***
"Pagi, Sayang," balas Margareth yang sedang mengoleskan selai pada sepotong roti.
"Selamat pagi," balas Abrady singkat dengan senyuman, sekilas mengalihkan perhatian dari koran pada sang anak.
"Pagi, Yerin." Gabriella juga membalas sapaan dengan tak kalah cerah setelah menyesap susu di gelas.
Yerinsa mendekati Abrady dan Margareth, mengecup singkat pipi kedua orangtuanya, baru menarik kursi di samping Gabriella. Satu lagi rutinitas pagi yang Yerinsa ketahui di keluarga ini, yaitu kecupan hangat untuk ayah dan ibu mereka.
Margareth duduk setelah memberikan jatah roti selai ke semua penghuni meja makan.
"Gabby kenapa pakai seragam sekolah?" tanya Yerinsa mengernyit melihat setelan Gabriellla beserta tas sekolah.
"Tentu saja karena harus sekolah, apa lagi?" jawab dan tanya balik Gabriella, ikut berkerut dahi mendengar pertanyaan lucu itu.
"Maksudku, bukankah hari ini harusnya kamu ke salon dan butik? Untuk bersiap acara pesta," tanya Yerinsa memperjelas maksud kalimatnya.
Gabriella manggut-manggut sambil mengunyah roti. "Aku ke salon dan butik setelah pulang sekolah, masih banyak waktu," katanya enteng setelah menelan.
"Oh," gumam Yerinsa mengangguk mengerti.
"Yerin juga ingat kita hari ini akan ke rumah sakit menemui Dokter Damberrain," kata Margareth mengingatkan Yerinsa tentang jadwal pemeriksaan mereka hari ini.
"Iya, Bu," angguk Yerinsa tentu saja ingat.
Malam ini adalah waktu Gabriella dan Abrady datang ke pesta pembukaan perusahaan cabang keluarga Luga, diadakan di sebuah hotel bintang lima, tidak mungkin Yerinsa tidak memperhatikan hari.
Malam ini juga artinya plot novel akan dimulai, setelah banyak pertimbangan dan cara, akhirnya Yerinsa memiliki satu rencana cukup nekat yang tidak diketahui siapapun selain Tuhan.
Setelah acara sarapan hangat mereka, Margareth mengantar kepergian suami dan anaknya di depan pintu.
"Hati-hati, sweatheart," pesan Margareth setelah mengecup singkat pipi Gabriella.
"Iya, Bu," balas Gabriella melangkah mundur sambil melambai.
Jalan ke kantor Abrady dan SMA Gabriella memang searah, jadi setiap pagi mereka berangkat bersama, sementara pulang dijemput supir.
"Yerin, kamu jangan melakukan apapun hari ini, siang nanti kita akan ke rumah sakit," kata Margareth begitu berpaling dari pintu, melihat Yerinsa duduk di sofa dekat tangga utama.
"Iya, Ibu. Memangnya aku bisa melakukan apa?" balas Yerinsa mengalihkan perhatian dari handphone dengan mencibir.
"Siapa tau kamu nanti lupa dan malah beraktifitas, lalu kelelahan sampai tidak bisa pergi," decak Margareth bersidekap.
"Aku tidak akan lupa," kata Yerinsa kali ini dengan senyuman.
Margareth mengangguk. "Bagus. Kalau begitu Ibu akan ke kamar saja sekarang," katanya sebelum pergi berlalu.
Yerinsa menggumam singkat, masih duduk nyaman berpangku kaki di sofa, memainkan handphone.
***
"Ibu mencariku?" tanya Yerinsa dari arah lorong kamar sendiri, bergegas mendekati Margareth yang akan menuruni tangga.
"Iya. Cepat siap-siap, kita pergi sekarang," jawab Margareth dengan lirikan karena sedang memasang gelang di tangan.
"Oh, baik. Aku hanya tinggal mengambil tas," kata Yerinsa sebelum berbalik kembali ke kamar.
"Ibu menunggu di bawah, tidak perlu berlari." Mauren memperingati keras pada kebiasaan baru Yerinsa yang suka berlari seperti dikejar waktu.
"Mauren! Katakan pada Yerin jangan berlari!" seru Margareth pada Mauren yang memang ditugaskan selalu mengikuti Yerinsa.
Mauren merunduk sopan sebagai gestur hormat. "Baik, Nyonya," sahutnya sebelum menyusul Yerinsa.
Margareth menuruni tangga melingkar bercat emas dengan lebar sekitar satu setengah meter itu, kaki dengan high heels hitam menginjak setiap anak tangga berlapis karpet merah maroon penuh kehati-hatian.
Seperti kata Yerinsa, ke kamar hanya untuk mengambil tas selempang hitam berisi dompet uang, cermin kecil, dan power bank untuk handphone. Keluar dari kamar lagi setelah merapikan kilat riasan di cermin rias sambil berdiri saja.
"Nona, tidak perlu berlarian, nanti Anda jatuh," peringat Mauren yang setia mengikuti sang nona muda.
Yerinsa tersenyum tanpa membalas, berhenti berlari tapi masih berjalan dengan langkah cepat sambil memasang jam tangan di pergelangan kiri.
Waktu lima menit hanya dihabiskan untuk berjalan dari lantai bawah ke kamar saja. Di kehidupan dulu, sebagai Teresia sudah terbiasa terburu-buru karna hidupnya memang selalu dikejar waktu.
Mansion mewah berlantai dua itu bergaya Belanda modern, letak rumah meninggi dari tanah, setiap lorong selalu ada lampu kristal di langit-langit. Bagian luar teras halaman depan terdapat cukup banyak pot bunga besar, tempat menanam berbagai bunga sesuai jenisnya.
"Tidak akan lama," jawab Margareth tidak terlalu memuaskan.
Yerinsa cemberut, mereka menuju mobil yang menunggu di halaman dengan supir sudah siap membukakan pintu penumpang.
Setelah ibu dan anak itu masuk, supir menyusul masuk. Mobil perlahan melaju mengitari halaman sesuai jalur jalan yang dibuat, lalu menuju gerbang utama mansion.
Menit demi menit berlalu di perjalanan, hingga mobil memasuki parkiran basement rumah sakit besar. Beberapa perawat dan suster terlihat berseliweran dengan tugas masing-masing.
Margareth dan Yerinsa keluar dari mobil setelah pintu dibukakan supir, bergandeng tangan memasuki rumah sakit.
"Ibu, aku bisa berjalan tanpa digandeng," protes Yerinsa ingin melepaskan gandengan dari wanita berdress biru malam di sampingnya.
"Tidak, nanti kamu tersesat. Rumah sakit ini pasti menjadi asing sejak kamu kecelakaan," tolak mentah Margareth, semakin merekatkan Yerinsa padanya.
"Ini sudah ke dua kalinya aku ke sini sejak kecelakaan itu, Bu. Aku ingat," kata Yerinsa memutar mata malu.
"Diam saja," bisik Margareth mendesis.
Yerinsa menghela napas panjang, baru tau bahwa Margareth sangat berlebihan akan kelemahan fisiknya.
"Ash-!"
Berbelok ke salah satu lorong rumah sakit, mereka berpapasan dengan beberapa orang hingga tubuh kecil Yerinsa tersenggol salah satu pria bertubuh kekar itu.
Perbedaan badan membuat Yerinsa kalah dan jatuh terduduk, gandengan pada Margareth juga terlepas. Yerinsa meringis merasakan pantat nyeri karena membentur ubin.
"Astaga-! Tolong Anda kalau berjalan itu hati-hati, anak saya masih sakit! Sembarangan saja menabrak, di rumah sakit kenapa harus berjalan rombongan seperti ini, mengganggu pengunjung lain saja."
Jiwa Margareth sebagai seorang ibu yang over menjadi tersulut melihat Yerinsa jatuh, wanita itu mengomeli para pria berpakaian hitam itu tanpa rasa takut.
"Bu, aku baik-baik saja," kata Yerinsa melerai karena malu sendiri ditatapi banyak pengunjung lain.
Margareth menoleh, merunduk untuk membantu Yerinsa berdiri. "Di mana yang sakit? Akan Ibu panggilkan suster untuk membawakan brankar untukmu," katanya mencecar cemas.
"Tidak perlu, Bu, kita lanjutkan mencari Dokter saja," tolak Yerinsa sambil bangkit berdiri.
Di antara pasang mata yang melihat kejadian perselisihan kecil itu, salah satunya adalah seorang laki-laki dengan jaket hitam dan celana jeans hitam robek-robek, berdiri di antara pria-pria kekar.
Mata amber tajam itu memperhatikan Yerinsa dengan jeli dari atas kepala hingga ujung kaki.
"Ayo, Bu," ajak Yerinsa menarik Margareth untuk melanjutkan langkah mereka.
"Tapi, Sayang," protes Margareth, tidak puas karena belum mendapat permintaan maaf.
"Ibu, aku baik-baik saja, ini hanya jatuh." Yerinsa memelas menatap Margareth agar mau segera pergi dari tempat ini, mengakhiri perselisihan absurd mereka.
"Baiklah. Ayo," angguk Margareth akhirnya mengalah.
Yerinsa tersenyum, sekilas menoleh pada pria besar yang bertabrakan dengannya, lalu merunduk sedikit. "Maaf, kami permisi," ucapnya berpamitan.
Tidak sengaja mata Yerinsa bertemu pandangan dengan seseorang di antara pria seragam berpakaian hitam itu, tapi style baddass sangat bertolak belakang.
"Apa-apaan kamu, dia yang harusnya minta maaf, bukan kamu," protes Margareth sengit, memutuskan kontak mata Yerinsa dengan si laki-laki asing.
Yerinsa cengengesan sambil menarik sang ibu menjauh, bergelayut di lengan Margareth tanpa membalas.
***
*** Berjam-jam berlalu dihabiskan Yerinsa dan Margareth mengantri, hingga mendapat giliran mereka. Sambil mengobrol dengan Margareth, Dokter Damberrain juga memeriksa Yerinsa yang berbaring di ranjang periksa. Sekitar pukul lima sore lebih, baru mereka mendapat hasil pemeriksaan medis Yerinsa. Beberapa saran dan obat kembali diberikan dokter pada Margareth, juga sederet wanti-wanti untuk Yerinsa menjaga pola hidup sehat. Sekarang, baru Yerinsa mengetahui penyakit apa yang diderita tubuh ini sejak dulu, penyakit yang tidak bisa disembuhkan, tapi bisa diringankan sementara dengan jenis obat tertentu. Penyakit lupus dengan jenis, Systemic lupus erthematosus (SLE). Penyakit ini biasa menyerang berbagai jaringan seperti, sendi, kulit, otak, paru-paru, ginjal, dan pembuluh darah, jika sedang kumat. Pantas saja di atas meja rias di kamar Yerinsa begitu banyak botol produk tabir surya, ternyata tidak hanya untuk wajah dan leher, tapi juga untuk seluruh badan yang kemungkinan terpapar sina
*** Sebenarnya Yerinsa sangat lelah, pantas saja Margareth mengatakan tidak akan bisa jika harus menghadiri pesta setelah mengantar Yerinsa check up, karena di rumah sakit menghabiskan waktu lama. Sampai di kamar, Yerinsa bukannya beristirahat malah sibuk melakukan hal lain dan mengabaikan rasa letih setelah sejak siang di luar rumah. Telah mempertimbangkan dampak dan konsekuensi yang akan timbul jika rencana ini dijalankan, akan Yerinsa terima itu nanti. Sambil berjalan, mengingat satu persatu hal yang harus dia lakukan setelah ini. Mulut bergumam tanpa suara, dan pikiran berfokus pada pesta malam ini. "Nona, ini Mauren. Saya mengantar susu untuk Anda." Pikiran rumit dalam kepala Yerinsa terpecah-belah oleh suara ketukan di pintu, Mauren bicara tanpa berani masuk sebelum diperintah. Kembali ke pintu, Yerinsa membuka tanpa membiarkan Mauren masuk, hanya menerima gelas susu dari perempuan itu yang memang selalu Yerinsa konsumsi sebelum tidur. "Anda butuh bantuan sesuatu, Nona?"
*** "Oke. Tunggu di sana, aku akan keluar," putus Gabriella kemudian sesaat sebelum mematikan sambungan telepon. Yerinsa tersenyum lega sambil memasukkan handphone ke dompet kembali. Mengalihkan perhatian pada sekitar yang masih banyak tamu berdatangan, padahal acara pasti sudah dimulai lama. Ngomong-ngomong, apa Luga sudah datang? Yerinsa saja tidak tau seperti apa sosok laki-laki yang dikatakan dalam novel berusia sekitar 22 tahun itu. Visualisasi dari penulis sangat kuat, menjelaskan detail dan jeli tentang karakter Luga yang intinya berpenampilan khas anak gangster, di satu sisi juga penuh kharisma. Sejauh ini, Yerinsa tidak bisa membayangkan seberapa sempurna fisik karakter itu. Seberapa kental darah Italia mengalir pada sosok Luga, karena itu tanah kelahirannya. "Yerin." Panggilan dari arah belakang membuat Yerinsa menoleh, mendapati Gabriella muncul di pintu masuk dengan langkah cepat. "Gabby," sapa Yerinsa sumringah, mendekat. Gabriella sesaat bertukar sapaan dengan pa
*** "Ah, maaf," ucap Yerinsa segera, tidak terlalu memperhatikan sumber rasa sakit di tangan, hanya mengelus dahi yang sedikit nyeri. Mendongak, Yerinsa mengerjab mendapati wajah tampan seorang laki-laki. Berambut hitam disisir ke kanan, dan mengenakan setelan jas biru malam. Tatto terlihat di leher sebelah kiri, serta mengenakan anting di telinga kiri. Wajah ini seperti pernah Yerinsa lihat, tapi di mana? Apa dia CEO muda? Seperti cerita-cerita fiksi yang sering Yerinsa baca di dunia terdahulu, tampan dan menguarkan aura mendominasi, sangat mencerminkan sosok CEO atau Tuan Muda konglomerat. "Kamu menghalangi jalan," kata laki-laki itu membuka suara setelah hening di antara mereka. "Ah." Yerinsa langsung tersadar dari keterpesonaan, merunduk beberapa kali lagi dan mengucapkan permintaan maaf. "Saya minta maaf, saya buru-buru. Sekali lagi maaf," ucap Yerinsa sambil menyingkirkan dari ambang lorong toilet. Sebelum laki-laki itu membalas, Yerinsa sudah ngacir lebih dulu menuju to
*** Pukul setengah dua belas Gabriella mendapat pesan dari Abrady yang mempertanyakan di mana posisinya berada. Pria 40 tahun itu juga mengatakan mereka akan segera pulang sebentar lagi, tapi ada yang harus dilakukan terlebih dulu di ballroom. Dengan pesan itu, Yerinsa artinya sudah tidak bisa lagi menahan Gabriella di sini. Dia juga harus pergi dari hotel ini sebelum ayah dan kakaknya pulang ke rumah. "Aku akan mengulur sedikit waktu agar kamu bisa kembali tanpa bersamaan dengan kami. Hati-hati," kata Gabriella sebelum mereka berpisah di persimpangan lorong hotel. Yerinsa mengangguk, mengacungkan jempol dan tersenyum lebar. Berpisah arah karena dia akan ke pintu keluar hotel, sedangkan Gabriella kembali ke ballroom tempat pesta masih berlangsung. Gabriella celingak-celinguk mencari keberadaan Abrady yang katanya masih di dalam pesta ini. Kemudian tersenyum saat menemukan sang ayah tengah mengobrol dengan beberapa pria. "Ayah," panggil Gabriella mendekat pada kumpulan pria pembis
*** Tidak terlalu peduli dipandang aneh oleh orang-orang yang melihat, Yerinsa fokus menyelamatkan diri saja, pulang ke rumah sebelum Gabriella dan Ayahnya yang sampai lebih dulu. Sejujurnya, Yerinsa merasa tidak akan kuat lagi untuk berjuang lebih dari ini. Tapi, jika tidak berusaha kembali, Yerinsa tidak akan bisa pulang selamat sampai rumah. Menit berlalu menjadi jam, Yerinsa mengulang kegiatan berlari, panjat-memanjat pagar lagi, lalu memanjat selimut dengan terengah-engah hampir menangis di tengah jalan. Jika bukan demi masa depan yang diimpikan, Yerinsa tidak akan mau melakukan hal konyol dan melelahkan ini. Gerutuan dan kalimat penyemangat bergantian memenuhi isi hatinya sepanjang perjuangan hingga sampai ke kamar. Jika di novel lain atau komik Korea yang mengisahkan betapa mudahnya perjuangan pemeran utama setelah masuk ke dalam buku cerita, maka Yerinsa kebalikannya. "Huh- ... hah ... hahh ..." Yerinsa merebahkan diri lemah di lantai balkon kamar setelah berhasil memanja
***Demam menyerang Yerinsa karena terlalu over kelelahan menyusup ke luar rumah. Meskipun berkata akan sembuh nanti sore, faktanya panas itu bertahan hingga tiga hari. Selain tidur, tiga hari juga kasur Yerinsa multifungsi menjadi tempat makan dan seperti ranjang rumah sakit.Untungnya hari ke tiga demam sudah lumayan turun, panas tubuh Yerinsa mereda 70%, sudah tidak lagi diinfus. Hari ke empat dan lima demam sembuh, meskipun masih lemas dan pucat.Dan hari ini, waktunya Yerinsa masuk sekolah setelah mengambil cuti selama sebulan. Pagi-pagi sekali remaja itu sudah antusias bangun mempersiapkan diri, lebih semangat dari Mauren yang membantunya berpakaian.Kemeja putih lengan pendek dengan lambang sekolahan di bagian dada kiri Yerinsa kenakan, bawahan rok hijau lumut lipit-lipit lima senti di atas lutut sama seperti seragam Gabriella.Setelah memoles wajah natural, diakhiri memakai krim tabir surya dari wajah, leher, lengan, hingga kaki, Yerinsa mengenakan stocking berwarna mirip warn
***"Oh, kamu kembali, Yerin? Apakah gosib tentang kamu mengalami amnesia itu benar? Apa kamu mengenalku? Padahal aku sudah menyiapkan lili putih untuk menghadiri acara berkabungmu."Satu gadis berambut hitam panjang yang indah, bicara penuh sinisme dengan lengan bersidekap, berdiri di tengah dari para gadis bersamanya.Yerinsa mengernyit dahi, lalu menatap Fiona bingung. "Siapa?" tanyanya menggumam, tidak merasa mengenal gadis itu.Tidak menjawab, Fiona hanya menarik mundur Yerinsa, melotot menatap gadis di depan mereka."Tidak bisakah kamu tidak mencari masalah dengan Yerin sehari saja? Apa tubuhmu itu akan gatal jika tidak mencari keributan dengan Yerin, Anastasya?" tanya Fiona sengit.Gadis yang dipanggil 'Anastasya' itu menyeringai sinis. "Tentu saja, hidupku tidak akan indah kalau belum melihat sahabatmu itu menderita. Hey, Yerin, kapan kamu mati?" balasnya hanya melirik sekilas pada Fiona sebelum menatap Yerinsa kembali."Heh! Jaga mulutmu, sialan!" maki Fiona mendadak naik pit