***Kerinduan yang terpendam selama berbulan-bulan membuncah di mata biru itu, segera pandangan Yerinsa buram akibat berkaca-kaca. Bahagia menggelegak dari lubuk hati begitu melihat sosok Gabriella, Margareth, lalu disusul Arbady turun dari helikopter dibantu beberapa orang berpakaian hitam tebal seperti jaket boomber.Mereka benar-benar di sini, melihatnya, bertatapan dengannya penuh rindu, dalam jarak yang hanya terpaut lebih dari sepuluh meter.Satu langkah pertama Yerinsa ambil saat helikopter dimatikan dan udara sekitar menjadi tenang, lupa bahwa tadi berlari bersama Luga hingga tautan tangan itu terlepas untuk menyongsong menyambut keluarga tercinta.Luga menatap tangan sendiri yang menggantung di udara, kehangatan kecil dari tangan lembut menghilang perlahan. Menatap punggung sempit bak peri yang berlari menuju gerbang kehidupan alam bebas, tangan Luga mendadak terkepal."Ibu," lirih Yerinsa dengan setetes linangan air mata jatuh di pipi, menatap sang ibu yang juga mendekat."A
***"Luga!" pekik Yerinsa kencang melihat Luga ambruk di tanah dengan memegang satu kaki.Tubuh Yerinsa gemetar, menatap sang ayah yang baru saja memberikan perintah menembak. Bagaimana bisa ayahnya memerintahkan hal sekejam itu dilakukan pada Luga, bahkan tanpa pembicaraan apapun di antara mereka."Yerin, jangan ke mana-mana! Tetap di sini!" Margareth menyusul berteriak saat Yerinsa benar-benar akan turun dari kursinya."Lepaskan aku, Bu. Ayah melukai Luga," pinta Yerinsa tanpa sadar mata sudah berkaca-kaca."Dia pantas mendapatkannya, Yerin. Bahkan harusnya lebih dari itu," sentak Gabriella, menarik kasar Yerinsa agar kembali duduk.Yerinsa menoleh tercengang. "Apa maksudmu dia pantas mendapatkan itu? Kamu mendukung Ayah melakukan kejahatan?" tanyanya tidak percaya."Sayang, percayalah pada Ayahmu, dia ingin kita semua kembali, seperti dulu lagi, mengertilah," ujar Margareth lembut mengusap pipi basah Yerinsa."Tapi, tidak perlu dengan hal keterlaluan seperti ini, Bu. Jangan melukai
***Abrady menegang di posisi memangku Yerinsa, merasakan moncong dingin revolver menyentuh tepat di pelipis sama seperti sebelumnya dialami Luga. Selain itu, tanpa diduga sederet pria kekar bersenjata yang sebelumnya mengancam Luga, kini malah berpaling mengancam Abrady.Pertemuan mengharukan yang diimpikan akan berakhir indah nyatanya tidak semulus yang dibayangkan. Rencana diam-diam memang sudah disusun sebelum keberangkatan, membayar sejumlah penembak jitu sebagai pelindung dan bisa digunakan mengancam.Namun, siapa menyangka Luga tau satu langkah di depan Abrady."Kupikir manusia, ternyata memang serangga yang tidak memiliki akal," desis Luga dengan sorot mata kelewat dingin."Apa yang sudah kamu lakukan pada orang-orangku?" tanya Abrady geram.Seringai Luga tersungging lebar. "Sejak kapan mereka orang-orangmu?" tanyanya mengejek."AYAH!" teriak Gabriella saat situasi dua pria itu mendadak terbalik.Margareth menangis melihat sang suami berada di bawah target ancaman Luga sekaran
***"Vie, tenanglah," bisik Luga kesulitan menahan lonjakan tenaga gadis itu."Sakit! Sakiitt! Sakiitt!" Yerinsa tidak menahan jeritan untuk mengeluarkan segala keluhan yang hanya bisa diwakili satu jenis kata itu saja.Memeluk erat gadis yang menggeliat seperti cacing kepanasan, Luga tidak mengatakan apapun selain membantu menekan kepala itu ke dadanya, juga membiarkan kemeja kusut direnggut Yerinsa.Bercak kemerahan timbul di kemeja, Luga mendesis rendah merasakan luka jahitan pasti terbuka kembali karena tersikut lengan Yerinsa, membuat kain kasa ikut bernoda darah."Gerald!" teriak Luga ke arah pintu masuk.Hanya butuh satu detik untuk seorang pria masuk terburu-buru. "Saya, Tuan Muda," sahutnya."Bantu aku," kata Luga sambil mengeluarkan sebuah botol kecil dan suntikan dari saku celana.Pria bernama Gerald mendekati tempat tidur, membantu memindah isi cairan dari botol ke dalam suntikan, lalu menyerahkan kembali pada Luga, membiarkan sang tuan muda menyuntik sendiri.Tubuh Yerins
*** "Ini yang terakhir, kumohon Tuhan, biarkan aku mati." Permohonan teramat pelan itu meluncur dari bibir berpoles lipstik merah muda, tangan gemetar memegang seuntai rantai perak yang menggantung erat bersama lampu kristal di langit-langit. Rantai yang juga menjadi pengekang pergerakan, terhubung ke pergelangan kaki kiri. Benda panjang dan berat itu dipasangkan oleh orang yang dipikir bisa menjadi tempat pelariannya, ternyata malah merupakan orang paling gila. Butiran bening air mata mengalir di pipi, membasahi riasan cantik bak boneka porselen seharga ratusan juta, wajah halus tanpa cela itu seakan menanggung begitu besar beban dalam jiwa. Lebam-lebam membiru tidak bisa disembunyikan dari lengan dan betis, bersatu dengan jejak-jejak kemerahan di leher dan pundak. Penyiksaan dan cinta menjadi satu dalam rantai itu. Untuk terakhir kali Gabriella menatap seluruh ruangan yang menjadi kamar tidur sekaligus penjara untuknya selama dua tahun ini, menghapus lembut jejak air mata sebel
*** Dari sudut pandang Teresia sebagai pembaca, sebenarnya Luga teramat mencintai Gabriella, hanya saja caranya salah, dan Gabriella tidak mengerti itu semua jadi menganggap Luga tidak waras. Dua orang dengan dua masa kecil yang jauh berbeda, bagaimana mungkin bisa saling mengerti. Luga dididik penuh kekejaman, sedangkan Gabriella dibesarkan layaknya permata berharga. Ide semacam itulah yang dibuat penulis novel ini. Dengan tambahan dramatis di sana-sini hingga perasaan Teresia sendiri dibuat jungkir-balik setiap membaca babnya. Kekerasan dan cinta, benci dan sayang, hitam dan putih, berakhir dengan kematian Gabriella yang merasa sudah tidak sanggup lagi dengan semua beban yang dipikul di dunia. Setiap adegan kekerasan yang dilakukan Luga pada Gabriella, Teresia akan ikut menangis pilu dan meratap sedih. Tapi saat adegan begitu banyak cinta yang Luga curahkan demi meluluhkan hati Gabriella, Teresia pun ikut merona malu. Dan bahkan, jika adegan menunjukkan kebencian d
*** Kurang lebih satu minggu sejak terbangun di tempat asing hari itu, Teresia mengalami masa-masa di ambang antara percaya dan tidak percaya dengan yang dialami sekarang. Sampai menutup mata di malam kebakaran itu, Teresia yakin pilihannya hanya dua, berhasil hidup karna ditemukan tim penyelamat pemadam kebakaran, atau mati dilalap api bersama reruntuhan bangunan. Opsi tentang berpindah jiwa tidak termasuk dalam pikiran Teresia, sama sekali. Lalu, sekonyong-konyong kenyataan datang menampar, menegaskan bahwa jiwa Teresia sudah berpindah ke raga seorang gadis di dunia lain. Vie Yerinsa De Vries, nama itu saja sangat asing bagi Teresia, tapi setelah diingat-ingat lagi kata 'De Vries' lah yang dia kenali. Kemudian, sekali lagi kepala Teresia bagai digebuk palu besar saat mengetahui nama gadis yang mengaku sebagai saudarinya. Gabriella Erish De Vries, itu adalah nama perempuan yang seminggu ini rutin mengunjungi kamar hanya untuk memberikan makan di saat waktunya tiba, itu juga yang
*** Belum selesai peringatan pelayan itu, Yerinsa sudah lebih dulu terpeleset di anak tangga terakhir, sukses membentur lantai dengan posisi telungkup. Teriakan si pelayan membuat penghuni rumah lain, yang sebenarnya didominasi pelayan juga, jadi berdatangan tergopoh-gopoh. "Ukh-" Yerinsa meringis tertahan, tidak tau kalau lantai yang dipijak ternyata licin karena terdapat cipratan air dari ember pel bawaan pelayan. "Astaga, Sayang-!" Nyonya besar De Vries memekik panik melihat sang anak tersungkur di lantai, mendekat bersama beberapa pelayan yang ikut khawatir. Dikarenakan tidak ada pria di antara mereka yang bisa dimintai mengangkat Yerinsa, jadi nyonya rumah sendiri yang membalikkan posisi tubuh anaknya dibantu pelayan. "Yerin, ya ampun." Margareth meringis ngilu begitu berhasil memangku Yerinsa, melihat darah mengalir di hidung sang anak. "Ambilkan kotak pertolongan pertama, cepat! Sisanya bantu aku mengangkat Yerin ke sofa," titah Margareth segera dengan tegas. "Baik!" sa