Hari itu, matahari bersinar terang menyinari taman Mansion Forrester yang telah dihias dengan ribuan bunga dan lentera. Ivy dalam gaun pengantin putihnya yang mengalir lembut, melangkah pasti menuju altar yang terletak di bawah pohon oak rindang.Setiap langkahnya dipandu oleh alunan musik orkestra yang menggema melalui taman. Rambut Ivy yang dikepang dengan indah, berkilauan di bawah sinar matahari, memantulkan nuansa keemasan. Di tangan kanannya, dia memegang buket bunga lili dan mawar putih, simbol kemurnian dan keanggunan. Senyumnya, meskipun lembut, menyembunyikan kegugupan yang menerpa hati. Para tamu yang berdiri di kedua sisi lorong menyaksikan dengan kagum saat gadis itu berjalan melewati mereka. Sorot mata mereka penuh harapan dan kebahagiaan. Namun, ada juga yang menyimpan rasa iri dan bisik-bisik kecil tentang betapa beruntungnya Ivy. Gadis yang tak punya latar belakang ini berhasil menaklukkan konglomerat pujaan para wanita.Saat mendekati altar, tatapan Ivy tertuju pad
"Kenapa? Kau tak mau? Tak perlu malu, kita sudah sah menjadi suami-istri."Ivy menelan ludah gugup. Sebagai istri memang kewajibannya melayani suami dengan baik. Soal perut ataupun ranjang. Ivy dulu bertekad akan menjadi istri yang baik bagi Kevin. Selalu mengurus pria itu tanpa pamrih.Kini, dia telah menjadi Nyonya Forrester. Dia juga harus melayani Daniel sepenuh hati.Ivy maju menyentuh bagian menonjol Daniel. Dengan giginya, gadis itu menggigit ujung ritsleting, mulai menarik turun.Pemandangan erotis di depannya membuat Daniel excited. Apalagi sewaktu jemari Ivy menyentuh pinggangnya, menurunkan celana Daniel perlahan. Ivy membuka celana dalam Daniel, tonggak besar pria itu langsung menampar wajahnya, membuat Ivy terkesiap terkejut.Daniel tertawa kecil, ia membelai sisi wajah Ivy. Tangan besarnya lalu mengelus bibir sang gadis, memaksa Ivy membuka mulutnya. Dua jari Daniel bermain di sana, berusaha melebarkan mulut istrinya."Jangan memakai gigimu, anggap saja lolipop." Dirty
"Aku suka padamu, mau jadi pacarku?"Kantong makanan Ivy jatuh, matanya terasa buram melihat sang kekasih tengah memeluk seorang gadis di depan pintu apartemen pria itu."Bagaimana dengan pacarmu?""Aku tak mencintainya lagi."Ivy menggeleng kuat, pedih mencengkeram dadanya. Ia berusaha bernapas susah payah. Air mata jatuh berderai ketika sang gadis berlari pergi membawa hatinya yang hancur."Molly, kau di bar?" Ivy terisak, mengusap air mata sambil masuk ke dalam taxi yang baru saja berhenti."Ya! Tapi di bar lagi sibuk, ada tamu VIP yang datang! Kenapa?"Ivy menggeleng, suaranya tercekat air mata."Iv, ada apa?" Suara ribut terdengar di latar belakang sambungan telepon sahabatnya."Aku ke sana ya.""Ok, nanti aku coba curi waktu buat nemuin kamu.""Ok." Ivy mematikan ponsel dan menangis tergugu. Perjalanan cintanya selama 5 tahun sudah hancur, sang kekasih ternyata mengkhianatinya.***Bar Stars."5 tahun kami pacaran Molly! Si sialan itu bilang tak mencintaiku lagi!" Ivy menegak te
Daniel menindih tubuh Ivy, merobek gaun sang gadis dalam sekali sentakan kuat. "Please don't! Please, lepaskan aku! Aku bukan host!" Ivy mengulang kalimat yang sama karena ketakutan.Belum pernah ada gadis yang menolaknya selama ini, Daniel merasa tertantang oleh penolakan Ivy."Aku akan memberimu uang banyak, rumah, pakaian bagus, kau hanya perlu tidur denganku." Tangan besarnya menyentak lepas pakaian dalam sang gadis."Tidak! Aku tak mau, lepaskan aku!" Ivy masih mencoba memberontak.Kedua tangannya lalu dikungkung Daniel di atas kepala, bibir pria itu kembali meraup bibirnya."Hmp!" Betapapun Ivy menolak, kekuatannya tak sebanding dengan pria berotot ini.Sialnya lagi, Ivy adalah seorang perawan, sementara Daniel begitu hebat dalam beraksi, membuat sang gadis akhirnya tak bisa lagi membedakan realita dan fantasi. Jari panjang sang pria masuk ke dalam tubuhnya, merangsang hasrat terpendam. Mula-mula terasa pedih, lambat laun menjadi kenikmatan tiada tara.Ivy melenguh, berusaha me
Bip! Bip!Daniel menatap layar di ponselnya, sebuah titik merah berkedip dan bergerak menjauh dari Mansion Forrester.Bibirnya tertarik membentuk senyuman lebar. Dia tak menyangka gadis cantik di bar murahan itu akan kabur setelah sadar, bahkan setelah melihat kamar mewah yang ia tempati.Biasanya gadis-gadis menunggu kehadirannya, bernegosiasi tentang cinta atau uang, tapi Ivy berbeda. Seperti kelinci yang ketakutan, gadis itu memilih kabur.Seorang yang berjiwa pemburu seperti Daniel lebih tertarik pada mangsa yang memberontak daripada yang pasrah. Ia menjilat bibirnya sambil tersenyum penuh minat. "Ivy, kau tak akan bisa lari dariku."Bip!Pelacak tersebut berdenyut, menuju apartemen di pusat kota.Ivy membuka pancuran, meringkuk gemetar di bawah curahan air hangat. Ia menggosok tubuhnya berulang kali sampai memerah. Plak!Sang gadis menampar pipinya sendiri. "Bodoh! Dasar bodoh!" Kenapa dia harus mabuk? Kenapa dia tak bisa melawan? Ivy mengencam ketidakberdayaannya.Bam! Bam! Ge
"Kenapa kau menangis?" Wanita paruh baya itu tampak terkejut melihat Ivy masuk ke ruang laundri dengan wajah basah.Ivy menggeleng malu. Cepat-cepat membantu Janice mengerjakan laundri."Kenapa lama sekali baru datang?" Janice memang tak pernah ramah padanya, Ivy tahu sejak pertama kali masuk kerja. Bagi Janice, Ivy sering membuat fokus pekerja lain kacau karena wajah cantiknya."A-aku ....""Kau mengacau lagi? Kau belum selesai saat tamu datang?"Ivy terdiam."Astaga! Jadi benar!" Janice memukul jidat lebarnya tak percaya. "Kita bakal dapat komplain.""Ma-maaf, aku sudah buru-buru, tapi ....""Stt! Udah diam! Kamu bakal aku laporin ke manager!""Please, Janice! Jangan begitu." Ivy sangat butuh pekerjaan ini.Janice tak peduli, berjalan cepat keluar dari ruangan laundri. Ivy segera menyusul wanita paruh baya pemarah itu."Janice, tunggu!" Ivy hampir terjerembap saking terburu-burunya."Diam di sana!" Lemak Janice berdentum setiap kali dia mengambil langkah cepat."Janice, kumohon! Jan
Bam!Ivy menendang pintu flat Kevin sampai bergetar kuat.Kemarahannya sudah memuncak, tak cukup hanya mengkhianatinya, sekarang pria berengsek ini juga menjadikannya jaminan pinjaman."Kevin! Buka pintunya! Keluar kau! Sialan! Kevin!"Bam!Seorang penghuni di samping flat kevin keluar. "Hei! Jangan ribut-ribut di sini! Kau cari Kevin? Dia sudah pindah tadi sore!""A-apa?""Iya, dia sudah pindah, semua barang-barangnya sudah dibawa! Kalau kau punya masalah dengannya telepon dia!"Sialnya lagi, bukan Ivy tak mencoba menghubungi Kevin, tapi pria itu sudah memblokir nomornya.Ivy tak tahu harus bagaimana lagi, dia tak punya tempat tinggal dan tabungan. Managernya juga tak bersedia meminjamkannya uang, apalagi Molly yang harus menjadi tulang punggung keluarganya.Gadis itu berjongkok memeluk tubuhnya, menangis tergugu. Uang dan kesucian, dia sudah kehilangan semuanya.Sepasang kaki muncul dalam bidang pandang Ivy. Gadis itu menengadah, mengira Kevin telah kembali. "Ka-kau ...." Matanya m
Mobil La Rose Noire Droptail berwarna merah itu berhenti di depan Ivy. Pintunya terbuka dan menampilkan sepatu kulit mahal dari sang pemilik.Daniel Forrester berdiri di hadapan Ivy dengan tangan terulur padanya. "Aku datang menjemput pengantinku." Ia menunggu sampai Ivy menerima uluran tangannya. Dalam sekali sentakan, pria itu menarik Ivy ke dalam pelukan hangat."Daniel ...." Ivy terkesiap."Kau bisa menangis di dadaku." Dengan perlahan, pria tampan itu menepuk punggung Ivy.Rahang Ivy berkedut, menahan gejolak emosi. Air matanya tak bisa dibendung, dia kembali menangis pedih, memeluk tubuh Daniel seperti memeluk sekoci di lautan lepas. Pria ini, adalah tempat dia menggantungkan hidup, mulai dari sekarang."Ayo!" Daniel mengurai pelukan mereka, membukakan pintu bagi Ivy. Sang gadis begitu terpukau dengan interior mewah yang berwarna senada dengan cat mobil. Indah. Elegan. Mahal. Dia jadi takut mengotori jok, mengingat tadi sempat duduk di pinggir jalan."Kenapa? Kau tak suka denga
"Kenapa? Kau tak mau? Tak perlu malu, kita sudah sah menjadi suami-istri."Ivy menelan ludah gugup. Sebagai istri memang kewajibannya melayani suami dengan baik. Soal perut ataupun ranjang. Ivy dulu bertekad akan menjadi istri yang baik bagi Kevin. Selalu mengurus pria itu tanpa pamrih.Kini, dia telah menjadi Nyonya Forrester. Dia juga harus melayani Daniel sepenuh hati.Ivy maju menyentuh bagian menonjol Daniel. Dengan giginya, gadis itu menggigit ujung ritsleting, mulai menarik turun.Pemandangan erotis di depannya membuat Daniel excited. Apalagi sewaktu jemari Ivy menyentuh pinggangnya, menurunkan celana Daniel perlahan. Ivy membuka celana dalam Daniel, tonggak besar pria itu langsung menampar wajahnya, membuat Ivy terkesiap terkejut.Daniel tertawa kecil, ia membelai sisi wajah Ivy. Tangan besarnya lalu mengelus bibir sang gadis, memaksa Ivy membuka mulutnya. Dua jari Daniel bermain di sana, berusaha melebarkan mulut istrinya."Jangan memakai gigimu, anggap saja lolipop." Dirty
Hari itu, matahari bersinar terang menyinari taman Mansion Forrester yang telah dihias dengan ribuan bunga dan lentera. Ivy dalam gaun pengantin putihnya yang mengalir lembut, melangkah pasti menuju altar yang terletak di bawah pohon oak rindang.Setiap langkahnya dipandu oleh alunan musik orkestra yang menggema melalui taman. Rambut Ivy yang dikepang dengan indah, berkilauan di bawah sinar matahari, memantulkan nuansa keemasan. Di tangan kanannya, dia memegang buket bunga lili dan mawar putih, simbol kemurnian dan keanggunan. Senyumnya, meskipun lembut, menyembunyikan kegugupan yang menerpa hati. Para tamu yang berdiri di kedua sisi lorong menyaksikan dengan kagum saat gadis itu berjalan melewati mereka. Sorot mata mereka penuh harapan dan kebahagiaan. Namun, ada juga yang menyimpan rasa iri dan bisik-bisik kecil tentang betapa beruntungnya Ivy. Gadis yang tak punya latar belakang ini berhasil menaklukkan konglomerat pujaan para wanita.Saat mendekati altar, tatapan Ivy tertuju pad
Keduanya pulang ke Mansion Forrester, tak jadi pergi ke restoran lain lagi. Daniel ternyata sudah meminta chef memasak hidangan untuk mereka. Ivy makan sedikit dan pamit ke kamarnya. Terlalu lelah dengan beban mental. Air matanya tak mau berhenti meskipun sang gadis mencoba mengalihkan pikiran. Mengingat masa-masa bahagia bersama Kevin. Lucu, bagaimana orang bisa berubah setelah bertahun-tahun bersama. Apakah Daniel juga akan meninggalkannya setelah bosan? Setelah dia memberi pria itu keturunan? Ivy menggigit bibirnya cemas, ketakutan dicampakkan membuatnya terjaga semalaman.Bolak-balik di tempat tidur membuat Ivy merasa semakin frustrasi, dia butuh udara segar supaya benaknya yang kacau bisa tenang.Ivy membuka pintu kamarnya perlahan, langkah kakinya menelusuri koridor yang hanya disinari cahaya redup dari lampu-lampu yang telah dimatikan satu persatu. Mansion yang biasanya ramai dan penuh kehidupan kini terasa begitu sepi dan menakutkan.Langkahnya bergema di lantai marmer yang
"Tidak, Tuan Daniel belum pernah menikah, tapi sempat punya beberapa tunangan sebelumnya." "Beberapa?" tanya Ivy terkejut. Berarti tunangan pria ini lebih dari satu. "Ya. Tak sampai menikah, semua putus di tengah jalan." "Kenapa?" Christian membetulkan dasinya dengan sikap canggung. "Untuk masalah ini sebaiknya Nona Ivy menanyakan langsung pada Tuan Daniel, saya tidak mempunyai hak memberitahukannya." Pintu lift berdenting terbuka. Pria itu mempersilakan Ivy keluar. Sebuah limousine hitam terparkir di depan mansion. Christian berjalan mendahului Ivy, lalu membukakan pintu untuknya. Ivy mengangguk sopan dan masuk ke dalam. "Hi, Honey!" Suara Daniel menyapa telinga Ivy. Gadis itu meneguk saliva gugup, menatap terpukau pria tampan bermata hijau itu. Kemeja hitam yang membalut tubuh ramping Daniel membuat pria ini terlihat semakin mahal. "Kau bisa menelanku dengan bola matamu." Daniel terkekeh melihat ekspresi Ivy yang salah tingkah. "Ki-kita akan ke mana?" Ivy membuang wajah
"Siapa?" tanya Ivy takut-takut. "Nona, saya mengantarkan minuman." Alis gadis itu berkerut heran, dia membuka pintu perlahan. Seorang pelayan membawakan nampan berisi minuman hangat yang masih mengepulkan uap panas. "Terima kasih." Apa setiap subuh tamu memang disuguhkan teh hangat? Ivy bertanya-tanya dalam hati. Si pelayan membungkuk dan berlalu. Ivy membawa tehnya masuk, merasa heran. Dia menyesap lamat-lamat sambil memperhatikan plafon. Bagaimana mereka bisa tahu dia sudah bangun? Tidak terlihat CCTV di ruangannya. Untungnya tehnya terasa enak, perlahan ... kekhawatiran Ivy mengendur bersama bau melati yang menenangkan. Sang gadis merasa ngantuk lagi, dia kembali berbaring setelah meletakkan cangkir teh di nakas. Ivy tertidur sampai seseorang mengetuk pintunya lagi. Pelayan memberitahunya jika sekretaris Daniel sudah tiba dan hendak membawanya pergi berbelanja. Sang gadis bergegas membersihkan diri dan mengganti baju yang sudah disediakan untuknya. Satu set gaun Chan
Sret!Goresan pena membuat Ivy terkejut, bagaimana tidak, Daniel seolah tahu tandatangannya seperti apa. "Bagaimana kau ....""Kau yang menggoresnya sendiri, Iv. Aku hanya menuntun tanganmu ke sana." Dengan cepat Daniel meraih kembali surat perjanjian tersebut, yang langsung diserahkan kepada pelayannya. "Simpan di kamarku.""Baik, Tuan."Ivy merasa ragu, apa karena kepalanya pusing sampai dia seperti berhalusinasi? Apa memang benar dia yang menggores tanda tangan sendiri?"Ayo kita makan, setelah itu kau harus istirahat. Besok akan jadi hari yang panjang.""Kenapa?" tanya Ivy heran."Besok Christian, sekretarisku akan membawamu pergi berbelanja keperluan.""Bajuku masih ada, aku tak perlu apa pun." Daniel tertawa kecil, menangkupkan tangan dan bertopang dagu. "Semua bajumu sudah disingkirkan.""Apa?! Tasku tadi ....""Barusan aku menyuruh pelayan membuangnya.""Kenapa?! Baju-bajuku masih layak pakai!" Nada suaranya meninggi, dia tak suka Daniel bertindak sesukanya tanpa memberi tah
Mobil La Rose Noire Droptail berwarna merah itu berhenti di depan Ivy. Pintunya terbuka dan menampilkan sepatu kulit mahal dari sang pemilik.Daniel Forrester berdiri di hadapan Ivy dengan tangan terulur padanya. "Aku datang menjemput pengantinku." Ia menunggu sampai Ivy menerima uluran tangannya. Dalam sekali sentakan, pria itu menarik Ivy ke dalam pelukan hangat."Daniel ...." Ivy terkesiap."Kau bisa menangis di dadaku." Dengan perlahan, pria tampan itu menepuk punggung Ivy.Rahang Ivy berkedut, menahan gejolak emosi. Air matanya tak bisa dibendung, dia kembali menangis pedih, memeluk tubuh Daniel seperti memeluk sekoci di lautan lepas. Pria ini, adalah tempat dia menggantungkan hidup, mulai dari sekarang."Ayo!" Daniel mengurai pelukan mereka, membukakan pintu bagi Ivy. Sang gadis begitu terpukau dengan interior mewah yang berwarna senada dengan cat mobil. Indah. Elegan. Mahal. Dia jadi takut mengotori jok, mengingat tadi sempat duduk di pinggir jalan."Kenapa? Kau tak suka denga
Bam!Ivy menendang pintu flat Kevin sampai bergetar kuat.Kemarahannya sudah memuncak, tak cukup hanya mengkhianatinya, sekarang pria berengsek ini juga menjadikannya jaminan pinjaman."Kevin! Buka pintunya! Keluar kau! Sialan! Kevin!"Bam!Seorang penghuni di samping flat kevin keluar. "Hei! Jangan ribut-ribut di sini! Kau cari Kevin? Dia sudah pindah tadi sore!""A-apa?""Iya, dia sudah pindah, semua barang-barangnya sudah dibawa! Kalau kau punya masalah dengannya telepon dia!"Sialnya lagi, bukan Ivy tak mencoba menghubungi Kevin, tapi pria itu sudah memblokir nomornya.Ivy tak tahu harus bagaimana lagi, dia tak punya tempat tinggal dan tabungan. Managernya juga tak bersedia meminjamkannya uang, apalagi Molly yang harus menjadi tulang punggung keluarganya.Gadis itu berjongkok memeluk tubuhnya, menangis tergugu. Uang dan kesucian, dia sudah kehilangan semuanya.Sepasang kaki muncul dalam bidang pandang Ivy. Gadis itu menengadah, mengira Kevin telah kembali. "Ka-kau ...." Matanya m
"Kenapa kau menangis?" Wanita paruh baya itu tampak terkejut melihat Ivy masuk ke ruang laundri dengan wajah basah.Ivy menggeleng malu. Cepat-cepat membantu Janice mengerjakan laundri."Kenapa lama sekali baru datang?" Janice memang tak pernah ramah padanya, Ivy tahu sejak pertama kali masuk kerja. Bagi Janice, Ivy sering membuat fokus pekerja lain kacau karena wajah cantiknya."A-aku ....""Kau mengacau lagi? Kau belum selesai saat tamu datang?"Ivy terdiam."Astaga! Jadi benar!" Janice memukul jidat lebarnya tak percaya. "Kita bakal dapat komplain.""Ma-maaf, aku sudah buru-buru, tapi ....""Stt! Udah diam! Kamu bakal aku laporin ke manager!""Please, Janice! Jangan begitu." Ivy sangat butuh pekerjaan ini.Janice tak peduli, berjalan cepat keluar dari ruangan laundri. Ivy segera menyusul wanita paruh baya pemarah itu."Janice, tunggu!" Ivy hampir terjerembap saking terburu-burunya."Diam di sana!" Lemak Janice berdentum setiap kali dia mengambil langkah cepat."Janice, kumohon! Jan