***
Sebenarnya Yerinsa sangat lelah, pantas saja Margareth mengatakan tidak akan bisa jika harus menghadiri pesta setelah mengantar Yerinsa check up, karena di rumah sakit menghabiskan waktu lama.
Sampai di kamar, Yerinsa bukannya beristirahat malah sibuk melakukan hal lain dan mengabaikan rasa letih setelah sejak siang di luar rumah.
Telah mempertimbangkan dampak dan konsekuensi yang akan timbul jika rencana ini dijalankan, akan Yerinsa terima itu nanti.
Sambil berjalan, mengingat satu persatu hal yang harus dia lakukan setelah ini. Mulut bergumam tanpa suara, dan pikiran berfokus pada pesta malam ini.
Pikiran rumit dalam kepala Yerinsa terpecah-belah oleh suara ketukan di pintu, Mauren bicara tanpa berani masuk sebelum diperintah.
Kembali ke pintu, Yerinsa membuka tanpa membiarkan Mauren masuk, hanya menerima gelas susu dari perempuan itu yang memang selalu Yerinsa konsumsi sebelum tidur.
"Anda butuh bantuan sesuatu, Nona?" tanya Mauren melihat riasan Yerinsa belum dihilangkan.
Menenggak minuman putih itu hingga habis setengah gelas, Yerinsa menyerahkan sisanya pada Mauren sambil menggeleng. "Tidak perlu. Ini bawa saja, aku tidak bisa menghabiskannya," katanya dengan isyarat untuk Mauren pergi.
Seperginya pelayan itu, pintu Yerinsa tutup kembali setelah memastikan semua aman. Tidak berniat mengganti pakaian atau mandi, Yerinsa akan langsung bersiap pergi lagi, menyusup keluar.
Rencana Yerinsa adalah menyusul ke pesta tanpa diketahui Abrady dan Margareth, sampai di sana Yerinsa hanya akan menemui Gabriella agar tidak bertemu dengan Luga, mengambil waktunya.
Memasuki kamar mandi, dan keluar dengan membawa gumpalan besar berupa selimut dan seprei. Menuju pintu balkon, Yerinsa sejenak melihat ke bawah.
Sambil memastikan situasi aman, tangan Yerinsa gesit mengikat ujung setiap selimut dan seprei dengan kuat. Tidak butuh terlalu banyak kain karena hanya dari lantai dua ke tanah, dan paling ujung seprei diikat ke pagar balkon.
Ujung kain tidak sampai menyentuh tanah di bawah sana, tapi itu sudah cukup untuk Yerinsa bisa turun lewat jalur menggelantung.
"Berbakat juga gue jadi penyusup," gumam Yerinsa sambil celingak-celinguk.
Yerinsa perlahan memanjat pagar pembatas balkon, berpegangan sangat erat di kain selimut dan turun sedikit demi sedikit sambil memanjatkan doa.
Menit demi menit berlalu dalam ketegangan, jantung Yerinsa berdegup kencang setiap second detik. Setelah menginjak tanah dengan selamat, Yerinsa berlari mengendap-endap ke gerbang samping rumah.
Berhari-hari sudah memperhatikan jalur pelarian, Yerinsa menghafal setiap seluk beluk mansion dengan cepat, menganalisis keberhasilan.
Dan ...
Gotcha!
Yerinsa tiba di titik di mana dia harus memanjat gerbang mansion setinggi kurang lebih dua meter. Itu bukan gerbang utama, tapi gerbang belakang, tempat para pelayan biasa keluar masuk untuk bepergian membeli stok bahan makanan.
Gerbang utama setinggi lebih dari tiga meter, tidak mungkin untuk Yerinsa memanjat, apalagi di bagian atas gerbang berupa besi runcing seperti ujung tombak.
Bahkan gerbang belakang ini pun sudah terkunci setiap pukul delapan malam. Tidak mungkin Yerinsa bisa keluar tanpa memanjat ke atas. Untungnya bagian atas gerbang tidak runcing.
Yerinsa mengusap sedikit tetesan keringat di pelipis dan pipi sebelum mulai memanjat. Jari-jari kecil yang lentik berkuku cantik hasil perawatan itu mencengkeram bagian baja gerbang.
"Urgh-" lenguh Yerinsa menahan bobot tubuh sendiri, untung menggunakan celana dan tidak memakai high heels, jadi sedikit meringankan beban kerepotan.
Dalam hati menyemangati diri sendiri untuk berjuang sedikit lagi. Demi masa depan indah di ujung mata, Yerinsa menguatkan setiap cengkraman.
***
Membuka mata perlahan, Yerinsa menatap tangan yang kotor oleh karatan besi di gerbang. Pakaian juga sedikit kotor, terlebih sepatu, lecet di sana sini tergores tembok.
"Pak, apakah ada air? Atau tissue basah?" tanya Yerinsa pada supir taksi.
"Ini, Nona," kata pria di kursi kemudi itu sambil memberikan sebotol air mineral dan kotak tissue.
Yerinsa menerima dua benda itu dan membuka kaca mobil, dan membasuh tangan dengan air di botol. Lalu membasahi tissue untuk digunakan membersihkan kaki, mengusap perlahan menyingkirkan kotoran.
Setelah dirasa bersih, baru Yerinsa mengembalikan botol serta tissue, mengucapkan terima kasih singkat dan berkata akan mengganti uang harga air mineral.
Saat mengecek wajah di cermin dompet, Yerinsa meringis dalam hati menemukan riasan wajah sudah sedikit meluntur. Penataan rambut yang hanya dikepang longgar ke sisi kanan, sedikit berantakan.
Padahal hanya perjuangan keluar dari rumah, tapi dampak pada tubuh ini sudah setara berjuang di medan perang.
"Nona, sudah sampai," kata supir taksi saat mobil perlahan mendekati pintu masuk sebuah hotel yang disambut pegawai hotel itu.
Yerinsa bersiap keluar dari taksi sambil bergegas membuka dompet. Mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar, tepat saat berhenti di depan pintu masuk. Di belakang ada mobil lain yang mengantri, membuat Yerinsa tidak memiliki waktu bersantai, dan segera keluar.
Berlagak layaknya anak pengusaha besar dengan aura elegan mengudara, Yerinsa berjalan ke pintu masuk hotel yang dijaga beberapa pria.
"Selamat malam, Nona. Bisa saya lihat undangan Anda?"
Salah satu pria berpakaian hitam di depan pintu mencegat langkah Yerinsa, menyapa sebelum menengadahkan tangan meminta konfirmasi undangan tamu.
"Ah-? Undangan?" Yerinsa mengerjab bingung.
"Iya, undangan. Anda harus memiliki undangan acara untuk bisa masuk," kata pria berambut klimis itu mengangguk.
Yerinsa membeku, mengumpat dalam hati saat menyadari tidak memikirkan hal ini sebelumnya, undangan pasti ada di tangan ayahnya.
Acara pesta orang kaya sangat merepotkan, padahal di dunia sebelumnya jika ingin ke pesta pernikahan tidak diwajibkan membawa undangan tamu, asal masuk saja dan bisa makan di kondangan.
"Itu ... saya tidak memiliki undangannya, tapi ayah dan kembaran saya ada di dalam," kata Yerinsa kikuk.
"Ayah dan saudari saya salah satu tamu acara ini, saya cuma mau menemui mereka sebentar. Apakah tidak bisa?" tambah Yerinsa membujuk dengan mata memelas.
"Jika tidak ada bukti tamu, tidak bisa masuk," balas pria itu masih kaku seperti kanebo kering.
Yerinsa menggigit bibir gusar, memutar otak mencari cara, akan sangat sia-sia jika dia tidak bisa menemui Gabriella padahal sudah sejauh ini.
"Oh-! Saya akan telpon kembaran saya untuk ke sini. Tunggu sebentar," kata Yerinsa tiba-tiba semangat mendapat ide.
Pria-pria berwajah dingin terlihat sangar itu tidak menanggapi, jadi Yerinsa memilih menepi sebentar sambil merogoh dompet yang dibawa, membiarkan tamu lain masuk lebih dulu.
Mengeluarkan handphone, Yerinsa mencari nomer Gabriella untuk dihubungi. Menempelkan benda pipih itu ke telinga kanan, menunggu panggilan diangkat.
"Halo? Yerin, ada apa?"
Setelah beberapa saat, panggilan diterima, suara Gabriella menyapa gendang telinga Yerinsa, membuat terasa sejuk.
"Gabby, apa kamu bersama Ayah-? Maksudku ... apa Ayah sedang di dekatmu?" tanya Yerinsa hati-hati.
"Tidak. Ayah sedang mengobrol dengan rekan bisnisnya, posisiku cukup jauh. Ada apa?" jawab Gabriella diakhiri bertanya heran.
"Um ... bisakah kamu keluar sebentar, aku di pintu masuk- ... tapi jangan beritahu Ayah. Please," pinta Yerinsa sempat ragu sebelum bicara dalam satu tarikan napas cepat.
"Apa?! Apa maksudmu kamu di luar? Bagaimana bisa? Apa yang kamu lakukan, Yerin?" Gabriella langsung mencecar serentetan pertanyaan panik.
"Tenanglah. Akan kujelaskan, tapi pertama-tama sekarang tolong temui aku dulu tanpa memberitahu Ayah. Oke?" bujuk Yerinsa lebih tenang.
***
*** "Oke. Tunggu di sana, aku akan keluar," putus Gabriella kemudian sesaat sebelum mematikan sambungan telepon. Yerinsa tersenyum lega sambil memasukkan handphone ke dompet kembali. Mengalihkan perhatian pada sekitar yang masih banyak tamu berdatangan, padahal acara pasti sudah dimulai lama. Ngomong-ngomong, apa Luga sudah datang? Yerinsa saja tidak tau seperti apa sosok laki-laki yang dikatakan dalam novel berusia sekitar 22 tahun itu. Visualisasi dari penulis sangat kuat, menjelaskan detail dan jeli tentang karakter Luga yang intinya berpenampilan khas anak gangster, di satu sisi juga penuh kharisma. Sejauh ini, Yerinsa tidak bisa membayangkan seberapa sempurna fisik karakter itu. Seberapa kental darah Italia mengalir pada sosok Luga, karena itu tanah kelahirannya. "Yerin." Panggilan dari arah belakang membuat Yerinsa menoleh, mendapati Gabriella muncul di pintu masuk dengan langkah cepat. "Gabby," sapa Yerinsa sumringah, mendekat. Gabriella sesaat bertukar sapaan dengan pa
*** "Ah, maaf," ucap Yerinsa segera, tidak terlalu memperhatikan sumber rasa sakit di tangan, hanya mengelus dahi yang sedikit nyeri. Mendongak, Yerinsa mengerjab mendapati wajah tampan seorang laki-laki. Berambut hitam disisir ke kanan, dan mengenakan setelan jas biru malam. Tatto terlihat di leher sebelah kiri, serta mengenakan anting di telinga kiri. Wajah ini seperti pernah Yerinsa lihat, tapi di mana? Apa dia CEO muda? Seperti cerita-cerita fiksi yang sering Yerinsa baca di dunia terdahulu, tampan dan menguarkan aura mendominasi, sangat mencerminkan sosok CEO atau Tuan Muda konglomerat. "Kamu menghalangi jalan," kata laki-laki itu membuka suara setelah hening di antara mereka. "Ah." Yerinsa langsung tersadar dari keterpesonaan, merunduk beberapa kali lagi dan mengucapkan permintaan maaf. "Saya minta maaf, saya buru-buru. Sekali lagi maaf," ucap Yerinsa sambil menyingkirkan dari ambang lorong toilet. Sebelum laki-laki itu membalas, Yerinsa sudah ngacir lebih dulu menuju to
*** Pukul setengah dua belas Gabriella mendapat pesan dari Abrady yang mempertanyakan di mana posisinya berada. Pria 40 tahun itu juga mengatakan mereka akan segera pulang sebentar lagi, tapi ada yang harus dilakukan terlebih dulu di ballroom. Dengan pesan itu, Yerinsa artinya sudah tidak bisa lagi menahan Gabriella di sini. Dia juga harus pergi dari hotel ini sebelum ayah dan kakaknya pulang ke rumah. "Aku akan mengulur sedikit waktu agar kamu bisa kembali tanpa bersamaan dengan kami. Hati-hati," kata Gabriella sebelum mereka berpisah di persimpangan lorong hotel. Yerinsa mengangguk, mengacungkan jempol dan tersenyum lebar. Berpisah arah karena dia akan ke pintu keluar hotel, sedangkan Gabriella kembali ke ballroom tempat pesta masih berlangsung. Gabriella celingak-celinguk mencari keberadaan Abrady yang katanya masih di dalam pesta ini. Kemudian tersenyum saat menemukan sang ayah tengah mengobrol dengan beberapa pria. "Ayah," panggil Gabriella mendekat pada kumpulan pria pembis
*** Tidak terlalu peduli dipandang aneh oleh orang-orang yang melihat, Yerinsa fokus menyelamatkan diri saja, pulang ke rumah sebelum Gabriella dan Ayahnya yang sampai lebih dulu. Sejujurnya, Yerinsa merasa tidak akan kuat lagi untuk berjuang lebih dari ini. Tapi, jika tidak berusaha kembali, Yerinsa tidak akan bisa pulang selamat sampai rumah. Menit berlalu menjadi jam, Yerinsa mengulang kegiatan berlari, panjat-memanjat pagar lagi, lalu memanjat selimut dengan terengah-engah hampir menangis di tengah jalan. Jika bukan demi masa depan yang diimpikan, Yerinsa tidak akan mau melakukan hal konyol dan melelahkan ini. Gerutuan dan kalimat penyemangat bergantian memenuhi isi hatinya sepanjang perjuangan hingga sampai ke kamar. Jika di novel lain atau komik Korea yang mengisahkan betapa mudahnya perjuangan pemeran utama setelah masuk ke dalam buku cerita, maka Yerinsa kebalikannya. "Huh- ... hah ... hahh ..." Yerinsa merebahkan diri lemah di lantai balkon kamar setelah berhasil memanja
***Demam menyerang Yerinsa karena terlalu over kelelahan menyusup ke luar rumah. Meskipun berkata akan sembuh nanti sore, faktanya panas itu bertahan hingga tiga hari. Selain tidur, tiga hari juga kasur Yerinsa multifungsi menjadi tempat makan dan seperti ranjang rumah sakit.Untungnya hari ke tiga demam sudah lumayan turun, panas tubuh Yerinsa mereda 70%, sudah tidak lagi diinfus. Hari ke empat dan lima demam sembuh, meskipun masih lemas dan pucat.Dan hari ini, waktunya Yerinsa masuk sekolah setelah mengambil cuti selama sebulan. Pagi-pagi sekali remaja itu sudah antusias bangun mempersiapkan diri, lebih semangat dari Mauren yang membantunya berpakaian.Kemeja putih lengan pendek dengan lambang sekolahan di bagian dada kiri Yerinsa kenakan, bawahan rok hijau lumut lipit-lipit lima senti di atas lutut sama seperti seragam Gabriella.Setelah memoles wajah natural, diakhiri memakai krim tabir surya dari wajah, leher, lengan, hingga kaki, Yerinsa mengenakan stocking berwarna mirip warn
***"Oh, kamu kembali, Yerin? Apakah gosib tentang kamu mengalami amnesia itu benar? Apa kamu mengenalku? Padahal aku sudah menyiapkan lili putih untuk menghadiri acara berkabungmu."Satu gadis berambut hitam panjang yang indah, bicara penuh sinisme dengan lengan bersidekap, berdiri di tengah dari para gadis bersamanya.Yerinsa mengernyit dahi, lalu menatap Fiona bingung. "Siapa?" tanyanya menggumam, tidak merasa mengenal gadis itu.Tidak menjawab, Fiona hanya menarik mundur Yerinsa, melotot menatap gadis di depan mereka."Tidak bisakah kamu tidak mencari masalah dengan Yerin sehari saja? Apa tubuhmu itu akan gatal jika tidak mencari keributan dengan Yerin, Anastasya?" tanya Fiona sengit.Gadis yang dipanggil 'Anastasya' itu menyeringai sinis. "Tentu saja, hidupku tidak akan indah kalau belum melihat sahabatmu itu menderita. Hey, Yerin, kapan kamu mati?" balasnya hanya melirik sekilas pada Fiona sebelum menatap Yerinsa kembali."Heh! Jaga mulutmu, sialan!" maki Fiona mendadak naik pit
***"Ngomong-ngomong, lusa sekolah kita sudah akan mengadakan penyerahan piala dan piagam penghargaan untuk murid-murid yang bulan lalu memenangkan olimpiade," kata Fiona di tengah langkah ke luar kelas bersama Yerinsa setelah bel pulang berdering."Penyerahan piala? Olimpiade?" beo Yerinsa bingung, menatap Fiona di sampingnya meminta penjelasan lebih.Baru satu hari saja berdekatan dengan Fiona, Yerinsa sudah menyerap banyak sekali data kehidupan Yerinsa asli. Mulut teman sebangkunya itu seakan tidak lelah berceloteh setiap di luar di waktu belajar."Ya, kamu juga lupa ini? Bulan lalu ada tiga murid sekolah kita mengikuti olimpiade di China, melawan murid sekolah negara lain, dua di antaranya berhasil memenangkan juara dua di tiga besar, dan satunya hanya masuk lima besar," oceh Fiona dengan anggukan antusias, berjalan bersama di lorong koridor untuk ke gerbang depan."Walaupun tidak juara pertama, tapi itu sudah membanggakan sekolah kita, karena berhasil mengalahkan murid-murid dari
***Dua orang yang sedang mengobrol itu diinterupsi oleh kedatangan dua gadis berseragam sekolah menengah, senyum terbit di bibir masing-masing menyambut kehadiran Gabriella dan Yerinsa.Lompatan pelukan langsung Gabriella berikan untuk laki-laki berjaket coklat yang baru saja bangkit berdiri menyambutnya."Aku merindukanmu," ungkap Gabriella pada sang kekasih dengan wajah tersembunyi malu.Yerinsa yang berdiri di belakang sang kakak mencibirkan bibir dengan tangan bersidekap, ungkapan itu masih bisa didengar, bahkan Margareth ikut terkekeh pelan melihat sikap blak-blakan anak gadisnya.Laki-laki dengan rambut coklat agak keriting itu tersenyum lembut membalas pelukan hangat. "I Miss you too," balasnya begitu manis semakin membuat Gabriella merona dalam pelukan.Justin Laventez, adalah calon tunangan Gabriella yang saat ini masih mengenyam pendidikan di Inggris. Hubungan jarak jauh mereka membuat Justin hanya bisa ke Belanda di waktu-waktu tertentu, seperti saat ini.Bagaimanapun, ked