***
"Oke. Tunggu di sana, aku akan keluar," putus Gabriella kemudian sesaat sebelum mematikan sambungan telepon.
Yerinsa tersenyum lega sambil memasukkan handphone ke dompet kembali. Mengalihkan perhatian pada sekitar yang masih banyak tamu berdatangan, padahal acara pasti sudah dimulai lama.
Ngomong-ngomong, apa Luga sudah datang?
Yerinsa saja tidak tau seperti apa sosok laki-laki yang dikatakan dalam novel berusia sekitar 22 tahun itu. Visualisasi dari penulis sangat kuat, menjelaskan detail dan jeli tentang karakter Luga yang intinya berpenampilan khas anak gangster, di satu sisi juga penuh kharisma.
"Yerin."
Panggilan dari arah belakang membuat Yerinsa menoleh, mendapati Gabriella muncul di pintu masuk dengan langkah cepat.
"Gabby," sapa Yerinsa sumringah, mendekat.
Gabriella sesaat bertukar sapaan dengan para penjaga di pintu, sebelum menatap fokus pada Yerinsa lagi, menyambutnya yang tampak senang.
"Astaga, kamu bahkan belum mengganti pakaian dari tadi siang. Apa yang kamu lakukan di sini? Apa Ibu tau?" tanya Gabriella langsung begitu sudah berhadapan dengan gadis cerminan dirinya itu.
Yerinsa menggeleng. "Bisa kita cari tempat lain dulu? Di sini dingin sekali," pintanya lagi.
Gabriella berdecak sebal, tapi segera mengangguk dan membawa Yerinsa pindah tempat, memasuki hotel agar udara dingin tidak terus menyerang badan.
"Aku hanya ingin datang ke pesta, jadi diam-diam menyusul ke sini," kata Yerinsa pelan, setelah mereka sempat diam melangkah di lorong hotel, mengutarakan alasan yang hanya kebohongan.
"Jika Ayah dan Ibu tau, mereka akan marah besar," ujar Gabriella, melirik Yerinsa setengah gemas.
"Aku tau. Tapi aku tidak akan lama di sini, aku akan kembali ke rumah lebih dulu sebelum kalian pulang," balas Yerinsa dengan senyum lemah.
Alasannya di sini mungkin tampak terlalu tidak masuk akal bagi Gabriella, tapi Yerinsa tidak terlalu peduli, hanya ingin sang kakak –hanya berbeda sepuluh menit dengannya– tidak ada di ballroom acara untuk beberapa waktu.
"Bagaimana caramu keluar dari kamar?" tanya Gabriella menoleh dengan sorot berubah geli.
Yerinsa cengengesan tanpa dosa. "Uh, itu, aku mengikat selimut dan turun dari balkon kamar," jawabnya tidak menjelaskan panjang lebar.
"Dasar nekat. Sejak kapan aku memiliki kembaran pembangkang," kritik pedas Gabriella sambil menyentil kening gadis itu.
"Aw! Hey, itu bukan nekat, tapi aku pemberani. Dan pembangkang itu wajar karena aku masih berjiwa muda," protes Yerinsa setelah memekik tertahan, mengelus kening yang disentil.
Gabriella mencibir dengan bibir bawah maju sepersekian senti. "Ya ya ya, pemberani dan berjiwa muda, kita bahkan seumuran, dasar," katanya meledek.
Tawa ringan Yerinsa berderai mengisi keheningan lorong hotel, diikut kekehan geli Gabriella.
"Apa pemilik acara malam ini menyewa seluruh hotel?" tanya Yerinsa mengganti topik.
Dua pasang langkah kaki itu tiba di sebuah lorong dengan salah satu dinding berupa kaca dari bawah hingga ke langit-langit. Mempertontonkan keindahan taman hotel yang dihiasi lampu dan bunga hias, serta air mancur di tengah rumput menghijau.
"Iya. Roosevelt adalah keluarga besar di dunia bisnis, menyewa satu hotel untuk semalam pasti bukan masalah besar. Hari ini pembukaan perdana cabang baru perusahaan mereka. Semua orang di ballroom sangat kaku, wajah-wajah mereka sangat tegang seperti akan menunjukkan presentasi di kantor," jawab Gabriella panjang lebar karena menjelaskan situasi di dalam pesta.
Yerinsa terkikik kecil. "Oh, apa perwakilan keluarga Roosevelt sudah ada yang terlihat?" tanyanya santai, bersikap seolah tidak tau apapun.
"Belum. Aku tidak melihat siapapun, semua hanya tamu undangan." Gabriella menggeleng menjawab.
Dua kakak beradik itu memilik duduk di kursi yang tersedia di lorong, menghadap pemandangan taman hotel, menatap bintang bertabur di langit malam.
Tanpa Gabriella ketahui, Yerinsa menghela napas lega, bersyukur sang kakak belum melihat Luga yang merupakan perwakilan keluarga Roosevelt sekaligus salah satu pewaris saham besar perusahaan itu.
Adegan saat pertama kali Gabriella dan Luga bertatapan adalah di ballroom tempat pesta sekarang berlangsung. Jadi, Yerinsa hanya perlu mengulur waktu sedikit agar saat Luga memasuki ballroom, tidak bertatapan pertama kali dengan Gabriella.
"Kudengar semua pewaris saham Roosevelt tampan-tampan dan cantik," tambah Gabriella dengan pandangan menerawang.
Yerinsa melirik wajah tenang Gabriella yang seperti fokus menghitung bintang.
"Kalaupun tampan, belum tentu jodohmu," kata Yerinsa sengit, akan mematahkan harapan sekecil apapun jika hati Gabriella ingin berkenalan dengan Luga.
Gabriella mendadak tersedak dan tertawa lepas, memukul pelan pundak Yerinsa sebagai respon natural.
"Ya Tuhan, sangat jujur," komentar Gabriella geli.
Yerinsa tersenyum, menggedikkan bahu ringan. Kemudian celingak-celinguk melihat lorong sepi sejauh mata memandang, hanya diterangi cahaya dari lampu kristal di langit-langit.
"Aku ingin buang air kecil sejak tadi, tapi tidak tau di mana toilet," gumam Yerinsa dengan menggigit bibir malu.
Gabriella menoleh dengan satu alis terangkat. "Toilet? Itu di sana," katanya menunjuk ke lorong sebelah kiri mereka.
Yerinsa mengikuti arah tunjukan itu, menegakkan postur tubuh. Memang sudah kebelet sejak kedinginan di pintu masuk tadi, tapi terus ditahan.
"Hanya perlu lurus dan belok kanan, di ujung lorong ada toilet di sebelah kanan. Aku baru saja ke toilet saat kamu menelepon tadi, perlu kutemani?" terang Gabriella berakhir menawarkan diri.
Yerinsa cepat-cepat menggeleng, mengambil dompetnya dan bangkit berdiri. "Tidak perlu. Aku bisa sendiri, kamu lupa adikmu ini pemberani. Aku akan kembali, tunggu di sini jangan ke mana-mana," tolaknya lugas.
"Hanya sepuluh menit, tetap di sini. Awas saja jika kamu pergi." Yerinsa memperingati lagi sebelum benar-benar berbalik pergi ke arah yang ditunjukkan Gabriella.
Setengah berlari di lorong senyap itu, Yerinsa sudah tidak bisa menahan diri untuk melepas hajat. Meninggalkan Gabriella yang memperhatikan dengan tawa kecil.
Ingin berlari cepat, tapi takut terpeleset dan jatuh, jadi Yerinsa hanya melangkah lebar-lebar sesuai arahan.
"Aduh-!"
Tepat di belokan ke kanan ke dua, akan memasuki toilet, Yerinsa bertabrakan dengan seseorang hingga sesuatu menyakiti pergelangan tangan kanannya.
***
*** "Ah, maaf," ucap Yerinsa segera, tidak terlalu memperhatikan sumber rasa sakit di tangan, hanya mengelus dahi yang sedikit nyeri. Mendongak, Yerinsa mengerjab mendapati wajah tampan seorang laki-laki. Berambut hitam disisir ke kanan, dan mengenakan setelan jas biru malam. Tatto terlihat di leher sebelah kiri, serta mengenakan anting di telinga kiri. Wajah ini seperti pernah Yerinsa lihat, tapi di mana? Apa dia CEO muda? Seperti cerita-cerita fiksi yang sering Yerinsa baca di dunia terdahulu, tampan dan menguarkan aura mendominasi, sangat mencerminkan sosok CEO atau Tuan Muda konglomerat. "Kamu menghalangi jalan," kata laki-laki itu membuka suara setelah hening di antara mereka. "Ah." Yerinsa langsung tersadar dari keterpesonaan, merunduk beberapa kali lagi dan mengucapkan permintaan maaf. "Saya minta maaf, saya buru-buru. Sekali lagi maaf," ucap Yerinsa sambil menyingkirkan dari ambang lorong toilet. Sebelum laki-laki itu membalas, Yerinsa sudah ngacir lebih dulu menuju to
*** Pukul setengah dua belas Gabriella mendapat pesan dari Abrady yang mempertanyakan di mana posisinya berada. Pria 40 tahun itu juga mengatakan mereka akan segera pulang sebentar lagi, tapi ada yang harus dilakukan terlebih dulu di ballroom. Dengan pesan itu, Yerinsa artinya sudah tidak bisa lagi menahan Gabriella di sini. Dia juga harus pergi dari hotel ini sebelum ayah dan kakaknya pulang ke rumah. "Aku akan mengulur sedikit waktu agar kamu bisa kembali tanpa bersamaan dengan kami. Hati-hati," kata Gabriella sebelum mereka berpisah di persimpangan lorong hotel. Yerinsa mengangguk, mengacungkan jempol dan tersenyum lebar. Berpisah arah karena dia akan ke pintu keluar hotel, sedangkan Gabriella kembali ke ballroom tempat pesta masih berlangsung. Gabriella celingak-celinguk mencari keberadaan Abrady yang katanya masih di dalam pesta ini. Kemudian tersenyum saat menemukan sang ayah tengah mengobrol dengan beberapa pria. "Ayah," panggil Gabriella mendekat pada kumpulan pria pembis
*** Tidak terlalu peduli dipandang aneh oleh orang-orang yang melihat, Yerinsa fokus menyelamatkan diri saja, pulang ke rumah sebelum Gabriella dan Ayahnya yang sampai lebih dulu. Sejujurnya, Yerinsa merasa tidak akan kuat lagi untuk berjuang lebih dari ini. Tapi, jika tidak berusaha kembali, Yerinsa tidak akan bisa pulang selamat sampai rumah. Menit berlalu menjadi jam, Yerinsa mengulang kegiatan berlari, panjat-memanjat pagar lagi, lalu memanjat selimut dengan terengah-engah hampir menangis di tengah jalan. Jika bukan demi masa depan yang diimpikan, Yerinsa tidak akan mau melakukan hal konyol dan melelahkan ini. Gerutuan dan kalimat penyemangat bergantian memenuhi isi hatinya sepanjang perjuangan hingga sampai ke kamar. Jika di novel lain atau komik Korea yang mengisahkan betapa mudahnya perjuangan pemeran utama setelah masuk ke dalam buku cerita, maka Yerinsa kebalikannya. "Huh- ... hah ... hahh ..." Yerinsa merebahkan diri lemah di lantai balkon kamar setelah berhasil memanja
***Demam menyerang Yerinsa karena terlalu over kelelahan menyusup ke luar rumah. Meskipun berkata akan sembuh nanti sore, faktanya panas itu bertahan hingga tiga hari. Selain tidur, tiga hari juga kasur Yerinsa multifungsi menjadi tempat makan dan seperti ranjang rumah sakit.Untungnya hari ke tiga demam sudah lumayan turun, panas tubuh Yerinsa mereda 70%, sudah tidak lagi diinfus. Hari ke empat dan lima demam sembuh, meskipun masih lemas dan pucat.Dan hari ini, waktunya Yerinsa masuk sekolah setelah mengambil cuti selama sebulan. Pagi-pagi sekali remaja itu sudah antusias bangun mempersiapkan diri, lebih semangat dari Mauren yang membantunya berpakaian.Kemeja putih lengan pendek dengan lambang sekolahan di bagian dada kiri Yerinsa kenakan, bawahan rok hijau lumut lipit-lipit lima senti di atas lutut sama seperti seragam Gabriella.Setelah memoles wajah natural, diakhiri memakai krim tabir surya dari wajah, leher, lengan, hingga kaki, Yerinsa mengenakan stocking berwarna mirip warn
***"Oh, kamu kembali, Yerin? Apakah gosib tentang kamu mengalami amnesia itu benar? Apa kamu mengenalku? Padahal aku sudah menyiapkan lili putih untuk menghadiri acara berkabungmu."Satu gadis berambut hitam panjang yang indah, bicara penuh sinisme dengan lengan bersidekap, berdiri di tengah dari para gadis bersamanya.Yerinsa mengernyit dahi, lalu menatap Fiona bingung. "Siapa?" tanyanya menggumam, tidak merasa mengenal gadis itu.Tidak menjawab, Fiona hanya menarik mundur Yerinsa, melotot menatap gadis di depan mereka."Tidak bisakah kamu tidak mencari masalah dengan Yerin sehari saja? Apa tubuhmu itu akan gatal jika tidak mencari keributan dengan Yerin, Anastasya?" tanya Fiona sengit.Gadis yang dipanggil 'Anastasya' itu menyeringai sinis. "Tentu saja, hidupku tidak akan indah kalau belum melihat sahabatmu itu menderita. Hey, Yerin, kapan kamu mati?" balasnya hanya melirik sekilas pada Fiona sebelum menatap Yerinsa kembali."Heh! Jaga mulutmu, sialan!" maki Fiona mendadak naik pit
***"Ngomong-ngomong, lusa sekolah kita sudah akan mengadakan penyerahan piala dan piagam penghargaan untuk murid-murid yang bulan lalu memenangkan olimpiade," kata Fiona di tengah langkah ke luar kelas bersama Yerinsa setelah bel pulang berdering."Penyerahan piala? Olimpiade?" beo Yerinsa bingung, menatap Fiona di sampingnya meminta penjelasan lebih.Baru satu hari saja berdekatan dengan Fiona, Yerinsa sudah menyerap banyak sekali data kehidupan Yerinsa asli. Mulut teman sebangkunya itu seakan tidak lelah berceloteh setiap di luar di waktu belajar."Ya, kamu juga lupa ini? Bulan lalu ada tiga murid sekolah kita mengikuti olimpiade di China, melawan murid sekolah negara lain, dua di antaranya berhasil memenangkan juara dua di tiga besar, dan satunya hanya masuk lima besar," oceh Fiona dengan anggukan antusias, berjalan bersama di lorong koridor untuk ke gerbang depan."Walaupun tidak juara pertama, tapi itu sudah membanggakan sekolah kita, karena berhasil mengalahkan murid-murid dari
***Dua orang yang sedang mengobrol itu diinterupsi oleh kedatangan dua gadis berseragam sekolah menengah, senyum terbit di bibir masing-masing menyambut kehadiran Gabriella dan Yerinsa.Lompatan pelukan langsung Gabriella berikan untuk laki-laki berjaket coklat yang baru saja bangkit berdiri menyambutnya."Aku merindukanmu," ungkap Gabriella pada sang kekasih dengan wajah tersembunyi malu.Yerinsa yang berdiri di belakang sang kakak mencibirkan bibir dengan tangan bersidekap, ungkapan itu masih bisa didengar, bahkan Margareth ikut terkekeh pelan melihat sikap blak-blakan anak gadisnya.Laki-laki dengan rambut coklat agak keriting itu tersenyum lembut membalas pelukan hangat. "I Miss you too," balasnya begitu manis semakin membuat Gabriella merona dalam pelukan.Justin Laventez, adalah calon tunangan Gabriella yang saat ini masih mengenyam pendidikan di Inggris. Hubungan jarak jauh mereka membuat Justin hanya bisa ke Belanda di waktu-waktu tertentu, seperti saat ini.Bagaimanapun, ked
***Hingga makan malam selesai dan Justin pulang, informasi tambahan Yerinsa terima lagi dari obrolan santai mereka. Termasuk fakta uang saku bulanan Yerinsa yang tidak bisa dikatakan sedikit.Dengan info terbaru itu, Yerinsa bergegas kembali ke kamar di saat waktu tidur belum tiba, bukan untuk tidur atau beristirahat, melainkan mengecek saldo rekening dari handphone.Mata yang sudah bulat itu semakin membulat melihat tiga digit angka pertama di layar ditambah sederet angka nol di belakangnya, jumlah itu bahkan tidak sebanding dengan uang tabungan bekerja Yerinsa di kehidupan sebelumnya.Memang, tidak bisa dibandingkan antara saldo rekening anak crazy rich dengan tabungan pegawai kantoran yang setiap bulan gajinya hanya sesuai UMR daerah.Membawa handphone, Yerinsa turun dari kasur untuk ke meja belajar. Walaupun dikatakan meja belajar, nyatanya benda itu cukup efisien karena menjadi satu dengan rak buku, banyak jenis buku tebal tersusun rapi dan map-map entah apa.Sebagai pemanis pem