***
"Ah, maaf," ucap Yerinsa segera, tidak terlalu memperhatikan sumber rasa sakit di tangan, hanya mengelus dahi yang sedikit nyeri.
Mendongak, Yerinsa mengerjab mendapati wajah tampan seorang laki-laki. Berambut hitam disisir ke kanan, dan mengenakan setelan jas biru malam. Tatto terlihat di leher sebelah kiri, serta mengenakan anting di telinga kiri.
Wajah ini seperti pernah Yerinsa lihat, tapi di mana?
Apa dia CEO muda?
Seperti cerita-cerita fiksi yang sering Yerinsa baca di dunia terdahulu, tampan dan menguarkan aura mendominasi, sangat mencerminkan sosok CEO atau Tuan Muda konglomerat.
"Kamu menghalangi jalan," kata laki-laki itu membuka suara setelah hening di antara mereka.
"Ah." Yerinsa langsung tersadar dari keterpesonaan, merunduk beberapa kali lagi dan mengucapkan permintaan maaf.
"Saya minta maaf, saya buru-buru. Sekali lagi maaf," ucap Yerinsa sambil menyingkirkan dari ambang lorong toilet.
Sebelum laki-laki itu membalas, Yerinsa sudah ngacir lebih dulu menuju toilet perempuan yang berseberangan dengan laki-laki, diberi sekat berupa tembok tebal.
Memasuki salah satu bilik dan segera menuntaskan panggilan alam.
Masih di luar, laki-laki itu hanya sekilas melirik ke arah perginya gadis kecil tadi, kemudian menatap lantai di mana sesuatu berkilau memantulkan cahaya lampu.
Berjongkok, tangan kanan dengan cincin platinum di jari telunjuk dan jari manis itu mengambil sesuatu di lantai. Sebuah gelang perak berhias permata sapphire dengan bentuk belah ketupat terlihat.
Benda kecil seukuran karet gelang itu putus karena tersangkut di jam tangannya, lalu terlempar jatuh tanpa disadari pemiliknya yang buru-buru.
"Tuan Muda. Anda sudah ditunggu di ballroom untuk segera menyapa tamu."
Keheningan lorong itu diinterupsi oleh kedatangan seseorang. Bicara pada si laki-laki berjas biru malam dengan menunduk hormat.
Laki-laki yang dipanggil Tuan Muda itu bangkit berdiri. "Aku akan ke sana," balasnya singkat sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana, bersama gelang yang ditemukan.
Sekilas melirik toilet di belakang, sebelum berjalan dengan seringai samar hampir tidak terlihat di bibir.
Sementara itu, di dalam bilik toilet, Yerinsa setengah merenung. Mengingat sosok yang baru ditemui beberapa saat lalu, wajahnya benar-benar terasa tidak asing.
{ Begitu riuh tepuk tangan memenuhi ballroom, pandangan semua tamu mengarah pada satu titik di mana bintang acara malam ini telah tiba.
Gabriella yang berdiri di samping sang ayah tidak luput menatap ke arah itu, seorang laki-laki jangkung memasuki ballroom bersama perlindungan pengawal.
Manik amber yang tajam milik laki-laki salah satu pewaris saham Roosevelt itu mengedar, menyapu seluruh tamu ke sudut-sudut terjauh. Hingga berhenti pada sepasang mata bersoftlens biru milik Gabriella.
Waktu seakan berhenti saat kontak mata itu terjalin, dua insan dipertemukan dalam suasana yang sama, tapi isi hati berbeda.
Gabriella terkagum pada sosok dibalut jas biru malam gemerlap itu, penampilan rapi membawa wibawa tinggi, tapi tatto di leher dan anting di telinga tidak menyembunyikan sisi 'nakal' yang mungkin coba ditekan. }
"Jaket biru malam? Tatto? Anting?" gumam Yerinsa dengan jantung perlahan bertalu-talu.
Itu dia-!
Style laki-laki tadi persis seperti yang dideskripsikan penulis novel.
Secepat kilat Yerinsa menyelesaikan ritual di toilet, keluar dari bilik untuk mencuci tangan tergesa-gesa. Merutuki diri sendiri yang bisa-bisanya lengah melupakan fakta Gabriella dan Luga bisa saja bertemu karna masih di satu tempat yang sama.
Luga baru saja keluar dari toilet, sedangkan Gabriella kemungkinan masih menunggu Yerinsa di tempat tadi.
Yerinsa menyelipkan helai rambut yang berantakan di pipi ke belakang telinga, sambil berlari keluar dari toilet.
"Jangan bertemu. Jangan sampai bertemu. Please, Tuhan, Dewa, atau apapun pencipta dunia ini, tolong jangan biarkan mereka bertemu," rapal Yerinsa di tengah aksi berlari di lorong hotel itu.
"Gile, Teresia yang biasa nggak taat agama tiba-tiba baca doa sekhusyuk ini demi menyelamatkan dunia." Yerinsa menggerutu tambahan dengan bahasa di luar Belanda.
Terkadang, Yerinsa bisa keceplosan masih menggunakan bahasa di dunia sebelumnya.
Di persimpangan lorong, Yerinsa celingukan, tetap tidak melihat siapapun selain staf hotel yang bekerja.
Suara langkah kaki Yerinsa memelan seiring waktu saat semakin dekat dengan tempat Gabriella dia tinggalkan. Tungkai terasa melemah saat melihat di lorong sana Gabriella berdiri berhadapan dengan sosok laki-laki yang bertabrakan dengan Yerinsa di depan toilet tadi.
"Aku ... gagal," lirih Yerinsa lemah.
Pertemuan pertama Luga dan Gabriella yang harusnya hanya saling tatap di ballroom acara pesta, entah kenapa bisa jungkir-balik jadi bertemu di lorong seperti ini.
Apakah plot novel tidak bisa dirubah?
Di sana, Luga dan Gabriella saling berhadapan di jarak satu meter, tak lama Gabriella terlihat merunduk pertanda kesopanan pada seseorang yang berkedudukan lebih tinggi darinya.
Dan Luga berlalu setelah mengatakan sesuatu yang tidak bisa didengar Yerinsa karena jarak mereka masih jauh. Diikuti dua bodyguard, Luga pergi meninggalkan tempat Gabriella.
Tangan Yerinsa mengepal, langkah yang sempat terhenti dengan pandangan kosong ke depan, segera berlanjut kembali lebih cepat.
"Gabby," panggil Yerinsa begitu sosok Luga hilang di ujung belokan lorong.
Gabriella menoleh, mendapati Yerinsa berlari dan langsung menggenggam tangannya.
"Ada apa? Apa ada yang mengganggumu di toilet?" tanya Gabriella cemas, melihat butir-butir keringat mengalir dari dahi dan pelipis Yerinsa.
Yerinsa menggeleng, meremas tangan Gabriella yang digenggam. "Apa yang kamu bicarakan dengan orang tadi? Kamu tau siapa dia? Bagaimana perasaanmu saat melihatnya?" tanyanya lebih beruntun dengan panik.
"Yerin, tenanglah, ada apa denganmu?" Gabriella mengernyit dahi melihat kepanikan remaja itu tidak beralasan.
"Jawab saja!" bentak Yerinsa cemas.
Gabriella tersentak. "Dia ... dia adalah perwakilan pemilik acara malam ini, Tuan Luga. Kami tidak bicara apapun, dia hanya bertanya apa yang kulakukan di sini sendirian. Dan ... perasaanku ... tidak merasakan apapun, selain kagum, dia tampan," jelasnya terbata karena setengah bingung.
Yerinsa menghembuskan napas kasar, menyeka rambut yang lepek di pipi berkeringat. Mencoba menormalkan ekspresi wajah kembali karena Gabriella akan mencecar banyak hal nanti.
"Oke. Aku hanya takut dia menggodamu, dan dia tidak tampan. Ingat, kamu sudah memiliki calon tunangan yang tampan dan mapan," kata Yerinsa cemberut, berlagak seperti adik yang cemburu.
"Ah," gumam Gabriella pelan, lalu terkekeh pelan sambil mengusak rambut sang adik.
"Kamu membuatku hampir jantungan," kata Gabriella jujur, memang sangat cemas saat melihat kepanikan Yerinsa tadi.
Yerinsa tersenyum menenangkan, lalu merosot duduk perlahan di kursi. "Kamu yang membuatku hampir jantungan," bisiknya lirih tidak ingin didengar Gabriella.
***
*** Pukul setengah dua belas Gabriella mendapat pesan dari Abrady yang mempertanyakan di mana posisinya berada. Pria 40 tahun itu juga mengatakan mereka akan segera pulang sebentar lagi, tapi ada yang harus dilakukan terlebih dulu di ballroom. Dengan pesan itu, Yerinsa artinya sudah tidak bisa lagi menahan Gabriella di sini. Dia juga harus pergi dari hotel ini sebelum ayah dan kakaknya pulang ke rumah. "Aku akan mengulur sedikit waktu agar kamu bisa kembali tanpa bersamaan dengan kami. Hati-hati," kata Gabriella sebelum mereka berpisah di persimpangan lorong hotel. Yerinsa mengangguk, mengacungkan jempol dan tersenyum lebar. Berpisah arah karena dia akan ke pintu keluar hotel, sedangkan Gabriella kembali ke ballroom tempat pesta masih berlangsung. Gabriella celingak-celinguk mencari keberadaan Abrady yang katanya masih di dalam pesta ini. Kemudian tersenyum saat menemukan sang ayah tengah mengobrol dengan beberapa pria. "Ayah," panggil Gabriella mendekat pada kumpulan pria pembis
*** Tidak terlalu peduli dipandang aneh oleh orang-orang yang melihat, Yerinsa fokus menyelamatkan diri saja, pulang ke rumah sebelum Gabriella dan Ayahnya yang sampai lebih dulu. Sejujurnya, Yerinsa merasa tidak akan kuat lagi untuk berjuang lebih dari ini. Tapi, jika tidak berusaha kembali, Yerinsa tidak akan bisa pulang selamat sampai rumah. Menit berlalu menjadi jam, Yerinsa mengulang kegiatan berlari, panjat-memanjat pagar lagi, lalu memanjat selimut dengan terengah-engah hampir menangis di tengah jalan. Jika bukan demi masa depan yang diimpikan, Yerinsa tidak akan mau melakukan hal konyol dan melelahkan ini. Gerutuan dan kalimat penyemangat bergantian memenuhi isi hatinya sepanjang perjuangan hingga sampai ke kamar. Jika di novel lain atau komik Korea yang mengisahkan betapa mudahnya perjuangan pemeran utama setelah masuk ke dalam buku cerita, maka Yerinsa kebalikannya. "Huh- ... hah ... hahh ..." Yerinsa merebahkan diri lemah di lantai balkon kamar setelah berhasil memanja
***Demam menyerang Yerinsa karena terlalu over kelelahan menyusup ke luar rumah. Meskipun berkata akan sembuh nanti sore, faktanya panas itu bertahan hingga tiga hari. Selain tidur, tiga hari juga kasur Yerinsa multifungsi menjadi tempat makan dan seperti ranjang rumah sakit.Untungnya hari ke tiga demam sudah lumayan turun, panas tubuh Yerinsa mereda 70%, sudah tidak lagi diinfus. Hari ke empat dan lima demam sembuh, meskipun masih lemas dan pucat.Dan hari ini, waktunya Yerinsa masuk sekolah setelah mengambil cuti selama sebulan. Pagi-pagi sekali remaja itu sudah antusias bangun mempersiapkan diri, lebih semangat dari Mauren yang membantunya berpakaian.Kemeja putih lengan pendek dengan lambang sekolahan di bagian dada kiri Yerinsa kenakan, bawahan rok hijau lumut lipit-lipit lima senti di atas lutut sama seperti seragam Gabriella.Setelah memoles wajah natural, diakhiri memakai krim tabir surya dari wajah, leher, lengan, hingga kaki, Yerinsa mengenakan stocking berwarna mirip warn
***"Oh, kamu kembali, Yerin? Apakah gosib tentang kamu mengalami amnesia itu benar? Apa kamu mengenalku? Padahal aku sudah menyiapkan lili putih untuk menghadiri acara berkabungmu."Satu gadis berambut hitam panjang yang indah, bicara penuh sinisme dengan lengan bersidekap, berdiri di tengah dari para gadis bersamanya.Yerinsa mengernyit dahi, lalu menatap Fiona bingung. "Siapa?" tanyanya menggumam, tidak merasa mengenal gadis itu.Tidak menjawab, Fiona hanya menarik mundur Yerinsa, melotot menatap gadis di depan mereka."Tidak bisakah kamu tidak mencari masalah dengan Yerin sehari saja? Apa tubuhmu itu akan gatal jika tidak mencari keributan dengan Yerin, Anastasya?" tanya Fiona sengit.Gadis yang dipanggil 'Anastasya' itu menyeringai sinis. "Tentu saja, hidupku tidak akan indah kalau belum melihat sahabatmu itu menderita. Hey, Yerin, kapan kamu mati?" balasnya hanya melirik sekilas pada Fiona sebelum menatap Yerinsa kembali."Heh! Jaga mulutmu, sialan!" maki Fiona mendadak naik pit
***"Ngomong-ngomong, lusa sekolah kita sudah akan mengadakan penyerahan piala dan piagam penghargaan untuk murid-murid yang bulan lalu memenangkan olimpiade," kata Fiona di tengah langkah ke luar kelas bersama Yerinsa setelah bel pulang berdering."Penyerahan piala? Olimpiade?" beo Yerinsa bingung, menatap Fiona di sampingnya meminta penjelasan lebih.Baru satu hari saja berdekatan dengan Fiona, Yerinsa sudah menyerap banyak sekali data kehidupan Yerinsa asli. Mulut teman sebangkunya itu seakan tidak lelah berceloteh setiap di luar di waktu belajar."Ya, kamu juga lupa ini? Bulan lalu ada tiga murid sekolah kita mengikuti olimpiade di China, melawan murid sekolah negara lain, dua di antaranya berhasil memenangkan juara dua di tiga besar, dan satunya hanya masuk lima besar," oceh Fiona dengan anggukan antusias, berjalan bersama di lorong koridor untuk ke gerbang depan."Walaupun tidak juara pertama, tapi itu sudah membanggakan sekolah kita, karena berhasil mengalahkan murid-murid dari
***Dua orang yang sedang mengobrol itu diinterupsi oleh kedatangan dua gadis berseragam sekolah menengah, senyum terbit di bibir masing-masing menyambut kehadiran Gabriella dan Yerinsa.Lompatan pelukan langsung Gabriella berikan untuk laki-laki berjaket coklat yang baru saja bangkit berdiri menyambutnya."Aku merindukanmu," ungkap Gabriella pada sang kekasih dengan wajah tersembunyi malu.Yerinsa yang berdiri di belakang sang kakak mencibirkan bibir dengan tangan bersidekap, ungkapan itu masih bisa didengar, bahkan Margareth ikut terkekeh pelan melihat sikap blak-blakan anak gadisnya.Laki-laki dengan rambut coklat agak keriting itu tersenyum lembut membalas pelukan hangat. "I Miss you too," balasnya begitu manis semakin membuat Gabriella merona dalam pelukan.Justin Laventez, adalah calon tunangan Gabriella yang saat ini masih mengenyam pendidikan di Inggris. Hubungan jarak jauh mereka membuat Justin hanya bisa ke Belanda di waktu-waktu tertentu, seperti saat ini.Bagaimanapun, ked
***Hingga makan malam selesai dan Justin pulang, informasi tambahan Yerinsa terima lagi dari obrolan santai mereka. Termasuk fakta uang saku bulanan Yerinsa yang tidak bisa dikatakan sedikit.Dengan info terbaru itu, Yerinsa bergegas kembali ke kamar di saat waktu tidur belum tiba, bukan untuk tidur atau beristirahat, melainkan mengecek saldo rekening dari handphone.Mata yang sudah bulat itu semakin membulat melihat tiga digit angka pertama di layar ditambah sederet angka nol di belakangnya, jumlah itu bahkan tidak sebanding dengan uang tabungan bekerja Yerinsa di kehidupan sebelumnya.Memang, tidak bisa dibandingkan antara saldo rekening anak crazy rich dengan tabungan pegawai kantoran yang setiap bulan gajinya hanya sesuai UMR daerah.Membawa handphone, Yerinsa turun dari kasur untuk ke meja belajar. Walaupun dikatakan meja belajar, nyatanya benda itu cukup efisien karena menjadi satu dengan rak buku, banyak jenis buku tebal tersusun rapi dan map-map entah apa.Sebagai pemanis pem
***Tepat seperti yang dikatakan Fiona dua hari lalu tentang penyerahan piala dan piagam penghargaan, hari ini acara dilaksanankan di gedung aula sebesar gymnasium. Pagi hari sekolah sudah ramai oleh tamu dari beberapa kalangan, dan murid sekolah itu juga terlihat hilir-mudik.Beberapa buah mobil masuk dari gerbang, entah mobil siapa saja itu dan tamu darimana saja, yang jelas itu bukan dari kalangan bawah.Berangkat sekolah pun hari ini Yerinsa dan Gabriella lebih awal dari biasanya, karena Gabriella menjadi salah satu siswi yang akan menampilkan hiburan di sela acara nanti.Karena mengikuti Gabriella berangkat sangat pagi, Yerinsa juga menemani sang kakak di ruang ganti sebelum acara dimulai, tidak ada siswi sekelasnya sejauh ini."Yerin, kenapa masih di sini? Acara sudah akan dimulai, kamu tidak mau mencari tempat duduk di aula?"Seorang siswi bertanya saat akan melewati Yerinsa yang duduk di sofa ruangan berganti kostum para penampil. Membuat pandangan Yerinsa yang melamun terfoku