Beranda / CEO / Office Girl yang Dihina Ternyata Kaya Raya / Bab 4: Satu-Satunya Orang yang Mau Membelaku

Share

Bab 4: Satu-Satunya Orang yang Mau Membelaku

"APA?! Ja ... ja ... jalan kaki kau bilang?!" pekik Baladewa melotot merasa dibohongi padahal sedari awal sebenarnya Nirmala sudah mengungungkapkan jalanan yang harus dilewati hanya setapak.

Nirmala tertunduk untuk menutupi raut wajahnya yang menahan tawa. Sungguh disaat seperti ini ia merasa Baladewa sekarang merupakan sosok yang berbeda dari Baladewa tempo hari yang dingin dan sarkas.

"Kau tertawa?" sindir Baladewa seketika membuat Nirmala seketika kicep.

"Oh maafkan saya, Tuan. Kalau begitu bagaimana?"

Nirmala melirik arlojinya dan melihat waktu telah menunjukkan pukul 6.20. Ia sebenarnya juga merasa khawatir karena seharusnya ia sudah tiba di kantor pukul 06.30 namun karena tiba-tiba anak bosnya memanggilnya membuat perjalanannya tertahan.

Meskipun ragu, akhirnya Baladewa pun pasrah mengiyakan untuk berangkat ke kantor dengan jalan kaki.

"Baiklah tak apa selama aku bisa tiba di kantor lebih cepat," putus Baladewa dengan lemah.

Akhirnya mereka pun mulai berjalan bersama. Nirmala yang memimpin jalan sedangkan Baladewa membuntutinya.

Begitu tiba di gang sempit yang Nirmala maksud, Baladewa cukup terkejut karena tak menyangka di ujung gang sempit ini ada pemukiman warga yang berkerumun.

"Kau selalu lewat sini?" tanya Baladewa memecah keheningan.

Nirmala cukup tersentak karena mendengar pertanyaan yang tiba-tiba.

"Iya cukup sering, Tuan, ketika uang saya pas-pasan saya biasanya berjalan kaki melewati jalan ini. Tapi ketika musim hujan untuk melalui jalan ini mustahil karena kerap terendam banjir jadi saya melalui jalan biasa," jawabnya melirik Baladewa kemudian tersenyum sekilas.

"Hemmm bisakah kamu berhenti memanggilku tuan? Jujur saja panggilan itu membuat telingaku gatal. Sepertinya jarak usia kita tidak terpaut jauh jadi panggil saja aku Baladewa," ujar Baladewa membuat Nirmala spontan menghentikan langkahnya.

"Kenapa?" lanjut pria itu bertanya-tanya.

"Maaf tapi sepertinya jika saya memanggil nama kurang sopan. Saya hanya seorang—"

"Ya ya ya ... kau seorang OG dan aku anak CEO. Tapi ini kita sedang tidak berada dilingkungan kantor tahu. Sudahlah panggil saja namaku ketika sedang tidak berada di kantor. Ketika sedang dikantor terserahmu akan memanggilku apa," tanggap Baladewa sedikit merasa dongkol.

Dikala mereka tengah berbincang, tiba-tiba fantofel Baladewa menginjak sebuah kubangan yang tertutupi dedaunan. Baladewa tak sadar jika yang ia kira hanya kumpulan dedaunan itu ternyata kubangan lumpur sehingga ketika ia menapak, air kubangan keruh itu terciprat dan mengenai seragam Nirmala yang berada tepat di depan kubangan.

"AHHH!"

Seragam OG milik Nirmala yang berwarna sebagian putih ternodai air keruh yang tanpa sengaja terciprat. Hal itu membuat sebagian besar seragam bagian depan kotor. Nirmala sedih melihat seragam yang selama ini ia jaga setengah mati agar terus bersih kini ternoda.

"Eh–ASTAGA MAAF!" pekik Baladewa merasa bersalah membuat seragam bawahannya kotor. Ia hendak mengelap air yang membasahi seragam bawahannya itu dengan dasi yang ia kenakan, namun segera ditahan.

Senyuman tipis yang terkesan dipaksakan terbit dari bibir Nirmala.

"Tak apa, Tuan Eh—emmm Baladewa. Ini akan bersih kembali setelah kucuci," tutur Nirmala sembari mengibas-ngibaskan seragamnya.

Tatapan Baladewa berubah sendu melihat Nirmala yang terlihat berusaha mengeringkan seragamnya yang basah dan kotor.

"Kau yakin?"

Gadis itu mendongak dan terkejut tak menyangka kini jaraknya dengan Baladewa hanya beberapa jengkal saja.

"Eh—iya sungguh," cicit Nirmala masih menutupi perasaannya yang sebenarnya takut jika seragamnya tidak dapat kembali bersih seperti semula.

"Udah hampir jam setengah tujuh. Apa masih jauh?"

Bola mata Nirmala membulat dan spontan melihat jam tangannya.

"Emm sekitar lima menit lagi. Kalau begitu ayo kita bergegas."

Kedua insan itu menyusuri gang sempit pemukiman warga dengan berhati-hati. Beberapa kali Nirmala membantu Baladewa melewati kubangan hingga tak terasa akhirnya mereka berhasil keluar dari gang sempit itu.

"Oh ternyata jalanan ini ada tepat di belakang gedung," gumam Baladewa dengan pandangan menyapu kesekeliling tempatnya berdiri.

"Maaf, karena sudah sampai saya mohon pamit terlebih dahulu," ucap Nirmala setengah gusar ketika melihat beberapa rekan kerjanya mulai berdatangan.

Baladewa menoleh ke arah Nirmala yang terlihat tak tenang.

"Tentu silakan. Terima kasih telah mengantarkanku dan—"

Netra Nirmala membulat sempurna begitu melihat pria bertubuh gempal dengan rambut cepak baru saja memasuki gerbang perusahaan.

"Tidak masalah. Saya masuk terlebih dahulu. Permisi," seloroh Nirmala tanpa sadar memotong perkataan Baladewa dan pergi begitu saja.

Pria berjas hitam itu menggeleng pelan melihat wanita yang tadi bersamanya berlari kalang kabut memasuki gerbang perusahaan.

Baladewa lantas mengeluarkan ponselnya kemudian terlihat menekan-nekan layar ponselnya sebelum kemudian menempelkan ponsel pada telinganya.

"Halo, Widya. Siapkan satu seragam OG lengkap."

***

"Kamu ini! Bukankah sudah saya bilang jangan telat lagi. APA KAMU TULI?!"

"Maaf, Pak, tadi saya benar-benar sudah datang sebelum bapak. Tapi—"

Ucapan Nirmala segera disela, sepertinya lawan bicaranya tak memberi kesempatan sedikitpun untuknya berbicara.

"Tapi apa? Kamu pikir saya tidak tahu kemarin kamu juga telat, Hah?!" bentaknya sekali lagi.

Mendengar kalimat yang diutarakan, gadis itu mengangkat kepalanya menatap sang lawan bicara. Otaknya seketika bekerja keras mencerna perkataannya. Dari mana atasannya itu tahu?

"Kamu ini benar-benar meremehkan surat peringatan itu ya? Kamu benar-benar mau dipecat?!"

Kembali Nirmala terbelalak dan spontan berlutut memohon. "Pak Teti, jangan pecat saya pliss kasih kesempatan saya sekali lagi," ucap Nirmala memelas sembari menangkupkan kedua telapak tangannya di atas kepalanya.

"Alah bulshit! Saya nggak butuh anak buah yang malas-malasan!"

Nirmala nyaris menangis mendengar perkataan Teti yang begitu menohok. Ia tak mengerti dengan perlakuan atasannya itu, tak biasanya atasannya itu memarahi dan mencacinya habis-habisan tanpa mendengar penjelasannya terlebih dahulu.

"Pak, saya mohon," ucap Nirmala dengan suara bergetar menahan tangis.

Gadis itu telah habis harapan, ia tak tahu bagaimana ia menghidupi adiknya nantinya jika ia sungguh dipecat. Maka dari itu bagaimana pun atasannya akan mengusirnya nanti, ia harus bersikeras untuk bertahan.

Tok ... tok ... tok ...

Di tengah ketegangan yang terjadi, tiba-tiba pintu ruangan diketuk dan terlihat seorang pria memasuki ruangan dengan raut datar.

Teti terbelalak begitu melihat kehadirannya. Sedangkan Nirmala pun turut terkejut sekaligus keheranan melihat kehadiran Baladewa yang tak biasanya ada petinggi perusahaan mendatangi ruangan cleaning service.

"Loh Tuan Baladewa di sini? Astaga, ada apa ini kenapa Tuan repot-repot ketempat seperti ini?" kata Teti berbasa-basi. Wajahnya pucat dan berkeringat ketika menyadari Baladewa menyaksikan dirinya yang tengah memarahi bawahannya.

"Maaf mengganggu waktu anda, Pak Teti. Saya ke sini ingin berbicara dengan bapak," jawab Baladewa masih tanpa ekspresi.

Nirmala menatap Baladewa dan tanpa sengaja pandangan mereka bertemu hingga membuat Nirmala buru-buru mengalihkan pandangannya ke luar pintu. Ia dibuat terperangah begitu menyadari ada beberapa rekan kerjanya yang rupanya mengintip dari balik pintu. Hal itu membuat hatinya gelisah, ia tak yakin ini nantinya akan berakhir baik untuknya.

"Ohh sama sekali tidak mengganggu, Tuan. Kalau begitu silakan duduk Tuan Muda. Maaf tadi anda harus melihat insiden yang tidak mengenakkan," ucap Teti tersenyum merasa tidak enak.

Teti menatap ke arah Nirmala yang masih terpaku di tempatnya. Teti berdeham kecil mencoba memberi kode Nirmala untuk pergi. Nirmala yang paham dengan maksud atasannya itu pun bergerak hendak keluar ruangan.

"Tunggu, kau bergabunglah bersama kami," ucap Baladewa secara tiba-tiba menghentikan langkah Nirmala.

Nirmala menatap ke arah Baladewa bingung.

"Sa–saya?" jawab Nirmala sembari menunjuk dirinya sendiri.

Baladewa menjawab dengan anggukan dan dehaman. Sedangkan Nirmala masih merasa ragu untuk ikut dalam perbincangan itu, ia merasa tak pantas. Gadis itu pun menoleh ke arah Teti untuk meminta izin, namun atasannya itu justru hanya terbatuk kecil menghindari kontak mata.

"Apakah sopan kau tetap berdiri di sana sementara kami duduk di sini?" tegur Baladewa seperti biasa menggunakan perkataan sarkas.

Karena merasa semakin tak enak, Nirmala pun akhirnya memutuskan untuk duduk bergabung bersama atasannya bersama anak CEO itu.

"Sebenarnya saya ingin meluruskan alasan dia terlambat pagi ini, Pak," ucap Baladewa mengawali pembicaraan.

Teti dan Nirmala secara serempak langsung menatap Baladewa penuh tanya.

"Maksud tuan? Apa Nirmala tadi membuat masalah?" tanya Teti penuh selidik.

Napas Nirmala tercekat, ia tak menyangka kedatangan Baladewa menemui Pak Teti ternyata untuk berbicara tentangnya. Hatinya semakin gelisah, ia takut jika ternyata Baladewa menjelaskan sesuatu yang semakin menyudutkan dirinya.

"Oh tidak, justru tadi Nirmala membantu saya sampai kantor tepat waktu. Maka dari itu tolong jangan lagi menyalahkan Nirmala," ucap Baladewa dengan sungguh-sungguh.

"Uhuk ... uhuk .... "

Nirmala tersedak salivanya sendiri akibat terlalu terkejut dengan pernyataan Baladewa. Seumur-umur, ini kali pertama Nirmala mendapatkan sebuah pembelaan. Ia terdiam merasakan darahnya berdesir dan jantungnya berdegup lebih cepat. Saking tak mampu menahan rasa haru, ia tak menyadari setetes air mata telah jatuh dari pelupuk matanya.

Baladewa menoleh ke arah Nirmala yang tertunduk dalam.

"Jangan pecat dia karena saya tahu dia bukan pegawai yang malas."

Tbc

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status