***
Teriakan si pelayan membuat penghuni rumah lain, yang sebenarnya didominasi pelayan juga, jadi berdatangan tergopoh-gopoh.
"Ukh-" Yerinsa meringis tertahan, tidak tau kalau lantai yang dipijak ternyata licin karena terdapat cipratan air dari ember pel bawaan pelayan.
"Astaga, Sayang-!"
Nyonya besar De Vries memekik panik melihat sang anak tersungkur di lantai, mendekat bersama beberapa pelayan yang ikut khawatir.
Dikarenakan tidak ada pria di antara mereka yang bisa dimintai mengangkat Yerinsa, jadi nyonya rumah sendiri yang membalikkan posisi tubuh anaknya dibantu pelayan.
"Yerin, ya ampun." Margareth meringis ngilu begitu berhasil memangku Yerinsa, melihat darah mengalir di hidung sang anak.
"Ambilkan kotak pertolongan pertama, cepat! Sisanya bantu aku mengangkat Yerin ke sofa," titah Margareth segera dengan tegas.
"Baik!" sahut beberapa pelayan, langsung bertindak.
Yerinsa memejamkan mata karena pandangan mendadak menguning akibat benturan beberapa saat lalu. Menutup setengah wajah dengan telapak tangan dan mengerang menahan sakit saat digotong ke sofa.
"Ibu," lirih Yerinsa perlahan membuka mata.
"Kenapa, Sayang? Apa sakit sekali? Tunggu sebentar, jangan menunduk, darahnya akan keluar lebih banyak," sahut Margareth lembut, mengusap helai rambut Yerinsa agar tidak terkena darah mimisan.
"Kapan pesta-"
"Nyonya, ini kotak pertolongan pertamanya."
Kalimat tanya Yerinsa diinterupsi oleh kedatangan seorang pelayan lain yang membawa kotak P3K terburu-buru, meletakkan di atas meja di depan sofa yang Yerinsa tiduri berbantal paha Margareth.
Kotak dibuka Margareth untuk mengeluarkan kapas dan tissue secukupnya, mengusap lembut aliran darah yang mengotori bawah hidung Yerinsa, hidung bangir itu memerah karena benturan.
Dalam diam Yerinsa mencoba menunggu hingga mimisan dihentikan, hidung disumbat dengan segulung kecil tissue. Baru beranjak duduk untuk berhadapan dengan Margareth.
"Bu," panggil Yerinsa pelan, dalam hati agak canggung.
"Ya?" Margareth menyahut sambil merapikan rambut Yerinsa ke belakang telinga.
"Kapan pesta pembukaan anak cabang perusahaan kolega Ayah?" tanya Yerinsa serius menatap sang ibu.
Margareth berkerut alis. "Pesta? Oh, undangan yang satu minggu lagi itu?" tanyanya memastikan.
"Jadi, satu minggu lagi, ya," gumam Yerinsa dengan pandangan turun ke lantai.
Di buku mengatakan saat pesta itu hanya Gabriella dan Ayahnya yang datang. Ibunya tidak, karena ada suatu urusan lain, tidak dijelaskan urusan apa itu.
"Apa Ibu akan hadir?" tanya Yerinsa mendesak, menatap Margareth kembali.
"Tidak. Kamu pasti lupa, acara itu bersamaan dengan jadwal pemeriksaanmu ke rumah sakit, Sayang. Jadi, hanya Ayah dan Gabby yang pergi, Ibu akan menemanimu," terang Margareth dengan gelengan kepala singkat dan senyum teduh.
Yerinsa mengerjab, jadi Margareth tidak bisa hadir ke pesta itu karna menemani anak lainnya ke rumah sakit, di novel tidak menjelaskan hal itu. Pantas saja Gabriella yang menggantikan posisi kehadiran Nyonya De Vries, karena sama-sama penting.
Sebenarnya seberapa lemah tubuh ini?
Tidak hanya penyakitan, kehadiran karakter Yerinsa dalam novel hanya 0,1% saja. Itupun dia diceritakan mati di pertengahan buku karna digerogoti penyakit, entah apa nama penyakit kronis itu.
"Tidak bisakah pemeriksaanku dipercepat, lalu kita ikut hadir ke pesta itu? Bukankah aku sudah melakukan pemeriksaan kemarin?" tanya Yerinsa menekuk wajah, mencoba mengusulkan satu cara.
Untuk membuat Luga tidak jatuh cinta pada Gabriella, maka harus membuat mereka tidak saling tatap di pesta.
"Tentu saja tidak bisa, Dokter Demberrain terlalu sibuk hanya untuk mengatur ulang jadwal temu pasien, kita tidak bisa seenaknya mengacaukan jadwal. Lagipula, kenapa harus dipercepat? Apa ada sesuatu?" Margareth menjawab diakhiri bertanya lembut.
"Uh ... itu ... tidak apa-apa, aku hanya berpikir untuk ikut hadir ke pesta itu," gumam Yerinsa kikuk, memilih bermanja memeluk tubuh ramping sang ibu.
"Ah, jadi Yerin Ibu ingin ikut ke pesta. Itu hanya acara formal membosankan, tidak ada yang bisa kamu lihat," kata Margareth sambil mengusap lembut kepala sang anak.
Yerinsa tidak menjawab, hanya bergumam sambil memejamkan mata, merasakan usapan lembut itu membuatnya nyaman dalam pelukan sang ibu.
"Bu, apa aku pernah pergi ke pesta?" tanya Yerinsa setelah diam beberapa saat untuk berpikir.
Yerinsa tidak perlu kebingungan mencari alasan bertanya-tanya informasi acak karna dokter sudah mengatakan kehilangan sebagian ingatan. Jadi, mudah saja untuk Yerinsa mengetahui hal-hal biasa di keluarga ini, lebih tepatnya hal berkaitan dengan diri sendiri.
"Tidak. Kamu tau, tubuhmu tidak bisa terlalu lama terkena udara dingin dan kelelahan," jawab Margareth hati-hati, takut menyinggung hati putri kecilnya.
Yerinsa bergumam mengerti. Tanpa terlihat Margareth wajah itu mencebik. Padahal selama seminggu ini, dia merasa baik-baik saja, walaupun sedikit lemas saat berlari tadi karena efek tidak sadarkan diri berhari-hari.
Ngomong-ngomong soal perpindahan jiwa, Yerinsa baru tau bahwa pemilik tubuh ini mengalami drop parah selama sepuluh hari akibat kecelakaan kecil, terserempet pemotor ugal-ugalan saat pulang sekolah.
Akibatnya, Yerinsa yang seringan bulu malah terputar dan kepala berakhir membentur sebuah mobil. Insiden itu juga membuat Yerinsa dibawa ke rumah sakit sebelum akhirnya dirawat di rumah.
Tidak ada yang tau bahwa jiwanya berganti menjadi Teresia saat siuman.
"Apa sekarang waktunya berpelukan?"
Suasana hangat ibu-anak itu diinterupsi suara yang datang dari lorong arah ke pintu utama. Saat menoleh, sosok berwajah cerminan Yerinsa mengenakan seragam sekolah menengah atas terlihat mendekat.
Yerinsa memperhatikan setelan itu cukup tertarik, kemeja putih lengan pendek dengan rok lipit kotak-kotak berwarna hijau lumut di atas lutut, dasi berwarna senada rok melilit kerah baju. Tote bag hitam tersampir di pundak kiri Gabriella dan sepatu hitam juga.
"Hey, ada apa dengan kapas dihidungmu?" tanya Gabriella begitu sudah dekat dengan ibu dan kembarannya di sofa itu.
"Yerin jatuh dari tangga," jawab Margareth pelan.
"Apa? Bagaimana bisa? Ibu sudah memanggil Dokter Damberrain? Yerin, kenapa kamu rawan sekali sial," cecar Gabriella cemas, menyentuh pipi Yerinsa untuk melihat lebih jelas pada hidung yang tersumbat tissue.
"Aku baik-baik saja, ini hanya mimisan," kata Yerinsa cemberut dengan respon berlebihan Gabriella.
"Jangan kebiasaan meremehkan sesuatu, apalagi menyangkut dirimu. Kamu mau kupukul?" balas Gabriella gemas dengan ketenangan Yerinsa yang muncul sejak sembuh dari demam tinggi.
Yerinsa semakin cemberut, melepaskan wajah dari tangan Gabriella dan melesak ke pelukan sang ibu lagi. Melihat itu, Gabriella mencibir sebelum ikut duduk di sofa dan memeluk Margareth dari sisi berbeda.
"Gabby, ganti bajumu dulu, lalu makan," suruh Margareth dengan satu tangan mengusap lengan Gabriella yang memeluk juga.
"Sebentar lagi, aku masih lelah." Gabriella menawar, setelah berjam-jam di sekolah, bergaul dengan pelajaran, rumah adalah tempat mereka mengisi tenaga kembali.
Dalam diam Yerinsa melamun, seminggu yang dilalui membuat dia tau keluarga ini sangat harmonis dari dalam ataupun luar media.
Ayah Yerinsa, Abrady, sangat pekerja keras dan bertanggung jawab. Ibu Yerinsa, Margareth, merupakan wanita lemah lembut dan penyayang, tidak pilih kasih dalam memperlakukan kedua anak. Lalu, Gabriella, saudari impian bagi Yerinsa, karena sangat pengertian walaupun terkadang suka julid seperti kebanyakan saudara di luaran sana.
Yang terpenting, ketiga anggota keluarga De Vries terlihat saling menyayangi, terutama pada Yerinsa yang merupakan anak bungsu lemah. Seperti dugaan Teresia, penulis novel < I'm Yours > pasti benar-benar sado, tega sekali menghancurkan keluarga semanis ini, keluarga yang sangat diinginkan oleh banyak orang.
***
*** Setelah memastikan keadaan baik-baik saja untuk keluar dari kamar, akhirnya Yerinsa bisa bergabung untuk makan malam bersama keluarga, ini pertama kalinya. Meski masih cukup canggung dan cara makan Yerinsa sedikit kaku, tapi tidak ada yang mengkritik. Sebenarnya ini kesempatan Yerinsa juga untuk membicarakan soal undangan pesta resmi satu minggu lagi. Tapi, jawaban Margareth tadi siang membuatnya ragu untuk membujuk sang ayah, jika ibunya saja bisa menjawab tidak, maka ayahnya juga kemungkinan sama. "Yerin." Panggilan Margareth membuyarkan lamunan Yerinsa yang cukup serius, saat mengangkat pandangan baru Yerinsa sadari sedang ditatap tiga pasang mata di meja makan itu. "Ah, iya? Ibu mengatakan sesuatu? Maaf, aku sedikit melamun," ucap Yerinsa dengan senyum canggung. Margareth balas tersenyum lembut, lalu menggeleng. "Ibu berkata, setelah ini kamu langsung ke kamar saja untuk istirahat, jangan memaksakan diri berjaga," katanya mengulang kalimat yang tidak didengar remaja itu.
*** Kasurnya tidak memiliki bulu, dan tidak sehangat ini walaupun rasa nyamannya hampir sama. Tidak tau berapa lama Yerinsa sudah tertidur, dia memaksa mata untuk terbuka. Pemandangan asing masuk ke dalam indera penglihatan gadis itu, sesuatu yang putih seperti permadani bulu angsa terhampar luas di bawah. Yerinsa mengerang sebelum bangkit duduk celingak-celinguk, wajah setengah mengantuk itu keheranan. "Di mana lagi ini," monolog Yerinsa gusar. Sesaat kemudian tersentak menyadari suaranya berbeda dari beberapa hari belakangan, ini suara Teresia asli. Tergesa-gesa Yerinsa mengecek keadaan sendiri, menemukan tubuhnya kembali seperti sosok wanita dewasa, bukan remaja. Dia menjadi Teresia lagi? Tiba-tiba? "Kakak." Di tengah mengecek kondisi tubuh dan bersimpuh, Teresia mendengar suara halus datang dari arah belakang. Memutar pandangan, Teresia menemukan seorang gadis muda mendekat dengan kaki mengambang tidak menyentuh dasar. Teresia tidak bereaksi untuk beberapa saat, hanya terc
*** Bulu mata hitam yang lentik itu perlahan terbuka setelah sesaat bergetar, kelopak mata dengan garis sabit mengerjab beberapa kali sebelum kuapan keluar dari mulut yang dihalau telapak tangan. Hingga sepasang bola mata biru tampak menatap langit-langit ruangan, pemandangan ukiran di langit-langit itu sudah tidak terlalu asing lagi sejak beberapa hari belakangan di mata si gadis bergaun tidur sutera. Lampu gantung kristal di tengah langit-langit, dengan cat dinding ruangan didominasi warna putih dan sedikit biru muda. Menyingkap selimut abu-abu, gadis berambut cinnamon bergelombang itu duduk sambil mengusap wajah lembut. "Nona Yerin, Anda sudah bangun?" Setelah ketukan di pintu dari luar, suara wanita terdengar lembut bertanya dalam bahasa Belanda. "Iya." Yerinsa yang masih duduk di kasur nyaman berseprei putih menyahut singkat, tak lama pintu kamar yang hanya dia tatapi terbuka dari luar. Seorang wanita muda berpakaian khusus pelayan masuk dengan senyum ramah pada gadis muda
*** "Selamat pagi," sapa Yerinsa dengan senyum cerah begitu tiba di ruang makan. "Pagi, Sayang," balas Margareth yang sedang mengoleskan selai pada sepotong roti. "Selamat pagi," balas Abrady singkat dengan senyuman, sekilas mengalihkan perhatian dari koran pada sang anak. "Pagi, Yerin." Gabriella juga membalas sapaan dengan tak kalah cerah setelah menyesap susu di gelas. Yerinsa mendekati Abrady dan Margareth, mengecup singkat pipi kedua orangtuanya, baru menarik kursi di samping Gabriella. Satu lagi rutinitas pagi yang Yerinsa ketahui di keluarga ini, yaitu kecupan hangat untuk ayah dan ibu mereka. Margareth duduk setelah memberikan jatah roti selai ke semua penghuni meja makan. "Gabby kenapa pakai seragam sekolah?" tanya Yerinsa mengernyit melihat setelan Gabriellla beserta tas sekolah. "Tentu saja karena harus sekolah, apa lagi?" jawab dan tanya balik Gabriella, ikut berkerut dahi mendengar pertanyaan lucu itu. "Maksudku, bukankah hari ini harusnya kamu ke salon dan butik?
*** Berjam-jam berlalu dihabiskan Yerinsa dan Margareth mengantri, hingga mendapat giliran mereka. Sambil mengobrol dengan Margareth, Dokter Damberrain juga memeriksa Yerinsa yang berbaring di ranjang periksa. Sekitar pukul lima sore lebih, baru mereka mendapat hasil pemeriksaan medis Yerinsa. Beberapa saran dan obat kembali diberikan dokter pada Margareth, juga sederet wanti-wanti untuk Yerinsa menjaga pola hidup sehat. Sekarang, baru Yerinsa mengetahui penyakit apa yang diderita tubuh ini sejak dulu, penyakit yang tidak bisa disembuhkan, tapi bisa diringankan sementara dengan jenis obat tertentu. Penyakit lupus dengan jenis, Systemic lupus erthematosus (SLE). Penyakit ini biasa menyerang berbagai jaringan seperti, sendi, kulit, otak, paru-paru, ginjal, dan pembuluh darah, jika sedang kumat. Pantas saja di atas meja rias di kamar Yerinsa begitu banyak botol produk tabir surya, ternyata tidak hanya untuk wajah dan leher, tapi juga untuk seluruh badan yang kemungkinan terpapar sina
*** Sebenarnya Yerinsa sangat lelah, pantas saja Margareth mengatakan tidak akan bisa jika harus menghadiri pesta setelah mengantar Yerinsa check up, karena di rumah sakit menghabiskan waktu lama. Sampai di kamar, Yerinsa bukannya beristirahat malah sibuk melakukan hal lain dan mengabaikan rasa letih setelah sejak siang di luar rumah. Telah mempertimbangkan dampak dan konsekuensi yang akan timbul jika rencana ini dijalankan, akan Yerinsa terima itu nanti. Sambil berjalan, mengingat satu persatu hal yang harus dia lakukan setelah ini. Mulut bergumam tanpa suara, dan pikiran berfokus pada pesta malam ini. "Nona, ini Mauren. Saya mengantar susu untuk Anda." Pikiran rumit dalam kepala Yerinsa terpecah-belah oleh suara ketukan di pintu, Mauren bicara tanpa berani masuk sebelum diperintah. Kembali ke pintu, Yerinsa membuka tanpa membiarkan Mauren masuk, hanya menerima gelas susu dari perempuan itu yang memang selalu Yerinsa konsumsi sebelum tidur. "Anda butuh bantuan sesuatu, Nona?"
*** "Oke. Tunggu di sana, aku akan keluar," putus Gabriella kemudian sesaat sebelum mematikan sambungan telepon. Yerinsa tersenyum lega sambil memasukkan handphone ke dompet kembali. Mengalihkan perhatian pada sekitar yang masih banyak tamu berdatangan, padahal acara pasti sudah dimulai lama. Ngomong-ngomong, apa Luga sudah datang? Yerinsa saja tidak tau seperti apa sosok laki-laki yang dikatakan dalam novel berusia sekitar 22 tahun itu. Visualisasi dari penulis sangat kuat, menjelaskan detail dan jeli tentang karakter Luga yang intinya berpenampilan khas anak gangster, di satu sisi juga penuh kharisma. Sejauh ini, Yerinsa tidak bisa membayangkan seberapa sempurna fisik karakter itu. Seberapa kental darah Italia mengalir pada sosok Luga, karena itu tanah kelahirannya. "Yerin." Panggilan dari arah belakang membuat Yerinsa menoleh, mendapati Gabriella muncul di pintu masuk dengan langkah cepat. "Gabby," sapa Yerinsa sumringah, mendekat. Gabriella sesaat bertukar sapaan dengan pa
*** "Ah, maaf," ucap Yerinsa segera, tidak terlalu memperhatikan sumber rasa sakit di tangan, hanya mengelus dahi yang sedikit nyeri. Mendongak, Yerinsa mengerjab mendapati wajah tampan seorang laki-laki. Berambut hitam disisir ke kanan, dan mengenakan setelan jas biru malam. Tatto terlihat di leher sebelah kiri, serta mengenakan anting di telinga kiri. Wajah ini seperti pernah Yerinsa lihat, tapi di mana? Apa dia CEO muda? Seperti cerita-cerita fiksi yang sering Yerinsa baca di dunia terdahulu, tampan dan menguarkan aura mendominasi, sangat mencerminkan sosok CEO atau Tuan Muda konglomerat. "Kamu menghalangi jalan," kata laki-laki itu membuka suara setelah hening di antara mereka. "Ah." Yerinsa langsung tersadar dari keterpesonaan, merunduk beberapa kali lagi dan mengucapkan permintaan maaf. "Saya minta maaf, saya buru-buru. Sekali lagi maaf," ucap Yerinsa sambil menyingkirkan dari ambang lorong toilet. Sebelum laki-laki itu membalas, Yerinsa sudah ngacir lebih dulu menuju to