BRAK!
"Argh!" Nirmala yang tengah sibuk mengepel segera menoleh ke sumber suara. Betapa terkejutnya ia begitu melihat seorang wanita bersimpuh, dengan sebuah ponsel tergeletak di lantai basah yang baru saja ia pel. "Ya ampun! Nona, apakah anda baik-baik saja?" pekik Nirmala dengan panik menghampiri dan mencoba membantu. Ia mengambil ponsel yang tergeletak tak jauh darinya dan ketika melihat kondisi ponsel itu, jantungnya mencelos nyaris berhenti berdetak. "Apa yang kau lakukan, sialan!" Umpatan itu seketika membuatnya tersadar. Bagai orang linglung, ia bergegas mendekat dan memberi uluran tangan. "Bi—biar saya bantu, Nona," ucap Nirmala dengan gagap menawarkan diri membantu sang wanita dengan tangan setengah bergetar. Namun, uluran tangannya langsung ditepis kasar. Ponsel yang tadi ia ambil segera direbut paksa oleh sang empu. Saking kasarnya, kuku panjang wanita tersebut mencakar tangan Nirmala hingga membuatnya meringis. "APA SIH! JAUHKAN TANGAN KOTORMU!" Tubuh gadis OG itu bergetar hebat menahan tangis. Ia tertunduk dalam menyadari kecerobohannya pagi ini membawa masalah besar. Benar saja begitu melihat kondisi ponselnya, wanita berambut blonde itu terbelalak dan berteriak histeris. "OH MY—SIALAN! Lihat gara-gara kamu layar ponsel saya jadi pecah!" bentak wanita ber-nametag Viola itu memarahi habis-habisan. "Asal kamu tau aja, gajimu gak akan pernah cukup buat gantiin ponsel ini!" Suaranya yang begitu lantang membuat beberapa karyawan yang sedang melintasi lobi menatap heran. Namun, mereka hanya melihat tanpa berniat melerai. Dengan raut ketakutan Nirmala mencoba untuk menjelaskan. "Ma-maafkan saya, Nona. Tetapi saya sudah memasang tanda lantai licin di—" "JADI KAMU MENYALAHKAN SAYA?!" Nirmala tersentak dan pandangannya semakin kabur akibat air mata yang telah menumpuk di pelupuk matanya. Wanita OG itu kian tersudut tak mampu membendung amarah wanita di depannya. "KAMU GAK TAU SAYA SIAPA HAH? BERANI-BERANINYA KAMU NGELAWAN SAYA!?" Amarah Viola benar-benar telah lepas kendali, ia mencaci maki sosok Nirmala habis-habisan di hadapan banyak orang yang berlalu-lalang. Nirmala mulai merasa khawatir jika masalah ini akan menendangnya keluar dari pekerjaannya. Dengan cepat ia bersimpuh di hadapan Viola untuk meminta ampun agar pekerjaannya terselamatkan. "Maafkan saya, Nona Viola, saya bersalah. Saya mohon jangan pecat saya, Nona Viola, saya masih ingin bekerja di sini. Saya janji akan bertanggungjawab," mohon Nirmala dengan air mata yang semakin tak dapat dibendung. "Hah! Kamu mau gantiin hp saya? Emangnya kamu bisa dapat 25 juta dalam sehari? MUSTAHIL! DASAR ORANG MISKIN TIDAK TAU DIRI!" sindir Viola terus saja merendahkan Nirmala. Ia berkacak pinggang memandang Viola yang ada di bawahnya dengan remeh. Nirmala merasa sakit hati, tapi itu semua tidaklah berguna karena hampir semua yang dikatakan atasannya itu benar adanya. "Kalau mau tanggung jawab, kamu harus mau jadi simpanan om om kaya raya baru bisa gantiin hp saya yang rusak. Tapi memangnya ada orang kaya yang mau sama gadis miskin sepertimu?!" sambungnya, membuat Nirmala tertegun atas perkataan kasar yang membuat hati dan harga dirinya semakin tercabik-cabik. “Sekarang kamu ikut saya! Kamu harus dikasih pelajaran!” Belum sempat menarik Nirmala, sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah belakang. "Viola, hentikan!" Mendengar seruan namanya, Viola menoleh dan mendapati sesosok pria yang memakai setelan jas berdiri dengan gagah. "Oh My! Kamu Baladewa putra Om Raja kan?! Astaga, sejak kapan kamu—" "Hentikan tingkah kekanak-kanakanmu itu," sela pria tersebut tanpa babibu, membuat Viola yang awalnya antusias atas kehadirannya mendadak terdiam. "Baladewa, setelah sekian lama kita tak bertemu kini kamu justru berani membentakku hanya karena wanita OG ini?!" tanya Viola menunjuk ke wajah Nirmala tanpa sopan santun. Rahang pria itu mengeras kemudian melangkah mendekat ke arah Viola yang masih melotot tak percaya. Ia kemudian menggenggam jemari Viola yang menunjuk ke arah Nirmala. "Kalau kau ingin merangkak ke tempat tinggi, jangan merendahkan orang lain," ujar Baladewa bersuara dingin. Viola terbelalak dan membeku. Wajahnya berubah merah merasa malu sendiri. Baladewa lantas menggeser posisi Viola sehingga kini sosok Nirmala tidak lagi bersimpuh di hadapan Viola, melainkan bersimpuh dihadapannya. "Mau sampai kapan kau akan terus merendahkan dirimu seperti ini?" Hati Nirmala bergetar mendengar kalimat menyentil itu. Ia pun mendongak melihat siapa sosok yang berujar demikian. Dan saat itu juga ia terpaku menatap sepasang netra hitam yang membuatnya tenggelam di dalamnya. "Heh! Jaga matamu, dasar gatel!" tegur Viola tak terima pria kesayangannya dipandang lama. Nirmala yang tertangkap basah melakukan tindakan tak sopan pun segera tertunduk kembali. "Kembalilah ke basecamp dan obati lukamu," titah Baladewa membuat Nirmala seketika memandang tangannya yang terluka. "Tidak apa, Tuan, saya harus segera membereskan kekacauan yang saya timbulkan," cicit Nirmala bangkit dari bersimpuh dan berdiri dengan kepala tetap tertunduk. Baladewa mengedarkan pandangan ke sekitar lobi yang ternyata masih ada beberapa bagian yang belum dipel. Setelah itu ia menatap Viola yang bersedekap dada dengan congkaknya. "Biar Viola yang membereskan kekacauan ini." "HAH?!” Viola berjengit kaget sekaligus tidak terima. “Kenapa harus aku?!” Baladewa melirik tajam Viola yang masih mempertahankan gengsi selangitnya itu. "Sa-saya yang bersalah di sini, Tuan. Ini juga sudah tugas saya untuk menyelesaikannya," tanggap Nirmala ingin cepat-cepat mengakhiri masalah karena ia tak ingin atasannya memergokinya terlibat dalam masalah. "Kamu denger kan? Ini emang tugas seorang OG kayak dia, ngapain malah nyuruh aku?!" sungut Viola menimpali tanggapan Nirmala dengan sewot. Tanpa menunggu waktu lagi, Nirmala bergegas mengambil gagang pel untuk kembali menyelesaikan pekerjaan. Namun, baru juga Nirmala mengayunkan kain pel pada lantai, gerakannya tertahan oleh tangan Baladewa yang mencekal gagangnya. "Sekali lagi kamu mengayunkan kain pel, saya pastikan ini jadi hari terakhirmu kerja di sini." Ancaman yang Baladewa lontarkan sukses membuat Nirmala terkejut setengah mati. Hatinya mendadak menceplos dan spontan ia melepaskan tangannya pada gagang pel. "Jangan! Sa-saya mohon, Tuan, jangan pecat saya," mohon Nirmala setengah menangis. Baladewa tak mengindahkan permohonan Nirmala. Ia justru melemparkan gagang pel tersebut ke arah Viola. "Kau lanjutkan!" perintahnya dengan dingin. Hal itu tentu membuat Viola mencak-mencak tak terima, namun Baladewa terlebih dahulu melanjutkan langkahnya tak peduli. "SIALAN!” sentak Viola berang. “Hey, Baladewa! Kenapa kamu memperlakukanku seperti ini?!” teriaknya setengah gila. Sedangkan Nirmala yang masih berada di tengah pertengkaran anak petinggi itu hanya bisa memandang canggung. Ia pun melirik takut-takut ke arah Viola yang telah kebakaran jenggot. "Apa?! Semua ini gara-gara kamu! Awas aja, saya bakal bikin perhitungan!” Nirmala hanya bergeming. Dalam hati, ia sedikit bernapas lega ternyata di perusahaan ini masih ada sosok yang peduli kepada orang lain tanpa memandang status. Sosok Baladewa sendiri yang Nirmala tahu dari perkataan orang-orang memang terkenal bermulut pedas dan suka seenaknya sendiri. Namun karena pertemuan ini, semua penilaian itu berubah 180°. Menurutnya, Baladewa sosok yang dapat diandalkan dan mencerminkan sosok pemimpin yang bijaksana walaupun ia berlidah tajam. "Heh! Kerjain sendiri, saya gak sudi!" Viola melempar gagang pel kepada Nirmala dengan jijik. Sentakan itu membuat Nirmala terperanjat. Ia seketika menoleh ke arah Viola yang menatapnya kesal. "Cepat lanjutin!" sentak Viola lagi tanpa rasa bersalah. Tanpa diduga, dari arah belakang Nirmala, terdengar sebuah seruan yang membuat Nirmala membeku kaku. "Hei, kau! Apakah kau benar-benar ingin dipecat?" Menyadari posisinya kian terancam, dengan spontan Nirmala menjatuhkan batang pel tersebut ke lantai. “Ti-tidak, Tuan!” ujar Nirmala panik. Pria itu mendengus, menatap Nirmala dengan tatapan yang sulit diartikan, membuat gadis itu merasa salah tingkah. Mengapa … Baladewa menatapnya lekat seperti itu? Suara bariton yang mengintimidasi itu kembali terdengar. Ucapannya bagaikan titah yang tak bisa dibantah. "Viola, lanjutan pekerjaannya dan pastikan semuanya bersih!" TbcPerkataan anak bosnya beberapa saat lalu terus saya terngiang-ngiang di dalam kepala Nirmala. Ia kerap kali kedapatan tidak fokus bekerja karena pikirannya yang melanglang buana. "Nirmala! Apa kau akan terus terdiam seperti orang idiot?! Kamu ini buta atau gimana sih kami ini sudah kelaparan dan kamu malah sibuk ngelamun gak jelas." Mata Nirmala melebar dan cepat-cepat melangkah maju menyadari dirinya yang melamun tadi membuat antrean di kantin mengular. "Eh— maafkan aku." Ia yang merasa bersalah dengan karyawan lain segera menunduk dan membungkukkan badannya sebagai gestur meminta maaf. Orang-orang di sekitarnya tentu tak menggubris gestur minta maafnya itu, mereka justru bergunjing membicarakan sikap bodoh yang Nirmala lakukan. "Dia wanita yang sempat bertengkar dengan Nona Viola di lobi tadi kan?" "Iya betul. Denger-denger dia memang orang aneh. Makanya jangan heran kalau kau selalu melihat dia sendirian tanpa seorang teman." "Pantas aja. Liat aja tuh rambutnya kusu
Kukuruyuuuk .... Meskipun langit masih gelap, ayam jantan telah menunaikan tugas membangunkan banyak insan di tengah dingin dan kesunyian pagi. Pada pukul 4 pagi, berbeda dengan kebanyakan gadis lainnya yang memilih bergulat dengan selimutnya, Nirmala, gadis berusia 24 tahun kini justru sudah sibuk membereskan rumah juga mengurus adiknya yang sakit. "Hari ini kakak antarkan surat izin ke sekolah lagi ya, kamu masih demam jadi di rumah dulu," ucap Nirmala lembut sembari memasang kain kompres pada kening adiknya yang berbaring tak berdaya. "Tapi, Kak, nanti Anes ketinggalan pelajaran gimana? Anes gak mau kakak sia-sia biayain sekolah Anes kalo nilainya turun." Ucapan polos gadis remaja itu membuat senyuman Nirmala mengembang. "Ganesha dengerin, selama dua tahun ini kamu berhasil bertahan di peringkat pertama kakak udah bangga banget tau. Jadi stop membebani diri ya. Ini udah jadi kewajiban kakak biayain Anes sekolah." Siapa sangka jawaban sang kakak membuat Anes berlinang
"APA?! Ja ... ja ... jalan kaki kau bilang?!" pekik Baladewa melotot merasa dibohongi padahal sedari awal sebenarnya Nirmala sudah mengungungkapkan jalanan yang harus dilewati hanya setapak. Nirmala tertunduk untuk menutupi raut wajahnya yang menahan tawa. Sungguh disaat seperti ini ia merasa Baladewa sekarang merupakan sosok yang berbeda dari Baladewa tempo hari yang dingin dan sarkas. "Kau tertawa?" sindir Baladewa seketika membuat Nirmala seketika kicep. "Oh maafkan saya, Tuan. Kalau begitu bagaimana?" Nirmala melirik arlojinya dan melihat waktu telah menunjukkan pukul 6.20. Ia sebenarnya juga merasa khawatir karena seharusnya ia sudah tiba di kantor pukul 06.30 namun karena tiba-tiba anak bosnya memanggilnya membuat perjalanannya tertahan. Meskipun ragu, akhirnya Baladewa pun pasrah mengiyakan untuk berangkat ke kantor dengan jalan kaki. "Baiklah tak apa selama aku bisa tiba di kantor lebih cepat," putus Baladewa dengan lemah. Akhirnya mereka pun mulai berjala
"Terima kasih banyak, Tuan Emmm— Pak. Tanpa bantuan anda pasti saya sudah kehilangan pekerjaan. Terima kasih." Seorang OG membungkuk hormat kepada pria berambut coklat di depannya. Usai tadi sang pria berhasil membantunya keluar dari situasi sulit, gadis itu membuntuti dan mencegat hanya untuk berterima kasih. "Sudahlah tak usah berlebihan. Aku hanya tak ingin ayahku memarahiku karena membuat salah satu pegawainya dipecat," elak Baladewa menghela napas lelah. "Sudah kan? Kalau gitu minggirlah aku sedang sibuk!" lanjut Baladewa setengah membentak karena merasa tak nyaman melihat banyaknya pasang mata yang memandang ke arahnya. Nirmala yang paham pun bergegas menyingkir dari hadapan Baladewa. "Apapun alasan anda, saya sungguh berterima kasih," lirih Nirmala menatap dengan penuh binar punggung Baladewa yang semakin lama bergerak menjauh. "Hey, Mala ada urusan apa kamu sama anaknya Pak Raja?" Mendengar seseorang berbicara dengannya, Nirmala menoleh. "Tidak, hanya ada insiden k
Pagi itu Nirmala menjalani rutinitas seperti biasa, berangkat kerja dipagi buta dengan berjalan menyusuri jalanan lalu menghirup udara pagi yang belum terpapar polusi. Bedanya hari ini wajahnya nampak tak begitu berseri dan tak bersemangat. Tak hanya itu, kantung matanya nampak menghitam seperti kurang tidur. Sepanjang jalan ia cenderung diam dan memandang jalanan dengan tatapan kosong. Ia pun beberapa kali mendengus keras seolah ada beban berat yang sedang ia pikul. "Boleh gak sih cuti dulu? Rasanya aku belum sanggup kalau harus ketemu Baladewa." Nirmala menatap seragam biru putih yang ia kenakan. Seragam ini masih tercium aroma kain baru, ya memang seragam ini adalah pemberian Baladewa kemarin. Saat wanita itu berjalan dengan langkah perlahan, tiba-tiba sebuah motor melaju cepat di jalanan sampingnya. Akibat kencangnya motor itu melaju, Nirmala hampir ikut terhuyung saking kuatnya angin yang menerpa. Ia lantas berteriak marah "Wey! Jangan mentang-mentang jalanan sepi jadi
"Oh iya terima kasih, Bha—Bhaskara." Nirmala melontarkan senyuman ketulusan. "Nope ... kalau nam—" "Oh astaga! Aku tak percaya dengan apa yang kulihat ini. Selain gemar menggoda pasangan orang lain, kau juga tipe wanita yang tak cukup dengan satu pria rupanya." Ucapan Bhaskara terhenti. Sedang Nirmala spontan berbalik. Matanya melebar begitu melihat wanita berpenampilan modis menatapnya remeh. "No—na Viola?" lirih Nirmala dengan degup jantung yang berdetak cepat. Bhaskara sendiri memberikan tatapan sinis pada wanita berlidah tajam itu. "Apa dia juga karyawan di sini?" bisik Bhaskara yang belum paham jika Nirmala merasa terintimidasi. Nirmala mengangguk patah-patah. "Halo apa kau kekasihnya?" tanya Viola yang tiba-tiba menodong pertanyaan kepada Bhaskara. Nirmala panik, ia khawatir jika Viola berbicara yang tidak-tidak kepada Bhaskara. "Bhaskara, kau segeralah pergi," bisik Nirmala mendorong lengan Bhaskara agar lekas menaiki motornya. Pria itu menoleh ke arah
Karena pertengkaran kecil pagi tadi, suasana hati Nirmala mendadak berubah buruk. Namun di samping segala percekcokan pagi itu, ia begitu khawatir dengan ancaman Viola. Viona adalah putri dari sekretaris Raja sehingga cukup dekat dengan sang CEO. Nirmala khawatir jika kejutan yang Viona maksud adalah surat pemecatan. Pasalnya bukan hal sulit untuk Viola mengadukan keluhan kepada ayahnya dan akan dilaporkan kepada Raja. Meskipun harinya diawali dengan bersitegang, hari itu Nirmala melaksanakan tugasnya sebagai OG dengan cukup baik. Tak ada hal yang spesial dan tak ada masalah seperti hari lalu. Dan Nirmala cukup bersyukur tak bertemu Baladewa seharian ini. Waktu jam kerja telah usai, Nirmala bergegas berkemas untuk pulang. Beberapa hari ke belakang, Nirmala harus pulang dengan berjalan kaki karena ongkosnya harus dialihkan untuk biaya berobat adiknya. Ketika Nirmala keluar gerbang, ia dikejutkan dengan atensi seorang pria tengah duduk di atas motornya. Dia adalah Bhaskara, pr
"ARGH!" Nirmala tergelepar di tanah. Mendengar suara benda terjatuh, Bhaskara juga Baladewa menoleh ke sumber suara. Bughh! Bhaskara bergegas bangkit dan memukul rahang Baladewa dengan kerasnya. "Argh!" Baladewa yang lengah akhirnya terkena serangan telak. Ia terhuyung menjauhi Nirmala "Astaga! Hey, kau tidak apa-apa?" pekik Bhaskara langsung menghampiri Nirmala yang tergeletak. Ia mengangkat kepala Nirmala ke pangkuannya. Wajah kiri Nirmala memerah tepat di bawah mata kirinya. Ia meringis kesakitan merasakan pipinya berdenyut. Jari Bhaskara mengusap pipi kiri Nirmala yang terkena tonjokan tanpa peduli wajahnya yang juga babak belur. "Maafkan aku, Nirmala. Aku ... aku tidak sengaja," ucap Baladewa bergegas menghampiri Nirmala sembari memegangi rahang kananya. Nirmala berusaha bangkit di bantu Bhaskara. "Tidak sengaja kau bilang?!" sungut Bhaskara tersulut amarah. "Sudah! Jangan lagi berantem!" seru Nirmala mencegah percekcokan yang dikhawatirkan akan me
Sesampainya di rumah, Nirmala merasa seperti dihantam badai. Cerita Surya sejalan dengan apa yang Arya katakan, tetapi dengan sudut pandang yang berbeda. Hal ini membuat keraguannya terhadap Arya perlahan memudar. Melihat respon Surya tadi, Nirmala melihat ada luka dan amarah yang tercipta ketika menceritakannya. “Apakah aku harus mempercayainya?” pikir Nirmala mulai goyah. Satu hal yang sayangnya baru ia sadari ialah bahwa ia berada di tengah permainan besar yang melibatkan dendam, ambisi, dan kebohongan. Dan sekarang, ia harus memutuskan langkah apa yang harus ia ambil untuk melindungi dirinya sendiri dan masa depan perusahaan.Nirmala membuang napas berat ketika sekelebat kejadian bersama Bhaskara menghinggapi kepalanya. Kejadian bersama Bhaskara siang tadi membuatnya merasa seperti kehilangan separuh dirinya. 'Jika kau ingin melibatkan aku dalam hidupmu lagi, aku ada di sini.' Kata-kata pria itu terus terngiang di kepalanya, membuatnya semakin bingung tentang apa yang sebenar
Usai berbincang dengan adiknya, Nirmala kembali terfokus pada dokumen-dokumen yang berserakan di sekitarnya. Kata-kata Gergio terus terngiang di kepalanya, menambah lapisan kebingungan yang sudah menghimpitnya.“Kalau benar ayahku melakukan sesuatu yang tidak adil kepada Om Surya, apa yang harus aku lakukan?” pikir Nirmala.Di satu sisi, ia merasa harus membela kehormatan keluarganya. Tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa ayahnya pernah membuat keputusan yang merugikan orang lain."Sepertinya aku memang harus berbicara langsung dengan Om Surya untuk meluruskan segala kabar simpang siur ini," gumam Nirmala akhirnya menyerah. Sesuai dengan keputusannya malam itu, Nirmala menemui Surya di kantornya. Tapi sayangnya ketika wanita itu tiba dikantor notaris, orang yang ingin ia temui justru sedang cuti. Nirmala berpikir berulang kali untuk menemui pria itu di rumahnya, entah mengapa feelingnya terasa buruk jika harus menemui di rumah Surya sekaligus rumah mantan
Dalam perjalanan pulang, Nirmala merasa pikirannya semakin kacau. Kata-kata Arya terus membayangi, tetapi ia juga teringat peringatan Gergio tentang sifat manipulatif Arya.“Mungkin Arya hanya ingin menanamkan keraguan,” pikirnya. Tetapi bagaimana jika apa yang Arya katakan benar?Nirmala belum bisa mempercayai peringatan Gergio, tapi ia juga belum mempercayai ucapan Arya. Tapi hari ini ia menemukan satu fakta pahit yang memang jelas kebenarannya, yaitu ayahnya memiliki sangkut paut dengan kebangkrutan keluarga Bhaskara.Setelah terlarut dalam pikirannya beberapa saat, tanpa sadar langkahnya telah menginjak pekarangan rumah. Ia segera kembali ke dunia nyata, memasuki rumah dengan pikiran penuh dan campur aduk.Nirmala disambut oleh Ganesha, yang langsung menyadari perubahan di wajah kakaknya.“Kak, kenapa? Kenapa wajahmu seperti habis bertemu hantu,” kata Ganesha sambil menyodorkan secangkir teh hangat.Nirmala tersenyum lemah. Ia menerima secangkir teh hangat itu. “Mana ada hantu. Ka
Nirmala terus saja berpikir keras. Ia tak tahu anakan pihak yang benar Kata-kata Arya seperti duri yang menusuk pikirannya, menciptakan rasa ragu yang semakin dalam terhadap sosok Surya yang selama ini ia percayai dan ia segani. Namun, semakin ia memikirkan hal itu, semakin ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Meskipun Surya dikenal tegas dan kadang keras, Nirmala sulit mempercayai bahwa pria itu akan sekejam itu.“Apa Pak Arya itu mengatakan yang sebenarnya? Bagaimana kalau justru sebaliknya” gumam Nirmala berpikir keras. Ia menatap ponselnya yang menyala dengan nomor Arya yang terpampang di sana. Ada dorongan untuk menghubunginya lagi untuk meminta penjelasan lebih lanjut karena ia pasti info banyak mengenai ayahnya, tetapi ada juga rasa ragu dan takut jika sebenarnya ini semua hanyalah kebohongan belaka. Nirmala tak ingin terus tercuci otaknya dan terseret lebih jauh dalam jaring kebohongan.Saat Nirmala menggulir Log panggilan, matanya memicing. "Pak Gergio..." gumamnya memba
Nirmala memandangi pesan di ponselnya dengan perasaan bercampur aduk. Pesan itu singkat memberikan sebuah informasi, tetapi cukup pikiran Nirmala semakin berkecambuk.—'Kau tidak tau apa yang sedang terjadi. Jika ingin tahu kebenarannya, temui aku besok di tempat ini.'Ia berulang kali membaca pesan yang disertai titik lokasi. Titik lokasi itu terasa asing baginya dan terasa sedikit mencurigakan. Alamat yang dikirim berada di pinggiran kota. Yang membuat mencurigakan tempat itu jauh dari pusat bisnis dan gedung-gedung megah yang biasa para pembisnis kunjungi.“Aishh! Siapa sih yang mengirimkan pesan anonim ini? Apa aku harus pergi? Tapi bagaimana kalau ini hanyalah orang iseng atau orang yang hanya akan memperkeruh keadaan?” gumamnya dengan ragu.Namun, rasa ingin tahu tentang masa lalu ayahnua itu jauh lebih besar dari kecurigaan yang singgah dibenaknya. Akhirnya, setelah mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan buruk, Nirmala memutuskan untuk memenuhi undangan tersebut karena ia te
Malam semakin larut, tapi Nirmala masih saja kesulitan menutup mata. Kata-kata Aditama terus bergema di kepalanya membuatnya terus terjaga dalam kegelisahan.'Ayahmu pernah membuat Surya bangkrut dan jatuh miskin.'Apa yang sebetulnya terjadi? Mengapa tak ada seorang pun yang menceritakan hal ini kepadanya? Bahkan Surya, yang selama ini membantunya dan memberi arahan kepadanya, tak sama sekali menunjukka adanya hubungan buruk kepada ayahnya.Di kamarnya yany cukup sunyi, ia mencoba kembali memutar ulang semua percakapan yang pernah dilakukan dengan Surya, Vani, bahkan Gergio. Dan ia tak menemukan ada yang pernah menyebut masa lalu Rajendra dengan Surya. Semua terasa seperti rahasia besar yang sengaja disembunyikan darinya.“Aku harus mencari tahu,” gumamnya sambil memandang pantulan dirinya di kaca. Tetapi pertanyaannya adalah, di mana ia harus mencari tahu? Dan bagaimana ia harus mulai?***Keesokan harinya, Nirmala memutuskan untuk menemui Vani. Ia berpikir, jika ada orang yang mung
Siang itu, ruang rapat di Rajya Corp dipenuhi ketegangan. Para pemegang saham, investor, dan dewan direksi hadir dalam pertemuan yang disebut-sebut pertemuan penting untuk menentukan langkah perusahaan ke depannyaSelain tokoh penting itu, rupanya Nirmala juga hadir. Ia duduk di tengah perkumpulan itu dengan punggung tegak, mencoba terlihat tenang meskipun pikirannya kalut. Ia tahu bahwa kehadirannya di rapat kali ini akan menjadi sorotan utama. Lebih dari itu, apa yang ia ucapkan nanti akan membawa dampak besar untuk perusahaan inu.Aditama, yang kali ini memimpin rapat, membuka pertemuan dengan pembahasan tentang kebijakan perusahaan untuk menangani krisis. Ia memaparkan situasi finansial terkini dan langkah strategis yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas. Namun, semua itu hanyalah pembuka, nyatanya pembahasannya lebih luas dari itu.Ketika pembahasan mulai mengarah pada pengangkatan CEO baru, suasana berubah lebih tegang.“Baik,” ucap Aditama sambil menatap sekeliling mej
Malam itu, kamar Nirmala terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena angin yang bertiup dari jendela, melainkan karena rasa hampa yang memenuhi dadanya. Keputusan yang ia buat semalem untuk membuat Bhaskara kecewa yang berujung menghancurkam hatinya terus menggerogoti pikiran Nirmala. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk kedua lututnya dengan erat mencoba meredam kehampaan yang tak kunjung reda."Aku melakukannya untuk dia," gumam wanita itu dengan suara serak. "Aku ingin melindunginya."Sayangnya hatinya tak sejalan dengan ucapannya. Rasa bersalah terus menghantuinya, bahkan membuatnya merasa seperti menghianati cinta yang selama ini mereka perjuangkan.Memori beberapa hari lalu kembali berputar dalam benak Nirmala.~~~"Coba kau pilih kau rela melihatnua kecewa atau melihatnya merasakan kembali trauma masa lalunya?"Kata-kata itu menggema di kepalanya seperti palu yang memukul hati kecilnya. Surya memang tak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud trauma masa lalunya, sampai V
Malam itu tak seperti biasanya langit begitu kelam, seolah menyimpan rahasia gelap yang tak ingin diungkap. Tak ada bintang, apalagi bulan. Hanya ada angin dingin yang menusuk tulang, berembus lembut dari jendela kamar yang terbuka. Nirmala termenung di sana, menopangkan kepalanya pada kusen jendela. Rambut sebahunya bergoyang lembut ditiup angin, wajahnya terlihat berat penuh beban. Pandangannya menerawang jauh menembus pekarangan rumah yang sunyi tetapi pikirannya melayang entah kemana."Huh .... "Helaan napas kembali lolos dari bibirnya. Pundak yang beberapa waktu lalu mulai ringan, kini kembali memberat oleh segala tekanan yang menghimpit."Apa yang harus aku lakukan? Kenapa tidak berjalan seperti yang aku inginkan," gumamnya dengan suara yang dipenuhi kegelisahan yang sulit diungkapkan.Ponsel di meja bergetar, menyental lamun wanita itu. Layar ponselnya menyala dan terpampang satu nama yang membuat hatinya bergetar. 'Bhaskara's Calling'.Panggilan itu sudah muncul lebih dari