***
Pukul setengah dua belas Gabriella mendapat pesan dari Abrady yang mempertanyakan di mana posisinya berada. Pria 40 tahun itu juga mengatakan mereka akan segera pulang sebentar lagi, tapi ada yang harus dilakukan terlebih dulu di ballroom.
"Aku akan mengulur sedikit waktu agar kamu bisa kembali tanpa bersamaan dengan kami. Hati-hati," kata Gabriella sebelum mereka berpisah di persimpangan lorong hotel.
Yerinsa mengangguk, mengacungkan jempol dan tersenyum lebar. Berpisah arah karena dia akan ke pintu keluar hotel, sedangkan Gabriella kembali ke ballroom tempat pesta masih berlangsung.
Gabriella celingak-celinguk mencari keberadaan Abrady yang katanya masih di dalam pesta ini. Kemudian tersenyum saat menemukan sang ayah tengah mengobrol dengan beberapa pria.
"Ayah," panggil Gabriella mendekat pada kumpulan pria pembisnis itu.
Abrady menoleh, tersenyum menyambut putri sulungnya itu, secara singkat memperkenalkan pada para rekan yang baru ditemui, lalu pamit undur diri ke meja hidangan.
"Ke mana saja kamu?" tanya Abrady sambil mengambil segelas red wine untuk disesap.
"Ke toilet. Di sini menyesakkan jadi aku berkeliling taman hotel, sangat indah, Ayah," jawab Gabriella sangat lancar hingga tidak terdeteksi kebohongan, alasan yang sudah dia persiapkan sejak berjalan tadi.
"Dasar, padahal banyak kolega Ayah yang ingin melihatmu," dengkus Abrady pelan.
Gabriella tersenyum meminta maaf setelah menyesap red wine di gelas sendiri.
"Oh iya, apa kamu sudah melihat pewaris saham Roosevelt yang mewakili pesta malam ini?" tanya Abrady kemudian pada topik lain.
"Di sini tidak. Tapi di luar tadi sudah, kebetulan kami berpapasan di lorong," kata Gabriella tidak berbohong kali ini.
"Ayah akan memperkenalkanmu secara resmi sekarang, ayo."
Tanpa menunggu persetujuan, Abrady mengisyaratkan Gabriella untuk mengikuti ke arah di mana dia terakhir kali melihat Luga berbincang dengan tamu lain.
Gabriella membuka mulut ingin protes, tapi batal dan berakhir mengikuti saja dalam diam. Berkenalan resmi sepertinya tidak masalah, toh, tadi Gabriella dan Luga tidak sempat saling bicara panjang saat di lorong.
Mengingat seberapa panik Yerinsa tadi, Gabriella tidak mengerti kenapa adiknya seaneh itu. Sejak siuman dari insiden kecelakaan, Gabriella merasa Yerinsa sedikit asing, beberapa hari terlihat menjauh.
Tapi setelah beberapa hari berlalu lebih lama, Yerinsa kembali seperti biasa, bahkan lebih manis dari sebelum-sebelumnya.
"Ternyata dia sudah pergi," kata Abrady memecahkan lamunan Gabriella.
"Sudah pergi? Bahkan acaranya belum selesai," tanya Gabriella mengernyit dahi.
Abrady menggeleng, baru saja bertanya pada tamu sekitar, dan mengetahui bahwa Luga sudah pergi dari acara.
"Mungkin ada acara lain, pasti sibuk sekali menjadi putra pengusaha besar," kata Abrady pelan sambil mengedarkan pandangan ke sepenjuru ruangan.
Gabriella mengangguk setuju, ikut memperhatikan sekitar.
"Kalau begitu tidak ada lagi yang harus kita lakukan, pulang sekarang?" Abrady mengajak setelah melihat suasana mulai hambar, seperti awal mereka datang.
"Ah, sebentar lagi, Ayah. Aku masih ingin makan kue di sini," balas Gabriella mengulur waktu dengan senyum manis tidak bisa ditolak.
"Baiklah, hanya sebentar," angguk Abrady setuju.
***
Rentetan mobil tamu lain keluar masuk melewati pandangan Luga, hingga mata amber itu menemukan sosok remaja berlari melewatinya dari pintu keluar tanpa toleh kanan-kiri, kedua tangan sibuk menggulung rambut ke atas.
Alis naik sepersekian mili melihat betapa tidak elegannya gadis itu, Luga masih ingat sekali sosok itu adalah yang menabraknya di toilet beberapa jam lalu. Dan, pakaian itu sangat Luga ingat juga dikenakan gadis yang dilihatnya di rumah sakit tadi siang.
"Mari, Tuan Muda."
Pandangan Luga dari si remaja yang berlari ke luar halaman depan hotel tertutupi oleh kedatangan sebuah mobil hitam. Dua bodyguard di belakang Luga maju untuk membukakan pintu penumpang di kursi belakang.
Luga masuk ke dalam sendiri, karena pengawal di mobil berbeda, mengikuti di belakang. Mobil itu perlahan maju meninggalkan depan hotel, ke gerbang utama.
Belum jauh meninggalkan gerbang hotel, Luga kembali melihat remaja yang tadi, berdiri membungkuk di pinggir jalan, sedang melepas alas kaki. Lalu terlihat berlari cepat setelah celingak-celinguk menatap jalanan.
"Kelinci kecil," bisik Luga dengan senyum sengit.
Bersandar di kursi, Luga mengeluarkan sebingkai gelang perak, menatap benda berkilau putih itu lamat-lamat, lalu memasukkan lagi ke saku jas tanpa berniat mengembalikan.
Sementara itu, Yerinsa berhenti berlari saat sudah menemukan taksi. Sengaja melepas alas kaki untuk mempermudah proses lari, kakinya menjadi lebih ringan dalam menapak aspal.
Tidak menyadari bahwa sesuatu yang penting telah hilang darinya.
***
*** Tidak terlalu peduli dipandang aneh oleh orang-orang yang melihat, Yerinsa fokus menyelamatkan diri saja, pulang ke rumah sebelum Gabriella dan Ayahnya yang sampai lebih dulu. Sejujurnya, Yerinsa merasa tidak akan kuat lagi untuk berjuang lebih dari ini. Tapi, jika tidak berusaha kembali, Yerinsa tidak akan bisa pulang selamat sampai rumah. Menit berlalu menjadi jam, Yerinsa mengulang kegiatan berlari, panjat-memanjat pagar lagi, lalu memanjat selimut dengan terengah-engah hampir menangis di tengah jalan. Jika bukan demi masa depan yang diimpikan, Yerinsa tidak akan mau melakukan hal konyol dan melelahkan ini. Gerutuan dan kalimat penyemangat bergantian memenuhi isi hatinya sepanjang perjuangan hingga sampai ke kamar. Jika di novel lain atau komik Korea yang mengisahkan betapa mudahnya perjuangan pemeran utama setelah masuk ke dalam buku cerita, maka Yerinsa kebalikannya. "Huh- ... hah ... hahh ..." Yerinsa merebahkan diri lemah di lantai balkon kamar setelah berhasil memanja
***Demam menyerang Yerinsa karena terlalu over kelelahan menyusup ke luar rumah. Meskipun berkata akan sembuh nanti sore, faktanya panas itu bertahan hingga tiga hari. Selain tidur, tiga hari juga kasur Yerinsa multifungsi menjadi tempat makan dan seperti ranjang rumah sakit.Untungnya hari ke tiga demam sudah lumayan turun, panas tubuh Yerinsa mereda 70%, sudah tidak lagi diinfus. Hari ke empat dan lima demam sembuh, meskipun masih lemas dan pucat.Dan hari ini, waktunya Yerinsa masuk sekolah setelah mengambil cuti selama sebulan. Pagi-pagi sekali remaja itu sudah antusias bangun mempersiapkan diri, lebih semangat dari Mauren yang membantunya berpakaian.Kemeja putih lengan pendek dengan lambang sekolahan di bagian dada kiri Yerinsa kenakan, bawahan rok hijau lumut lipit-lipit lima senti di atas lutut sama seperti seragam Gabriella.Setelah memoles wajah natural, diakhiri memakai krim tabir surya dari wajah, leher, lengan, hingga kaki, Yerinsa mengenakan stocking berwarna mirip warn
***"Oh, kamu kembali, Yerin? Apakah gosib tentang kamu mengalami amnesia itu benar? Apa kamu mengenalku? Padahal aku sudah menyiapkan lili putih untuk menghadiri acara berkabungmu."Satu gadis berambut hitam panjang yang indah, bicara penuh sinisme dengan lengan bersidekap, berdiri di tengah dari para gadis bersamanya.Yerinsa mengernyit dahi, lalu menatap Fiona bingung. "Siapa?" tanyanya menggumam, tidak merasa mengenal gadis itu.Tidak menjawab, Fiona hanya menarik mundur Yerinsa, melotot menatap gadis di depan mereka."Tidak bisakah kamu tidak mencari masalah dengan Yerin sehari saja? Apa tubuhmu itu akan gatal jika tidak mencari keributan dengan Yerin, Anastasya?" tanya Fiona sengit.Gadis yang dipanggil 'Anastasya' itu menyeringai sinis. "Tentu saja, hidupku tidak akan indah kalau belum melihat sahabatmu itu menderita. Hey, Yerin, kapan kamu mati?" balasnya hanya melirik sekilas pada Fiona sebelum menatap Yerinsa kembali."Heh! Jaga mulutmu, sialan!" maki Fiona mendadak naik pit
***"Ngomong-ngomong, lusa sekolah kita sudah akan mengadakan penyerahan piala dan piagam penghargaan untuk murid-murid yang bulan lalu memenangkan olimpiade," kata Fiona di tengah langkah ke luar kelas bersama Yerinsa setelah bel pulang berdering."Penyerahan piala? Olimpiade?" beo Yerinsa bingung, menatap Fiona di sampingnya meminta penjelasan lebih.Baru satu hari saja berdekatan dengan Fiona, Yerinsa sudah menyerap banyak sekali data kehidupan Yerinsa asli. Mulut teman sebangkunya itu seakan tidak lelah berceloteh setiap di luar di waktu belajar."Ya, kamu juga lupa ini? Bulan lalu ada tiga murid sekolah kita mengikuti olimpiade di China, melawan murid sekolah negara lain, dua di antaranya berhasil memenangkan juara dua di tiga besar, dan satunya hanya masuk lima besar," oceh Fiona dengan anggukan antusias, berjalan bersama di lorong koridor untuk ke gerbang depan."Walaupun tidak juara pertama, tapi itu sudah membanggakan sekolah kita, karena berhasil mengalahkan murid-murid dari
***Dua orang yang sedang mengobrol itu diinterupsi oleh kedatangan dua gadis berseragam sekolah menengah, senyum terbit di bibir masing-masing menyambut kehadiran Gabriella dan Yerinsa.Lompatan pelukan langsung Gabriella berikan untuk laki-laki berjaket coklat yang baru saja bangkit berdiri menyambutnya."Aku merindukanmu," ungkap Gabriella pada sang kekasih dengan wajah tersembunyi malu.Yerinsa yang berdiri di belakang sang kakak mencibirkan bibir dengan tangan bersidekap, ungkapan itu masih bisa didengar, bahkan Margareth ikut terkekeh pelan melihat sikap blak-blakan anak gadisnya.Laki-laki dengan rambut coklat agak keriting itu tersenyum lembut membalas pelukan hangat. "I Miss you too," balasnya begitu manis semakin membuat Gabriella merona dalam pelukan.Justin Laventez, adalah calon tunangan Gabriella yang saat ini masih mengenyam pendidikan di Inggris. Hubungan jarak jauh mereka membuat Justin hanya bisa ke Belanda di waktu-waktu tertentu, seperti saat ini.Bagaimanapun, ked
***Hingga makan malam selesai dan Justin pulang, informasi tambahan Yerinsa terima lagi dari obrolan santai mereka. Termasuk fakta uang saku bulanan Yerinsa yang tidak bisa dikatakan sedikit.Dengan info terbaru itu, Yerinsa bergegas kembali ke kamar di saat waktu tidur belum tiba, bukan untuk tidur atau beristirahat, melainkan mengecek saldo rekening dari handphone.Mata yang sudah bulat itu semakin membulat melihat tiga digit angka pertama di layar ditambah sederet angka nol di belakangnya, jumlah itu bahkan tidak sebanding dengan uang tabungan bekerja Yerinsa di kehidupan sebelumnya.Memang, tidak bisa dibandingkan antara saldo rekening anak crazy rich dengan tabungan pegawai kantoran yang setiap bulan gajinya hanya sesuai UMR daerah.Membawa handphone, Yerinsa turun dari kasur untuk ke meja belajar. Walaupun dikatakan meja belajar, nyatanya benda itu cukup efisien karena menjadi satu dengan rak buku, banyak jenis buku tebal tersusun rapi dan map-map entah apa.Sebagai pemanis pem
***Tepat seperti yang dikatakan Fiona dua hari lalu tentang penyerahan piala dan piagam penghargaan, hari ini acara dilaksanankan di gedung aula sebesar gymnasium. Pagi hari sekolah sudah ramai oleh tamu dari beberapa kalangan, dan murid sekolah itu juga terlihat hilir-mudik.Beberapa buah mobil masuk dari gerbang, entah mobil siapa saja itu dan tamu darimana saja, yang jelas itu bukan dari kalangan bawah.Berangkat sekolah pun hari ini Yerinsa dan Gabriella lebih awal dari biasanya, karena Gabriella menjadi salah satu siswi yang akan menampilkan hiburan di sela acara nanti.Karena mengikuti Gabriella berangkat sangat pagi, Yerinsa juga menemani sang kakak di ruang ganti sebelum acara dimulai, tidak ada siswi sekelasnya sejauh ini."Yerin, kenapa masih di sini? Acara sudah akan dimulai, kamu tidak mau mencari tempat duduk di aula?"Seorang siswi bertanya saat akan melewati Yerinsa yang duduk di sofa ruangan berganti kostum para penampil. Membuat pandangan Yerinsa yang melamun terfoku
*** Si tamu yang juga menjadi alasan kuat kenapa Yerinsa resah sejak tadi malam dan meminta Gabriella tidak hadir ke sekolah. Urusan tampil, Yerinsa bisa menggantikan Gabriella, hanya perlu mengubah warna rambut. Selama ini, orang-orang di lingkungan sekolah membedakan mereka hanya dari kelas yang diambil, dan warna rambut jika sedang bersama. Selebihnya, mereka mirip bagai pinang dibelah dua. Yerinsa memikirkan alur novel sejak semalam, acara ini adalah adegan ke dua saat Gabriella dilihat oleh Luga, yang membuat Luga mengetahui bahwa si female lead bersekolah di sini, dan perasaan sukanya semakin jelas. Tengkuk Yerinsa meremang saat melihat sebuah seringai tipis muncul di sudut bibir Luga yang menatap ke arahnya. Apa? Apa yang membuat laki-laki itu menyeringai? Yerinsa langsung memutuskan kontak mata untuk melihat kiri-kanan dan belakang posisinya, mendapati beberapa wajah siswi langsung memerah merona, sepertinya menyadari senyum tidak normal itu juga. Heh, kenapa kalian mer