"Kenapa kau menangis?" Wanita paruh baya itu tampak terkejut melihat Ivy masuk ke ruang laundri dengan wajah basah.
Ivy menggeleng malu. Cepat-cepat membantu Janice mengerjakan laundri. "Kenapa lama sekali baru datang?" Janice memang tak pernah ramah padanya, Ivy tahu sejak pertama kali masuk kerja. Bagi Janice, Ivy sering membuat fokus pekerja lain kacau karena wajah cantiknya. "A-aku ...." "Kau mengacau lagi? Kau belum selesai saat tamu datang?" Ivy terdiam. "Astaga! Jadi benar!" Janice memukul jidat lebarnya tak percaya. "Kita bakal dapat komplain." "Ma-maaf, aku sudah buru-buru, tapi ...." "Stt! Udah diam! Kamu bakal aku laporin ke manager!" "Please, Janice! Jangan begitu." Ivy sangat butuh pekerjaan ini. Janice tak peduli, berjalan cepat keluar dari ruangan laundri. Ivy segera menyusul wanita paruh baya pemarah itu. "Janice, tunggu!" Ivy hampir terjerembap saking terburu-burunya. "Diam di sana!" Lemak Janice berdentum setiap kali dia mengambil langkah cepat. "Janice, kumohon! Jangan laporkan aku!" Ivy merasa ingin menangis, kesialan terus datang beruntun menghajar harinya. "Pak Richard, bisa minta waktumu sebentar!" Janice melihat Richard yang baru saja keluar dari ruangannya. Ivy berhasil menyusul Janice yang telah tiba di lobi, ia menarik lengan wanita gemuk itu hingga mundur beberapa langkah ke belakang. "Janice!" mohon Ivy putus asa. "Lepaskan!" Janice mengempaskan tangan Ivy kasar. "Ada apa ribut-ribut?" Richard menghampiri kedua pekerjanya, sesekali tangannya membetulkan letak kacamata dengan alis berkerut masam. "Ivy, Pak!" Ivy langsung membekap mulut Janice dalam usaha putus asanya. "Puih, lepaskan!" "Pak, Pak, aku bisa menjelaskan ...." "Diam!" teriak Richard. "Biarkan Janice bicara, Ivy!" Mau tak mau Ivy melepaskan Janice, kepalanya tertunduk lemas. "Pak! Ivy belum selesai bekerja saat tamu datang." "Apa?!" Mata kecil Richard mendelik. "Ya, hari ini saja dia terlambat datang!" teriak Janice, sengaja mempermalukan Ivy hingga semua karyawan bisa mendengar kalimatnya. "Ivy!" hardik Richard dengan suara membahana. "Sekarang juga, ikut aku ke ruangan VIP buat minta maaf! Gajimu bakal aku potong untuk kompensasi tamu kita!" Oh tidak! Ivy merasa lemas, gajinya saja sudah kecil, jika dipotong, bisa dipastikan dia tak akan bisa bertahan hidup sampai akhir bulan. "Pak, tolong, aku—" "Ada apa ini?" Suara dalam dan seksi seorang pria terdengar. Semua atensi beralih padanya. "Mr. Forrester!" seru Richard terkejut. Ya! Daniel Forrester dengan setelan necisnya menghampiri mereka bak pangeran yang dikelilingi pengawal kerajaan. Mata zamrud Daniel berlabuh pada Ivy, bibirnya tertarik membentuk senyum miring kecil nan culas. "Maaf dengan keributan ini, kami baru saja ingin mengunjungi Anda untuk meminta maaf." Janice diam-diam tersenyum mengejek ke arah Ivy, membuat gadis itu merasa mendidih. "Minta maaf masalah apa?" Alis tebal Daniel terangkat sebelah. "Ah, itu ...." Richard menggosok kedua tangannya canggung. "Maaf atas ketidaknyamanan pelayanan kami, salah satu karyawan kebersihan melakukan kesalahan. Ivy kemarilah!" Ivy maju selangkah, masih tak berani mengangkat kepala saking malunya. "Minta maaf pada Tuan Forrester!" "A-aku ...." "Tidak usah!" Ucapan Daniel membuat mereka semua melongo, Ivy sampai mengangkat kepalanya bingung. "Sorry?!" tanya Richard. "Aku yang menerobos masuk padahal sudah diberi tahu belum siap oleh petugas resepsionis. Ini bukan salah Ivy." "Apa?!" Janice yang pertama bereaksi tak percaya. "Jangan khawatirkan masalah tak penting." Daniel menepuk bahu Richard, gesturnya begitu mengancam mengingat perbedaan tinggi badan keduanya. "Ah, ya. Ya. Terima kasih." Richard merespon kikuk. "Ivy sudah melayaniku sangat baik." Wajah Ivy merona merah, dia mengutuk mulut Daniel dalam hati. "Maksudku layanan kamarnya." "Oh." Richard tersenyum lega. "Besok dan hari seterusnya, selama aku menginap di hotel ini. Pastikan hanya Ivy yang membersihkan kamarku." Semua terdiam mendengar kata-kata Daniel. "Ingat! Aku tak mau orang lain, hanya Ivy saja." "Baik! Baik!" "Jangan membuatnya terlalu kelelahan, nanti pelayanannya di kamarku menurun, kau mengerti." Intonasi Daniel membuat bulu kuduk Richard merinding. "Baik, Tuan! Akan kami ingat." "Bagus!" Daniel mengangguk puas. Ia lalu mendekati Ivy, menunduk supaya bisa berbisik di telinga gadis itu. "Kau berutang padaku." Napas panas pria itu membuat tubuh Ivy berdesir, masih teringat jelas kejadian ciuman panas mereka. Daniel menegakkan tubuh dan berjalan menjauh, jantung Ivy sudah hampir meledak saking tegangnya. Richard melotot ke arah Janice. "Lain kali jangan melaporkan hal yang tak valid!" hardiknya kasar. Janice menggigit bibirnya marah, tapi tak bisa berbuat apa pun selain meminta maaf. Perasaan Ivy menghangat melihat punggung Daniel yang berjalan menjauh. Pria mesum ini, ternyata tak seburuk yang ia sangka. *** "Apa?! Kau tidur dengan Daniel Forrester! Kukira kau menghilang ke mana setelah meninggalkan tas dan HP-mu!" Molly berseru tak percaya saat keduanya duduk di cafe sambil menyesap latte panas. Ivy menutupi wajahnya malu. "Sttt! Jangan keras-keras." "Gila! Kau dapat jackpot!" "Jackpot apanya, dia meniduriku Molly! Dia bahkan ... akh!" Ivy mengerang malu, bagaimana dia bisa menceritakan malam panas bersama pria kaya itu. Si pria sialan yang tak hanya merengut mahkotanya, tapi juga menanamkan benih ke dalam tubuh Ivy. Dia hanya bisa berdoa semoga tidak hamil karena one night stand. "Hubungi pria itu, minta pertanggungjawabannya." Molly tampak bersemangat. "Kau tak tahu siapa dia?" Ivy menggeleng lemah, yang dia tahu pria itu gila dan mesum. "Dia Daniel Forrester, pengusaha Otomotif yang sudah punya banyak cabang di setiap kota. Kau gila jika menolaknya! Dia konglomerat, Iv!" "Tidak!" Ivy menggigit bibirnya. Molly menarik napas dalam. "Gadis Bodoh. Bagaimana dengan Kevin?" "Jangan bicarakan dia lagi. Dia tak membayar sewaku selama dua bulan dan ...." Ivy memukul meja. "Dia selingkuh, Molly! Fuck!" "Sudah kubilang dia pria berengsek, Iv!" Ivy menyembunyikan wajahnya di lengan. "Dia berjanji, setelah selesai kuliah akan menikahiku." "Dan kau dengan bodohnya percaya, membantunya membayarnya uang kuliah." Bahu Ivy gemetar hebat, dia mulai menangis pedih. "Teganya dia begitu padaku, dia anggap apa perjuanganku selama ini?" "Sudah! Sudah! Percuma menangisi pecundang itu." "Tapi Molly, dia memegang semua uang tabunganku." "Apa?!" Molly memaki. "Bagaimana kau bisa sebodoh itu?" tanyanya tak percaya. Ivy tersedak air matanya. "Dia bilang kami harus menabung bersama supaya bisa cepat menikah." "Ambil kembali kalau begitu!" desak Molly penuh amarah. "Aku belum sanggup bertemu dengannya." "Astaga! Jadi sekarang gimana?" "Ga tahu, aku pusing." Semua hasil kerja kerasnya ada di tangan Kevin. "Kamu ga ada tabungan lain?" "Ga ada!" "Ampun, baru kali ini aku ketemu cewek sebodoh kamu, Iv." Molly memijit pangkal hidungnya. Ivy tak punya siapa pun untuk membantunya, sahabatnya ini seorang yatim-piatu. Karena itulah Ivy begitu mudah dibohongi oleh Kevin, pria yang mengatakan ingin bertanggung jawab atas hidup gadis malang itu. Ting! Tiba-tiba ponsel Ivy berbunyi, menampilkan pop-up notifikasi pinjaman online. Mata Ivy terbelalak tak percaya. "Oh tidak!" "Kenapa?" "Kevin memakai namaku melakukan pinjaman." Sudah jatuh tertimpa tangga, Ivy tak menyangka kesialan beruntun menghampiri hidupnya bertubi-tubi.Bam!Ivy menendang pintu flat Kevin sampai bergetar kuat.Kemarahannya sudah memuncak, tak cukup hanya mengkhianatinya, sekarang pria berengsek ini juga menjadikannya jaminan pinjaman."Kevin! Buka pintunya! Keluar kau! Sialan! Kevin!"Bam!Seorang penghuni di samping flat kevin keluar. "Hei! Jangan ribut-ribut di sini! Kau cari Kevin? Dia sudah pindah tadi sore!""A-apa?""Iya, dia sudah pindah, semua barang-barangnya sudah dibawa! Kalau kau punya masalah dengannya telepon dia!"Sialnya lagi, bukan Ivy tak mencoba menghubungi Kevin, tapi pria itu sudah memblokir nomornya.Ivy tak tahu harus bagaimana lagi, dia tak punya tempat tinggal dan tabungan. Managernya juga tak bersedia meminjamkannya uang, apalagi Molly yang harus menjadi tulang punggung keluarganya.Gadis itu berjongkok memeluk tubuhnya, menangis tergugu. Uang dan kesucian, dia sudah kehilangan semuanya.Sepasang kaki muncul dalam bidang pandang Ivy. Gadis itu menengadah, mengira Kevin telah kembali. "Ka-kau ...." Matanya m
Mobil La Rose Noire Droptail berwarna merah itu berhenti di depan Ivy. Pintunya terbuka dan menampilkan sepatu kulit mahal dari sang pemilik.Daniel Forrester berdiri di hadapan Ivy dengan tangan terulur padanya. "Aku datang menjemput pengantinku." Ia menunggu sampai Ivy menerima uluran tangannya. Dalam sekali sentakan, pria itu menarik Ivy ke dalam pelukan hangat."Daniel ...." Ivy terkesiap."Kau bisa menangis di dadaku." Dengan perlahan, pria tampan itu menepuk punggung Ivy.Rahang Ivy berkedut, menahan gejolak emosi. Air matanya tak bisa dibendung, dia kembali menangis pedih, memeluk tubuh Daniel seperti memeluk sekoci di lautan lepas. Pria ini, adalah tempat dia menggantungkan hidup, mulai dari sekarang."Ayo!" Daniel mengurai pelukan mereka, membukakan pintu bagi Ivy. Sang gadis begitu terpukau dengan interior mewah yang berwarna senada dengan cat mobil. Indah. Elegan. Mahal. Dia jadi takut mengotori jok, mengingat tadi sempat duduk di pinggir jalan."Kenapa? Kau tak suka denga
Sret!Goresan pena membuat Ivy terkejut, bagaimana tidak, Daniel seolah tahu tandatangannya seperti apa. "Bagaimana kau ....""Kau yang menggoresnya sendiri, Iv. Aku hanya menuntun tanganmu ke sana." Dengan cepat Daniel meraih kembali surat perjanjian tersebut, yang langsung diserahkan kepada pelayannya. "Simpan di kamarku.""Baik, Tuan."Ivy merasa ragu, apa karena kepalanya pusing sampai dia seperti berhalusinasi? Apa memang benar dia yang menggores tanda tangan sendiri?"Ayo kita makan, setelah itu kau harus istirahat. Besok akan jadi hari yang panjang.""Kenapa?" tanya Ivy heran."Besok Christian, sekretarisku akan membawamu pergi berbelanja keperluan.""Bajuku masih ada, aku tak perlu apa pun." Daniel tertawa kecil, menangkupkan tangan dan bertopang dagu. "Semua bajumu sudah disingkirkan.""Apa?! Tasku tadi ....""Barusan aku menyuruh pelayan membuangnya.""Kenapa?! Baju-bajuku masih layak pakai!" Nada suaranya meninggi, dia tak suka Daniel bertindak sesukanya tanpa memberi tah
"Siapa?" tanya Ivy takut-takut. "Nona, saya mengantarkan minuman." Alis gadis itu berkerut heran, dia membuka pintu perlahan. Seorang pelayan membawakan nampan berisi minuman hangat yang masih mengepulkan uap panas. "Terima kasih." Apa setiap subuh tamu memang disuguhkan teh hangat? Ivy bertanya-tanya dalam hati. Si pelayan membungkuk dan berlalu. Ivy membawa tehnya masuk, merasa heran. Dia menyesap lamat-lamat sambil memperhatikan plafon. Bagaimana mereka bisa tahu dia sudah bangun? Tidak terlihat CCTV di ruangannya. Untungnya tehnya terasa enak, perlahan ... kekhawatiran Ivy mengendur bersama bau melati yang menenangkan. Sang gadis merasa ngantuk lagi, dia kembali berbaring setelah meletakkan cangkir teh di nakas. Ivy tertidur sampai seseorang mengetuk pintunya lagi. Pelayan memberitahunya jika sekretaris Daniel sudah tiba dan hendak membawanya pergi berbelanja. Sang gadis bergegas membersihkan diri dan mengganti baju yang sudah disediakan untuknya. Satu set gaun Chan
"Tidak, Tuan Daniel belum pernah menikah, tapi sempat punya beberapa tunangan sebelumnya." "Beberapa?" tanya Ivy terkejut. Berarti tunangan pria ini lebih dari satu. "Ya. Tak sampai menikah, semua putus di tengah jalan." "Kenapa?" Christian membetulkan dasinya dengan sikap canggung. "Untuk masalah ini sebaiknya Nona Ivy menanyakan langsung pada Tuan Daniel, saya tidak mempunyai hak memberitahukannya." Pintu lift berdenting terbuka. Pria itu mempersilakan Ivy keluar. Sebuah limousine hitam terparkir di depan mansion. Christian berjalan mendahului Ivy, lalu membukakan pintu untuknya. Ivy mengangguk sopan dan masuk ke dalam. "Hi, Honey!" Suara Daniel menyapa telinga Ivy. Gadis itu meneguk saliva gugup, menatap terpukau pria tampan bermata hijau itu. Kemeja hitam yang membalut tubuh ramping Daniel membuat pria ini terlihat semakin mahal. "Kau bisa menelanku dengan bola matamu." Daniel terkekeh melihat ekspresi Ivy yang salah tingkah. "Ki-kita akan ke mana?" Ivy membuang wajah
Keduanya pulang ke Mansion Forrester, tak jadi pergi ke restoran lain lagi. Daniel ternyata sudah meminta chef memasak hidangan untuk mereka. Ivy makan sedikit dan pamit ke kamarnya. Terlalu lelah dengan beban mental. Air matanya tak mau berhenti meskipun sang gadis mencoba mengalihkan pikiran. Mengingat masa-masa bahagia bersama Kevin. Lucu, bagaimana orang bisa berubah setelah bertahun-tahun bersama. Apakah Daniel juga akan meninggalkannya setelah bosan? Setelah dia memberi pria itu keturunan? Ivy menggigit bibirnya cemas, ketakutan dicampakkan membuatnya terjaga semalaman.Bolak-balik di tempat tidur membuat Ivy merasa semakin frustrasi, dia butuh udara segar supaya benaknya yang kacau bisa tenang.Ivy membuka pintu kamarnya perlahan, langkah kakinya menelusuri koridor yang hanya disinari cahaya redup dari lampu-lampu yang telah dimatikan satu persatu. Mansion yang biasanya ramai dan penuh kehidupan kini terasa begitu sepi dan menakutkan.Langkahnya bergema di lantai marmer yang
Hari itu, matahari bersinar terang menyinari taman Mansion Forrester yang telah dihias dengan ribuan bunga dan lentera. Ivy dalam gaun pengantin putihnya yang mengalir lembut, melangkah pasti menuju altar yang terletak di bawah pohon oak rindang.Setiap langkahnya dipandu oleh alunan musik orkestra yang menggema melalui taman. Rambut Ivy yang dikepang dengan indah, berkilauan di bawah sinar matahari, memantulkan nuansa keemasan. Di tangan kanannya, dia memegang buket bunga lili dan mawar putih, simbol kemurnian dan keanggunan. Senyumnya, meskipun lembut, menyembunyikan kegugupan yang menerpa hati. Para tamu yang berdiri di kedua sisi lorong menyaksikan dengan kagum saat gadis itu berjalan melewati mereka. Sorot mata mereka penuh harapan dan kebahagiaan. Namun, ada juga yang menyimpan rasa iri dan bisik-bisik kecil tentang betapa beruntungnya Ivy. Gadis yang tak punya latar belakang ini berhasil menaklukkan konglomerat pujaan para wanita.Saat mendekati altar, tatapan Ivy tertuju pad
"Kenapa? Kau tak mau? Tak perlu malu, kita sudah sah menjadi suami-istri."Ivy menelan ludah gugup. Sebagai istri memang kewajibannya melayani suami dengan baik. Soal perut ataupun ranjang. Ivy dulu bertekad akan menjadi istri yang baik bagi Kevin. Selalu mengurus pria itu tanpa pamrih.Kini, dia telah menjadi Nyonya Forrester. Dia juga harus melayani Daniel sepenuh hati.Ivy maju menyentuh bagian menonjol Daniel. Dengan giginya, gadis itu menggigit ujung ritsleting, mulai menarik turun.Pemandangan erotis di depannya membuat Daniel excited. Apalagi sewaktu jemari Ivy menyentuh pinggangnya, menurunkan celana Daniel perlahan. Ivy membuka celana dalam Daniel, tonggak besar pria itu langsung menampar wajahnya, membuat Ivy terkesiap terkejut.Daniel tertawa kecil, ia membelai sisi wajah Ivy. Tangan besarnya lalu mengelus bibir sang gadis, memaksa Ivy membuka mulutnya. Dua jari Daniel bermain di sana, berusaha melebarkan mulut istrinya."Jangan memakai gigimu, anggap saja lolipop." Dirty
"Kenapa? Kau tak mau? Tak perlu malu, kita sudah sah menjadi suami-istri."Ivy menelan ludah gugup. Sebagai istri memang kewajibannya melayani suami dengan baik. Soal perut ataupun ranjang. Ivy dulu bertekad akan menjadi istri yang baik bagi Kevin. Selalu mengurus pria itu tanpa pamrih.Kini, dia telah menjadi Nyonya Forrester. Dia juga harus melayani Daniel sepenuh hati.Ivy maju menyentuh bagian menonjol Daniel. Dengan giginya, gadis itu menggigit ujung ritsleting, mulai menarik turun.Pemandangan erotis di depannya membuat Daniel excited. Apalagi sewaktu jemari Ivy menyentuh pinggangnya, menurunkan celana Daniel perlahan. Ivy membuka celana dalam Daniel, tonggak besar pria itu langsung menampar wajahnya, membuat Ivy terkesiap terkejut.Daniel tertawa kecil, ia membelai sisi wajah Ivy. Tangan besarnya lalu mengelus bibir sang gadis, memaksa Ivy membuka mulutnya. Dua jari Daniel bermain di sana, berusaha melebarkan mulut istrinya."Jangan memakai gigimu, anggap saja lolipop." Dirty
Hari itu, matahari bersinar terang menyinari taman Mansion Forrester yang telah dihias dengan ribuan bunga dan lentera. Ivy dalam gaun pengantin putihnya yang mengalir lembut, melangkah pasti menuju altar yang terletak di bawah pohon oak rindang.Setiap langkahnya dipandu oleh alunan musik orkestra yang menggema melalui taman. Rambut Ivy yang dikepang dengan indah, berkilauan di bawah sinar matahari, memantulkan nuansa keemasan. Di tangan kanannya, dia memegang buket bunga lili dan mawar putih, simbol kemurnian dan keanggunan. Senyumnya, meskipun lembut, menyembunyikan kegugupan yang menerpa hati. Para tamu yang berdiri di kedua sisi lorong menyaksikan dengan kagum saat gadis itu berjalan melewati mereka. Sorot mata mereka penuh harapan dan kebahagiaan. Namun, ada juga yang menyimpan rasa iri dan bisik-bisik kecil tentang betapa beruntungnya Ivy. Gadis yang tak punya latar belakang ini berhasil menaklukkan konglomerat pujaan para wanita.Saat mendekati altar, tatapan Ivy tertuju pad
Keduanya pulang ke Mansion Forrester, tak jadi pergi ke restoran lain lagi. Daniel ternyata sudah meminta chef memasak hidangan untuk mereka. Ivy makan sedikit dan pamit ke kamarnya. Terlalu lelah dengan beban mental. Air matanya tak mau berhenti meskipun sang gadis mencoba mengalihkan pikiran. Mengingat masa-masa bahagia bersama Kevin. Lucu, bagaimana orang bisa berubah setelah bertahun-tahun bersama. Apakah Daniel juga akan meninggalkannya setelah bosan? Setelah dia memberi pria itu keturunan? Ivy menggigit bibirnya cemas, ketakutan dicampakkan membuatnya terjaga semalaman.Bolak-balik di tempat tidur membuat Ivy merasa semakin frustrasi, dia butuh udara segar supaya benaknya yang kacau bisa tenang.Ivy membuka pintu kamarnya perlahan, langkah kakinya menelusuri koridor yang hanya disinari cahaya redup dari lampu-lampu yang telah dimatikan satu persatu. Mansion yang biasanya ramai dan penuh kehidupan kini terasa begitu sepi dan menakutkan.Langkahnya bergema di lantai marmer yang
"Tidak, Tuan Daniel belum pernah menikah, tapi sempat punya beberapa tunangan sebelumnya." "Beberapa?" tanya Ivy terkejut. Berarti tunangan pria ini lebih dari satu. "Ya. Tak sampai menikah, semua putus di tengah jalan." "Kenapa?" Christian membetulkan dasinya dengan sikap canggung. "Untuk masalah ini sebaiknya Nona Ivy menanyakan langsung pada Tuan Daniel, saya tidak mempunyai hak memberitahukannya." Pintu lift berdenting terbuka. Pria itu mempersilakan Ivy keluar. Sebuah limousine hitam terparkir di depan mansion. Christian berjalan mendahului Ivy, lalu membukakan pintu untuknya. Ivy mengangguk sopan dan masuk ke dalam. "Hi, Honey!" Suara Daniel menyapa telinga Ivy. Gadis itu meneguk saliva gugup, menatap terpukau pria tampan bermata hijau itu. Kemeja hitam yang membalut tubuh ramping Daniel membuat pria ini terlihat semakin mahal. "Kau bisa menelanku dengan bola matamu." Daniel terkekeh melihat ekspresi Ivy yang salah tingkah. "Ki-kita akan ke mana?" Ivy membuang wajah
"Siapa?" tanya Ivy takut-takut. "Nona, saya mengantarkan minuman." Alis gadis itu berkerut heran, dia membuka pintu perlahan. Seorang pelayan membawakan nampan berisi minuman hangat yang masih mengepulkan uap panas. "Terima kasih." Apa setiap subuh tamu memang disuguhkan teh hangat? Ivy bertanya-tanya dalam hati. Si pelayan membungkuk dan berlalu. Ivy membawa tehnya masuk, merasa heran. Dia menyesap lamat-lamat sambil memperhatikan plafon. Bagaimana mereka bisa tahu dia sudah bangun? Tidak terlihat CCTV di ruangannya. Untungnya tehnya terasa enak, perlahan ... kekhawatiran Ivy mengendur bersama bau melati yang menenangkan. Sang gadis merasa ngantuk lagi, dia kembali berbaring setelah meletakkan cangkir teh di nakas. Ivy tertidur sampai seseorang mengetuk pintunya lagi. Pelayan memberitahunya jika sekretaris Daniel sudah tiba dan hendak membawanya pergi berbelanja. Sang gadis bergegas membersihkan diri dan mengganti baju yang sudah disediakan untuknya. Satu set gaun Chan
Sret!Goresan pena membuat Ivy terkejut, bagaimana tidak, Daniel seolah tahu tandatangannya seperti apa. "Bagaimana kau ....""Kau yang menggoresnya sendiri, Iv. Aku hanya menuntun tanganmu ke sana." Dengan cepat Daniel meraih kembali surat perjanjian tersebut, yang langsung diserahkan kepada pelayannya. "Simpan di kamarku.""Baik, Tuan."Ivy merasa ragu, apa karena kepalanya pusing sampai dia seperti berhalusinasi? Apa memang benar dia yang menggores tanda tangan sendiri?"Ayo kita makan, setelah itu kau harus istirahat. Besok akan jadi hari yang panjang.""Kenapa?" tanya Ivy heran."Besok Christian, sekretarisku akan membawamu pergi berbelanja keperluan.""Bajuku masih ada, aku tak perlu apa pun." Daniel tertawa kecil, menangkupkan tangan dan bertopang dagu. "Semua bajumu sudah disingkirkan.""Apa?! Tasku tadi ....""Barusan aku menyuruh pelayan membuangnya.""Kenapa?! Baju-bajuku masih layak pakai!" Nada suaranya meninggi, dia tak suka Daniel bertindak sesukanya tanpa memberi tah
Mobil La Rose Noire Droptail berwarna merah itu berhenti di depan Ivy. Pintunya terbuka dan menampilkan sepatu kulit mahal dari sang pemilik.Daniel Forrester berdiri di hadapan Ivy dengan tangan terulur padanya. "Aku datang menjemput pengantinku." Ia menunggu sampai Ivy menerima uluran tangannya. Dalam sekali sentakan, pria itu menarik Ivy ke dalam pelukan hangat."Daniel ...." Ivy terkesiap."Kau bisa menangis di dadaku." Dengan perlahan, pria tampan itu menepuk punggung Ivy.Rahang Ivy berkedut, menahan gejolak emosi. Air matanya tak bisa dibendung, dia kembali menangis pedih, memeluk tubuh Daniel seperti memeluk sekoci di lautan lepas. Pria ini, adalah tempat dia menggantungkan hidup, mulai dari sekarang."Ayo!" Daniel mengurai pelukan mereka, membukakan pintu bagi Ivy. Sang gadis begitu terpukau dengan interior mewah yang berwarna senada dengan cat mobil. Indah. Elegan. Mahal. Dia jadi takut mengotori jok, mengingat tadi sempat duduk di pinggir jalan."Kenapa? Kau tak suka denga
Bam!Ivy menendang pintu flat Kevin sampai bergetar kuat.Kemarahannya sudah memuncak, tak cukup hanya mengkhianatinya, sekarang pria berengsek ini juga menjadikannya jaminan pinjaman."Kevin! Buka pintunya! Keluar kau! Sialan! Kevin!"Bam!Seorang penghuni di samping flat kevin keluar. "Hei! Jangan ribut-ribut di sini! Kau cari Kevin? Dia sudah pindah tadi sore!""A-apa?""Iya, dia sudah pindah, semua barang-barangnya sudah dibawa! Kalau kau punya masalah dengannya telepon dia!"Sialnya lagi, bukan Ivy tak mencoba menghubungi Kevin, tapi pria itu sudah memblokir nomornya.Ivy tak tahu harus bagaimana lagi, dia tak punya tempat tinggal dan tabungan. Managernya juga tak bersedia meminjamkannya uang, apalagi Molly yang harus menjadi tulang punggung keluarganya.Gadis itu berjongkok memeluk tubuhnya, menangis tergugu. Uang dan kesucian, dia sudah kehilangan semuanya.Sepasang kaki muncul dalam bidang pandang Ivy. Gadis itu menengadah, mengira Kevin telah kembali. "Ka-kau ...." Matanya m
"Kenapa kau menangis?" Wanita paruh baya itu tampak terkejut melihat Ivy masuk ke ruang laundri dengan wajah basah.Ivy menggeleng malu. Cepat-cepat membantu Janice mengerjakan laundri."Kenapa lama sekali baru datang?" Janice memang tak pernah ramah padanya, Ivy tahu sejak pertama kali masuk kerja. Bagi Janice, Ivy sering membuat fokus pekerja lain kacau karena wajah cantiknya."A-aku ....""Kau mengacau lagi? Kau belum selesai saat tamu datang?"Ivy terdiam."Astaga! Jadi benar!" Janice memukul jidat lebarnya tak percaya. "Kita bakal dapat komplain.""Ma-maaf, aku sudah buru-buru, tapi ....""Stt! Udah diam! Kamu bakal aku laporin ke manager!""Please, Janice! Jangan begitu." Ivy sangat butuh pekerjaan ini.Janice tak peduli, berjalan cepat keluar dari ruangan laundri. Ivy segera menyusul wanita paruh baya pemarah itu."Janice, tunggu!" Ivy hampir terjerembap saking terburu-burunya."Diam di sana!" Lemak Janice berdentum setiap kali dia mengambil langkah cepat."Janice, kumohon! Jan