***
Sekitar pukul lima sore lebih, baru mereka mendapat hasil pemeriksaan medis Yerinsa. Beberapa saran dan obat kembali diberikan dokter pada Margareth, juga sederet wanti-wanti untuk Yerinsa menjaga pola hidup sehat.
Sekarang, baru Yerinsa mengetahui penyakit apa yang diderita tubuh ini sejak dulu, penyakit yang tidak bisa disembuhkan, tapi bisa diringankan sementara dengan jenis obat tertentu.
Penyakit lupus dengan jenis, Systemic lupus erthematosus (SLE). Penyakit ini biasa menyerang berbagai jaringan seperti, sendi, kulit, otak, paru-paru, ginjal, dan pembuluh darah, jika sedang kumat.
Pantas saja di atas meja rias di kamar Yerinsa begitu banyak botol produk tabir surya, ternyata tidak hanya untuk wajah dan leher, tapi juga untuk seluruh badan yang kemungkinan terpapar sinar matahari.
"Kita berhenti di restoran depan dulu, ya," kata Margareth saat mereka sudah keluar dari ruangan dokter Damberrain.
"Iya," angguk Yerinsa patuh, padahal dalam hati ingin cepat pulang.
Memasuki mobil di parkiran basement yang masih ditunggu supir, mereka perlahan meninggalkan rumah sakit tanpa kendala lagi seperti saat datang tadi.
Di tengah perjalanan, Margareth mengobrak-abrik isi tas jinjing dan mengeluarkan botol sunscreen berwarna kuning-putih.
"Kamu pasti lupa membawa tabir surya," kata Margareth sambil menarik satu tangan Yerinsa agar terulur.
Yerinsa mengerjab, sebelumnya tidak tau bahwa mengidap penyakit autoimun, jadi sama sekali tidak mempersiapkan apapun saat pergi. "Ibu tau?" tanyanya polos.
"Tentu saja. Ibu yang selalu mengingatkanmu untuk rutin menggunakan tabir surya jika ke sekolah atau saat di sekolah. Setiap bepergian, Ibu juga membawa untuk berjaga-jaga jika kamu lupa." Margareth menjelaskan dengan lirikan sekilas sambil mengeluarkan isi botol tabir surya.
"Saat melihat kamu membawa tas kecil itu, Ibu sudah menebak kamu tidak membawanya," tambah Margareth sambil mengaplikasikan krim pelindung kulit dari sinar UV itu ke tangan Yerinsa, setelah menggulung lengan baju.
Yerinsa tertegun, di kehidupan sebelumnya, dia tidak pernah mendapat perhatian sekecil ini. Dia anak sulung yang harus selalu terlihat tegar dan kuat, menghadapi cobaan di keluarga, dia tidak bisa mengeluh.
Bahkan memerhatikan jam makan saja tidak ada. Orangtuanya sibuk mengurus adik-adiknya, jarang membagi waktu untuk Teresia. Di usia remaja Teresia sudah harus bekerja sambil sekolah, membiayai sekolah sendiri, bahkan hingga lulus kuliah.
Bekerja. Bekerja. Dan bekerja. Itulah rutinitas Teresia, hingga lupa bagaimana bergaul dengan rekan seusia, dan tidak pernah merasa disayangi. Jadi, saat menjadi Yerinsa yang begitu dilimpahi perhatian dan kasih sayang, dia sangat canggung.
"Terima kasih, Bu," ucap Yerinsa tanpa sadar terharu.
Margareth melirik dengan satu alis terangkat, lalu tersenyum geli. "Ada apa dengan anak Ibu ini? Kenapa tiba-tiba berterima kasih?" tanyanya penuh selidik.
Melepas tangan Yerinsa, dan beralih mengaplikasikan krim ke leher gadis itu yang terbuka.
Yerinsa menggeleng. "Tidak ada, aku hanya ingin mengucapkan itu," katanya mengelak untuk menatap mata Margareth.
Wanita dengan rambut disasak bagian atas hingga membuat sedikit menyembul itu tersenyum. Kasih sayang yang dia berikan pada Yerinsa dan Gabriella tidak berbeda, tidak timpang sebelah, jadi sangat jarang si kembar ini saling iri.
Gabriella terlahir sehat dengan tubuh kuat, tidak kekurangan apapun, sedangkan Yerinsa menderita penyakit autoimun sejak balita. Meski kembar, imunitas Yerinsa seperti disedot Gabriella dari dalam kandungan.
"Berterima kasihlah nanti saat kamu sudah menjadi orang besar yang sukses," kata Margareth serius, lalu mengoleskan tabir surya ke seluruh kaki Yerinsa yang terekspose.
"... tentu saja aku akan sukses," balas Yerinsa setelah sempat diam beberapa saat.
Untuk bagian wajah Yerinsa mengusap sunscreen dengan kedua tangan sendiri, membuat wajah yang sudah putih itu menjadi glowing dan cerah merona.
"Nyonya, sudah sampai." Pemberitahuan supir di kursi depan menginterupsi kegiatan ibu-anak itu.
"Oh, sudah sampai," balas Margareth, melihat sekitar baru menyadari mereka di parkiran restoran cepat saji.
Menutup botol tabir surya setelah sekujur tubuh Yerinsa dilapisi krim pelindung itu, lalu beranjak ke luar mobil.
***
Setelah menghabiskan waktu banyak di rumah sakit dan makan di restoran, sekitar pukul tujuh malam baru Yerinsa dan Margareth tiba di rumah.
"Apa Gabby sudah kembali?" tanya Margareth pada pelayan yang menyambut mereka.
Panggilan dari arah tangga mengalihkan perhatian Margareth dan menginterupsi jawaban yang akan keluar dari pelayan.
Tiga orang itu kompak menoleh ke asal suara, melihat Gabriella turun di tangga bersama Abrady.
"Oh, kalian akan pergi sekarang?" tanya Margareth dengan senyum manis.
Anggukan Abrady menjawab.
"Gabby, cantik sekali," puji Yerinsa begitu dua sosok itu sudah berdiri di hadapan mereka yang masih di ambang pintu.
Menatap penuh pujian pada sosok perempuan yang mengenakan gaun hitam berkerah sabrina. Set perhiasan permata ruby berkilau mempercantik penampilan, dari anting, kalung, dan gelang kecil tapi elegan.
Rambut pirang gadis itu disanggul dengan kepangan seperti bridesmaid, bagian belakang kepala mengenakan jepitan Korea, berwarna merah. Anak rambut membingkai pelipis hingga pipi yang wajahnya dirias bak Barbie hidup.
Tidak heran Luga terpincut pada pandangan pertama, Gabriella sangat cantik.
Walaupun sampai saat ini Yerinsa belum melihat seperti apa bentukan wajah dan penampilan Luga, tapi selera laki-laki itu memang tepat.
"Mata kamu seperti mau lepas, Yerin," cibir Gabriella sambil mendorong dahi Yerinsa dengan telunjuk agar menjauh dari jarak sekarang yang kurang dari tiga puluh senti.
"Ayah, apa aku tidak boleh ikut?" tanya Yerinsa malah beralih menatap sang ayah dengan memelas.
"Tidak."
Bukan hanya Abrady yang menjawab, tapi juga Margareth dengan tegas menolak. Menarik Yerinsa hingga batal menggelayuti pria berjas hitam di samping Gabriella.
"Yerin, tetaplah di rumah, agar cepat sembuh," kata Gabriella dengan senyum manis, mencubit pipi sang kembaran.
"Aku sudah sembuh," balas Yerinsa mantap dengan tangan terkepal.
"Tidak, Yerin. Sudah, Ayah dan Gabby harus pergi sekarang," tolak Abrady tegas.
Yerinsa mencebik tidak bisa lagi membujuk, akhirnya hanya mengantar kepergian dua orang itu, lengannya digaet Margareth yang melambai dengan senyum manis.
Setelah mobil yang dinaiki Abrady dan Gabriella hilang di balik gerbang utama, Margareth menoleh pada Yerinsa kembali. "Nah, Yerin Ibu yang cantik, sekarang pergi ke kamarmu dan istirahat," suruhnya sambil mengusap rambut sang anak.
Ekspresi masam di wajah Yerinsa berangsur hilang saat Margareth membawa masuk rumah kembali.
"Iya, Bu. Aku akan langsung tidur saja, ya?" angguknya.
"Tidak ada yang melarangmu istirahat, Sayang. Itu bagus, sampai kondisimu benar-benar pulih, jangan banyak melakukan sesuatu hal walaupun hanya di rumah," balas Margareth sambil menepuk-nepuk pelan sisi kepala Yerinsa.
Gadis enam belas tahun itu tersenyum, tentu saja tidur adalah alasan Yerinsa saja agar tidak mendapat gangguan di kamar nanti.
Menaiki tangga hampir seperti berlari, tidak bisa menahan senyum antusias di ujung bibir saat sudah berpisah arah dari Margareth di lorong ke kamar masing-masing.
***
*** Sebenarnya Yerinsa sangat lelah, pantas saja Margareth mengatakan tidak akan bisa jika harus menghadiri pesta setelah mengantar Yerinsa check up, karena di rumah sakit menghabiskan waktu lama. Sampai di kamar, Yerinsa bukannya beristirahat malah sibuk melakukan hal lain dan mengabaikan rasa letih setelah sejak siang di luar rumah. Telah mempertimbangkan dampak dan konsekuensi yang akan timbul jika rencana ini dijalankan, akan Yerinsa terima itu nanti. Sambil berjalan, mengingat satu persatu hal yang harus dia lakukan setelah ini. Mulut bergumam tanpa suara, dan pikiran berfokus pada pesta malam ini. "Nona, ini Mauren. Saya mengantar susu untuk Anda." Pikiran rumit dalam kepala Yerinsa terpecah-belah oleh suara ketukan di pintu, Mauren bicara tanpa berani masuk sebelum diperintah. Kembali ke pintu, Yerinsa membuka tanpa membiarkan Mauren masuk, hanya menerima gelas susu dari perempuan itu yang memang selalu Yerinsa konsumsi sebelum tidur. "Anda butuh bantuan sesuatu, Nona?"
*** "Oke. Tunggu di sana, aku akan keluar," putus Gabriella kemudian sesaat sebelum mematikan sambungan telepon. Yerinsa tersenyum lega sambil memasukkan handphone ke dompet kembali. Mengalihkan perhatian pada sekitar yang masih banyak tamu berdatangan, padahal acara pasti sudah dimulai lama. Ngomong-ngomong, apa Luga sudah datang? Yerinsa saja tidak tau seperti apa sosok laki-laki yang dikatakan dalam novel berusia sekitar 22 tahun itu. Visualisasi dari penulis sangat kuat, menjelaskan detail dan jeli tentang karakter Luga yang intinya berpenampilan khas anak gangster, di satu sisi juga penuh kharisma. Sejauh ini, Yerinsa tidak bisa membayangkan seberapa sempurna fisik karakter itu. Seberapa kental darah Italia mengalir pada sosok Luga, karena itu tanah kelahirannya. "Yerin." Panggilan dari arah belakang membuat Yerinsa menoleh, mendapati Gabriella muncul di pintu masuk dengan langkah cepat. "Gabby," sapa Yerinsa sumringah, mendekat. Gabriella sesaat bertukar sapaan dengan pa
*** "Ah, maaf," ucap Yerinsa segera, tidak terlalu memperhatikan sumber rasa sakit di tangan, hanya mengelus dahi yang sedikit nyeri. Mendongak, Yerinsa mengerjab mendapati wajah tampan seorang laki-laki. Berambut hitam disisir ke kanan, dan mengenakan setelan jas biru malam. Tatto terlihat di leher sebelah kiri, serta mengenakan anting di telinga kiri. Wajah ini seperti pernah Yerinsa lihat, tapi di mana? Apa dia CEO muda? Seperti cerita-cerita fiksi yang sering Yerinsa baca di dunia terdahulu, tampan dan menguarkan aura mendominasi, sangat mencerminkan sosok CEO atau Tuan Muda konglomerat. "Kamu menghalangi jalan," kata laki-laki itu membuka suara setelah hening di antara mereka. "Ah." Yerinsa langsung tersadar dari keterpesonaan, merunduk beberapa kali lagi dan mengucapkan permintaan maaf. "Saya minta maaf, saya buru-buru. Sekali lagi maaf," ucap Yerinsa sambil menyingkirkan dari ambang lorong toilet. Sebelum laki-laki itu membalas, Yerinsa sudah ngacir lebih dulu menuju to
*** Pukul setengah dua belas Gabriella mendapat pesan dari Abrady yang mempertanyakan di mana posisinya berada. Pria 40 tahun itu juga mengatakan mereka akan segera pulang sebentar lagi, tapi ada yang harus dilakukan terlebih dulu di ballroom. Dengan pesan itu, Yerinsa artinya sudah tidak bisa lagi menahan Gabriella di sini. Dia juga harus pergi dari hotel ini sebelum ayah dan kakaknya pulang ke rumah. "Aku akan mengulur sedikit waktu agar kamu bisa kembali tanpa bersamaan dengan kami. Hati-hati," kata Gabriella sebelum mereka berpisah di persimpangan lorong hotel. Yerinsa mengangguk, mengacungkan jempol dan tersenyum lebar. Berpisah arah karena dia akan ke pintu keluar hotel, sedangkan Gabriella kembali ke ballroom tempat pesta masih berlangsung. Gabriella celingak-celinguk mencari keberadaan Abrady yang katanya masih di dalam pesta ini. Kemudian tersenyum saat menemukan sang ayah tengah mengobrol dengan beberapa pria. "Ayah," panggil Gabriella mendekat pada kumpulan pria pembis
*** Tidak terlalu peduli dipandang aneh oleh orang-orang yang melihat, Yerinsa fokus menyelamatkan diri saja, pulang ke rumah sebelum Gabriella dan Ayahnya yang sampai lebih dulu. Sejujurnya, Yerinsa merasa tidak akan kuat lagi untuk berjuang lebih dari ini. Tapi, jika tidak berusaha kembali, Yerinsa tidak akan bisa pulang selamat sampai rumah. Menit berlalu menjadi jam, Yerinsa mengulang kegiatan berlari, panjat-memanjat pagar lagi, lalu memanjat selimut dengan terengah-engah hampir menangis di tengah jalan. Jika bukan demi masa depan yang diimpikan, Yerinsa tidak akan mau melakukan hal konyol dan melelahkan ini. Gerutuan dan kalimat penyemangat bergantian memenuhi isi hatinya sepanjang perjuangan hingga sampai ke kamar. Jika di novel lain atau komik Korea yang mengisahkan betapa mudahnya perjuangan pemeran utama setelah masuk ke dalam buku cerita, maka Yerinsa kebalikannya. "Huh- ... hah ... hahh ..." Yerinsa merebahkan diri lemah di lantai balkon kamar setelah berhasil memanja
***Demam menyerang Yerinsa karena terlalu over kelelahan menyusup ke luar rumah. Meskipun berkata akan sembuh nanti sore, faktanya panas itu bertahan hingga tiga hari. Selain tidur, tiga hari juga kasur Yerinsa multifungsi menjadi tempat makan dan seperti ranjang rumah sakit.Untungnya hari ke tiga demam sudah lumayan turun, panas tubuh Yerinsa mereda 70%, sudah tidak lagi diinfus. Hari ke empat dan lima demam sembuh, meskipun masih lemas dan pucat.Dan hari ini, waktunya Yerinsa masuk sekolah setelah mengambil cuti selama sebulan. Pagi-pagi sekali remaja itu sudah antusias bangun mempersiapkan diri, lebih semangat dari Mauren yang membantunya berpakaian.Kemeja putih lengan pendek dengan lambang sekolahan di bagian dada kiri Yerinsa kenakan, bawahan rok hijau lumut lipit-lipit lima senti di atas lutut sama seperti seragam Gabriella.Setelah memoles wajah natural, diakhiri memakai krim tabir surya dari wajah, leher, lengan, hingga kaki, Yerinsa mengenakan stocking berwarna mirip warn
***"Oh, kamu kembali, Yerin? Apakah gosib tentang kamu mengalami amnesia itu benar? Apa kamu mengenalku? Padahal aku sudah menyiapkan lili putih untuk menghadiri acara berkabungmu."Satu gadis berambut hitam panjang yang indah, bicara penuh sinisme dengan lengan bersidekap, berdiri di tengah dari para gadis bersamanya.Yerinsa mengernyit dahi, lalu menatap Fiona bingung. "Siapa?" tanyanya menggumam, tidak merasa mengenal gadis itu.Tidak menjawab, Fiona hanya menarik mundur Yerinsa, melotot menatap gadis di depan mereka."Tidak bisakah kamu tidak mencari masalah dengan Yerin sehari saja? Apa tubuhmu itu akan gatal jika tidak mencari keributan dengan Yerin, Anastasya?" tanya Fiona sengit.Gadis yang dipanggil 'Anastasya' itu menyeringai sinis. "Tentu saja, hidupku tidak akan indah kalau belum melihat sahabatmu itu menderita. Hey, Yerin, kapan kamu mati?" balasnya hanya melirik sekilas pada Fiona sebelum menatap Yerinsa kembali."Heh! Jaga mulutmu, sialan!" maki Fiona mendadak naik pit
***"Ngomong-ngomong, lusa sekolah kita sudah akan mengadakan penyerahan piala dan piagam penghargaan untuk murid-murid yang bulan lalu memenangkan olimpiade," kata Fiona di tengah langkah ke luar kelas bersama Yerinsa setelah bel pulang berdering."Penyerahan piala? Olimpiade?" beo Yerinsa bingung, menatap Fiona di sampingnya meminta penjelasan lebih.Baru satu hari saja berdekatan dengan Fiona, Yerinsa sudah menyerap banyak sekali data kehidupan Yerinsa asli. Mulut teman sebangkunya itu seakan tidak lelah berceloteh setiap di luar di waktu belajar."Ya, kamu juga lupa ini? Bulan lalu ada tiga murid sekolah kita mengikuti olimpiade di China, melawan murid sekolah negara lain, dua di antaranya berhasil memenangkan juara dua di tiga besar, dan satunya hanya masuk lima besar," oceh Fiona dengan anggukan antusias, berjalan bersama di lorong koridor untuk ke gerbang depan."Walaupun tidak juara pertama, tapi itu sudah membanggakan sekolah kita, karena berhasil mengalahkan murid-murid dari