Pagi itu mentari bersinar begitu cerah, langit yang membentang luas pun nampak bersih tanpa awan. Cuaca yang mendukung untuk berlibur atau sekadar berpergian. "Anes cepat kemari bawa bantal gulingmu yang basah." Seorang wanita dewasa tengah kerepotan memindahkan sebuah kasur tipis menuju depan rumahnya. Di depan rumah yang bisa dikatakan kecil itu terdapat sebuah tangga bambu yang sengaja digeletakkan di tanah. Tangga bambu itu dimaksudkan untuk dijadikan alas menjemur kasur yang ia bawa. "Nih, Kak. Untung aja selimutnya aman jadi nggak begitu kerepotan untuk menjemur," ujar seorang gadis kecil yang keluar dari rumahnya menentang satu bantal dan sebuah guling. Nirmala yang telah selesai merebahkan kasur pada tangga, segera menerima bantal dan guling milik Anes. "Iya, berdoa aja seharian ini panas jadi bisa kering kasur kamu ya." Agnes mengangguk patuh. "Nanti malem kalau masih hujan tidur dikamar kakak aja, gak papa ya? Soalnya gentengnya masih bocor takutnya basah la
"Sial! Aaaa udah jam 7 lewat aduh gimana nih." Wanita berseragam OG itu berlari tunggang langgang memasuki tempatnya bekerja. Semalam ia tidur terlalu larut sehingga ia dengan bodohnya bangun kesiangan. Raut kekhawatiran nampak begitu kentara. Namun ketika ia melihat rekannya, dengan langkah kilat ia melipir. "Keli, Pak Teti udah dateng?" Keli menoleh dan menatap Nirmala dari ujung kaki hingga ujung rambut. Wajahnya terlihat tidak mengenakan membuat Nirmala berpikir macam-macam. "Kau beruntung, Nirmala. Pak Teti katanya berangkat telat. Udah sana cepet ambil alatmu!" Nirmala menarik napas panjang. "Oke, bagus." Ia segera kembali berlarian menuju basecamp alias ruangan loker. Baru juga Nirmala hendak menuju lorong belakang, tiba-tiba sebuah suara yang tak pernah ia duga terdengar. "Hey! Apa kau telat lagi, Nirmala?" Langkah nirmala terhenti, kemudian menoleh kaku. Ia tak tahu harus bagaimana sekarang, padahal baru kemarin ia lolos dari pemecatan. Apakah hari ini wa
"Hey kau petugas kebersihan! Bisakah kau mematikan ponselmu, deringnya membuat kepalaku serasa pecah!" omel seorang resepsionis yang terganggu oleh suara ponsel Nirmala yang tak hentinya berdering. Nirmala yang sengaja mengabaikan telepon masuk dan fokus pada pekerjaannya menjadi tak enak. Ia tak menyangka dering ponselnya ternyata terdengar hingga resepsionis. "Oh, maafkan saya." Dengan segera ia matikan ponsel majapahitnya itu. Ia mendengus kesal melanjutkan aktivitas mengelap jendela. Belum juga sehari ia memiliki seorang kekasih, sudah merasa kerepotan. Nirmala nyaris terjungkal saat sedang membersihkan jendela kaca, tiba-tiba ada sebuah wajah yang muncul dari dalam ruangan. Ia nyaris lupa bagaimana cara bernapas saking terkejutnya melihat wajah Baladewa yang terpampang di sana. "Astaga!" pekiknya sembari mengelus dada. Ia mendelik garang pada atasannya itu. Ingin sekali ia memarahinya, namun situasi sedang tidak tepat. Nirmala lantas bergeser berusaha terlihat tak tergan
Bayangan pria dengan balutan kemeja casual menambah daya tariknya terpantul dari cermin besar. Karismanya semakin terpancar dengan gaya rambutnya yang lebih tertata. Senyuman yang tak luntur pada wajahnya juga membuat wajah rupawannya tak bosan dipandang. Lengan panjangnya meraih sebuah kotak berudu berwarna maroon ya g tersimpan di laci meja. Ia membuka, memastikan isiannya masih utuh di tempat. "Kuharap Nirmala menyukai ini," gumamnya mengusap bandul berlian yang tergantung di tali kalung perak terlihat berkilauan. Hari ini genap tiga bulan hubungannya bersama Nirmala terjalin. Selama tiga bulan ini mereka menikmati masa-masa indah, menikmati tiap momen bersama membuat benih cinta mereka mulai berkembang menjadi bunga yang indah. Meskipun tak jarang mereka berselisih paham, semua dapat diselesaikan dengan baik. Termasuk merahasikan hubungan mereka, selama tiga bulan ini berjalan mulus. Baladewa meraih ponselnya kemudian menelpon nomor kontak bernama Nirmala yang diakhiri ga
Nirmala membuka pintu dengan segera ketika pria itu menyatakan memiliki hubungan dengan Rajendra, ayahnya. Nama Rajendra seperti memiliki daya magis tersendiri bagi sosok Nirmala."Tangan kanan ayah kau bilang?" tanya Nirmala menatap tak percaya. Pria paruh baya bernama Surya itu mengangguk yakin. "Kau adalah Nirmala Hapsari, apa betul?" Wajah Nirmala masih menyiratkan keterkejutan juga kebahagiaan. Selama ini tak ada seorangpun teman ayahnya yang mengunjungi rumahnya bahkan saat ayah dan ibunya wafat pun tak ada seorang pun teman ayahnya yang melayat."Apa yang kau inginkan? Mengapa kau baru mengunjungi rumah ayahku sekarang?" tanya Nirmala muram. Mengingat ingatan betapa sepinya pelayat kala itu membuat hatinya perih. Ia tahu betul ayahnya sosok yang baik dan senang menolong teman-temannya, namun kala itu tak seorang pun yang dahulu dibantu olehnya datang untuk berbelasungkawa.Surya menduduk sesal. "Maaf aku baru sempat berkunjung ke rumah ini. Aku memiliki alasan yang tidak bisa
"Kau ini hanya anak kemarin sore, Baladewa. Kau tak mengerti apapun persaingan dalam dunia bisnis. Oma yakin Nirmala menggodamu hingga membuatmu jatuh hati kepadanya tak lebih karena ingin memperdayamu!"Merasa direndahkan juga tersinggung karena kekasihnya yang dituduh tidak-tidak, Baladewa berbalik marah. "Oma gak boleh menuduh orang sembarangan. Baladewa lebih tahu dari siapapun, siapa dan bagaimana sosok Nirmala itu!" ujarnya tegas.Raja yang melihat perdebatan sengit antara anak dan ibunya, bergagas melerai."CUKUP! Kita bicarakan baik-baik. Oma sampai menuduhkan hal itu pasti punya bukti yang akurat, kan?" "Tentu, Aditama yang selama ini telah menyelidiki," sambar Helena tak ingin kalah.Baladewa memberenggut kesal. "Mana buktinya. Katakan kepadaku.""Aditama ... " panggil Raja membuat anak buahnya itu mendongak. "Jelaskan!"Aditama yang merasa bertanggung jawab atas pecahnya pertengkaran ini pun seger menjelaskan."Sebelumnya maafkan saya yang bekerja sama dengan Oma Helena t
Di tengah kegelapan pagi itu, terlihat seorang wanita terduduk di depan pintu. Ia nampak terdiam seolah sengaja menjelma sebagai patung di kegelapan.Ceklek Pintu segera terbuka menampakkan seorang gadis belia yang telah mengenakan seragam putih birunya. Saat ia hendak mengambil kaus kaki, ia dikejutkan dengan tubuh seseorang di depannya."ASTAGA KAKAK! Apa yang kakak lakukan di sini? Kenapa belum berangkat kerja?" pekiknya terkejut melihat kakaknya duduk terdiam.Nirmala menoleh dengan raut datarnya. Ia terlihat menatap kosong kepada adiknya. "Entahlah, Nes. Kakak kayaknya nggak sanggup berangkat kerja hari ini.""HAH?! Kakak sakit?"Perkataan ambigu kakaknya itu membuat Anes khawatir. Pasalnya kemarin bahkan semalam ia melihat kakaknya sehat-sehat saja walaupun terkadang terlihat tak fokus.Nirmala kembali menatap lurus tanpa menjawab. Lama ia termagu menatap langit hitam di atasnya. Hingga helaan napas membuat Anes menatap khawatir."Kakak gak punya muka dihadapan Kak Baladewa la
"Untuk apa meminta maaf jika kau masih memandangku sebagai tuanmu, bukan kekasihmu?"Nirmala segera terdiam tak percay. Ia menatap kekasihnya meminta penjelasan."Tanpa kau sadari, selama ini masih ada penghalangan di antara kita. Kau tidak merasa, ya?" Baladewa terkekeh sedih. "Bagi seorang kekasih tak seharusnya memandang nominal pada hadiah yang diberikan. Terlebih merasa sungkan menerima sesuatu yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari."Wanita itu masih tertunduk menyesal. Jawaban itu mampu menohok hatinya yang terdalam. Selama ini ia mengira semua baik-baik saja, namun ternyata itu hanya kelihatannya saja."Salahku sendiri yang kurang bisa membuatmu nyaman.""TIDAK! Selama ini kamu telah membuatku nyaman hingga aku tak tahan didiamkan olehmu barang sejenak," sergah Nirmala cepat. "Sepertinya apa yang kau katakan benar adanya. Selama ini aku masih denial hingga tanpa sadar memperlakukanmu sebagai tuanku bukan kekasihku."Tangan Nirmala terulur menyentuh punggung tangan Baladewa. "U