yang tertinggal di meja. Sesuatu terasa tidak beres.“Kita harus menemukannya, Bhaskara,” kata Nirmala, suaranya gemetar. “Kepergian Om Surya dalam keadaan seperti ini, ditakutkan karena ulah seseorang. Kau tahu kan Aditama orangnya nekat, dia bisa saja merencanakan penculikan ayahmu untuk menggagalkan rencana kita.”Bhaskara nampak termagu sejenak. “Aku akan menghubungi orang-orang kepercayaan Ayahku. Mungkin mereka tahu di mana dia berada.”Namun, jauh di dalam hati, Bhaskara merasa cemas. Jika benar Surya telah diculik, maka ini bukan lagi sekadar permainan kekuasaan. Ini adalah perang total.***Keesokan harinya, Nirm
Di tengah malam, di sebuah kafe kecil yang sepi di pinggir kota, Bhaskara dan Nirmala bertemu dengan Vira lagi. Kali ini, mereka sedang menyusun rencana yang lebih berani yaitu memanfaatkan bukti-bukti sementara untuk menjebak Aditama dan memancingnya ke langkah berikutnya.“Aku telah menelusuri lebih dalam,” ujar Vira sambil membuka laptopnya. Ia lantas memutarkan laptopnya membuat Nirmala juga Bhaskara mampu melihat isinya. “Ada jaringan transaksi gelap yang melibatkan Aditama, PT Laksana Bhumi, dan sebuah perusahaan cangkang di luar negeri. Tapi ini hanya pucuk dari keseluruhan jaringan.”Nirmala dan Bhaskara melihat secara saksama.“Berapa banyak waktu yang kita punya sebelum mereka menyadari kita sudah menemukan ini?” tanya Bhaskara.Sejenak wanita berambut panjang itu menganalisa. “Tidak lama,” jawab Vira. “Tapi kita bisa memanfaatkan waktu ini untuk melancarkan serangan kecil.”“Serangan kecil seperti apa?” tanya Nirmala yang sedari tadi memilih bungkam.Vira tersenyum tipis. “