***
Permohonan teramat pelan itu meluncur dari bibir berpoles lipstik merah muda, tangan gemetar memegang seuntai rantai perak yang menggantung erat bersama lampu kristal di langit-langit.
Rantai yang juga menjadi pengekang pergerakan, terhubung ke pergelangan kaki kiri. Benda panjang dan berat itu dipasangkan oleh orang yang dipikir bisa menjadi tempat pelariannya, ternyata malah merupakan orang paling gila.
Butiran bening air mata mengalir di pipi, membasahi riasan cantik bak boneka porselen seharga ratusan juta, wajah halus tanpa cela itu seakan menanggung begitu besar beban dalam jiwa.
Lebam-lebam membiru tidak bisa disembunyikan dari lengan dan betis, bersatu dengan jejak-jejak kemerahan di leher dan pundak. Penyiksaan dan cinta menjadi satu dalam rantai itu.
Untuk terakhir kali Gabriella menatap seluruh ruangan yang menjadi kamar tidur sekaligus penjara untuknya selama dua tahun ini, menghapus lembut jejak air mata sebelum menatap lingkaran rantai buatannya sendiri.
Gabriella mengalungkan rantai itu ke leher sebelum mengangkat kaki dari berpijak di sofa di ujung ranjang. Tubuh ramping dengan Lolita dress yang indah itu untuk sejenak terayun di udara, bersama gemerincing rantai dan suara gerakan lampu kristal.
Rasa sakit dari kebutuhan pasokan oksigen yang terhambat menggerogoti paru-paru Gabriella perlahan tapi pasti.
"Ma-af," lirih Gabriella sebelum menutup mata dengan hembusan napas terakhir.
Mati rasa dialami saat tulang leher Gabriella berderak patah, lambat laun wajah itu memucat dengan lidah menjulur di mulut terbuka.
Tidak kuat menahan beban dari tubuh manusia, akibatnya lampu kristal yang menggantung di langit-langit itu berderak sebelum penyangga patah dan membawa Gabriella jatuh membentur lantai marmer berkarpet abu-abu.
Suara keras dari kamar itu berhasil mengejutkan pelayan yang bekerja, termasuk seorang laki-laki dengan setelan kasual serba hitam sedang duduk menunggu di sofa.
Mengetahui asal suara, Luga bangkit berdiri dengan tergesa-gesa, melangkah ke arah sumber suara diikuti beberapa orang pelayan wanita. Menuju kamar Gabriella yang menjadi asal kegaduhan.
Tanpa memegang gagang pintu, Luga langsung mendobrak pintu dengan kaki, membuat pintu menjeblak terbuka.
"Ya Tuhan!"
"Astaga-!"
Pelayan yang mengikuti Luga menggumam tercekat, sementara laki-laki itu berdiri mematung melihat keadaan di lantai dalam ruangan itu.
Luga berlari mendekati Gabriella yang teronggok telungkup di antara beling-beling kristal pecahan lampu. Menyingkirkan kerangka lampu di salah satu lengan gadis itu, noda merah sudah mengotori karpet lembut.
Membalikkan posisi tubuh yang terpelintir itu, Luga memangku kepala Gabriellla, melihat darah merembes deras dari sisi kening dan bahu tertancap beling.
"Gab, apa yang kamu lakukan." Luga melirih gusar, mengecek nadi dan pernapasan Gabriella.
Sudah tidak ada tanda-tanda berdetak.
Tangan Luga gemetar, terus menggumam 'tidak' dengan sangat lirih, bahkan sebutir air mata lolos dari mata amber yang segera memerah itu.
"Tidak, Gabby, kamu tidak bisa seperti ini. Kamu juga tidak bisa meninggalkanku, tidak dengan cara ini," ratap Luga pilu, memeluk kepala Gabriella tidak peduli darah mengotori baju sendiri.
Gadis yang begitu dia cintai, bagaimana bisa melakukan hal seperti ini. Gadis yang bahkan tadi pagi masih tampak begitu membencinya, menatapnya penuh amarah tertahan.
Bahkan, mereka menghabiskan malam panas tadi malam tanpa tanda-tanda Gabriella akan melakukan hal gila ini. Menjadi berlumuran darah di tengah pecahan kristal, tanpa nyawa.
Luga menunduk memeluk erat tubuh yang sudah mendingin itu, di antara tangis diamnya terdengar permohonan untuk mengembalikan nyawa gadis yang menjadi separuh kewarasannya.
Tak berapa lama, kekehan rendah terdengar, Luga tiba-tiba mengangkat pandangan dengan mata merah basah itu, menatap kosong pada genangan darah di lantai.
"Kita akan tetap bersama, Gab, hidup ataupun mati," bisik Luga pelan.
Segera bangkit setelah dengan hati-hati meletakkan Gabriella di karpet bersih. Luga merogoh saku celana dan mengeluarkan dompet, mengambil anak kunci kecil dan membuka belenggu rantai di kaki Gabriella.
Lalu, menggendong tubuh ramping itu dan berjalan cepat keluar dari kamar.
"Tuan Muda, anda mau ke mana? Ke mana Anda akan membawa Nona Gabriel?" Salah seorang pelayan bertanya saat melihat Luga menuruni tangga dalam keadaan kacau.
Luga tidak menjawab, hanya terus melangkah ke pintu dan pergi membawa Gabriella dengan mobil. Meninggalkan mansion mewah di perbukitan sejuk itu bersama seonggok mayat di kursi samping kemudi.
{ The End }
*****
Sesegukan membolak-balik halaman terakhir buku novel guna memastikan apakah ada lagi lanjutan cerita, dan nyatanya tidak ada.
"Ending yang membagongkan sekali, saudara-saudara. Gue udah nangis kejer tujuh hari tujuh malem, malah dapet akhir ngegantung begini," dumel Teresia tidak puas, jejak air mata masih menggenang di pelupuk mata.
Kesal dengan akhir cerita dari novel yang baru dibeli dua minggu lalu. Novel yang untuk ke sekian serinya Teresia beli.
Bangkit dari tiarap, perempuan 25 tahun itu meraih tissue lagi di atas meja samping laptop, mengusap sisa-sisa air mata di wajah sekaligus menyingkirkan ingus di hidung, lalu membuang tissue bekas itu sembarangan di lantai bersama gumpalan tissue lain.
Malam minggu, di saat sebagian orang lain memilih ke luar rumah untuk sekedar jalan-jalan atau ngapel berpacaran, Teresia malah menenggelamkan diri terbawa perasaan dalam lautan kata yang disusun indah oleh penulis buku.
"Tega banget parah, penulisnya, masa Gabriel udah banyak menderita ujung-ujungnya dibikin mati." Teresia masih mendumel sambil bangkit berdiri, memunguti sampah di lantai kamar untuk dimasukkan ke keranjang sampah.
"Gue rasa nih penulisnya sado, deh. Masa suka nyiksa karakter sendiri," omel Teresia di tengah membenahi kasur.
Teresia kesal, emosi, baper lah istilahnya, dengan novel berjudul < I'm Yours > ini. Awalnya berniat iseng membeli, membaca saat hari libur saja, tapi tidak menyangka alur ceritanya akan sangat memporak-porandakan hati.
Novel ini sebenarnya adalah salah satu seri dari cerita Roosevelt Family. Setiap seri memiliki pemeran utama berbeda, tema berbeda, dan genre berbeda. Hanya saja universe yang sama, latar keluarga besar yang sama pula.
Judulnya sangat biasa saja, tapi covernya menarik, dan isinya berhasil membuat Teresia gagal berhenti membaca. Genre romantis tapi bertema dark-romance yang sangat epic. Dengan rate 21+ karna mengandung adegan kekerasaan dan pemaksaan dalam berhubungan seks.
Menceritakan tentang obsesi gelap si pemeran utama laki-laki, yaitu Luga Nathanael Roosevelt, pada seorang gadis, Gabriella Erish De Vries. Latar tempat dari cerita ini ada negara kincir angin, Belanda, tapi menggunakan bahasa Indonesia.
"Lagian, di dunia nyata mana ada orang terobsesi kayak obsesi Luga ke Gabriel. Kayak orang gila," kritik Teresia kembali.
***
*** Dari sudut pandang Teresia sebagai pembaca, sebenarnya Luga teramat mencintai Gabriella, hanya saja caranya salah, dan Gabriella tidak mengerti itu semua jadi menganggap Luga tidak waras. Dua orang dengan dua masa kecil yang jauh berbeda, bagaimana mungkin bisa saling mengerti. Luga dididik penuh kekejaman, sedangkan Gabriella dibesarkan layaknya permata berharga. Ide semacam itulah yang dibuat penulis novel ini. Dengan tambahan dramatis di sana-sini hingga perasaan Teresia sendiri dibuat jungkir-balik setiap membaca babnya. Kekerasan dan cinta, benci dan sayang, hitam dan putih, berakhir dengan kematian Gabriella yang merasa sudah tidak sanggup lagi dengan semua beban yang dipikul di dunia. Setiap adegan kekerasan yang dilakukan Luga pada Gabriella, Teresia akan ikut menangis pilu dan meratap sedih. Tapi saat adegan begitu banyak cinta yang Luga curahkan demi meluluhkan hati Gabriella, Teresia pun ikut merona malu. Dan bahkan, jika adegan menunjukkan kebencian d
*** Kurang lebih satu minggu sejak terbangun di tempat asing hari itu, Teresia mengalami masa-masa di ambang antara percaya dan tidak percaya dengan yang dialami sekarang. Sampai menutup mata di malam kebakaran itu, Teresia yakin pilihannya hanya dua, berhasil hidup karna ditemukan tim penyelamat pemadam kebakaran, atau mati dilalap api bersama reruntuhan bangunan. Opsi tentang berpindah jiwa tidak termasuk dalam pikiran Teresia, sama sekali. Lalu, sekonyong-konyong kenyataan datang menampar, menegaskan bahwa jiwa Teresia sudah berpindah ke raga seorang gadis di dunia lain. Vie Yerinsa De Vries, nama itu saja sangat asing bagi Teresia, tapi setelah diingat-ingat lagi kata 'De Vries' lah yang dia kenali. Kemudian, sekali lagi kepala Teresia bagai digebuk palu besar saat mengetahui nama gadis yang mengaku sebagai saudarinya. Gabriella Erish De Vries, itu adalah nama perempuan yang seminggu ini rutin mengunjungi kamar hanya untuk memberikan makan di saat waktunya tiba, itu juga yang
*** Belum selesai peringatan pelayan itu, Yerinsa sudah lebih dulu terpeleset di anak tangga terakhir, sukses membentur lantai dengan posisi telungkup. Teriakan si pelayan membuat penghuni rumah lain, yang sebenarnya didominasi pelayan juga, jadi berdatangan tergopoh-gopoh. "Ukh-" Yerinsa meringis tertahan, tidak tau kalau lantai yang dipijak ternyata licin karena terdapat cipratan air dari ember pel bawaan pelayan. "Astaga, Sayang-!" Nyonya besar De Vries memekik panik melihat sang anak tersungkur di lantai, mendekat bersama beberapa pelayan yang ikut khawatir. Dikarenakan tidak ada pria di antara mereka yang bisa dimintai mengangkat Yerinsa, jadi nyonya rumah sendiri yang membalikkan posisi tubuh anaknya dibantu pelayan. "Yerin, ya ampun." Margareth meringis ngilu begitu berhasil memangku Yerinsa, melihat darah mengalir di hidung sang anak. "Ambilkan kotak pertolongan pertama, cepat! Sisanya bantu aku mengangkat Yerin ke sofa," titah Margareth segera dengan tegas. "Baik!" sa
*** Setelah memastikan keadaan baik-baik saja untuk keluar dari kamar, akhirnya Yerinsa bisa bergabung untuk makan malam bersama keluarga, ini pertama kalinya. Meski masih cukup canggung dan cara makan Yerinsa sedikit kaku, tapi tidak ada yang mengkritik. Sebenarnya ini kesempatan Yerinsa juga untuk membicarakan soal undangan pesta resmi satu minggu lagi. Tapi, jawaban Margareth tadi siang membuatnya ragu untuk membujuk sang ayah, jika ibunya saja bisa menjawab tidak, maka ayahnya juga kemungkinan sama. "Yerin." Panggilan Margareth membuyarkan lamunan Yerinsa yang cukup serius, saat mengangkat pandangan baru Yerinsa sadari sedang ditatap tiga pasang mata di meja makan itu. "Ah, iya? Ibu mengatakan sesuatu? Maaf, aku sedikit melamun," ucap Yerinsa dengan senyum canggung. Margareth balas tersenyum lembut, lalu menggeleng. "Ibu berkata, setelah ini kamu langsung ke kamar saja untuk istirahat, jangan memaksakan diri berjaga," katanya mengulang kalimat yang tidak didengar remaja itu.
*** Kasurnya tidak memiliki bulu, dan tidak sehangat ini walaupun rasa nyamannya hampir sama. Tidak tau berapa lama Yerinsa sudah tertidur, dia memaksa mata untuk terbuka. Pemandangan asing masuk ke dalam indera penglihatan gadis itu, sesuatu yang putih seperti permadani bulu angsa terhampar luas di bawah. Yerinsa mengerang sebelum bangkit duduk celingak-celinguk, wajah setengah mengantuk itu keheranan. "Di mana lagi ini," monolog Yerinsa gusar. Sesaat kemudian tersentak menyadari suaranya berbeda dari beberapa hari belakangan, ini suara Teresia asli. Tergesa-gesa Yerinsa mengecek keadaan sendiri, menemukan tubuhnya kembali seperti sosok wanita dewasa, bukan remaja. Dia menjadi Teresia lagi? Tiba-tiba? "Kakak." Di tengah mengecek kondisi tubuh dan bersimpuh, Teresia mendengar suara halus datang dari arah belakang. Memutar pandangan, Teresia menemukan seorang gadis muda mendekat dengan kaki mengambang tidak menyentuh dasar. Teresia tidak bereaksi untuk beberapa saat, hanya terc
*** Bulu mata hitam yang lentik itu perlahan terbuka setelah sesaat bergetar, kelopak mata dengan garis sabit mengerjab beberapa kali sebelum kuapan keluar dari mulut yang dihalau telapak tangan. Hingga sepasang bola mata biru tampak menatap langit-langit ruangan, pemandangan ukiran di langit-langit itu sudah tidak terlalu asing lagi sejak beberapa hari belakangan di mata si gadis bergaun tidur sutera. Lampu gantung kristal di tengah langit-langit, dengan cat dinding ruangan didominasi warna putih dan sedikit biru muda. Menyingkap selimut abu-abu, gadis berambut cinnamon bergelombang itu duduk sambil mengusap wajah lembut. "Nona Yerin, Anda sudah bangun?" Setelah ketukan di pintu dari luar, suara wanita terdengar lembut bertanya dalam bahasa Belanda. "Iya." Yerinsa yang masih duduk di kasur nyaman berseprei putih menyahut singkat, tak lama pintu kamar yang hanya dia tatapi terbuka dari luar. Seorang wanita muda berpakaian khusus pelayan masuk dengan senyum ramah pada gadis muda
*** "Selamat pagi," sapa Yerinsa dengan senyum cerah begitu tiba di ruang makan. "Pagi, Sayang," balas Margareth yang sedang mengoleskan selai pada sepotong roti. "Selamat pagi," balas Abrady singkat dengan senyuman, sekilas mengalihkan perhatian dari koran pada sang anak. "Pagi, Yerin." Gabriella juga membalas sapaan dengan tak kalah cerah setelah menyesap susu di gelas. Yerinsa mendekati Abrady dan Margareth, mengecup singkat pipi kedua orangtuanya, baru menarik kursi di samping Gabriella. Satu lagi rutinitas pagi yang Yerinsa ketahui di keluarga ini, yaitu kecupan hangat untuk ayah dan ibu mereka. Margareth duduk setelah memberikan jatah roti selai ke semua penghuni meja makan. "Gabby kenapa pakai seragam sekolah?" tanya Yerinsa mengernyit melihat setelan Gabriellla beserta tas sekolah. "Tentu saja karena harus sekolah, apa lagi?" jawab dan tanya balik Gabriella, ikut berkerut dahi mendengar pertanyaan lucu itu. "Maksudku, bukankah hari ini harusnya kamu ke salon dan butik?
*** Berjam-jam berlalu dihabiskan Yerinsa dan Margareth mengantri, hingga mendapat giliran mereka. Sambil mengobrol dengan Margareth, Dokter Damberrain juga memeriksa Yerinsa yang berbaring di ranjang periksa. Sekitar pukul lima sore lebih, baru mereka mendapat hasil pemeriksaan medis Yerinsa. Beberapa saran dan obat kembali diberikan dokter pada Margareth, juga sederet wanti-wanti untuk Yerinsa menjaga pola hidup sehat. Sekarang, baru Yerinsa mengetahui penyakit apa yang diderita tubuh ini sejak dulu, penyakit yang tidak bisa disembuhkan, tapi bisa diringankan sementara dengan jenis obat tertentu. Penyakit lupus dengan jenis, Systemic lupus erthematosus (SLE). Penyakit ini biasa menyerang berbagai jaringan seperti, sendi, kulit, otak, paru-paru, ginjal, dan pembuluh darah, jika sedang kumat. Pantas saja di atas meja rias di kamar Yerinsa begitu banyak botol produk tabir surya, ternyata tidak hanya untuk wajah dan leher, tapi juga untuk seluruh badan yang kemungkinan terpapar sina