"APA?! Ja ... ja ... jalan kaki kau bilang?!" pekik Baladewa melotot merasa dibohongi padahal sedari awal sebenarnya Nirmala sudah mengungungkapkan jalanan yang harus dilewati hanya setapak.
Nirmala tertunduk untuk menutupi raut wajahnya yang menahan tawa. Sungguh disaat seperti ini ia merasa Baladewa sekarang merupakan sosok yang berbeda dari Baladewa tempo hari yang dingin dan sarkas. "Kau tertawa?" sindir Baladewa seketika membuat Nirmala seketika kicep. "Oh maafkan saya, Tuan. Kalau begitu bagaimana?" Nirmala melirik arlojinya dan melihat waktu telah menunjukkan pukul 6.20. Ia sebenarnya juga merasa khawatir karena seharusnya ia sudah tiba di kantor pukul 06.30 namun karena tiba-tiba anak bosnya memanggilnya membuat perjalanannya tertahan. Meskipun ragu, akhirnya Baladewa pun pasrah mengiyakan untuk berangkat ke kantor dengan jalan kaki. "Baiklah tak apa selama aku bisa tiba di kantor lebih cepat," putus Baladewa dengan lemah. Akhirnya mereka pun mulai berjalan bersama. Nirmala yang memimpin jalan sedangkan Baladewa membuntutinya. Begitu tiba di gang sempit yang Nirmala maksud, Baladewa cukup terkejut karena tak menyangka di ujung gang sempit ini ada pemukiman warga yang berkerumun. "Kau selalu lewat sini?" tanya Baladewa memecah keheningan. Nirmala cukup tersentak karena mendengar pertanyaan yang tiba-tiba. "Iya cukup sering, Tuan, ketika uang saya pas-pasan saya biasanya berjalan kaki melewati jalan ini. Tapi ketika musim hujan untuk melalui jalan ini mustahil karena kerap terendam banjir jadi saya melalui jalan biasa," jawabnya melirik Baladewa kemudian tersenyum sekilas. "Hemmm bisakah kamu berhenti memanggilku tuan? Jujur saja panggilan itu membuat telingaku gatal. Sepertinya jarak usia kita tidak terpaut jauh jadi panggil saja aku Baladewa," ujar Baladewa membuat Nirmala spontan menghentikan langkahnya. "Kenapa?" lanjut pria itu bertanya-tanya. "Maaf tapi sepertinya jika saya memanggil nama kurang sopan. Saya hanya seorang—" "Ya ya ya ... kau seorang OG dan aku anak CEO. Tapi ini kita sedang tidak berada dilingkungan kantor tahu. Sudahlah panggil saja namaku ketika sedang tidak berada di kantor. Ketika sedang dikantor terserahmu akan memanggilku apa," tanggap Baladewa sedikit merasa dongkol. Dikala mereka tengah berbincang, tiba-tiba fantofel Baladewa menginjak sebuah kubangan yang tertutupi dedaunan. Baladewa tak sadar jika yang ia kira hanya kumpulan dedaunan itu ternyata kubangan lumpur sehingga ketika ia menapak, air kubangan keruh itu terciprat dan mengenai seragam Nirmala yang berada tepat di depan kubangan. "AHHH!" Seragam OG milik Nirmala yang berwarna sebagian putih ternodai air keruh yang tanpa sengaja terciprat. Hal itu membuat sebagian besar seragam bagian depan kotor. Nirmala sedih melihat seragam yang selama ini ia jaga setengah mati agar terus bersih kini ternoda. "Eh–ASTAGA MAAF!" pekik Baladewa merasa bersalah membuat seragam bawahannya kotor. Ia hendak mengelap air yang membasahi seragam bawahannya itu dengan dasi yang ia kenakan, namun segera ditahan. Senyuman tipis yang terkesan dipaksakan terbit dari bibir Nirmala. "Tak apa, Tuan Eh—emmm Baladewa. Ini akan bersih kembali setelah kucuci," tutur Nirmala sembari mengibas-ngibaskan seragamnya. Tatapan Baladewa berubah sendu melihat Nirmala yang terlihat berusaha mengeringkan seragamnya yang basah dan kotor. "Kau yakin?" Gadis itu mendongak dan terkejut tak menyangka kini jaraknya dengan Baladewa hanya beberapa jengkal saja. "Eh—iya sungguh," cicit Nirmala masih menutupi perasaannya yang sebenarnya takut jika seragamnya tidak dapat kembali bersih seperti semula. "Udah hampir jam setengah tujuh. Apa masih jauh?" Bola mata Nirmala membulat dan spontan melihat jam tangannya. "Emm sekitar lima menit lagi. Kalau begitu ayo kita bergegas." Kedua insan itu menyusuri gang sempit pemukiman warga dengan berhati-hati. Beberapa kali Nirmala membantu Baladewa melewati kubangan hingga tak terasa akhirnya mereka berhasil keluar dari gang sempit itu. "Oh ternyata jalanan ini ada tepat di belakang gedung," gumam Baladewa dengan pandangan menyapu kesekeliling tempatnya berdiri. "Maaf, karena sudah sampai saya mohon pamit terlebih dahulu," ucap Nirmala setengah gusar ketika melihat beberapa rekan kerjanya mulai berdatangan. Baladewa menoleh ke arah Nirmala yang terlihat tak tenang. "Tentu silakan. Terima kasih telah mengantarkanku dan—" Netra Nirmala membulat sempurna begitu melihat pria bertubuh gempal dengan rambut cepak baru saja memasuki gerbang perusahaan. "Tidak masalah. Saya masuk terlebih dahulu. Permisi," seloroh Nirmala tanpa sadar memotong perkataan Baladewa dan pergi begitu saja. Pria berjas hitam itu menggeleng pelan melihat wanita yang tadi bersamanya berlari kalang kabut memasuki gerbang perusahaan. Baladewa lantas mengeluarkan ponselnya kemudian terlihat menekan-nekan layar ponselnya sebelum kemudian menempelkan ponsel pada telinganya. "Halo, Widya. Siapkan satu seragam OG lengkap." *** "Kamu ini! Bukankah sudah saya bilang jangan telat lagi. APA KAMU TULI?!" "Maaf, Pak, tadi saya benar-benar sudah datang sebelum bapak. Tapi—" Ucapan Nirmala segera disela, sepertinya lawan bicaranya tak memberi kesempatan sedikitpun untuknya berbicara. "Tapi apa? Kamu pikir saya tidak tahu kemarin kamu juga telat, Hah?!" bentaknya sekali lagi. Mendengar kalimat yang diutarakan, gadis itu mengangkat kepalanya menatap sang lawan bicara. Otaknya seketika bekerja keras mencerna perkataannya. Dari mana atasannya itu tahu? "Kamu ini benar-benar meremehkan surat peringatan itu ya? Kamu benar-benar mau dipecat?!" Kembali Nirmala terbelalak dan spontan berlutut memohon. "Pak Teti, jangan pecat saya pliss kasih kesempatan saya sekali lagi," ucap Nirmala memelas sembari menangkupkan kedua telapak tangannya di atas kepalanya. "Alah bulshit! Saya nggak butuh anak buah yang malas-malasan!" Nirmala nyaris menangis mendengar perkataan Teti yang begitu menohok. Ia tak mengerti dengan perlakuan atasannya itu, tak biasanya atasannya itu memarahi dan mencacinya habis-habisan tanpa mendengar penjelasannya terlebih dahulu. "Pak, saya mohon," ucap Nirmala dengan suara bergetar menahan tangis. Gadis itu telah habis harapan, ia tak tahu bagaimana ia menghidupi adiknya nantinya jika ia sungguh dipecat. Maka dari itu bagaimana pun atasannya akan mengusirnya nanti, ia harus bersikeras untuk bertahan. Tok ... tok ... tok ... Di tengah ketegangan yang terjadi, tiba-tiba pintu ruangan diketuk dan terlihat seorang pria memasuki ruangan dengan raut datar. Teti terbelalak begitu melihat kehadirannya. Sedangkan Nirmala pun turut terkejut sekaligus keheranan melihat kehadiran Baladewa yang tak biasanya ada petinggi perusahaan mendatangi ruangan cleaning service. "Loh Tuan Baladewa di sini? Astaga, ada apa ini kenapa Tuan repot-repot ketempat seperti ini?" kata Teti berbasa-basi. Wajahnya pucat dan berkeringat ketika menyadari Baladewa menyaksikan dirinya yang tengah memarahi bawahannya. "Maaf mengganggu waktu anda, Pak Teti. Saya ke sini ingin berbicara dengan bapak," jawab Baladewa masih tanpa ekspresi. Nirmala menatap Baladewa dan tanpa sengaja pandangan mereka bertemu hingga membuat Nirmala buru-buru mengalihkan pandangannya ke luar pintu. Ia dibuat terperangah begitu menyadari ada beberapa rekan kerjanya yang rupanya mengintip dari balik pintu. Hal itu membuat hatinya gelisah, ia tak yakin ini nantinya akan berakhir baik untuknya. "Ohh sama sekali tidak mengganggu, Tuan. Kalau begitu silakan duduk Tuan Muda. Maaf tadi anda harus melihat insiden yang tidak mengenakkan," ucap Teti tersenyum merasa tidak enak. Teti menatap ke arah Nirmala yang masih terpaku di tempatnya. Teti berdeham kecil mencoba memberi kode Nirmala untuk pergi. Nirmala yang paham dengan maksud atasannya itu pun bergerak hendak keluar ruangan. "Tunggu, kau bergabunglah bersama kami," ucap Baladewa secara tiba-tiba menghentikan langkah Nirmala. Nirmala menatap ke arah Baladewa bingung. "Sa–saya?" jawab Nirmala sembari menunjuk dirinya sendiri. Baladewa menjawab dengan anggukan dan dehaman. Sedangkan Nirmala masih merasa ragu untuk ikut dalam perbincangan itu, ia merasa tak pantas. Gadis itu pun menoleh ke arah Teti untuk meminta izin, namun atasannya itu justru hanya terbatuk kecil menghindari kontak mata. "Apakah sopan kau tetap berdiri di sana sementara kami duduk di sini?" tegur Baladewa seperti biasa menggunakan perkataan sarkas. Karena merasa semakin tak enak, Nirmala pun akhirnya memutuskan untuk duduk bergabung bersama atasannya bersama anak CEO itu. "Sebenarnya saya ingin meluruskan alasan dia terlambat pagi ini, Pak," ucap Baladewa mengawali pembicaraan. Teti dan Nirmala secara serempak langsung menatap Baladewa penuh tanya. "Maksud tuan? Apa Nirmala tadi membuat masalah?" tanya Teti penuh selidik. Napas Nirmala tercekat, ia tak menyangka kedatangan Baladewa menemui Pak Teti ternyata untuk berbicara tentangnya. Hatinya semakin gelisah, ia takut jika ternyata Baladewa menjelaskan sesuatu yang semakin menyudutkan dirinya. "Oh tidak, justru tadi Nirmala membantu saya sampai kantor tepat waktu. Maka dari itu tolong jangan lagi menyalahkan Nirmala," ucap Baladewa dengan sungguh-sungguh. "Uhuk ... uhuk .... " Nirmala tersedak salivanya sendiri akibat terlalu terkejut dengan pernyataan Baladewa. Seumur-umur, ini kali pertama Nirmala mendapatkan sebuah pembelaan. Ia terdiam merasakan darahnya berdesir dan jantungnya berdegup lebih cepat. Saking tak mampu menahan rasa haru, ia tak menyadari setetes air mata telah jatuh dari pelupuk matanya. Baladewa menoleh ke arah Nirmala yang tertunduk dalam. "Jangan pecat dia karena saya tahu dia bukan pegawai yang malas." Tbc"Terima kasih banyak, Tuan Emmm— Pak. Tanpa bantuan anda pasti saya sudah kehilangan pekerjaan. Terima kasih." Seorang OG membungkuk hormat kepada pria berambut coklat di depannya. Usai tadi sang pria berhasil membantunya keluar dari situasi sulit, gadis itu membuntuti dan mencegat hanya untuk berterima kasih. "Sudahlah tak usah berlebihan. Aku hanya tak ingin ayahku memarahiku karena membuat salah satu pegawainya dipecat," elak Baladewa menghela napas lelah. "Sudah kan? Kalau gitu minggirlah aku sedang sibuk!" lanjut Baladewa setengah membentak karena merasa tak nyaman melihat banyaknya pasang mata yang memandang ke arahnya. Nirmala yang paham pun bergegas menyingkir dari hadapan Baladewa. "Apapun alasan anda, saya sungguh berterima kasih," lirih Nirmala menatap dengan penuh binar punggung Baladewa yang semakin lama bergerak menjauh. "Hey, Mala ada urusan apa kamu sama anaknya Pak Raja?" Mendengar seseorang berbicara dengannya, Nirmala menoleh. "Tidak, hanya ada insiden k
Pagi itu Nirmala menjalani rutinitas seperti biasa, berangkat kerja dipagi buta dengan berjalan menyusuri jalanan lalu menghirup udara pagi yang belum terpapar polusi. Bedanya hari ini wajahnya nampak tak begitu berseri dan tak bersemangat. Tak hanya itu, kantung matanya nampak menghitam seperti kurang tidur. Sepanjang jalan ia cenderung diam dan memandang jalanan dengan tatapan kosong. Ia pun beberapa kali mendengus keras seolah ada beban berat yang sedang ia pikul. "Boleh gak sih cuti dulu? Rasanya aku belum sanggup kalau harus ketemu Baladewa." Nirmala menatap seragam biru putih yang ia kenakan. Seragam ini masih tercium aroma kain baru, ya memang seragam ini adalah pemberian Baladewa kemarin. Saat wanita itu berjalan dengan langkah perlahan, tiba-tiba sebuah motor melaju cepat di jalanan sampingnya. Akibat kencangnya motor itu melaju, Nirmala hampir ikut terhuyung saking kuatnya angin yang menerpa. Ia lantas berteriak marah "Wey! Jangan mentang-mentang jalanan sepi jadi
"Oh iya terima kasih, Bha—Bhaskara." Nirmala melontarkan senyuman ketulusan. "Nope ... kalau nam—" "Oh astaga! Aku tak percaya dengan apa yang kulihat ini. Selain gemar menggoda pasangan orang lain, kau juga tipe wanita yang tak cukup dengan satu pria rupanya." Ucapan Bhaskara terhenti. Sedang Nirmala spontan berbalik. Matanya melebar begitu melihat wanita berpenampilan modis menatapnya remeh. "No—na Viola?" lirih Nirmala dengan degup jantung yang berdetak cepat. Bhaskara sendiri memberikan tatapan sinis pada wanita berlidah tajam itu. "Apa dia juga karyawan di sini?" bisik Bhaskara yang belum paham jika Nirmala merasa terintimidasi. Nirmala mengangguk patah-patah. "Halo apa kau kekasihnya?" tanya Viola yang tiba-tiba menodong pertanyaan kepada Bhaskara. Nirmala panik, ia khawatir jika Viola berbicara yang tidak-tidak kepada Bhaskara. "Bhaskara, kau segeralah pergi," bisik Nirmala mendorong lengan Bhaskara agar lekas menaiki motornya. Pria itu menoleh ke arah
Karena pertengkaran kecil pagi tadi, suasana hati Nirmala mendadak berubah buruk. Namun di samping segala percekcokan pagi itu, ia begitu khawatir dengan ancaman Viola. Viona adalah putri dari sekretaris Raja sehingga cukup dekat dengan sang CEO. Nirmala khawatir jika kejutan yang Viona maksud adalah surat pemecatan. Pasalnya bukan hal sulit untuk Viola mengadukan keluhan kepada ayahnya dan akan dilaporkan kepada Raja. Meskipun harinya diawali dengan bersitegang, hari itu Nirmala melaksanakan tugasnya sebagai OG dengan cukup baik. Tak ada hal yang spesial dan tak ada masalah seperti hari lalu. Dan Nirmala cukup bersyukur tak bertemu Baladewa seharian ini. Waktu jam kerja telah usai, Nirmala bergegas berkemas untuk pulang. Beberapa hari ke belakang, Nirmala harus pulang dengan berjalan kaki karena ongkosnya harus dialihkan untuk biaya berobat adiknya. Ketika Nirmala keluar gerbang, ia dikejutkan dengan atensi seorang pria tengah duduk di atas motornya. Dia adalah Bhaskara, pr
"ARGH!" Nirmala tergelepar di tanah. Mendengar suara benda terjatuh, Bhaskara juga Baladewa menoleh ke sumber suara. Bughh! Bhaskara bergegas bangkit dan memukul rahang Baladewa dengan kerasnya. "Argh!" Baladewa yang lengah akhirnya terkena serangan telak. Ia terhuyung menjauhi Nirmala "Astaga! Hey, kau tidak apa-apa?" pekik Bhaskara langsung menghampiri Nirmala yang tergeletak. Ia mengangkat kepala Nirmala ke pangkuannya. Wajah kiri Nirmala memerah tepat di bawah mata kirinya. Ia meringis kesakitan merasakan pipinya berdenyut. Jari Bhaskara mengusap pipi kiri Nirmala yang terkena tonjokan tanpa peduli wajahnya yang juga babak belur. "Maafkan aku, Nirmala. Aku ... aku tidak sengaja," ucap Baladewa bergegas menghampiri Nirmala sembari memegangi rahang kananya. Nirmala berusaha bangkit di bantu Bhaskara. "Tidak sengaja kau bilang?!" sungut Bhaskara tersulut amarah. "Sudah! Jangan lagi berantem!" seru Nirmala mencegah percekcokan yang dikhawatirkan akan me
Kepergian Nirmala bersama pria yang tak ia kenali itu membekas di ingatan Baladewa. Bahkan sehari telah berlalu, pikirannya masih tertuju pada kejadian sore itu. Entah apa yang mendadak merasukinya, yang pasti ia merasa khawatir dan penasaran bagaimana kondisi Nirmala sekarang. "Dewa, cepat bawa masuk koper oma!" Teriakan itu membuat lamun Baladewa seketika buyar. "Memangnya oma udah sampai?" tanya Baladewa justru dengan santai mengambil segelas air mineral di meja makan. "Ya ampun! itu omamu udah di depan rumah!" Muncullah sosok wanita paruh baya dengan rambut setengah bahu. Ia menatap garang anak lelakinya yang malas-malasan. Tak ingin terkena semprot lagi, Baladewa bergegas keluar rumah. Begitu sampai diambang pintu, mata Baladewa langsung dimanjakan dengan rimbunnya dedaunan dan rerumputan hijau yang membentang luas. Pandangannya seketika tertuju pada sebuah mobil yang terparkir di garasi rumah. "Halo, Oma, kukira oma pulang bulan depan." Dengan cekatan Baladew
Seorang wanita berambut sebahu menyusuri lorong dalam keadaan gelap. Tak ada sedikitpun perasaan takut kala tak seorang pun hadir di sekitarnya. Ia tetap fokus memperhatikan kedua kakinya melangkah sepanjang lorong. Ia lantas berbelok ke kanan begitu sampai di simpang tiga. Lagi-lagi wanita itu sama sekali tak mengidahkan kesunyian dan kegelapan yang menemaninya. Ceklek .... Wanita itu membuka sebuah loker bertuliskan 'Nirmala' pada pintunya. Selanjutnya meletakkan tas ransel yang ia bawa ke dalam. Ia membuka resleting tasnya kemudian mengambul sebuah baju kerja yang juga bertuliskan 'Nirmala' pada nametag-nya. Saat ia hendak membuka baju yang ia pakai untuk diganti dengan pakaian seragam, ia dikejutkan dengan sebuah suara gaduh yang berasal dari area kamar mandi. Mata Nirmala yang tadinya sudah setengah tertutup, segera terbuka lebar. "Siapa di sana?!" seru Nirmala mulai was-was dengan sekelilingnya. Ia juga kembali membenarkan kancing bajunya yang sudah sempat ia lepas. Tak
Waktu telah menujukkan pukul 04.50. Di depan sebuah gedung bertuliskan 'Rajya Corp'terlihat sebuah mobil van hitam terparkir di sana. Tak berselang lama, sesosok pria mengenakan pakaian serba hitam dan mengenakan penutup wajah turun dari mobil itu dan berjalan mengendap-endap. Langkahnya begitu was-was ketika memasuki pintu darurat yang tak terkunci. Sekali lagi pria itu mengendap berjalan menelusuri lorong dengan posisi menempel tembok. Pria itu sepertinya tahu betul bagian mana yang tersorot kamera sehingga menggunakan teknik penyamaran untuk mengantisipasi. Krekkk ... Pergerakannya mendadak berhenti. Dari balik penutup wajahnya, wajah tampannya berubah pucat. Dengan hati-hati ia melongokkan kepalanya, namun segera tersadar ternyata bunyi itu timbul akibat dirinya yang tak sengaja menginjak minuman kaleng yang tergeletak di sekitar tempat sampah. Ia lekas mengelus dadanya lega. "Sial, membuat panik saja," bisiknya mengumpat. Ia kembali meneruskan langkahnya hingga tan