Bam!
Ivy menendang pintu flat Kevin sampai bergetar kuat. Kemarahannya sudah memuncak, tak cukup hanya mengkhianatinya, sekarang pria berengsek ini juga menjadikannya jaminan pinjaman. "Kevin! Buka pintunya! Keluar kau! Sialan! Kevin!" Bam! Seorang penghuni di samping flat kevin keluar. "Hei! Jangan ribut-ribut di sini! Kau cari Kevin? Dia sudah pindah tadi sore!" "A-apa?" "Iya, dia sudah pindah, semua barang-barangnya sudah dibawa! Kalau kau punya masalah dengannya telepon dia!" Sialnya lagi, bukan Ivy tak mencoba menghubungi Kevin, tapi pria itu sudah memblokir nomornya. Ivy tak tahu harus bagaimana lagi, dia tak punya tempat tinggal dan tabungan. Managernya juga tak bersedia meminjamkannya uang, apalagi Molly yang harus menjadi tulang punggung keluarganya. Gadis itu berjongkok memeluk tubuhnya, menangis tergugu. Uang dan kesucian, dia sudah kehilangan semuanya. Sepasang kaki muncul dalam bidang pandang Ivy. Gadis itu menengadah, mengira Kevin telah kembali. "Ka-kau ...." Matanya membelalak tak percaya melihat Daniel Forrester berdiri di hadapannya. Pria tampan itu mengulurkan tangan. "Kenapa menangis di sini?" Ivy cepat-cepat berdiri, mengabaikan tangan Daniel. Ia segera mengusap bekas air mata di wajahnya. Daniel menatap tangannya yang kosong, ia tersenyum kecut, menarik kembali tangannya. "Ke-kenapa kau juga di sini?" tanya Ivy, tak berani menatap mata zamrud Daniel. "Aku sedang mengurus pembelian apartemen di sini. Flat ini ...." Daniel mengetuk flat Kevin. "Milikku sekarang." "A-apa?!" "Pemiliknya pasti sudah pindah, aku datang mengecek kondisinya." Tangan Daniel mempersilakan Ivy minggir. Gadis itu menggeser langkahnya supaya pria itu bisa membuka pintu. "Lalu kenapa kau berdiri di depan pintu flatku?" Daniel membuka pintu, Ivy mengintip ke dalam. Ruangan memang sudah kosong melompong, menyisakan perabot dasar seperti kursi dan tempat tidur. "Pacarku tinggal di sini sebelumnya." "Oh, begitu! Dia tak mengabarimu sudah pindah?" Ivy menggeleng, masuk ke dalam memeriksa apa saja yang bisa menjadi petunjuk keberadaan Kevin. "Dia ... melarikan diri?" Pertanyaan Daniel membuat Ivy menoleh canggung. Daniel menatap wajah pucat Ivy. "Jadi benar? Dia meninggalkanmu?" Perasaan sesak di dada Ivy semakin membuncah. Air mata lolos begitu saja. Daniel mendekat, menarik Ivy ke dalam pelukan kuat. Gadis itu langsung memberontak. "Jangan! Lepaskan!" "Tenanglah, aku tak akan macam-macam. Menangislah, bersandarlah padaku." Dengan lembut Daniel menepuk punggung Ivy. Harusnya dia memberontak lebih keras, tapi perasaan terluka membuat tangisannya semakin keras. Dia tak punya siapa pun, tapi Daniel memberinya bahu untuk menangis. "Kenapa kau melakukan itu padaku? Aku sudah menolaknya malam itu." "Karena aku suka padamu, Ivy Gilmore. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku menginginkanmu." "Aku tak punya apa pun, kalian sudah merengutnya dariku." "Aku akan memberikan semua padamu, Ivy. Kau masih ingat tawaranku, jadilah gadisku." Ivy mendorong tubuh Daniel marah. "Aku bukan jalang yang menjual tubuhku, malam itu adalah kesalahan." "Aku tahu ... aku ingin kau menjadi Nyonya Forrester." "A-apa?!" Ivy mengira dia salah dengar. "Menikahlah denganku, aku akan membayar semua hutang-hutangmu, memberimu apartemen, dan juga hidup yang jauh lebih baik." Bagaimana pria ini bisa tahu? "Kau mengecek latar belakangku." Daniel tak memungkirinya, bibirnya hanya mengulas senyuman memesona. Ia menunduk sedikit supaya bisa menyejajarkan pandangan dengan Ivy karena perbedaan tinggi badan mereka. "Kau juga bisa membalas Kevin. Aku tahu di mana dia berada." "A-apa? Beri tahu aku ... aku ...." "Kau bisa apa setelah bertemu dengannya? Kau tak punya apa pun Ivy." Perkataan Daniel menohok Ivy. Benar! Apa yang bisa dia lakukan seandanya menemukan Kevin, memaksa pria itu mengembalikan uangnya? "Semua uangnya pasti sudah habis, apalagi dia sampai melakukan pinjaman atas namamu." Rahang Ivy berkedut menyakitkan. "Ivy, pikirkan dulu tawaranku. Tak ada ruginya menjadi Nyonya Forrester, bukan?" "Kenapa harus aku? Kau bisa mendapatkan gadis mana pun!" "Aku butuh wanita baik-baik untuk melahirkan keturunan Forrester." Jantung Ivy berdetak tak karuan saat jemari Daniel menelusuri sisi wajahnya. "Dan wanita itu kau, Ivy." Ivy menggelengkan kepala, kengerian di malam itu saat menjadi objek seksual masih terbayang dalam benaknya. Pria ini, sudah meniduri begitu banyak wanita. Lalu kenapa? Kenapa dia belum menikah? Kenapa harus dirinya? Kenapa sekarang? Begitu banyak pertanyaan dan kecurigaan membuat Ivy takut mengambil kesempatan ini. Bisakah dia mencintai Daniel sebagai suami? "Akan kupikirkan dulu, sampai jumpa." Ivy berbalik hendak pergi. Tangannya langsung ditarik kembali oleh Daniel. "Ini!" Pria itu menyelipkan kartu nama ke tangannya. "Hubungi aku jika kau sudah memutuskan." Ivy mengangguk gugup, segera beranjak pergi dari kamar flat itu. Pikirannya terasa kalut. Tak tahu harus melakukan apa, Ivy kembali ke apartemennya sendiri. Betapa terkejutnya dia sewaktu melihat semua barang-barangnya sudah dikeluarkan dari apartemen, tergeletak di luar pintu flatnya. Sebuah tulisan ditempelkan di tasnya. Segera pergi dari sini! Dengan tangan gemetar Ivy menelepon Molly. "Molly, boleh aku menginap di rumahmu?" Molly terdiam cukup lama sebelum menjawab. "Sorry, Iv. Kau tahu rumahku tak besar, keluarga pamanku baru datang kemarin, mereka semua menginap di flatku." "Oh ... begitu." Ivy menggigit bibirnya sampai terluka, air matanya kembali jatuh. "Kau butuh uang? Aku akan kirim—" "Tidak usah, Molly. Obat ibumu perlu ditebus 'kan?" Molly terdiam. Helaan napas kedua sahabat itu terdengar keras di keheningan. "Sorry, Iv. Aku ...." "Jangan meminta maaf. It's okay, jangan khawatir. Pasti ada jalan keluar." Ivy menggores kutikulanya sampai berdarah. "Sudah jammu ke bar kan? Sampai nanti ya." Ia mematika telepon sebelum isakan lolos dari mulutnya. Ivy tak ingin Molly mendengar tangisannya. Ivy mengusap wajah, membawa satu tas berisi pakaiannya saja dan meninggalkan semua, dia lalu berjalan keluar dari lingkup apartemen. Angin malam yang dingin menerpa tubuhnya. Ivy berdiri termenung, menatap lalu lintas, kendaraan melintas cepat di jalanan. Di dunia ini, siapa yang peduli padanya, semua orang sibuk dengan masalahnya masing-masing. Gadis itu merogoh ke dalam saku, mengeluarkan kartu nama Daniel Forrester. Ragu-ragu, dia mulai menekan nomor pria itu di ponselnya. Baru saja satu kali berdering, sambungan langsung diangkat di seberang sana. "Hallo!" Suara bass pria itu terdengar. Ivy menarik napas dalam, menelan saliva berulang kali. "Hallo ...." Ivy tersedak tangisannya sendiri setelah berusaha menekannya, entah kenapa, mendengar suara Daniel membuat emosinya yang tersimpan meledak. "Ivy Gilmore? Ada apa? Kenapa kau menangis? Kau di mana?" Daniel terdengar khawatir. Ivy memukul dadanya berulang kali, berusaha menahan tangisnya. "Daniel ... kau berjanji akan menjagaku?" "Apa?!" "Kau ... akan menikahiku dan menjagaku? Kau ... tak akan berpaling dariku?" Apa yang dia harapkan dari pria mesum ini? Ivy merasa kewarasannya sudah hilang. Begitu juga harapannya. "Ya! Aku akan menjagamu, selamanya." Ivy mengangguk kuat, menelan rasa takutnya. "Kalau begitu, aku bersedia menjadi Nyonya Forrester.""Aku suka padamu, mau jadi pacarku?"Kantong makanan Ivy jatuh, matanya terasa buram melihat sang kekasih tengah memeluk seorang gadis di depan pintu apartemen pria itu."Bagaimana dengan pacarmu?""Aku tak mencintainya lagi."Ivy menggeleng kuat, pedih mencengkeram dadanya. Ia berusaha bernapas susah payah. Air mata jatuh berderai ketika sang gadis berlari pergi membawa hatinya yang hancur."Molly, kau di bar?" Ivy terisak, mengusap air mata sambil masuk ke dalam taxi yang baru saja berhenti."Ya! Tapi di bar lagi sibuk, ada tamu VIP yang datang! Kenapa?"Ivy menggeleng, suaranya tercekat air mata."Iv, ada apa?" Suara ribut terdengar di latar belakang sambungan telepon sahabatnya."Aku ke sana ya.""Ok, nanti aku coba curi waktu buat nemuin kamu.""Ok." Ivy mematikan ponsel dan menangis tergugu. Perjalanan cintanya selama 5 tahun sudah hancur, sang kekasih ternyata mengkhianatinya.***Bar Stars."5 tahun kami pacaran Molly! Si sialan itu bilang tak mencintaiku lagi!" Ivy menegak te
Daniel menindih tubuh Ivy, merobek gaun sang gadis dalam sekali sentakan kuat. "Please don't! Please, lepaskan aku! Aku bukan host!" Ivy mengulang kalimat yang sama karena ketakutan.Belum pernah ada gadis yang menolaknya selama ini, Daniel merasa tertantang oleh penolakan Ivy."Aku akan memberimu uang banyak, rumah, pakaian bagus, kau hanya perlu tidur denganku." Tangan besarnya menyentak lepas pakaian dalam sang gadis."Tidak! Aku tak mau, lepaskan aku!" Ivy masih mencoba memberontak.Kedua tangannya lalu dikungkung Daniel di atas kepala, bibir pria itu kembali meraup bibirnya."Hmp!" Betapapun Ivy menolak, kekuatannya tak sebanding dengan pria berotot ini.Sialnya lagi, Ivy adalah seorang perawan, sementara Daniel begitu hebat dalam beraksi, membuat sang gadis akhirnya tak bisa lagi membedakan realita dan fantasi. Jari panjang sang pria masuk ke dalam tubuhnya, merangsang hasrat terpendam. Mula-mula terasa pedih, lambat laun menjadi kenikmatan tiada tara.Ivy melenguh, berusaha me
Bip! Bip!Daniel menatap layar di ponselnya, sebuah titik merah berkedip dan bergerak menjauh dari Mansion Forrester.Bibirnya tertarik membentuk senyuman lebar. Dia tak menyangka gadis cantik di bar murahan itu akan kabur setelah sadar, bahkan setelah melihat kamar mewah yang ia tempati.Biasanya gadis-gadis menunggu kehadirannya, bernegosiasi tentang cinta atau uang, tapi Ivy berbeda. Seperti kelinci yang ketakutan, gadis itu memilih kabur.Seorang yang berjiwa pemburu seperti Daniel lebih tertarik pada mangsa yang memberontak daripada yang pasrah. Ia menjilat bibirnya sambil tersenyum penuh minat. "Ivy, kau tak akan bisa lari dariku."Bip!Pelacak tersebut berdenyut, menuju apartemen di pusat kota.Ivy membuka pancuran, meringkuk gemetar di bawah curahan air hangat. Ia menggosok tubuhnya berulang kali sampai memerah. Plak!Sang gadis menampar pipinya sendiri. "Bodoh! Dasar bodoh!" Kenapa dia harus mabuk? Kenapa dia tak bisa melawan? Ivy mengencam ketidakberdayaannya.Bam! Bam! Ge
"Kenapa kau menangis?" Wanita paruh baya itu tampak terkejut melihat Ivy masuk ke ruang laundri dengan wajah basah.Ivy menggeleng malu. Cepat-cepat membantu Janice mengerjakan laundri."Kenapa lama sekali baru datang?" Janice memang tak pernah ramah padanya, Ivy tahu sejak pertama kali masuk kerja. Bagi Janice, Ivy sering membuat fokus pekerja lain kacau karena wajah cantiknya."A-aku ....""Kau mengacau lagi? Kau belum selesai saat tamu datang?"Ivy terdiam."Astaga! Jadi benar!" Janice memukul jidat lebarnya tak percaya. "Kita bakal dapat komplain.""Ma-maaf, aku sudah buru-buru, tapi ....""Stt! Udah diam! Kamu bakal aku laporin ke manager!""Please, Janice! Jangan begitu." Ivy sangat butuh pekerjaan ini.Janice tak peduli, berjalan cepat keluar dari ruangan laundri. Ivy segera menyusul wanita paruh baya pemarah itu."Janice, tunggu!" Ivy hampir terjerembap saking terburu-burunya."Diam di sana!" Lemak Janice berdentum setiap kali dia mengambil langkah cepat."Janice, kumohon! Jan
Bam!Ivy menendang pintu flat Kevin sampai bergetar kuat.Kemarahannya sudah memuncak, tak cukup hanya mengkhianatinya, sekarang pria berengsek ini juga menjadikannya jaminan pinjaman."Kevin! Buka pintunya! Keluar kau! Sialan! Kevin!"Bam!Seorang penghuni di samping flat kevin keluar. "Hei! Jangan ribut-ribut di sini! Kau cari Kevin? Dia sudah pindah tadi sore!""A-apa?""Iya, dia sudah pindah, semua barang-barangnya sudah dibawa! Kalau kau punya masalah dengannya telepon dia!"Sialnya lagi, bukan Ivy tak mencoba menghubungi Kevin, tapi pria itu sudah memblokir nomornya.Ivy tak tahu harus bagaimana lagi, dia tak punya tempat tinggal dan tabungan. Managernya juga tak bersedia meminjamkannya uang, apalagi Molly yang harus menjadi tulang punggung keluarganya.Gadis itu berjongkok memeluk tubuhnya, menangis tergugu. Uang dan kesucian, dia sudah kehilangan semuanya.Sepasang kaki muncul dalam bidang pandang Ivy. Gadis itu menengadah, mengira Kevin telah kembali. "Ka-kau ...." Matanya m
"Kenapa kau menangis?" Wanita paruh baya itu tampak terkejut melihat Ivy masuk ke ruang laundri dengan wajah basah.Ivy menggeleng malu. Cepat-cepat membantu Janice mengerjakan laundri."Kenapa lama sekali baru datang?" Janice memang tak pernah ramah padanya, Ivy tahu sejak pertama kali masuk kerja. Bagi Janice, Ivy sering membuat fokus pekerja lain kacau karena wajah cantiknya."A-aku ....""Kau mengacau lagi? Kau belum selesai saat tamu datang?"Ivy terdiam."Astaga! Jadi benar!" Janice memukul jidat lebarnya tak percaya. "Kita bakal dapat komplain.""Ma-maaf, aku sudah buru-buru, tapi ....""Stt! Udah diam! Kamu bakal aku laporin ke manager!""Please, Janice! Jangan begitu." Ivy sangat butuh pekerjaan ini.Janice tak peduli, berjalan cepat keluar dari ruangan laundri. Ivy segera menyusul wanita paruh baya pemarah itu."Janice, tunggu!" Ivy hampir terjerembap saking terburu-burunya."Diam di sana!" Lemak Janice berdentum setiap kali dia mengambil langkah cepat."Janice, kumohon! Jan
Bip! Bip!Daniel menatap layar di ponselnya, sebuah titik merah berkedip dan bergerak menjauh dari Mansion Forrester.Bibirnya tertarik membentuk senyuman lebar. Dia tak menyangka gadis cantik di bar murahan itu akan kabur setelah sadar, bahkan setelah melihat kamar mewah yang ia tempati.Biasanya gadis-gadis menunggu kehadirannya, bernegosiasi tentang cinta atau uang, tapi Ivy berbeda. Seperti kelinci yang ketakutan, gadis itu memilih kabur.Seorang yang berjiwa pemburu seperti Daniel lebih tertarik pada mangsa yang memberontak daripada yang pasrah. Ia menjilat bibirnya sambil tersenyum penuh minat. "Ivy, kau tak akan bisa lari dariku."Bip!Pelacak tersebut berdenyut, menuju apartemen di pusat kota.Ivy membuka pancuran, meringkuk gemetar di bawah curahan air hangat. Ia menggosok tubuhnya berulang kali sampai memerah. Plak!Sang gadis menampar pipinya sendiri. "Bodoh! Dasar bodoh!" Kenapa dia harus mabuk? Kenapa dia tak bisa melawan? Ivy mengencam ketidakberdayaannya.Bam! Bam! Ge
Daniel menindih tubuh Ivy, merobek gaun sang gadis dalam sekali sentakan kuat. "Please don't! Please, lepaskan aku! Aku bukan host!" Ivy mengulang kalimat yang sama karena ketakutan.Belum pernah ada gadis yang menolaknya selama ini, Daniel merasa tertantang oleh penolakan Ivy."Aku akan memberimu uang banyak, rumah, pakaian bagus, kau hanya perlu tidur denganku." Tangan besarnya menyentak lepas pakaian dalam sang gadis."Tidak! Aku tak mau, lepaskan aku!" Ivy masih mencoba memberontak.Kedua tangannya lalu dikungkung Daniel di atas kepala, bibir pria itu kembali meraup bibirnya."Hmp!" Betapapun Ivy menolak, kekuatannya tak sebanding dengan pria berotot ini.Sialnya lagi, Ivy adalah seorang perawan, sementara Daniel begitu hebat dalam beraksi, membuat sang gadis akhirnya tak bisa lagi membedakan realita dan fantasi. Jari panjang sang pria masuk ke dalam tubuhnya, merangsang hasrat terpendam. Mula-mula terasa pedih, lambat laun menjadi kenikmatan tiada tara.Ivy melenguh, berusaha me
"Aku suka padamu, mau jadi pacarku?"Kantong makanan Ivy jatuh, matanya terasa buram melihat sang kekasih tengah memeluk seorang gadis di depan pintu apartemen pria itu."Bagaimana dengan pacarmu?""Aku tak mencintainya lagi."Ivy menggeleng kuat, pedih mencengkeram dadanya. Ia berusaha bernapas susah payah. Air mata jatuh berderai ketika sang gadis berlari pergi membawa hatinya yang hancur."Molly, kau di bar?" Ivy terisak, mengusap air mata sambil masuk ke dalam taxi yang baru saja berhenti."Ya! Tapi di bar lagi sibuk, ada tamu VIP yang datang! Kenapa?"Ivy menggeleng, suaranya tercekat air mata."Iv, ada apa?" Suara ribut terdengar di latar belakang sambungan telepon sahabatnya."Aku ke sana ya.""Ok, nanti aku coba curi waktu buat nemuin kamu.""Ok." Ivy mematikan ponsel dan menangis tergugu. Perjalanan cintanya selama 5 tahun sudah hancur, sang kekasih ternyata mengkhianatinya.***Bar Stars."5 tahun kami pacaran Molly! Si sialan itu bilang tak mencintaiku lagi!" Ivy menegak te