"Aku suka padamu, mau jadi pacarku?"
Kantong makanan Ivy jatuh, matanya terasa buram melihat sang kekasih tengah memeluk seorang gadis di depan pintu apartemen pria itu. "Bagaimana dengan pacarmu?" "Aku tak mencintainya lagi." Ivy menggeleng kuat, pedih mencengkeram dadanya. Ia berusaha bernapas susah payah. Air mata jatuh berderai ketika sang gadis berlari pergi membawa hatinya yang hancur. "Molly, kau di bar?" Ivy terisak, mengusap air mata sambil masuk ke dalam taxi yang baru saja berhenti. "Ya! Tapi di bar lagi sibuk, ada tamu VIP yang datang! Kenapa?" Ivy menggeleng, suaranya tercekat air mata. "Iv, ada apa?" Suara ribut terdengar di latar belakang sambungan telepon sahabatnya. "Aku ke sana ya." "Ok, nanti aku coba curi waktu buat nemuin kamu." "Ok." Ivy mematikan ponsel dan menangis tergugu. Perjalanan cintanya selama 5 tahun sudah hancur, sang kekasih ternyata mengkhianatinya. *** Bar Stars. "5 tahun kami pacaran Molly! Si sialan itu bilang tak mencintaiku lagi!" Ivy menegak teguila-nya. Entah sudah gelas ke berapa. "Cukup, Iv! Kau sudah mabuk!" Molly meraih gelas Ivy, menjauhkan dari gadis malang itu. "Molly! Berikan padaku!" "Molly!" Rekan kerjanya berteriak. "Bos memanggilmu!" "Iv, aku pergi dulu. Jangan ke mana-mana ok! Jangan minum lagi!" Molly beranjak pergi tergesa-gesa. "Mana minumanku?" Pandangan Ivy mulai ganda, sang gadis meraba-raba sekitar, tak menemukan gelas yang sudah dibawa Molly. "Bartender! Hei! Aku butuh vodka!" Tak ada yang menjawab karena suasana memang sedang ramai, apalagi musik berdentum heboh. Ivy berjalan sempoyongan, berniat menuju meja bar, tapi baru beberapa langkah, dia merasa ingin ke toilet. Ivy berbelok arah, melihat sekumpulan gadis-gadis sedang mengantri memasuki sebuah ruangan. "Toilet ya?" Dia ikut mengantri. "Cepat! Cepat!" Seseorang mendorongnya dari belakang. Ivy masuk ke sebuah kamar penuh dengan gadis-gadis cantik nan seksi yang berjajar rapi. Ivy yang kebingungan dibariskan sejajar dengan gadis host. Cahaya ruangan temaram memperlihatkan aksi erotis dari penghuni ruangan ini. Beberapa pria sedang meliuk agresif di atas tubuh-tubuh tanpa sehelai benang pun di karpet bulu. Mencecap kenikmatan dunia. Jantung Ivy langsung berdetak tak karuan. Apa-apaan ini? "Hanya ini yang kau punya?" Suara bass seorang pria menarik atensi Ivy. Pandangannya yang buram membuat Ivy tak bisa melihat jelas wajah pria itu, tapi sang gadis tahu, postur tubuh si pria terlihat proporsional, menarik di mata. Pria memesona itu duduk menyilangkan kaki, sementara gadis-gadis bergelimpangan di bawah kursinya dengan sikap memuja. "Ini gadis-gadis baru yang kau minta, Tuan!" Si pria memesona mengangguk paham, memindai melalui retina hijau cemerlangnya, menatap tajam tubuh para gadis. Molek dan aduhai, mampu membuat darah para pria berdesir panas. Lantas ia berdiri, melangkah dari ujung terjauh Ivy. Beberapa gadis mendelik centil, ada juga yang menyentuh dada dengan gerakan sensual seraya mengedipkan matanya menggoda. Degup jantung Ivy berdetak tak karuan. Tatapan itu bisa membunuh hati seorang wanita dalam arti harfiah. Damn! He's so hot! Dengan kemeja yang terbuka beberapa kancing atasnya, memperlihatkan collarbone seksi. Ivy lupa kenapa dia berdiri dan menunggu bukannya protes dan berteriak memarahi pelayan Bar Stars yang mengira bahwa dia adalah salah satu dari gadis host, hanya karena ia salah ngantri. "Permisi! Sorry! Excuse me! Hello!" Tak ada yang menjawab panggilannya. Ivy hendak beranjak pergi, tapi langsung ditarik kembali ke dalam barisan. "A-aku bukan—" "Berdiri yang bagus, jangan mengacau!" Pelayan bar memarahinya. Si pria VIP mulai memegang dagu gadis-gadis satu per satu untuk mengamati wajah mereka. Para host berharap dipilih olehnya, mereka tersenyum semanis gula dan menggoda si pria dengan gerakan vulgar. Bukannya tertarik, pria itu menatap mereka dengan ekspresi datar. Sampai akhirnya ia tiba di hadapan Ivy. Mata keduanya bertemu. Senyum di bibir pria tampan itu terulas, miring, tertarik ke atas di satu sisi. Seolah dia menemukan sesuatu dalam wajah si gadis. Apa ada yang lucu? Apa yang dia lihat? Ivy mengedip bingung. "Aku pilih yang ini." Ia menunjuk Ivy. "Apa?!" Ivy tak menyangka dia akan dipilih. Napas panasnya menerpa wajah Ivy saat pria itu mendekat. Bibir merahnya berbisik, membuat tubuh Ivy merinding. "Kau ... milikku malam ini." "Ok! Yang lain keluar!" Pelayan berteriak, meminta gadis-gadis host berbaris keluar, mereka terdengar kecewa dan mendesah kesal. Bagaimana bisa, gadis mabuk berpenampilan biasa saja bisa membuat tamu VIP ini tak mengalihkan pandangan dari wajahnya. Bahkan salah seorang gadis dengan sengaja menyenggol kaki Ivy saat ia berjalan ke pintu. Ivy yang hampir terjatuh disambut oleh tangan kekar pria tampan itu. "Bos! Kapan kau mulai? kami sudah bersenang-senang." Para pria yang dilihat Ivy sebelumnya semakin semangat melebarkan kaki gadis di bawahnya. "Diamlah kalian. Siapa namamu?" "Ivy Gilmore," jawab Ivy, berusaha melepaskan diri dari kungkungan kuat pria perkasa itu. "I'm sorry, sepertinya kau salah paham, aku bukan host." Ivy kembali limbung, pria itu menahan kuat pinggang ramping Ivy. "Aku tak peduli, aku sudah membayar mahal untuk malam ini." Jawaban pria itu membuat Ivy tak percaya. Gadis itu panik, melambaikan tangannya. "Apa kau mabuk?" "Kau yang mabuk, Ivy." Jemari panjang berurat milik pria itu mengusap bibir Ivy perlahan. "Sorry, Tuan—" Bohong jika Ivy bilang dia tak tertarik, pria ini memiliki sex appeal yang kuat, tapi pemandangan sensual di ruangan ini membuatnya ketakutan. "Daniel." Bahkan suara seksinya membuat darah Ivy berdesir. "Tuan Daniel, dengar! Cari saja gadis lain, aku bukan—" Bibirnya langsung dibungkam ciuman panas. Ivy melawan, mendorong tubuh atletis Daniel, tapi pria itu bergeming. Lambat-laun perlawanan Ivy berhenti, alkohol mengaburkan akal sehatnya. Ciuman manis Daniel terlalu memabukkan untuk ditolak. Daniel melepaskan ciumannya supaya Ivy bisa menarik napas sesaat. "Sudah kubilang, aku tak peduli. Kau milikku malam ini." Tanpa persetujuan, Daniel membopong tubuh Ivy, membawanya ke sofa empuk. Detak jantung Ivy hampir melompat keluar dari rongga dada, dia belum pernah bersetubuh sebelumnya. "Tunggu dulu, Daniel!" Zoe memerangkap wajah tampan di hadapannya. "Aku perlu ke toilet." "Kau bisa melakukannya di sini." Daniel menekan area perut bawah Ivy, membuat gadis itu menggelinjang geli. "A-aku perlu minum." Daniel meraih botol wiski di meja kaca, minum dari mulut botol dan langsung mengecup bibir Ivy, menyalurkan cairan tersebut. Seumur hidup, Ivy belum pernah mendapat perlakuan sevulgar ini, bahkan dengan mantan pacarnya saja hanya ciuman biasa tanpa pertukaran saliva. Harusnya Ivy merasa jijik, tapi tidak! Ya tidak! Cairan yang turun ke tenggorokannya terasa semanis madu. Mungkin dia sudah gila, sakit hati membuatnya mabuk dan terjebak dengan pria asing ini. Oh, Damn! Seolah harinya tak cukup buruk. "Ivy." Namanya dilantunkan penuh pujaan, wanita mana yang tak suka dipanggil seperti ini. Ivy menjawab dengan desahan lirih. "Daniel, aku ...." "Hm?" Daniel mengecup sisi leher Ivy yang jenjang, menandai kulit mulus gadis ini. "Daniel, sebentar." Ivy melenguh, bagian sensitif di belakang telinganya disentuh pria tampan itu. Bibir Daniel tersenyum semakin lebar, wanita begitu mudah ditaklukkan di bawah kakinya. "Ivy. Kita perlu pemanasan. Aku ingin kau menikmatinya." "Jangan. Aku belum pernah melakukannya." Entah kenapa dia mengakui hal tersebut di depan orang asing yang baru pertama kali bertemu, Ivy merasa berani karena alkohol. "Sungguh?" Mata Daniel berbinar senang. Seorang perawan. Sangat sulit dijumpai di bar murahan seperti ini. Wah! Hari ini dia merasa sangat beruntung. "Lepaskan aku!" Ivy mendorong Daniel, berusaha menelusup lewat celah tubuh sang pria. Daniel tertawa kecil, membiarkan Ivy merangkak menuju pintu. "Bos, kelincimu mencoba kabur!" Tawa mesum mereka semakin membuat Ivy takut. Daniel tertawa bersama mereka, berjalan santai dan menarik kaki jenjang Ivy. "Sudah kubilang, kau milikku malam ini!" Dia melempar gadis malang itu ke sofa. "Oh tidak!" Ivy berseru ngeri, melihat Daniel mulai melucuti pakaiannya.Daniel menindih tubuh Ivy, merobek gaun sang gadis dalam sekali sentakan kuat. "Please don't! Please, lepaskan aku! Aku bukan host!" Ivy mengulang kalimat yang sama karena ketakutan.Belum pernah ada gadis yang menolaknya selama ini, Daniel merasa tertantang oleh penolakan Ivy."Aku akan memberimu uang banyak, rumah, pakaian bagus, kau hanya perlu tidur denganku." Tangan besarnya menyentak lepas pakaian dalam sang gadis."Tidak! Aku tak mau, lepaskan aku!" Ivy masih mencoba memberontak.Kedua tangannya lalu dikungkung Daniel di atas kepala, bibir pria itu kembali meraup bibirnya."Hmp!" Betapapun Ivy menolak, kekuatannya tak sebanding dengan pria berotot ini.Sialnya lagi, Ivy adalah seorang perawan, sementara Daniel begitu hebat dalam beraksi, membuat sang gadis akhirnya tak bisa lagi membedakan realita dan fantasi. Jari panjang sang pria masuk ke dalam tubuhnya, merangsang hasrat terpendam. Mula-mula terasa pedih, lambat laun menjadi kenikmatan tiada tara.Ivy melenguh, berusaha me
Bip! Bip!Daniel menatap layar di ponselnya, sebuah titik merah berkedip dan bergerak menjauh dari Mansion Forrester.Bibirnya tertarik membentuk senyuman lebar. Dia tak menyangka gadis cantik di bar murahan itu akan kabur setelah sadar, bahkan setelah melihat kamar mewah yang ia tempati.Biasanya gadis-gadis menunggu kehadirannya, bernegosiasi tentang cinta atau uang, tapi Ivy berbeda. Seperti kelinci yang ketakutan, gadis itu memilih kabur.Seorang yang berjiwa pemburu seperti Daniel lebih tertarik pada mangsa yang memberontak daripada yang pasrah. Ia menjilat bibirnya sambil tersenyum penuh minat. "Ivy, kau tak akan bisa lari dariku."Bip!Pelacak tersebut berdenyut, menuju apartemen di pusat kota.Ivy membuka pancuran, meringkuk gemetar di bawah curahan air hangat. Ia menggosok tubuhnya berulang kali sampai memerah. Plak!Sang gadis menampar pipinya sendiri. "Bodoh! Dasar bodoh!" Kenapa dia harus mabuk? Kenapa dia tak bisa melawan? Ivy mengencam ketidakberdayaannya.Bam! Bam! Ge
"Kenapa kau menangis?" Wanita paruh baya itu tampak terkejut melihat Ivy masuk ke ruang laundri dengan wajah basah.Ivy menggeleng malu. Cepat-cepat membantu Janice mengerjakan laundri."Kenapa lama sekali baru datang?" Janice memang tak pernah ramah padanya, Ivy tahu sejak pertama kali masuk kerja. Bagi Janice, Ivy sering membuat fokus pekerja lain kacau karena wajah cantiknya."A-aku ....""Kau mengacau lagi? Kau belum selesai saat tamu datang?"Ivy terdiam."Astaga! Jadi benar!" Janice memukul jidat lebarnya tak percaya. "Kita bakal dapat komplain.""Ma-maaf, aku sudah buru-buru, tapi ....""Stt! Udah diam! Kamu bakal aku laporin ke manager!""Please, Janice! Jangan begitu." Ivy sangat butuh pekerjaan ini.Janice tak peduli, berjalan cepat keluar dari ruangan laundri. Ivy segera menyusul wanita paruh baya pemarah itu."Janice, tunggu!" Ivy hampir terjerembap saking terburu-burunya."Diam di sana!" Lemak Janice berdentum setiap kali dia mengambil langkah cepat."Janice, kumohon! Jan
Bam!Ivy menendang pintu flat Kevin sampai bergetar kuat.Kemarahannya sudah memuncak, tak cukup hanya mengkhianatinya, sekarang pria berengsek ini juga menjadikannya jaminan pinjaman."Kevin! Buka pintunya! Keluar kau! Sialan! Kevin!"Bam!Seorang penghuni di samping flat kevin keluar. "Hei! Jangan ribut-ribut di sini! Kau cari Kevin? Dia sudah pindah tadi sore!""A-apa?""Iya, dia sudah pindah, semua barang-barangnya sudah dibawa! Kalau kau punya masalah dengannya telepon dia!"Sialnya lagi, bukan Ivy tak mencoba menghubungi Kevin, tapi pria itu sudah memblokir nomornya.Ivy tak tahu harus bagaimana lagi, dia tak punya tempat tinggal dan tabungan. Managernya juga tak bersedia meminjamkannya uang, apalagi Molly yang harus menjadi tulang punggung keluarganya.Gadis itu berjongkok memeluk tubuhnya, menangis tergugu. Uang dan kesucian, dia sudah kehilangan semuanya.Sepasang kaki muncul dalam bidang pandang Ivy. Gadis itu menengadah, mengira Kevin telah kembali. "Ka-kau ...." Matanya m
Mobil La Rose Noire Droptail berwarna merah itu berhenti di depan Ivy. Pintunya terbuka dan menampilkan sepatu kulit mahal dari sang pemilik.Daniel Forrester berdiri di hadapan Ivy dengan tangan terulur padanya. "Aku datang menjemput pengantinku." Ia menunggu sampai Ivy menerima uluran tangannya. Dalam sekali sentakan, pria itu menarik Ivy ke dalam pelukan hangat."Daniel ...." Ivy terkesiap."Kau bisa menangis di dadaku." Dengan perlahan, pria tampan itu menepuk punggung Ivy.Rahang Ivy berkedut, menahan gejolak emosi. Air matanya tak bisa dibendung, dia kembali menangis pedih, memeluk tubuh Daniel seperti memeluk sekoci di lautan lepas. Pria ini, adalah tempat dia menggantungkan hidup, mulai dari sekarang."Ayo!" Daniel mengurai pelukan mereka, membukakan pintu bagi Ivy. Sang gadis begitu terpukau dengan interior mewah yang berwarna senada dengan cat mobil. Indah. Elegan. Mahal. Dia jadi takut mengotori jok, mengingat tadi sempat duduk di pinggir jalan."Kenapa? Kau tak suka denga
Sret!Goresan pena membuat Ivy terkejut, bagaimana tidak, Daniel seolah tahu tandatangannya seperti apa. "Bagaimana kau ....""Kau yang menggoresnya sendiri, Iv. Aku hanya menuntun tanganmu ke sana." Dengan cepat Daniel meraih kembali surat perjanjian tersebut, yang langsung diserahkan kepada pelayannya. "Simpan di kamarku.""Baik, Tuan."Ivy merasa ragu, apa karena kepalanya pusing sampai dia seperti berhalusinasi? Apa memang benar dia yang menggores tanda tangan sendiri?"Ayo kita makan, setelah itu kau harus istirahat. Besok akan jadi hari yang panjang.""Kenapa?" tanya Ivy heran."Besok Christian, sekretarisku akan membawamu pergi berbelanja keperluan.""Bajuku masih ada, aku tak perlu apa pun." Daniel tertawa kecil, menangkupkan tangan dan bertopang dagu. "Semua bajumu sudah disingkirkan.""Apa?! Tasku tadi ....""Barusan aku menyuruh pelayan membuangnya.""Kenapa?! Baju-bajuku masih layak pakai!" Nada suaranya meninggi, dia tak suka Daniel bertindak sesukanya tanpa memberi tah
"Siapa?" tanya Ivy takut-takut. "Nona, saya mengantarkan minuman." Alis gadis itu berkerut heran, dia membuka pintu perlahan. Seorang pelayan membawakan nampan berisi minuman hangat yang masih mengepulkan uap panas. "Terima kasih." Apa setiap subuh tamu memang disuguhkan teh hangat? Ivy bertanya-tanya dalam hati. Si pelayan membungkuk dan berlalu. Ivy membawa tehnya masuk, merasa heran. Dia menyesap lamat-lamat sambil memperhatikan plafon. Bagaimana mereka bisa tahu dia sudah bangun? Tidak terlihat CCTV di ruangannya. Untungnya tehnya terasa enak, perlahan ... kekhawatiran Ivy mengendur bersama bau melati yang menenangkan. Sang gadis merasa ngantuk lagi, dia kembali berbaring setelah meletakkan cangkir teh di nakas. Ivy tertidur sampai seseorang mengetuk pintunya lagi. Pelayan memberitahunya jika sekretaris Daniel sudah tiba dan hendak membawanya pergi berbelanja. Sang gadis bergegas membersihkan diri dan mengganti baju yang sudah disediakan untuknya. Satu set gaun Chan
"Tidak, Tuan Daniel belum pernah menikah, tapi sempat punya beberapa tunangan sebelumnya." "Beberapa?" tanya Ivy terkejut. Berarti tunangan pria ini lebih dari satu. "Ya. Tak sampai menikah, semua putus di tengah jalan." "Kenapa?" Christian membetulkan dasinya dengan sikap canggung. "Untuk masalah ini sebaiknya Nona Ivy menanyakan langsung pada Tuan Daniel, saya tidak mempunyai hak memberitahukannya." Pintu lift berdenting terbuka. Pria itu mempersilakan Ivy keluar. Sebuah limousine hitam terparkir di depan mansion. Christian berjalan mendahului Ivy, lalu membukakan pintu untuknya. Ivy mengangguk sopan dan masuk ke dalam. "Hi, Honey!" Suara Daniel menyapa telinga Ivy. Gadis itu meneguk saliva gugup, menatap terpukau pria tampan bermata hijau itu. Kemeja hitam yang membalut tubuh ramping Daniel membuat pria ini terlihat semakin mahal. "Kau bisa menelanku dengan bola matamu." Daniel terkekeh melihat ekspresi Ivy yang salah tingkah. "Ki-kita akan ke mana?" Ivy membuang wajah
Ivy menarik napas panjang saat ia membuka pintu rumah kecilnya. Bau kayu tua dan aroma lavender dari lilin yang biasa ia nyalakan menyambutnya. Hari ini, ia siap menghadapi kebenaran. Ya! Semua tentang Christian dan Nicolas. Bagaimana mereka bisa saling mengenal, bagaimana Christian tahu Nicolas meracuninya.Ia meletakkan recorder di atas meja, menyalakan lampu ruang tamu yang remang, dan mulai berjalan ke dapur untuk mengambil air. Akan tetapi, langkahnya terhenti saat mendengar suara aneh dari luar jendela—seperti langkah berat, diseret.Tok! Tok! Tok!Ketukan keras mengentak pintu depan. Ivy mendekat, jantungnya mulai berdebar tak karuan. Sebelum sempat bertanya siapa di balik pintu, suara keras menghantam kayu, pintu didobrak paksa.“Apa yang—?!”Dua pria bertubuh besar berpakaian gelap masuk dengan cepat. Tanpa mengucapkan sepatah kata, mereka langsung merusak isi rumah. Vas hancur, lampu terlempar ke lantai, dan recorder jatuh ke lantai, ditendang ke dinding sampai hancur.Ivy m
Amy duduk anggun di ruang baca pribadi miliknya, lampu gantung kristal memantulkan cahaya temaram ke rambutnya yang ditata rapi. Di tangannya, secangkir teh melati menghangatkan jemari. Pintu diketuk pelan, lalu seorang pria bersetelan gelap masuk membawa amplop cokelat tebal.“Saya membawa kabar terbaru, Nyonya.”Amy menaruh cangkirnya ke atas meja kecil, mengambil amplop itu dengan anggun, sorot matanya tajam penuh ekspektasi. Ia membuka perlahan dan menarik beberapa lembar foto.Satu per satu, foto-foto itu ia amati. Wajahnya datar, sampai matanya menangkap gambar Christian—berdiri di depan gerbang sebuah kompleks sederhana, mengenakan pakaian kasual. Beberapa foto lain memperlihatkannya keluar dari rumah kecil yang tampak akrab bagi Amy.Tatapannya membeku saat melihat Ivy muncul di foto berikutnya. Rambut Ivy terikat rapi, wajahnya pucat, tapi tetap terlihat memesona. Ia menggendong seorang bayi dan berdiri di depan rumah itu bersama Christian.Senyum tipis mulai membentuk di bib
Daniel terbangun dengan sakit kepala kuat, ia terkejut menyadari seseorang berada di sampingnya.Wanita itu meringkuk tak berdaya, kedua pergelangan tangannya lebam, begitu juga dengan sudut bibir yang pecah dan rambut berantakan."Siapa kau?" tanyanya heran. Sama sekali tak mengingat apa yang telah dia lakukan semalam, tangan Daniel terulur hendak menyentuhnya. Wajah wanita itu tampak familier.Si wanita menangis histeris, menggeleng kuat ketakutan."Fuck!" Daniel memaki kesal. Christian membawanya ke sini dan dia lagi lagi lepas kontrol. Ah! Kebiasaan buruknya sepertinya kembali lagi."Ivy ...," lirihnya galau.Daniel meraih bajunya buru-buru, ia membuka pintu ruang VIP itu. Anak buahnya menunggu sigap."Urus semuanya!" perintah Daniel, berjalan cepat menuju pintu keluar."Baik, Bos." Salah satu anak buahnya masuk ke dalam kamar, melemparkan uang pada wanita itu dan beranjak pergi."Mana Christ?" tanya Daniel setelah masuk ke dalam mobilnya. "Tuan Christ sudah menunggu di mansion."
Lampu-lampu neon kelab malam berpendar liar dalam bayangan gelap ruangan. Musik mengentak telinga, aroma alkohol dan parfum mahal memenuhi udara. Daniel duduk di sofa VIP, dasi longgar tergantung di leher, matanya setengah tertutup karena pengaruh alkohol.Christian duduk di seberangnya, gelas wine di tangan. Tatapannya santai, menilik pada gadis-gadis seksi yang tengah menari liar. “Kau butuh melepaskan semua itu dari pikiranmu, Tuan” ujarnya, mengisyaratkan pada pelayan untuk menuangkan lagi minuman.Daniel menghela napas berat. “Aku kehilangan Ivy, Christ. Tak ada yang lebih buruk dari itu.” Gelasnya sudah kosong, entah sudah ke berapa kali di menambah minuman keras itu.“Tuan, kau dulu tak peduli pada hal begini. Wanita bagimu hanya objek. Mereka bisa datang dan pergi, ucap Christian. Benar! Jika itu dirinya yang dulu, Daniel mungkin tak akan terpuruk begini. Ivy sudah pernah lari darinya, bukan tak mungkin dia memang sengaja menghilang lagi. Apa Nicolas berhasil meluluhkan hati
Di ruang bawah tanah mansion Forrester, cahaya lampu redup berpendar pucat. Udara lembap dan bau keringat bercampur darah memenuhi ruangan. Di tengahnya, Daniel berdiri dengan wajah garang, kemejanya kusut, dan tangan kanannya masih berlumur darah.Seorang anak buahnya tergeletak di lantai, tubuhnya memar dan berdarah. Dua orang lainnya berlutut di sudut ruangan, gemetar ketakutan.“Dua bulan,” desis Daniel, suaranya tenang, dingin. “Sudah dua bulan kalian mencari ... dan tak satu pun dari kalian bisa membawanya kembali!”“Tu-tuan Forrester, kami—”Buk!Daniel memukul anak buahnya sekuat tenaga sampai pria itu muntah darah. "Sialan! Kalian sama sekali tidak becus!"Buk!Sebuah tendangan keras menghantam pria itu, membuatnya jatuh dengan teriakan parau. Daniel mencengkeram kerah bajunya, menariknya hingga hidung mereka nyaris bersentuhan.“Ivy adalah milikku,” ucap Daniel, matanya merah penuh amarah. “Kalau kalian tak bisa menemukannya, maka kalian tak layak hidup!”Anak buah lain menc
Amy duduk di balkon kamar, angin sore meniup lembut gaun hamilnya. Wajahnya lelah, tapi matanya masih menyimpan api ambisi yang belum padam. Di hadapannya, Christian berdiri dengan tangan menyelip di saku celana, ekspresinya datar, penuh perhitungan.“Aku ingin kau menjauhkan Ivy dari Daniel,” ujar Amy pelan. “Aku tak peduli bagaimana caranya. Asal mereka tak pernah bertemu lagi.”Christian memiringkan kepala. “Dan jika aku menolak?”Amy menatapnya tajam. “Aku tahu cukup banyak rahasiamu untuk menghancurkan kredibilitasmu di depan Daniel.”Christian tertawa pelan, tak terintimidasi. “Baiklah. Aku akan urus.”Namun saat ia meninggalkan balkon itu, senyumnya berubah samar. Bukan Ivy yang harus dijauhkan, tapi kenyataan yang harus dihadapi Daniel.***Beberapa hari kemudian, Daniel tengah berjalan bersama Amy di sebuah toko bayi ternama. Amy memaksa Daniel menemaninya memilih pakaian dan perlengkapan bayi. Meski enggan, Daniel menuruti demi menjaga ketenangan.Amy tengah sibuk memilih pa
"Tidak ada! Dia tak ada di manapun! Ayah aku harus bagaimana?" Nicolas terpuruk di tengah jalan, tak tahu harus mencari di mana. Mr. Jacob menghela napas keras. "Christian pasti sudah membawanya. Sekarang kita datangi Mr. Sean."Nicolas merasa separuh jiwanya telah hilang, dia tampak linglung."Ayo, Nak. Kita harus merebut kembali menantu dan cucuku, apa pun yang terjadi." Mr. Jacob menarik putranya bangkit, menyeretnya ke mobil. Mereka lalu melaju menuju tempat tinggal Mr. Sean.Sean tak menyangka bakal mendapat tamu tak diundang. Kedua pria itu masuk ke dalam ruangannya dengan wajah muram, terutama Nicolas."Ada apa? Kenapa wajah kalian begitu? Apa obatnya tak berefek?"Mr. Jacob mendesah sambil memijit pelipisnya. "Justru obat itu berhasil. Hanya saja, hari ini menantuku sudah kabur dibawa orang.""Oh." Alis Mr. Sean terangkat tinggi. Ia menangkupkan tangan di atas meja kerjanya. "Kau yakin menantumu tak melarikan diri sendiri?""Ceritakan apa yang Ivy katakan padamu, Nic." Mr. Ja
Saat Nicolas dan Mr. Jacob pergi mencari tempat baru. Ivy segera meninggalkan rumah dengan membawa Dean bersamanya.Ia memanggil taksi, berangkat ke tempat yang dijanjikan. Jantungnya bertalu tak karuan. Bangunan hotel yang ia tuju adalah yang paling bagus di kota kecil ini.Ivy masuk ke dalam, bertanya pada resepsionis dan langsung di arahkan ke kamar hotel di lantai 3. Pria itu sudah memberitahu petugas layanan untuk memberinya kartu kamar tersebut.Ivy membuka pintu kamar hotel dengan ragu, langkahnya pelan. Interior kamar deluxe itu begitu mewah, bertolak belakang dengan kehidupan sederhana yang selama ini ia jalani. Di dalam, Christian berdiri di dekat jendela besar, tubuh tegapnya dibalut jas hitam. Ia menoleh cepat saat melihat Ivy masuk.“Ivy,” sapanya singkat, senyumnya seketika merekah cerah.Ivy membalas anggukan kecil. “Kau memanggilku ke sini ... ada apa?” Ivy tak bertanya kenapa pria ini tahu namanya. Sudah jelas dari pandangan si pria bahwa mereka saling mengenal. Sayan
Nicolas kembali ke rumah setelah hari telah sore. Dengan tawa canda bersama ayahnya, mereka masuk ke dalam rumah. Ivy tengah menyiapkan makanan. Wajahnya tampak sangat muram."Ada apa, Sayang?" Nicolas menyapa Ivy sekaligus menanamkan kecupan mesra ke pipi istrinya. "Kenapa wajahmu begitu? Ada yang membuatmu kesal?"Mr. Jacob terkekeh melihat kemesraan anak dan menantunya. "Kita mungkin kelamaan. Menantuku pasti sudah lelah menunggu untuk makan malam sama-sama." Pria paruh baya itu langsung sigap pergi mencuci tangan supaya bisa menggendong cucunya."Mana Deanku Sayang. Sudah makan belum? Mau kakek suapin?" Mr. Jacob meniru suara anak-anak, membuat Nicolas tertawa mendengarnya. Ivy tetap diam. Ia mengedarkan makanan ke piring-piring mereka. Duduk di kursinya dan makan dalam keheningan."Kenapa? Kepalamu pusing lagi?" Nicolas berinisiatif memijit bahu Ivy."Tidak perlu. Makan dulu." Ivy menghindar menunjuk ke piring Nicolas."Oh, ok." Nicolas menggaruk kepalanya yang tak gatal. Mungk