Perkataan anak bosnya beberapa saat lalu terus saya terngiang-ngiang di dalam kepala Nirmala. Ia kerap kali kedapatan tidak fokus bekerja karena pikirannya yang melanglang buana.
"Nirmala! Apa kau akan terus terdiam seperti orang idiot?! Kamu ini buta atau gimana sih kami ini sudah kelaparan dan kamu malah sibuk ngelamun gak jelas." Mata Nirmala melebar dan cepat-cepat melangkah maju menyadari dirinya yang melamun tadi membuat antrean di kantin mengular. "Eh— maafkan aku." Ia yang merasa bersalah dengan karyawan lain segera menunduk dan membungkukkan badannya sebagai gestur meminta maaf. Orang-orang di sekitarnya tentu tak menggubris gestur minta maafnya itu, mereka justru bergunjing membicarakan sikap bodoh yang Nirmala lakukan. "Dia wanita yang sempat bertengkar dengan Nona Viola di lobi tadi kan?" "Iya betul. Denger-denger dia memang orang aneh. Makanya jangan heran kalau kau selalu melihat dia sendirian tanpa seorang teman." "Pantas aja. Liat aja tuh rambutnya kusut gitu mana kerempeng banget badannya." Sayup-sayup Nirmala mendengar orang-orang yang ada di dekatnya dengan santai mencibir. Tatalannya berubah sendu dan ia hanya bisa tertunduk malu. Sampai tanpa disadari setetes air jatuh dari pelupuk matanya. Ini memang bukan yang pertama kalinya ia memdapat cibiran dan hinaan, namun bagaimanapun juga batinnya tak kunjung bisa kebal dengan hal menyakitkan seperti ini. Tibalah giliran Nirmala untuk mendapat jatah makan siangnya. Ketika ia akan mengambil piring, seseorang yang mengantre di belakangnya dengan cepat merebut piring yang hendak diambilnya. Nirmala sedikit tersentak, namun kemudian ia menghela napas panjang dan mengambil piring yang ada di bawahnya. Setelah mengambil piring, Nirmala menuju ke stand makanan untuk meminta petugas kantin memberikan sepiring nasi beserta lauknya. "Kau bertubuh kecil, sudah sepatutnya makan dengan porsi kecil," kata petugas kantin mengisi piring Nirmala dengan nasi dan lauknya yang memiliki porsi lebih sedikit dari porsi karyawan lain. Dua orang di belakang Nirmala nampak tertawa mengejek. Di situasi itu Nirmala mati-matian menahan tangisnya yang terus mendesak keluar. "Terima kasih," lirih Nirmala lantas pergi sembari menunduk menyembunyikan air matanya. Baru juga ia melangkah keluar dari stand makanan, tiba-tiba seseorang dengan cepat menabrak tubuh kecilnya. Nirmala yang tak siap dan memiliki refleks tak bagus akhirnya terhuyung dan tersungkur. Secara otomatis piring yang tengah ia bawa terbang ke udara dan menghantam lantai kantin dengan kerasnya. Pranggg Setiap mata sontak tertuju pada sosok Nirmala yang tersungkur beserta sepiring makanan yang telah berhamburan berceceran mengotori lantai. Namun bukannya iba, para karyawan di sana justru tertawa melihat tingkah konyol Nirmala. Mereka tanpa perasaan menertawakan karyawan OG itu yang meringis kesakitan. "Hey kau si petugas kebersihan! Kalau jalan tu pake mata, kan jadi mengotori kantin! Cepat bersihkan atau akan kuadukan ke atasanmu sekarang!" teriak seorang wanita paruh baya yang sedang bertugas memberikan lauk di piring para karyawan. Tumpah sudah air mata yang sedari tadi Nirmala tahan. Dadanya sesak menerima berbagai hinaan dan perlakuan tak menyenangkan. Ia hanya bisa menatap nanar setengah porsi makanan miliknya yang berceceran tumpah ruah di lantai. Padahal seharusnya makanan itu menjadi makanan pertamanya yang masuk ke perutnya hari ini. Namun karena makanan itu tidak dapat lagi ia konsumsi, sepertinya seharian ini ia harus bekerja dengan menahan perihnya lambung. Dengan sekuat tenaga Nirmala bangkit dan memunguti piring beserta lauk yang jatuh berserakan. Harga dirinya benar-benar jatuh sekarang, melihat begitu banyaknya karyawan yang menatapnya iba tanpa ada seorang pun yang tergerak untuk membantu. Ia harus menelan kepahitan hari ini sendirian, membasuh lukanya yang mengaga di hatinya dengan air mata. Jika ditanya sebegitu tak berdayanya kah ia menghadapi berbagai penindasan dan diskriminasi, maka jawabannya adalah iya. Ketika hal menyakitkan itu menyangkut pekerjaan, ia tak akan bisa melawan. Ia terlalu pengecut untuk memperjuangkan harga dirinya dikala kata pemecatan terus membayanginya. "Ashhh!" Jari Nirmala terluka akibat tak berhati-hati memunguti pecahan piring yang berserakan. Ia segera mengulum jarinya untuk meredakan cairan merah yang keluar dari lukanya. Setelah itu ia kembali melanjutkan aktivitasnya membersihkan lantai kantin yang terkotori makanannya tanpa mempedulikan lingkungan sekitarnya yang terus mencibir dan menghina. *** Krukkk .... Nirmala terus saja memegangi perutnya yang terasa nyeri. Sedari beberapa jam lalu perutnya terus membunyikan alarm kelaparan, namun Nirmala tak menggubrisnya karena ia tak memiliki secuil makanan pun untuk mengisi lambungnya yang terasa perih Wanita itu lantas meletakkan alat pelnya di sudut ruangan kemudian berjalan mendekati wastafel yang baru saja ia bersihkan. Ia bergerak memutar keran tersebut dan menengadahkan kedua tangannya untuk menampung air kemudian meminum air mentah hingha tandas. Setelah merasa perutnya kenyang, Nirmala hendak pergi, namun langkahnya tertahan begitu netranya melihat sebuah piring tersembunyi di belakang kulkas. Mata hazelnya sontak berbinar begitu melihat sepotong kue pada piring tersebut. Tanpa pikir panjang Nirmala mencuil kue tersebut dan melahapnya dengan sekali telan. "Wow, tidak bisakah kau makan dengan santai? kamu seperti orang kelaparan." Kepala Nirmala secepat kilat menoleh dan segera membeku mendapati seorang pria yang mengenakan setelan jas berdiri di sebelahnya. "Ah tu—tuan." Nirmala dengan cepat menunduk dan mengusap bibirnya yang kotor akibat remahan roti yang baru saja ia makan. Baladewa membasuh tangannya di sebelah wastafel yang digunakan Nirmala. Kemudian menengadahkan tangannya di bawah alat mengering. Sedangkan Nirmala masih terdiam di tempat tak tahu harus berbuat apa sekarang. Mata elang milik Baladewa menyipit melirik Nirmala yang justru tertunduk di sebelahnya. "Kenapa? Kau tak bekerja?" Wanita berseragam OG itu terbelalak dan spontan berlari menuju sudut ruangan dimana ia meletakkan pel. Baladewa yang mengamati gerak-gerik aneh Nirmala hanya mengangkat salah satu alisnya heran. Saat ia hendak pergi, matanya terpaku pada piring yang tadi sempat ia lihat dipegang oleh Nirmala. Ia mengerutkan keningnya melihat kue coklat yang telah termakan setengah itu. Namun ia dibuat terkejut ketika melihat secara seksama rupanya kue tersebut telah banyak ditumbuhi jamur di permukaannya. TbcKukuruyuuuk .... Meskipun langit masih gelap, ayam jantan telah menunaikan tugas membangunkan banyak insan di tengah dingin dan kesunyian pagi. Pada pukul 4 pagi, berbeda dengan kebanyakan gadis lainnya yang memilih bergulat dengan selimutnya, Nirmala, gadis berusia 24 tahun kini justru sudah sibuk membereskan rumah juga mengurus adiknya yang sakit. "Hari ini kakak antarkan surat izin ke sekolah lagi ya, kamu masih demam jadi di rumah dulu," ucap Nirmala lembut sembari memasang kain kompres pada kening adiknya yang berbaring tak berdaya. "Tapi, Kak, nanti Anes ketinggalan pelajaran gimana? Anes gak mau kakak sia-sia biayain sekolah Anes kalo nilainya turun." Ucapan polos gadis remaja itu membuat senyuman Nirmala mengembang. "Ganesha dengerin, selama dua tahun ini kamu berhasil bertahan di peringkat pertama kakak udah bangga banget tau. Jadi stop membebani diri ya. Ini udah jadi kewajiban kakak biayain Anes sekolah." Siapa sangka jawaban sang kakak membuat Anes berlinang
"APA?! Ja ... ja ... jalan kaki kau bilang?!" pekik Baladewa melotot merasa dibohongi padahal sedari awal sebenarnya Nirmala sudah mengungungkapkan jalanan yang harus dilewati hanya setapak. Nirmala tertunduk untuk menutupi raut wajahnya yang menahan tawa. Sungguh disaat seperti ini ia merasa Baladewa sekarang merupakan sosok yang berbeda dari Baladewa tempo hari yang dingin dan sarkas. "Kau tertawa?" sindir Baladewa seketika membuat Nirmala seketika kicep. "Oh maafkan saya, Tuan. Kalau begitu bagaimana?" Nirmala melirik arlojinya dan melihat waktu telah menunjukkan pukul 6.20. Ia sebenarnya juga merasa khawatir karena seharusnya ia sudah tiba di kantor pukul 06.30 namun karena tiba-tiba anak bosnya memanggilnya membuat perjalanannya tertahan. Meskipun ragu, akhirnya Baladewa pun pasrah mengiyakan untuk berangkat ke kantor dengan jalan kaki. "Baiklah tak apa selama aku bisa tiba di kantor lebih cepat," putus Baladewa dengan lemah. Akhirnya mereka pun mulai berjala
"Terima kasih banyak, Tuan Emmm— Pak. Tanpa bantuan anda pasti saya sudah kehilangan pekerjaan. Terima kasih." Seorang OG membungkuk hormat kepada pria berambut coklat di depannya. Usai tadi sang pria berhasil membantunya keluar dari situasi sulit, gadis itu membuntuti dan mencegat hanya untuk berterima kasih. "Sudahlah tak usah berlebihan. Aku hanya tak ingin ayahku memarahiku karena membuat salah satu pegawainya dipecat," elak Baladewa menghela napas lelah. "Sudah kan? Kalau gitu minggirlah aku sedang sibuk!" lanjut Baladewa setengah membentak karena merasa tak nyaman melihat banyaknya pasang mata yang memandang ke arahnya. Nirmala yang paham pun bergegas menyingkir dari hadapan Baladewa. "Apapun alasan anda, saya sungguh berterima kasih," lirih Nirmala menatap dengan penuh binar punggung Baladewa yang semakin lama bergerak menjauh. "Hey, Mala ada urusan apa kamu sama anaknya Pak Raja?" Mendengar seseorang berbicara dengannya, Nirmala menoleh. "Tidak, hanya ada insiden k
Pagi itu Nirmala menjalani rutinitas seperti biasa, berangkat kerja dipagi buta dengan berjalan menyusuri jalanan lalu menghirup udara pagi yang belum terpapar polusi. Bedanya hari ini wajahnya nampak tak begitu berseri dan tak bersemangat. Tak hanya itu, kantung matanya nampak menghitam seperti kurang tidur. Sepanjang jalan ia cenderung diam dan memandang jalanan dengan tatapan kosong. Ia pun beberapa kali mendengus keras seolah ada beban berat yang sedang ia pikul. "Boleh gak sih cuti dulu? Rasanya aku belum sanggup kalau harus ketemu Baladewa." Nirmala menatap seragam biru putih yang ia kenakan. Seragam ini masih tercium aroma kain baru, ya memang seragam ini adalah pemberian Baladewa kemarin. Saat wanita itu berjalan dengan langkah perlahan, tiba-tiba sebuah motor melaju cepat di jalanan sampingnya. Akibat kencangnya motor itu melaju, Nirmala hampir ikut terhuyung saking kuatnya angin yang menerpa. Ia lantas berteriak marah "Wey! Jangan mentang-mentang jalanan sepi jadi
"Oh iya terima kasih, Bha—Bhaskara." Nirmala melontarkan senyuman ketulusan. "Nope ... kalau nam—" "Oh astaga! Aku tak percaya dengan apa yang kulihat ini. Selain gemar menggoda pasangan orang lain, kau juga tipe wanita yang tak cukup dengan satu pria rupanya." Ucapan Bhaskara terhenti. Sedang Nirmala spontan berbalik. Matanya melebar begitu melihat wanita berpenampilan modis menatapnya remeh. "No—na Viola?" lirih Nirmala dengan degup jantung yang berdetak cepat. Bhaskara sendiri memberikan tatapan sinis pada wanita berlidah tajam itu. "Apa dia juga karyawan di sini?" bisik Bhaskara yang belum paham jika Nirmala merasa terintimidasi. Nirmala mengangguk patah-patah. "Halo apa kau kekasihnya?" tanya Viola yang tiba-tiba menodong pertanyaan kepada Bhaskara. Nirmala panik, ia khawatir jika Viola berbicara yang tidak-tidak kepada Bhaskara. "Bhaskara, kau segeralah pergi," bisik Nirmala mendorong lengan Bhaskara agar lekas menaiki motornya. Pria itu menoleh ke arah
Karena pertengkaran kecil pagi tadi, suasana hati Nirmala mendadak berubah buruk. Namun di samping segala percekcokan pagi itu, ia begitu khawatir dengan ancaman Viola. Viona adalah putri dari sekretaris Raja sehingga cukup dekat dengan sang CEO. Nirmala khawatir jika kejutan yang Viona maksud adalah surat pemecatan. Pasalnya bukan hal sulit untuk Viola mengadukan keluhan kepada ayahnya dan akan dilaporkan kepada Raja. Meskipun harinya diawali dengan bersitegang, hari itu Nirmala melaksanakan tugasnya sebagai OG dengan cukup baik. Tak ada hal yang spesial dan tak ada masalah seperti hari lalu. Dan Nirmala cukup bersyukur tak bertemu Baladewa seharian ini. Waktu jam kerja telah usai, Nirmala bergegas berkemas untuk pulang. Beberapa hari ke belakang, Nirmala harus pulang dengan berjalan kaki karena ongkosnya harus dialihkan untuk biaya berobat adiknya. Ketika Nirmala keluar gerbang, ia dikejutkan dengan atensi seorang pria tengah duduk di atas motornya. Dia adalah Bhaskara, pr
"ARGH!" Nirmala tergelepar di tanah. Mendengar suara benda terjatuh, Bhaskara juga Baladewa menoleh ke sumber suara. Bughh! Bhaskara bergegas bangkit dan memukul rahang Baladewa dengan kerasnya. "Argh!" Baladewa yang lengah akhirnya terkena serangan telak. Ia terhuyung menjauhi Nirmala "Astaga! Hey, kau tidak apa-apa?" pekik Bhaskara langsung menghampiri Nirmala yang tergeletak. Ia mengangkat kepala Nirmala ke pangkuannya. Wajah kiri Nirmala memerah tepat di bawah mata kirinya. Ia meringis kesakitan merasakan pipinya berdenyut. Jari Bhaskara mengusap pipi kiri Nirmala yang terkena tonjokan tanpa peduli wajahnya yang juga babak belur. "Maafkan aku, Nirmala. Aku ... aku tidak sengaja," ucap Baladewa bergegas menghampiri Nirmala sembari memegangi rahang kananya. Nirmala berusaha bangkit di bantu Bhaskara. "Tidak sengaja kau bilang?!" sungut Bhaskara tersulut amarah. "Sudah! Jangan lagi berantem!" seru Nirmala mencegah percekcokan yang dikhawatirkan akan me
Kepergian Nirmala bersama pria yang tak ia kenali itu membekas di ingatan Baladewa. Bahkan sehari telah berlalu, pikirannya masih tertuju pada kejadian sore itu. Entah apa yang mendadak merasukinya, yang pasti ia merasa khawatir dan penasaran bagaimana kondisi Nirmala sekarang. "Dewa, cepat bawa masuk koper oma!" Teriakan itu membuat lamun Baladewa seketika buyar. "Memangnya oma udah sampai?" tanya Baladewa justru dengan santai mengambil segelas air mineral di meja makan. "Ya ampun! itu omamu udah di depan rumah!" Muncullah sosok wanita paruh baya dengan rambut setengah bahu. Ia menatap garang anak lelakinya yang malas-malasan. Tak ingin terkena semprot lagi, Baladewa bergegas keluar rumah. Begitu sampai diambang pintu, mata Baladewa langsung dimanjakan dengan rimbunnya dedaunan dan rerumputan hijau yang membentang luas. Pandangannya seketika tertuju pada sebuah mobil yang terparkir di garasi rumah. "Halo, Oma, kukira oma pulang bulan depan." Dengan cekatan Baladew
Malam itu, Bhaskara duduk sendirian di kamarnya, menatap ponsel yang tergeletak di meja. Pandangannya kosong, tetapi sorot matanya menunjukkan hatinya tengah penuh kegelisahan. Kegelisahannya bukan tanpa alasan, iatelah mengirimkan pesan demi pesan kepada Nirmala, tetapi tak satu pun yang mendapat balasan.Pikirannya terus melayang ke arah percakapan terakhir mereka, ketika Nirmala, dengan nada lelah dan penuh tekanan, mengatakan bahwa dia butuh waktu untuk sendiri. Bhaskara tahu betul bahwa semuanya bukan karena cinta mereka memudar, melainkan karena tekanan yang mereka hadapi selama berbulan-bulan terakhir ini—dari skandal Aditama, ditambah dengan dirinya harus menstabilkan kembali keadaan perusahaan, hingga beban tanggung jawab yang tak pernah surut.“Apa aku terlalu menekannya?” gumam Bhaskara, menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya.Ponselnya bergetar, tetapi hanya notifikasi pesan otomatis dari operator. Tidak ada pesan dari Nirmala. Tidak ada kabar sama sekali.Bhaskara men
Hari itu tibalah waktunya untuk rapat dewan pemegang saham di Rajya Corp. Suasana dalam rapat itu berlangsung tegang. Aditama duduk di kursinya dengan senyum penuh kemenangan, sementara Nirmala, Bhaskara, dan kini hadir pula Surya berdiri di depan ruangan.“Baiklah,” ujar Aditama dengan nada sinis. “Anda mengatakan memiliki sesuatu yang ingin disampaikan kepada dewan, Pak Surya?”Surya menatap Aditama dengan dingin. “Aku tahu apa yang kau lakukan selama ini, Aditama. Dan aku di sini untuk memastikan semua orang tahu.”Nirmala melangkah maju, meletakkan dokumen di meja dewan. “Ini adalah bukti bahwa Aditama telah memanipulasi proyek Narpati dan menggunakan dana perusahaan untuk keuntungan pribadinya.”Para pemegang saham mulai bergumam, suasana ruangan menjadi semakin gaduh.Aditama tetap tenang. “Bukti ini tidak cukup untuk menjatuhkanku. Kalian tidak punya saksi yang dapat mendukung klaim kalian.”Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka, dan seorang pria masuk dengan langkah mantap. Semua o
Di sebuah ruangan yang remang-remang, Aditama duduk di belakang meja besar dengan segelas anggur di tangannya. Senyumnya dingin, menandakan keyakinannya bahwa permainan ini hampir mencapai puncaknya. Di hadapannya, beberapa dokumen berserakan, sementara layar komputer menampilkan data-data rahasia dari Rajya Corp. “Apa laporan terakhir?” tanya Aditama kepada Arya, yang berdiri di sudut ruangan. Arya, dengan raut wajah serius, mendekat dan menyerahkan sebuah map berisi laporan terkini. “Surya telah kembali bersama Nirmala. Mereka pasti sedang menyusun langkah untuk melawan kita.” Aditama membaca laporan itu dengan seksama, lalu menutup map tersebut dengan keras. “Kita tidak bisa membiarkan mereka mendapatkan kendali atas informasi ini. Waktunya memutar balikkan fakta.” “Bagaimana caranya?” tanya Arya dengan hati-hati. Aditama mengangkat salah satu dokumen dari meja, lalu melemparkannya ke arah Arya. “Kita buat mereka terlihat seperti dalang di balik kehancuran proyek Narpati. Publ
Malam itu, hujan turun deras, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Mobil yang dikendarai Bhaskara melaju di jalanan gelap menuju lokasi yang tertera dalam email misterius. Di dalam mobil, Nirmala duduk di kursi penumpang, sesekali menatap layar ponselnya dengan gelisah. “Ini pasti jebakan,” kata Bhaskara, memecah keheningan. Tangannya mencengkeram setir mobil erat-erat. “Aku tahu,” balas Nirmala tanpa menoleh. Ia mendesah pelan berusaha meredakan dadanya yng berdegup cepat. “Tapi kita tidak punya pilihan lain. Jika Om Surya benar-benar ada di sana, kita harus mencarinya.” Vira yang sedari tadi duduk di kursi belakang, menambahkan, “ya memang, kita harus tetap waspada. Aditama bukan orang yang akan menyerah begitu saja.” Tak butuh waktu lama, mereka akhirnya tiba di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Bangunan itu tampak usang, dengan pintu besi besar yang hampir sepenuhnya tertutup karat. Bhaskara mematikan mesin mobil dan memandang gedung itu dengan ragu. “Seberapa yakin
Pagi yang tegang menyelimuti Rajya Corp. Di ruang rapat utama, Nirmala duduk sendirian, memandang kursi kosong di seberangnya. Pikirannya berputar, membayangkan segala kemungkinan yang akan terjadi. “Dia akan datang,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Sebenarnya ia masih menyimpan keraguan ketika menjalankan strategi ini, namun jika Aditama tidak dipancing, ia tak dapat memiliki bukti kuat. Jadi ini lah waktunya, ia harus yakin usahanya akam berhasil. Beberapa menit kemudian, pintu ruang rapat terbuka, dan Aditama masuk dengan langkah mantap. Wajahnya memancarkan kepercayaan diri yang tinggi. Wajah penuh wibawanya itu menampakkan senyuman miring. “Kau benar-benar berani mengundangku, Nirmala,” ucapnya sambil mengambil tempat di seberang meja. “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” Tak ingin terintimidasi, Nirmala menatapnya dengan penuh tekad. “Aku ingin tahu di mana kau menyembunyikan Pak Surya.” Aditama tersenyum tipis, seolah menikmati momen itu. “Surya? Aku
Vira masuk dengan ekspresi serius, membawa dokumen yang baru saja ia periksa.“Kita punya bukti kuat,” katanya. “Namun, untuk menjatuhkan Aditama, kita butuh lebih dari ini. Dia punya banyak pengaruh di luar sana.”Bhaskara mengangguk. “Kita harus memastikan bahwa semua bukti ini dipublikasikan secara luas. Tidak ada jalan keluar baginya.”“Tapi bagaimana dengan Om Surya?” tanya Nirmala. “Aku merasa dia tahu lebih banyak daripada yang ia ceritakan. Dan aku tidak bisa mengabaikan keterlibatan ayahku dalam semua ini.”Vira menghela napas. “Kita memang membutuhka Surya untuk bersuara. Jika dia tidak berbicara, permainan ini tidak akan pernah berakhir.”"Tapi di mana ayahku. Aku juga tak tahu sekarang dia ada dimana," ujar Bhaskara frustrasi."Kita harus menemukan ayahmu, Bhaskara," tandas Nirmala tak terbantahkan.***Langit malam tampak kelabu, seolah menandakan sesuatu yang buruk sedang terjadi. Bhaskara duduk di ruang tamu apartemen dengan wajah tegang, matanya terus menatap layar po
Nirmala dan Bhaskara saling bertukar pandang tanpa sadar menahan napas saat langkah kaki Aditama semakin mendekat. Suara pintu besi yang terbuka sepenuhnya bergema di ruangan kecil itu. Cahaya lampu senter menyapu dinding, nyaris mengenai tempat mereka bersembunyi.“Aku tahu kalian ada di sini,” ujar Aditama dengan nada rendah, tetapi penuh ancaman. “Kalian pikir bisa menggali masa lalu tanpa konsekuensi?”Pria yang bersama Aditama menyisir ruangan dengan cermat. Sementara itu, Nirmala menggenggam tangan Bhaskara erat-erat, berharap keheningan mereka cukup untuk menghindari deteksi.“Apa kalian ini ingin menjadi anak kecil? Aku tidak suka bermain petak umpet,” lanjut Aditama. “Tapi aku juga tidak keberatan. Semakin lama kalian bersembunyi, semakin aku menikmati permainan ini.”Nirmala menatap Bhaskara, memberikan isyarat agar mereka bersiap. Namun, sebelum mereka sempat bergerak, pria yang bersama Aditama berbicara.“Pak, ada dokumen di sini. Sepertinya mereka sudah menemukannya.”Adi
Nirmala dan Bhaskara berdiri di tengah ruang kerja Surya yang berantakan. Dokumen-dokumen berserakan di lantai, kursi terbalik, dan tanda-tanda mencurigakan terlihat jelas.“Dia tidak mungkin pergi begitu saja meninggalkan ruangannya seberantakan ini,” lirih Bhaskara, matanya penuh kekhawatiran.Nirmala memungut sebuah dokumen dari lantai, lalu menatap surat Rajendra yang tertinggal di meja. Sesuatu terasa tidak beres.“Kita harus menemukannya, Bhaskara,” kata Nirmala, suaranya gemetar. “Kepergian Om Surya dalam keadaan seperti ini, ditakutkan karena ulah seseorang. Kau tahu kan Aditama orangnya nekat, dia bisa saja merencanakan penculikan ayahmu untuk menggagalkan rencana kita.”Bhaskara nampak termagu sejenak. “Aku akan menghubungi orang-orang kepercayaan Ayahku. Mungkin mereka tahu di mana dia berada.”Namun, jauh di dalam hati, Bhaskara merasa cemas. Jika benar Surya telah diculik, maka ini bukan lagi sekadar permainan kekuasaan. Ini adalah perang total.***Keesokan harinya, Nirm
Di tengah malam, di sebuah kafe kecil yang sepi di pinggir kota, Bhaskara dan Nirmala bertemu dengan Vira lagi. Kali ini, mereka sedang menyusun rencana yang lebih berani yaitu memanfaatkan bukti-bukti sementara untuk menjebak Aditama dan memancingnya ke langkah berikutnya.“Aku telah menelusuri lebih dalam,” ujar Vira sambil membuka laptopnya. Ia lantas memutarkan laptopnya membuat Nirmala juga Bhaskara mampu melihat isinya. “Ada jaringan transaksi gelap yang melibatkan Aditama, PT Laksana Bhumi, dan sebuah perusahaan cangkang di luar negeri. Tapi ini hanya pucuk dari keseluruhan jaringan.”Nirmala dan Bhaskara melihat secara saksama.“Berapa banyak waktu yang kita punya sebelum mereka menyadari kita sudah menemukan ini?” tanya Bhaskara.Sejenak wanita berambut panjang itu menganalisa. “Tidak lama,” jawab Vira. “Tapi kita bisa memanfaatkan waktu ini untuk melancarkan serangan kecil.”“Serangan kecil seperti apa?” tanya Nirmala yang sedari tadi memilih bungkam.Vira tersenyum tipis. “