***
Dari sudut pandang Teresia sebagai pembaca, sebenarnya Luga teramat mencintai Gabriella, hanya saja caranya salah, dan Gabriella tidak mengerti itu semua jadi menganggap Luga tidak waras.
Dua orang dengan dua masa kecil yang jauh berbeda, bagaimana mungkin bisa saling mengerti. Luga dididik penuh kekejaman, sedangkan Gabriella dibesarkan layaknya permata berharga.
Ide semacam itulah yang dibuat penulis novel < I'm Yours > ini. Dengan tambahan dramatis di sana-sini hingga perasaan Teresia sendiri dibuat jungkir-balik setiap membaca babnya.
Kekerasan dan cinta, benci dan sayang, hitam dan putih, berakhir dengan kematian Gabriella yang merasa sudah tidak sanggup lagi dengan semua beban yang dipikul di dunia.
Setiap adegan kekerasan yang dilakukan Luga pada Gabriella, Teresia akan ikut menangis pilu dan meratap sedih. Tapi saat adegan begitu banyak cinta yang Luga curahkan demi meluluhkan hati Gabriella, Teresia pun ikut merona malu. Dan bahkan, jika adegan menunjukkan kebencian dan kemarahan terpendam Gabriella pada Luga, Teresia akan ikut mengomel.
"Belum aja gue sumpahin tuh penulis biar masuk ke novelnya jadi Gabriel, biar tau rasanya jadi objek obsesi." Teresia melemparkan bantal sebelum merebahkan diri dengan dengkusan sinis.
Mematikan lampu kamar menyisakan lampu tidur di ruangan tiga kali empat meter itu, jam sudah menunjukkan pukul dua pagi baru Teresia tidur. Rela begadang demi menamatkan novel.
***
Udara panas terhirup Teresia bersama bau menyengat benda terbakar.
Apa yang sedang terjadi?
Nyatanya, kinerja tubuh Teresia lebih cepat dari loading otaknya. Menyadari ada hal yang tidak beres dengan tempat berada, Teresia bangkit terhuyung-huyung di kegelapan, merangkak dari kasur mencari pintu.
Kesadaran yang tidak sepenuhnya pulih datang dengan cepat karna kepanikan, asap tebal memenuhi udara ruang kamar membatasi penglihatan dan oksigen.
"Tolong-"
Suara Teresia tercekat di tenggorokan yang terasa semakin sakit, udara sekitar memanas, perempuan 25 tahun itu meraba tembok dengan panik, mencari pintu yang entah kenapa tidak bisa di temukan.
"Panas, tolong selamatkan aku-!"
Tidak kunjung mendapatkan gagang pintu, Teresia merambat mencari jendela. Waktu berjalan seperti mengejar setiap tindakan Teresia, menemukan bingkai jendela dan membuka dengan tidak sabaran.
Teriakan dan ngaungan meminta tolong segera terdengar di udara saat Teresia berhasil melongokkan kepala ke luar jendela. Penghuni apartemen yang sama dengan Teresia beberapa masih terjebak di ruangan mereka.
Kini Teresia mengetahui bahwa sebagian besar gedung apartemen ini sedang dilalap api. Kebakaran hebat membuat asap mengepul di mana-mana, sirine pemadam kebakaran terdengar bersahutan di bawah sana.
Teresia kembali mencari pintu kamar, meraba dinding dengan air mata sudah menganak sungai dan tubuh gemetar. Akhirnya menemukan pintu kamar tapi harus tersandung oleh jatuhan atap dari lantai atas.
Panas bara api menyerang beberapa bagian tubuh Teresia, tapi tidak ada waktu untuk sekedar merasakan sakit, dia bangkit lagi dengan lebih hati-hati menghindari jatuhan atap dan tebaran benda tajam. Menuju pintu keluar apartemen yang nyatanya terkunci, sementara kunci ada di dalam kamar tidur.
Teresia mengerang sudah hampir menjatuhkan air mata ketakutan, memukul pintu berharap ada yang mendengar dan mau mendobrak untuknya.
"Tolong-! Ada orang di luar? Ada orang di sini! Tolong- ... siapapun tolong saya!"
Lantai tempat Teresia berpijak bergetar hebat, gedung apartemen itu goyah akibat beberapa penyangga dilahap api besar.
Teresia merosot jatuh ke lantai saat penglihatan dan napas semakin memberat, terlalu banyak menghirup asap, paru-parunya meronta. Ketukan pada pintu melemah seiring waktu berlalu, sesak menguasai dirinya sebelum ambruk sepenuhnya di lantai.
Tolong ...
Selamatkan aku ...
***
Teresia tersentak keras sekaligus menghembuskan napas memburu membuat tubuhnya turun-naik seperti habis berlari maraton, mata membola menatap langit-langit bersih yang asing.
"Yerin-!"
"Ya Tuhan-!"
"Dia sadar."
Segera suara-suara penuh syukur itu masuk ke pendengaran Teresia membuatnya bangkit duduk. Setengah linglung menatap sekitar yang berupa kamar tidur mewah, semua perabot terlihat asing.
HEH, di mana ini?
"Sayang, tiduran dulu, kamu pasti masih syok." Seorang wanita menekan bahu Teresia lembut agar berbaring kembali di ranjang empuk berselimut tebal dan hangat itu.
Teresia yang bingung gagal mengeluarkan suara, menatap empat orang asing di samping ranjang, salah satunya pria berjas putih khas dokter.
"Menurut hasil pemeriksaan, benturan keras di kepala Nona Yerin mengakibatkan sebagian ingatannya hilang, tapi itu tidak akan lama karena ingatan Nona Yerin bisa kembali seiring waktu," jelas dokter pria itu sopan.
Hah?
Hilang ingatan kepalamu-!
Teresia jelas-jelas masih ingat bagaimana lika-liku perjalanan pahit hidupnya, bahkan kejadian mengerikan beberapa jam lalu, bagaimana bisa tiba-tiba diklaim hilang ingatan.
Lagipula ... di mana sih ini?
"Hey, kamu ingat nama kamu?" Gadis muda dengan rambut pirang bergelombang dan manik mata biru pucat bertanya sambil duduk di pinggir kasur.
Cantik banget.
Teresia mengernyit lebih dalam, tentu saja dia ingat nama sendiri. "... Teresia Syeilendri," jawabnya polos dengan suara serak.
Wajah orang-orang di kamar itu memucat tidak sesuai respon seharusnya. Seakan tak bisa berkata-kata, dokter berdehem sejenak.
"Ini bisa terjadi, terkadang orang yang kehilangan ingatan otaknya membuat jalan memory baru," terang dokter itu setelah melihat sekali lagi catatan medis pasiennya.
Ngarang-!
Dokter gadungan mana sih ini, bisa-bisanya pemeriksaan Teresia dipalsukan, padahal sudah jelas dia korban kebakaran gedung apartemen, tidak terbentur apapun kecuali mati terbakar, tidak mungkin amnesia.
"Yerin, hey, dengarkan aku."
Tatapan tajam Teresia pada dokter diinterupsi gadis di sampingnya lagi, bersama usapan lembut di rambut.
"Kamu Vie Yerinsa De Vries," kata gadis itu menunjuk dada Teresia, kemudian melirik sepasang orang dewasa di sisi kasur.
"Dan mereka orangtua kita," tambahnya dengan senyum lembut.
Ha-?
HAAAAAHH?!
WHAT THE FUCK!
Kebohongan nyata macam apa ini!?
***
*** Kurang lebih satu minggu sejak terbangun di tempat asing hari itu, Teresia mengalami masa-masa di ambang antara percaya dan tidak percaya dengan yang dialami sekarang. Sampai menutup mata di malam kebakaran itu, Teresia yakin pilihannya hanya dua, berhasil hidup karna ditemukan tim penyelamat pemadam kebakaran, atau mati dilalap api bersama reruntuhan bangunan. Opsi tentang berpindah jiwa tidak termasuk dalam pikiran Teresia, sama sekali. Lalu, sekonyong-konyong kenyataan datang menampar, menegaskan bahwa jiwa Teresia sudah berpindah ke raga seorang gadis di dunia lain. Vie Yerinsa De Vries, nama itu saja sangat asing bagi Teresia, tapi setelah diingat-ingat lagi kata 'De Vries' lah yang dia kenali. Kemudian, sekali lagi kepala Teresia bagai digebuk palu besar saat mengetahui nama gadis yang mengaku sebagai saudarinya. Gabriella Erish De Vries, itu adalah nama perempuan yang seminggu ini rutin mengunjungi kamar hanya untuk memberikan makan di saat waktunya tiba, itu juga yang
*** Belum selesai peringatan pelayan itu, Yerinsa sudah lebih dulu terpeleset di anak tangga terakhir, sukses membentur lantai dengan posisi telungkup. Teriakan si pelayan membuat penghuni rumah lain, yang sebenarnya didominasi pelayan juga, jadi berdatangan tergopoh-gopoh. "Ukh-" Yerinsa meringis tertahan, tidak tau kalau lantai yang dipijak ternyata licin karena terdapat cipratan air dari ember pel bawaan pelayan. "Astaga, Sayang-!" Nyonya besar De Vries memekik panik melihat sang anak tersungkur di lantai, mendekat bersama beberapa pelayan yang ikut khawatir. Dikarenakan tidak ada pria di antara mereka yang bisa dimintai mengangkat Yerinsa, jadi nyonya rumah sendiri yang membalikkan posisi tubuh anaknya dibantu pelayan. "Yerin, ya ampun." Margareth meringis ngilu begitu berhasil memangku Yerinsa, melihat darah mengalir di hidung sang anak. "Ambilkan kotak pertolongan pertama, cepat! Sisanya bantu aku mengangkat Yerin ke sofa," titah Margareth segera dengan tegas. "Baik!" sa
*** Setelah memastikan keadaan baik-baik saja untuk keluar dari kamar, akhirnya Yerinsa bisa bergabung untuk makan malam bersama keluarga, ini pertama kalinya. Meski masih cukup canggung dan cara makan Yerinsa sedikit kaku, tapi tidak ada yang mengkritik. Sebenarnya ini kesempatan Yerinsa juga untuk membicarakan soal undangan pesta resmi satu minggu lagi. Tapi, jawaban Margareth tadi siang membuatnya ragu untuk membujuk sang ayah, jika ibunya saja bisa menjawab tidak, maka ayahnya juga kemungkinan sama. "Yerin." Panggilan Margareth membuyarkan lamunan Yerinsa yang cukup serius, saat mengangkat pandangan baru Yerinsa sadari sedang ditatap tiga pasang mata di meja makan itu. "Ah, iya? Ibu mengatakan sesuatu? Maaf, aku sedikit melamun," ucap Yerinsa dengan senyum canggung. Margareth balas tersenyum lembut, lalu menggeleng. "Ibu berkata, setelah ini kamu langsung ke kamar saja untuk istirahat, jangan memaksakan diri berjaga," katanya mengulang kalimat yang tidak didengar remaja itu.
*** Kasurnya tidak memiliki bulu, dan tidak sehangat ini walaupun rasa nyamannya hampir sama. Tidak tau berapa lama Yerinsa sudah tertidur, dia memaksa mata untuk terbuka. Pemandangan asing masuk ke dalam indera penglihatan gadis itu, sesuatu yang putih seperti permadani bulu angsa terhampar luas di bawah. Yerinsa mengerang sebelum bangkit duduk celingak-celinguk, wajah setengah mengantuk itu keheranan. "Di mana lagi ini," monolog Yerinsa gusar. Sesaat kemudian tersentak menyadari suaranya berbeda dari beberapa hari belakangan, ini suara Teresia asli. Tergesa-gesa Yerinsa mengecek keadaan sendiri, menemukan tubuhnya kembali seperti sosok wanita dewasa, bukan remaja. Dia menjadi Teresia lagi? Tiba-tiba? "Kakak." Di tengah mengecek kondisi tubuh dan bersimpuh, Teresia mendengar suara halus datang dari arah belakang. Memutar pandangan, Teresia menemukan seorang gadis muda mendekat dengan kaki mengambang tidak menyentuh dasar. Teresia tidak bereaksi untuk beberapa saat, hanya terc
*** Bulu mata hitam yang lentik itu perlahan terbuka setelah sesaat bergetar, kelopak mata dengan garis sabit mengerjab beberapa kali sebelum kuapan keluar dari mulut yang dihalau telapak tangan. Hingga sepasang bola mata biru tampak menatap langit-langit ruangan, pemandangan ukiran di langit-langit itu sudah tidak terlalu asing lagi sejak beberapa hari belakangan di mata si gadis bergaun tidur sutera. Lampu gantung kristal di tengah langit-langit, dengan cat dinding ruangan didominasi warna putih dan sedikit biru muda. Menyingkap selimut abu-abu, gadis berambut cinnamon bergelombang itu duduk sambil mengusap wajah lembut. "Nona Yerin, Anda sudah bangun?" Setelah ketukan di pintu dari luar, suara wanita terdengar lembut bertanya dalam bahasa Belanda. "Iya." Yerinsa yang masih duduk di kasur nyaman berseprei putih menyahut singkat, tak lama pintu kamar yang hanya dia tatapi terbuka dari luar. Seorang wanita muda berpakaian khusus pelayan masuk dengan senyum ramah pada gadis muda
*** "Selamat pagi," sapa Yerinsa dengan senyum cerah begitu tiba di ruang makan. "Pagi, Sayang," balas Margareth yang sedang mengoleskan selai pada sepotong roti. "Selamat pagi," balas Abrady singkat dengan senyuman, sekilas mengalihkan perhatian dari koran pada sang anak. "Pagi, Yerin." Gabriella juga membalas sapaan dengan tak kalah cerah setelah menyesap susu di gelas. Yerinsa mendekati Abrady dan Margareth, mengecup singkat pipi kedua orangtuanya, baru menarik kursi di samping Gabriella. Satu lagi rutinitas pagi yang Yerinsa ketahui di keluarga ini, yaitu kecupan hangat untuk ayah dan ibu mereka. Margareth duduk setelah memberikan jatah roti selai ke semua penghuni meja makan. "Gabby kenapa pakai seragam sekolah?" tanya Yerinsa mengernyit melihat setelan Gabriellla beserta tas sekolah. "Tentu saja karena harus sekolah, apa lagi?" jawab dan tanya balik Gabriella, ikut berkerut dahi mendengar pertanyaan lucu itu. "Maksudku, bukankah hari ini harusnya kamu ke salon dan butik?
*** Berjam-jam berlalu dihabiskan Yerinsa dan Margareth mengantri, hingga mendapat giliran mereka. Sambil mengobrol dengan Margareth, Dokter Damberrain juga memeriksa Yerinsa yang berbaring di ranjang periksa. Sekitar pukul lima sore lebih, baru mereka mendapat hasil pemeriksaan medis Yerinsa. Beberapa saran dan obat kembali diberikan dokter pada Margareth, juga sederet wanti-wanti untuk Yerinsa menjaga pola hidup sehat. Sekarang, baru Yerinsa mengetahui penyakit apa yang diderita tubuh ini sejak dulu, penyakit yang tidak bisa disembuhkan, tapi bisa diringankan sementara dengan jenis obat tertentu. Penyakit lupus dengan jenis, Systemic lupus erthematosus (SLE). Penyakit ini biasa menyerang berbagai jaringan seperti, sendi, kulit, otak, paru-paru, ginjal, dan pembuluh darah, jika sedang kumat. Pantas saja di atas meja rias di kamar Yerinsa begitu banyak botol produk tabir surya, ternyata tidak hanya untuk wajah dan leher, tapi juga untuk seluruh badan yang kemungkinan terpapar sina
*** Sebenarnya Yerinsa sangat lelah, pantas saja Margareth mengatakan tidak akan bisa jika harus menghadiri pesta setelah mengantar Yerinsa check up, karena di rumah sakit menghabiskan waktu lama. Sampai di kamar, Yerinsa bukannya beristirahat malah sibuk melakukan hal lain dan mengabaikan rasa letih setelah sejak siang di luar rumah. Telah mempertimbangkan dampak dan konsekuensi yang akan timbul jika rencana ini dijalankan, akan Yerinsa terima itu nanti. Sambil berjalan, mengingat satu persatu hal yang harus dia lakukan setelah ini. Mulut bergumam tanpa suara, dan pikiran berfokus pada pesta malam ini. "Nona, ini Mauren. Saya mengantar susu untuk Anda." Pikiran rumit dalam kepala Yerinsa terpecah-belah oleh suara ketukan di pintu, Mauren bicara tanpa berani masuk sebelum diperintah. Kembali ke pintu, Yerinsa membuka tanpa membiarkan Mauren masuk, hanya menerima gelas susu dari perempuan itu yang memang selalu Yerinsa konsumsi sebelum tidur. "Anda butuh bantuan sesuatu, Nona?"