***
Kasurnya tidak memiliki bulu, dan tidak sehangat ini walaupun rasa nyamannya hampir sama. Tidak tau berapa lama Yerinsa sudah tertidur, dia memaksa mata untuk terbuka.
Pemandangan asing masuk ke dalam indera penglihatan gadis itu, sesuatu yang putih seperti permadani bulu angsa terhampar luas di bawah. Yerinsa mengerang sebelum bangkit duduk celingak-celinguk, wajah setengah mengantuk itu keheranan.
"Di mana lagi ini," monolog Yerinsa gusar.
Sesaat kemudian tersentak menyadari suaranya berbeda dari beberapa hari belakangan, ini suara Teresia asli. Tergesa-gesa Yerinsa mengecek keadaan sendiri, menemukan tubuhnya kembali seperti sosok wanita dewasa, bukan remaja.
Dia menjadi Teresia lagi?
Tiba-tiba?
"Kakak."
Di tengah mengecek kondisi tubuh dan bersimpuh, Teresia mendengar suara halus datang dari arah belakang. Memutar pandangan, Teresia menemukan seorang gadis muda mendekat dengan kaki mengambang tidak menyentuh dasar.
Teresia tidak bereaksi untuk beberapa saat, hanya tercengang melihat kedatangan sosok itu seperti dari atas langit. Dan, yang lebih membuat Teresia melongo adalah wajah itu, pemilik rambut coklat kemerahan yang tergerai cantik.
Mengenakan dress putih bersih dan tanpa aksesoris apapun selain hiasan bunga kecil-kecil di rambut. Sosok remaja di depannya adalah bentuk yang sering Teresia lihat di cermin selama seminggu ini.
Yerinsa.
Bagaiman bisa?
"Benar, aku Yerinsa. Salam kenal, Kakak," kata sosok itu seakan mendengar batin Teresia mengalisis.
"Bagaimana ... bisa? Kamu ... aku ..."
Teresia terbata-bata bicara, berkali-kali mencubit lengan untuk menyadarkan jika ini hanya mimpi. Tapi, rasa sakit itu tidak membuat Teresia bangun dari tidur ini.
"Kita memiliki sedikit waktu untuk bicara," kata Yerinsa dengan senyum ringan.
Sosok itu perlahan turun hingga duduk bersimpuh juga di hadapan Teresia, di atas permadani berbulu lembut itu.
"Tunggu ... tapi ini di mana? Dan, kamu sekarang ini apa?" tanya Teresia mendesak gugup, ngeri juga berhadapan dengan hantu.
Yerinsa terkikik kecil. "Aku sisa jiwa yang tertinggal," jawabnya enteng.
"hah? Jiwa yang tertinggal?" beo Teresia tidak mengerti.
"Dengar, Kakak." Yerinsa mendadak serius, menggenggam tangan Teresia yang bertumpu di atas paha untuk saling menatap.
"Karena kecelakaan itu, aku sekarat, aku tidak sekuat orang lain yang bisa bertahan dengan kejadian itu. Tapi, tidak tau bagaimana, jiwa Kakak memasuki tubuhku, membuat jiwa kita bergesekan dan jiwaku tidak bisa bertahan. Lebih tepatnya, jiwa kita menyatu," terang Yerinsa dengan tatapan lurus ke mata hitam wanita di depannya.
Teresia diam sejenak. "Jadi, kamu ..." katanya menggantung.
Yerinsa mengangguk. "Aku sudah mati. Dan, berkat kejadian tidak masuk akal ini, aku tau duniaku hanya fiksi yang Kakak pernah baca," katanya dengan bibir agak mencebik.
Teresia meringis dalam hati, tidak tau harus membalas apa, karena memang ini terasa tidak masuk akal jika dipikirkan dengan logika. Memangnya, logika dunia apa yang bisa menerima cerita jiwa masuk ke dalam buku fiksi.
"Walaupun dunia ini fiksi, ini tetap dunia nyata bagiku, dan bagi Kakak sekarang, karena sudah menempati tubuhku untuk hidup." Yerinsa menambahi cepat.
"Aku tidak mengerti semua ini. Apa yang harus kulakukan?" lirih Teresia sungguh bingung mencari jalan keluar masalah ini.
Teresia ingin kembali ke tubuh aslinya, tapi tidak yakin apakah selamat dari kebakaran itu. Tinggal di raga Yerinsa juga memiliki ketakutan lain, karena jika sesuai novel, maka Yerinsa tetap akan mati.
Lagipula, harusnya Yerinsa tidak mati sangat awal begini, kan?
Sebelum cerita novel di mulai.
"Tentu saja jangan biarkan keluargaku mati!" seru Yerinsa tiba-tiba dengan kepalan tangan menyemangati di udara.
"Karena sekarang keluarga De Vries adalah keluarga Kakak juga, jadi, tolong selamatkan keluarga kita," pinta Yerinsa kemudian dengan suara lebih tenang, kembali menggenggam erat tangan Teresia seakan menyalurkan semangatnya.
Teresia terdiam, berpikir kritis, tak lama tersenyum melihat remaja ceria di depannya dan mengangguk.
"Aku ... akan mencoba yang terbaik untuk menyelamatkan keluarga kita," katanya dengan tatapan berangsur memiliki tekad.
Kata keluarga kita dari Yerinsa seakan menyadarkan Teresia bahwa saat ini dia sudah bukan lagi perempuan 25 tahun, melainkan pemilik raga gadis 18 tahun.
Bukan lagi Teresia si anak sulung keluarga sederhana, tapi sudah menjadi Yerinsa di putri tersayang keluarga De Vries. Dan, keluarga De Vries adalah empat orang yang akan mati satu persatu di masa depan.
Teresia, ataupun Yerinsa, yang sudah mengetahui masa depan itu, tidak mungkin membiarkan keluarga harmonis mereka berakhir mengenaskan seperti di novel.
"Jangan biarkan kita semua mengalami apa yang terjadi di buku fiksi itu, pasti ada cara untuk menghindarinya, kan? Tidak peduli apa yang terjadi pada harta De Vries, aku hanya ingin keluarga kita tetap utuh dan bahagia," kata Yerinsa dengan senyum sendu, mencoba menekan perasaan tidak percaya dirinya pada masa depan.
"Karena aku sekarang tidak bisa lagi melakukan apapun, semuanya kuserahkan pada Kakak. Tolong jangan biarkan Ayah dan Ibu mati, jangan biarkan Kak Gabby menderita," tambah Yerinsa lagi, tubuh itu berangsur menjadi transparan.
Teresia membelalakkan mata melihat perubahan itu, menggenggam lebih erat pada tangan Yerinsa karena merasa waktu mereka belum cukup.
"Yerin-"
"Anggap saja, kematianku sebagai pengorbanan untuk De Vries. Kakak, pokoknya, pertahankan keluarga kita, karena De Vries sekarang adalah keluargamu."
Tautan tangan pada Yerinsa menghilang seiring sosok itu mengabur menjadi partikel-partikel cahaya meninggalkan sebuah senyuman manis untuk Teresia.
"Yerin, aku ... ya, aku akan melakukan yang terbaik untuk De Vries," kata Teresia membalas permintaan lembut Yerinsa sebelum sosok itu benar-benar menghilang di udara.
Menyisakan Teresia sendirian linglung, hingga akhirnya jatuh tidak sadarkan diri.
***
*** Bulu mata hitam yang lentik itu perlahan terbuka setelah sesaat bergetar, kelopak mata dengan garis sabit mengerjab beberapa kali sebelum kuapan keluar dari mulut yang dihalau telapak tangan. Hingga sepasang bola mata biru tampak menatap langit-langit ruangan, pemandangan ukiran di langit-langit itu sudah tidak terlalu asing lagi sejak beberapa hari belakangan di mata si gadis bergaun tidur sutera. Lampu gantung kristal di tengah langit-langit, dengan cat dinding ruangan didominasi warna putih dan sedikit biru muda. Menyingkap selimut abu-abu, gadis berambut cinnamon bergelombang itu duduk sambil mengusap wajah lembut. "Nona Yerin, Anda sudah bangun?" Setelah ketukan di pintu dari luar, suara wanita terdengar lembut bertanya dalam bahasa Belanda. "Iya." Yerinsa yang masih duduk di kasur nyaman berseprei putih menyahut singkat, tak lama pintu kamar yang hanya dia tatapi terbuka dari luar. Seorang wanita muda berpakaian khusus pelayan masuk dengan senyum ramah pada gadis muda
*** "Selamat pagi," sapa Yerinsa dengan senyum cerah begitu tiba di ruang makan. "Pagi, Sayang," balas Margareth yang sedang mengoleskan selai pada sepotong roti. "Selamat pagi," balas Abrady singkat dengan senyuman, sekilas mengalihkan perhatian dari koran pada sang anak. "Pagi, Yerin." Gabriella juga membalas sapaan dengan tak kalah cerah setelah menyesap susu di gelas. Yerinsa mendekati Abrady dan Margareth, mengecup singkat pipi kedua orangtuanya, baru menarik kursi di samping Gabriella. Satu lagi rutinitas pagi yang Yerinsa ketahui di keluarga ini, yaitu kecupan hangat untuk ayah dan ibu mereka. Margareth duduk setelah memberikan jatah roti selai ke semua penghuni meja makan. "Gabby kenapa pakai seragam sekolah?" tanya Yerinsa mengernyit melihat setelan Gabriellla beserta tas sekolah. "Tentu saja karena harus sekolah, apa lagi?" jawab dan tanya balik Gabriella, ikut berkerut dahi mendengar pertanyaan lucu itu. "Maksudku, bukankah hari ini harusnya kamu ke salon dan butik?
*** Berjam-jam berlalu dihabiskan Yerinsa dan Margareth mengantri, hingga mendapat giliran mereka. Sambil mengobrol dengan Margareth, Dokter Damberrain juga memeriksa Yerinsa yang berbaring di ranjang periksa. Sekitar pukul lima sore lebih, baru mereka mendapat hasil pemeriksaan medis Yerinsa. Beberapa saran dan obat kembali diberikan dokter pada Margareth, juga sederet wanti-wanti untuk Yerinsa menjaga pola hidup sehat. Sekarang, baru Yerinsa mengetahui penyakit apa yang diderita tubuh ini sejak dulu, penyakit yang tidak bisa disembuhkan, tapi bisa diringankan sementara dengan jenis obat tertentu. Penyakit lupus dengan jenis, Systemic lupus erthematosus (SLE). Penyakit ini biasa menyerang berbagai jaringan seperti, sendi, kulit, otak, paru-paru, ginjal, dan pembuluh darah, jika sedang kumat. Pantas saja di atas meja rias di kamar Yerinsa begitu banyak botol produk tabir surya, ternyata tidak hanya untuk wajah dan leher, tapi juga untuk seluruh badan yang kemungkinan terpapar sina
*** Sebenarnya Yerinsa sangat lelah, pantas saja Margareth mengatakan tidak akan bisa jika harus menghadiri pesta setelah mengantar Yerinsa check up, karena di rumah sakit menghabiskan waktu lama. Sampai di kamar, Yerinsa bukannya beristirahat malah sibuk melakukan hal lain dan mengabaikan rasa letih setelah sejak siang di luar rumah. Telah mempertimbangkan dampak dan konsekuensi yang akan timbul jika rencana ini dijalankan, akan Yerinsa terima itu nanti. Sambil berjalan, mengingat satu persatu hal yang harus dia lakukan setelah ini. Mulut bergumam tanpa suara, dan pikiran berfokus pada pesta malam ini. "Nona, ini Mauren. Saya mengantar susu untuk Anda." Pikiran rumit dalam kepala Yerinsa terpecah-belah oleh suara ketukan di pintu, Mauren bicara tanpa berani masuk sebelum diperintah. Kembali ke pintu, Yerinsa membuka tanpa membiarkan Mauren masuk, hanya menerima gelas susu dari perempuan itu yang memang selalu Yerinsa konsumsi sebelum tidur. "Anda butuh bantuan sesuatu, Nona?"
*** "Oke. Tunggu di sana, aku akan keluar," putus Gabriella kemudian sesaat sebelum mematikan sambungan telepon. Yerinsa tersenyum lega sambil memasukkan handphone ke dompet kembali. Mengalihkan perhatian pada sekitar yang masih banyak tamu berdatangan, padahal acara pasti sudah dimulai lama. Ngomong-ngomong, apa Luga sudah datang? Yerinsa saja tidak tau seperti apa sosok laki-laki yang dikatakan dalam novel berusia sekitar 22 tahun itu. Visualisasi dari penulis sangat kuat, menjelaskan detail dan jeli tentang karakter Luga yang intinya berpenampilan khas anak gangster, di satu sisi juga penuh kharisma. Sejauh ini, Yerinsa tidak bisa membayangkan seberapa sempurna fisik karakter itu. Seberapa kental darah Italia mengalir pada sosok Luga, karena itu tanah kelahirannya. "Yerin." Panggilan dari arah belakang membuat Yerinsa menoleh, mendapati Gabriella muncul di pintu masuk dengan langkah cepat. "Gabby," sapa Yerinsa sumringah, mendekat. Gabriella sesaat bertukar sapaan dengan pa
*** "Ah, maaf," ucap Yerinsa segera, tidak terlalu memperhatikan sumber rasa sakit di tangan, hanya mengelus dahi yang sedikit nyeri. Mendongak, Yerinsa mengerjab mendapati wajah tampan seorang laki-laki. Berambut hitam disisir ke kanan, dan mengenakan setelan jas biru malam. Tatto terlihat di leher sebelah kiri, serta mengenakan anting di telinga kiri. Wajah ini seperti pernah Yerinsa lihat, tapi di mana? Apa dia CEO muda? Seperti cerita-cerita fiksi yang sering Yerinsa baca di dunia terdahulu, tampan dan menguarkan aura mendominasi, sangat mencerminkan sosok CEO atau Tuan Muda konglomerat. "Kamu menghalangi jalan," kata laki-laki itu membuka suara setelah hening di antara mereka. "Ah." Yerinsa langsung tersadar dari keterpesonaan, merunduk beberapa kali lagi dan mengucapkan permintaan maaf. "Saya minta maaf, saya buru-buru. Sekali lagi maaf," ucap Yerinsa sambil menyingkirkan dari ambang lorong toilet. Sebelum laki-laki itu membalas, Yerinsa sudah ngacir lebih dulu menuju to
*** Pukul setengah dua belas Gabriella mendapat pesan dari Abrady yang mempertanyakan di mana posisinya berada. Pria 40 tahun itu juga mengatakan mereka akan segera pulang sebentar lagi, tapi ada yang harus dilakukan terlebih dulu di ballroom. Dengan pesan itu, Yerinsa artinya sudah tidak bisa lagi menahan Gabriella di sini. Dia juga harus pergi dari hotel ini sebelum ayah dan kakaknya pulang ke rumah. "Aku akan mengulur sedikit waktu agar kamu bisa kembali tanpa bersamaan dengan kami. Hati-hati," kata Gabriella sebelum mereka berpisah di persimpangan lorong hotel. Yerinsa mengangguk, mengacungkan jempol dan tersenyum lebar. Berpisah arah karena dia akan ke pintu keluar hotel, sedangkan Gabriella kembali ke ballroom tempat pesta masih berlangsung. Gabriella celingak-celinguk mencari keberadaan Abrady yang katanya masih di dalam pesta ini. Kemudian tersenyum saat menemukan sang ayah tengah mengobrol dengan beberapa pria. "Ayah," panggil Gabriella mendekat pada kumpulan pria pembis
*** Tidak terlalu peduli dipandang aneh oleh orang-orang yang melihat, Yerinsa fokus menyelamatkan diri saja, pulang ke rumah sebelum Gabriella dan Ayahnya yang sampai lebih dulu. Sejujurnya, Yerinsa merasa tidak akan kuat lagi untuk berjuang lebih dari ini. Tapi, jika tidak berusaha kembali, Yerinsa tidak akan bisa pulang selamat sampai rumah. Menit berlalu menjadi jam, Yerinsa mengulang kegiatan berlari, panjat-memanjat pagar lagi, lalu memanjat selimut dengan terengah-engah hampir menangis di tengah jalan. Jika bukan demi masa depan yang diimpikan, Yerinsa tidak akan mau melakukan hal konyol dan melelahkan ini. Gerutuan dan kalimat penyemangat bergantian memenuhi isi hatinya sepanjang perjuangan hingga sampai ke kamar. Jika di novel lain atau komik Korea yang mengisahkan betapa mudahnya perjuangan pemeran utama setelah masuk ke dalam buku cerita, maka Yerinsa kebalikannya. "Huh- ... hah ... hahh ..." Yerinsa merebahkan diri lemah di lantai balkon kamar setelah berhasil memanja