***
Sampai menutup mata di malam kebakaran itu, Teresia yakin pilihannya hanya dua, berhasil hidup karna ditemukan tim penyelamat pemadam kebakaran, atau mati dilalap api bersama reruntuhan bangunan.
Opsi tentang berpindah jiwa tidak termasuk dalam pikiran Teresia, sama sekali. Lalu, sekonyong-konyong kenyataan datang menampar, menegaskan bahwa jiwa Teresia sudah berpindah ke raga seorang gadis di dunia lain.
Vie Yerinsa De Vries, nama itu saja sangat asing bagi Teresia, tapi setelah diingat-ingat lagi kata 'De Vries' lah yang dia kenali. Kemudian, sekali lagi kepala Teresia bagai digebuk palu besar saat mengetahui nama gadis yang mengaku sebagai saudarinya.
Gabriella Erish De Vries, itu adalah nama perempuan yang seminggu ini rutin mengunjungi kamar hanya untuk memberikan makan di saat waktunya tiba, itu juga yang menjadi momok tidak nafsu makan Teresia muncul.
"Yang bener aja, masa gue masuk ke buku novel gila begini, emang dipikir jiwa gue nggak bakal tenang di alam sana, apa, kalo mati?!" Teresia menggerutu sambil berjalan bolak balik.
Hal yang membuat Teresia frustasi seminggu ini adalah kenyataan bahwa dirinya memasuki dunia sebuah novel, selalu berharap dia hanya bermimpi.
"Gue pasti lagi koma nih aslinya, terus ini cuma imajinasi otak gue yang kesasar. Mana ada orang bisa masuk ke novel, udah kayak plot cerita transmigrasi pasaran aja," misuh Teresia berasumsi.
Seminggu setelah siuman, Teresia disibukkan oleh isi pikiran sendiri yang mendadak terasa runyam tanpa titik keluar. Mencoba memikirkan kemungkinan kesimpulan paling masuk akal akan kejadian yang menimpa.
Dia, Teresia Syeilendri, hanya wanita 25 tahun yang seorang pegawai kantor swasta dengan gaji UMP Jakarta, hidup seadanya di apartemen kecil, karena merantau dari kampung, harus membagi gaji antara kebutuhan sendiri dan kebutuhan orang tua.
Medadak berpindah jiwa menjadi Vie Yerinsa De Vries, saudara perempuan Gabriella Erish De Vries. Sedangkan, Gabriella Erish De Vries adalah pemeran utama wanita dalam novel < I'M Yours >.
Usia mereka sama, yaitu sekitar 18 tahun, dan bersekolah di tempat yang sama, hanya kelas berbeda. Satu hal lagi yang menjadi pemicu frustasi Teresia adalah fakta bahwa ...
Yerinsa saudari kembar Gabriella!
Di novel bahkan tidak ada satu paragraf pun mengatakan bahwa Gabriella memiliki saudari kembar, bagaimana Teresia bisa menerima kenyataan ini dengan mudah. Teresia tidak tau apapun tentang karakter ini, selain nama dan statusnya dalam keluarga, itupun baru-baru ini.
Karakter Yerinsa hampir tidak diceritakan dalam novel, kecuali di satu paragraf yang mengatakan sosok ini bertubuh penyakitan, meninggal sebagai awal konflik novel.
Penulis bangsat.
Bisa-bisanya melewatkan kewajiban menerangkan karakter kembaran pemeran utama, walaupun tidak penting, harusnya tetap sedikit saja memberitahu pembaca bahwa Gabriella memiliki kembaran.
Teresia, yang kini sudah menjadi Yerinsa, berhenti mondar-mandir sejenak, melangkah ke arah cermin full body di kamar untuk menatap diri dari atas kepala hingga ujung kaki.
Proporsi tubuh mereka sama, wajah mirip, hanya warna rambut yang cukup mencolok sebagai pembeda, Gabriella berambut pirang, sementara Yerinsa coklat kemerahan, dan manik mata yang sama berwarna biru turunan sang ayah.
Dari kontur wajah juga kecantikan Gabriella lebih menonjol ke arah dewasa, tidak seperti Yerinsa yang justru manis dan ceria. Kulit seputih albino yang identik dengan warga negara itu, tanpa cela sedikitpun.
"Cantik banget sih, parah, gue kalo kemaren-kemaren punya muka kayak gini udah si bakal ngelamar jadi model iklan," gumam Teresia mengagumi sosok yang terpantul di cermin.
Padahal sebelum tidur malam itu, Teresia hanya bercanda ingin menyumpahi penulis novel agar merasakan penderitaan Gabriella, tapi malah dia terkena karma doa sendiri, jadi karakter tidak terlihat.
Yerinsa adalah karakter yang mungkin tidak akan pernah disadari pembaca, lebih menjengkelkan dibanding menjadi antagonis atau pemeran utama, yang jelas pengaturan karakternya.
"Ini anak gimana ceritanya pas di novel?" monolog Teresia masih pada udara kosong, sekali lagi memikirkan plot novel yang lumayan berat.
{ Gabriella menatap nanar lantai rumah, sudah habis semua orang yang dicintainya, saudaranya, ayah dan ibunya.
"Ayah, Ibu, Yerin, aku sakit. Semuanya hancur," lirih gadis itu perlahan merosot ke lantai.
Lintasan ingatan membuat fatamorgana di mata Gabriella, memunculkan visualisasi dirinya yang lebih muda dari sekarang, tampak bercanda dengan adik perempuan.
Setelah kematian sang adik, disusul pembatalan pertunangan karna calon Gabriella mengalami kecelakaan, kemudian kematian ayahnya, terakhir ibunya.
Gabriella benar-benar sendiri sekarang. }
Penulis hanya mengatakan adik perempuan, bukan saudari kembar, itu bisa membuat kesalahpahaman besar untuk pembaca seperti Teresia.
"... itu sebelum Gabriel dibawa Luga," gumam Teresia, jari jempol dan telunjuk mengapit dagu, pose berpikir kritis.
Setting di awal pembukaan novel adalah pesta pembukaan salah satu anak cabang perusahaan keluarga Luga, si pemeran utama pria, di sebuah hotel bintang lima. Keluarga Gabriella diundang menjadi salah satu tamu walaupun tidak pernah menjalin kerjasama langsung.
Malam acara itulah cinta pandangan pertama Luga bersemi pada Gabriella, awal dari semua penderitaan Gabriella di novel.
Walaupun keluarga De Vries tidak sebesar dan sekaya keluarga Luga, Roosevelt, tapi mereka cukup tersohor di kalangan dunia bisnis dan media. Oleh karena itu, saat konflik kematian beruntun datang di keluarga, Gabriella menjadi pihak yang mendapat banyak sorotan dan tekanan berbagai arah, pro dan kontra.
"Kapan pesta itu?" tanya Teresia mendadak menegakkan postur tubuh yang hampir rileks.
Berpaling dari cermin, remaja itu melangkah cepat ke arah pintu kamar, bahkan untuk kamar Yerinsa saja ukurannya sekitar 7x10 meter.
Membuka pintu kamar tergesa-gesa, Teresia- ... tidak, tapi Yerinsa, celingak-celinguk di ambang pintu kamar. suasana hening menyapa di sepanjang lorong rumah, bahkan tidak terlihat pelayan.
Saat ini Gabriella mungkin masih di sekolah, Yerinsa di rumah karena mengambil cuti sakit selama sebulan. Lalu Ayah mereka mungkin sedang di kantor sekarang, tapi Ibu ...
Ya, Ibu pasti ada di rumah karena tidak memiliki pekerjaan ke luar. Teresia tau Ibu Gabriella dan Yerinsa adalah ibu rumah tangga dan wanita sosialita, tidak mengurus kantor. Dengan langkah hampir berlari, Yerinsa menyusuri lorong rumah dengan dinding bercat coklat itu.
Interior rumah mewah itu sangat cantik dan berliku-liku, rumit layaknya bangunan Belanda tapi model modern, walaupun asing, tapi kaki Yerinsa seperti sudah hafal dengan jalur setiap belokan lorong.
"Di mana Ibu?" tanya Yerinsa mendesak saat berpapasan dengan seorang pelayan yang baru saja menaiki tangga lantai dua, membawa alat bebersih lantai.
"Eh? Nyonya? Nyonya di ruang santai," jawab pelayan itu terkejut dengan kehadiran Yerinsa tiba-tiba.
"Oke, terima kasih," ucap Yerinsa sambil berlalu turun tangga dengan cepat, hampir seperti berlari.
Pelayan itu menoleh ingin memperingatkan agar sang nona tidak berlari tergesa-gesa di tangga. "Nona, tolong jangan berlari, lantainya mungkin masih-"
"Akh!"
"NONA YERIN-!"
***
*** Belum selesai peringatan pelayan itu, Yerinsa sudah lebih dulu terpeleset di anak tangga terakhir, sukses membentur lantai dengan posisi telungkup. Teriakan si pelayan membuat penghuni rumah lain, yang sebenarnya didominasi pelayan juga, jadi berdatangan tergopoh-gopoh. "Ukh-" Yerinsa meringis tertahan, tidak tau kalau lantai yang dipijak ternyata licin karena terdapat cipratan air dari ember pel bawaan pelayan. "Astaga, Sayang-!" Nyonya besar De Vries memekik panik melihat sang anak tersungkur di lantai, mendekat bersama beberapa pelayan yang ikut khawatir. Dikarenakan tidak ada pria di antara mereka yang bisa dimintai mengangkat Yerinsa, jadi nyonya rumah sendiri yang membalikkan posisi tubuh anaknya dibantu pelayan. "Yerin, ya ampun." Margareth meringis ngilu begitu berhasil memangku Yerinsa, melihat darah mengalir di hidung sang anak. "Ambilkan kotak pertolongan pertama, cepat! Sisanya bantu aku mengangkat Yerin ke sofa," titah Margareth segera dengan tegas. "Baik!" sa
*** Setelah memastikan keadaan baik-baik saja untuk keluar dari kamar, akhirnya Yerinsa bisa bergabung untuk makan malam bersama keluarga, ini pertama kalinya. Meski masih cukup canggung dan cara makan Yerinsa sedikit kaku, tapi tidak ada yang mengkritik. Sebenarnya ini kesempatan Yerinsa juga untuk membicarakan soal undangan pesta resmi satu minggu lagi. Tapi, jawaban Margareth tadi siang membuatnya ragu untuk membujuk sang ayah, jika ibunya saja bisa menjawab tidak, maka ayahnya juga kemungkinan sama. "Yerin." Panggilan Margareth membuyarkan lamunan Yerinsa yang cukup serius, saat mengangkat pandangan baru Yerinsa sadari sedang ditatap tiga pasang mata di meja makan itu. "Ah, iya? Ibu mengatakan sesuatu? Maaf, aku sedikit melamun," ucap Yerinsa dengan senyum canggung. Margareth balas tersenyum lembut, lalu menggeleng. "Ibu berkata, setelah ini kamu langsung ke kamar saja untuk istirahat, jangan memaksakan diri berjaga," katanya mengulang kalimat yang tidak didengar remaja itu.
*** Kasurnya tidak memiliki bulu, dan tidak sehangat ini walaupun rasa nyamannya hampir sama. Tidak tau berapa lama Yerinsa sudah tertidur, dia memaksa mata untuk terbuka. Pemandangan asing masuk ke dalam indera penglihatan gadis itu, sesuatu yang putih seperti permadani bulu angsa terhampar luas di bawah. Yerinsa mengerang sebelum bangkit duduk celingak-celinguk, wajah setengah mengantuk itu keheranan. "Di mana lagi ini," monolog Yerinsa gusar. Sesaat kemudian tersentak menyadari suaranya berbeda dari beberapa hari belakangan, ini suara Teresia asli. Tergesa-gesa Yerinsa mengecek keadaan sendiri, menemukan tubuhnya kembali seperti sosok wanita dewasa, bukan remaja. Dia menjadi Teresia lagi? Tiba-tiba? "Kakak." Di tengah mengecek kondisi tubuh dan bersimpuh, Teresia mendengar suara halus datang dari arah belakang. Memutar pandangan, Teresia menemukan seorang gadis muda mendekat dengan kaki mengambang tidak menyentuh dasar. Teresia tidak bereaksi untuk beberapa saat, hanya terc
*** Bulu mata hitam yang lentik itu perlahan terbuka setelah sesaat bergetar, kelopak mata dengan garis sabit mengerjab beberapa kali sebelum kuapan keluar dari mulut yang dihalau telapak tangan. Hingga sepasang bola mata biru tampak menatap langit-langit ruangan, pemandangan ukiran di langit-langit itu sudah tidak terlalu asing lagi sejak beberapa hari belakangan di mata si gadis bergaun tidur sutera. Lampu gantung kristal di tengah langit-langit, dengan cat dinding ruangan didominasi warna putih dan sedikit biru muda. Menyingkap selimut abu-abu, gadis berambut cinnamon bergelombang itu duduk sambil mengusap wajah lembut. "Nona Yerin, Anda sudah bangun?" Setelah ketukan di pintu dari luar, suara wanita terdengar lembut bertanya dalam bahasa Belanda. "Iya." Yerinsa yang masih duduk di kasur nyaman berseprei putih menyahut singkat, tak lama pintu kamar yang hanya dia tatapi terbuka dari luar. Seorang wanita muda berpakaian khusus pelayan masuk dengan senyum ramah pada gadis muda
*** "Selamat pagi," sapa Yerinsa dengan senyum cerah begitu tiba di ruang makan. "Pagi, Sayang," balas Margareth yang sedang mengoleskan selai pada sepotong roti. "Selamat pagi," balas Abrady singkat dengan senyuman, sekilas mengalihkan perhatian dari koran pada sang anak. "Pagi, Yerin." Gabriella juga membalas sapaan dengan tak kalah cerah setelah menyesap susu di gelas. Yerinsa mendekati Abrady dan Margareth, mengecup singkat pipi kedua orangtuanya, baru menarik kursi di samping Gabriella. Satu lagi rutinitas pagi yang Yerinsa ketahui di keluarga ini, yaitu kecupan hangat untuk ayah dan ibu mereka. Margareth duduk setelah memberikan jatah roti selai ke semua penghuni meja makan. "Gabby kenapa pakai seragam sekolah?" tanya Yerinsa mengernyit melihat setelan Gabriellla beserta tas sekolah. "Tentu saja karena harus sekolah, apa lagi?" jawab dan tanya balik Gabriella, ikut berkerut dahi mendengar pertanyaan lucu itu. "Maksudku, bukankah hari ini harusnya kamu ke salon dan butik?
*** Berjam-jam berlalu dihabiskan Yerinsa dan Margareth mengantri, hingga mendapat giliran mereka. Sambil mengobrol dengan Margareth, Dokter Damberrain juga memeriksa Yerinsa yang berbaring di ranjang periksa. Sekitar pukul lima sore lebih, baru mereka mendapat hasil pemeriksaan medis Yerinsa. Beberapa saran dan obat kembali diberikan dokter pada Margareth, juga sederet wanti-wanti untuk Yerinsa menjaga pola hidup sehat. Sekarang, baru Yerinsa mengetahui penyakit apa yang diderita tubuh ini sejak dulu, penyakit yang tidak bisa disembuhkan, tapi bisa diringankan sementara dengan jenis obat tertentu. Penyakit lupus dengan jenis, Systemic lupus erthematosus (SLE). Penyakit ini biasa menyerang berbagai jaringan seperti, sendi, kulit, otak, paru-paru, ginjal, dan pembuluh darah, jika sedang kumat. Pantas saja di atas meja rias di kamar Yerinsa begitu banyak botol produk tabir surya, ternyata tidak hanya untuk wajah dan leher, tapi juga untuk seluruh badan yang kemungkinan terpapar sina
*** Sebenarnya Yerinsa sangat lelah, pantas saja Margareth mengatakan tidak akan bisa jika harus menghadiri pesta setelah mengantar Yerinsa check up, karena di rumah sakit menghabiskan waktu lama. Sampai di kamar, Yerinsa bukannya beristirahat malah sibuk melakukan hal lain dan mengabaikan rasa letih setelah sejak siang di luar rumah. Telah mempertimbangkan dampak dan konsekuensi yang akan timbul jika rencana ini dijalankan, akan Yerinsa terima itu nanti. Sambil berjalan, mengingat satu persatu hal yang harus dia lakukan setelah ini. Mulut bergumam tanpa suara, dan pikiran berfokus pada pesta malam ini. "Nona, ini Mauren. Saya mengantar susu untuk Anda." Pikiran rumit dalam kepala Yerinsa terpecah-belah oleh suara ketukan di pintu, Mauren bicara tanpa berani masuk sebelum diperintah. Kembali ke pintu, Yerinsa membuka tanpa membiarkan Mauren masuk, hanya menerima gelas susu dari perempuan itu yang memang selalu Yerinsa konsumsi sebelum tidur. "Anda butuh bantuan sesuatu, Nona?"
*** "Oke. Tunggu di sana, aku akan keluar," putus Gabriella kemudian sesaat sebelum mematikan sambungan telepon. Yerinsa tersenyum lega sambil memasukkan handphone ke dompet kembali. Mengalihkan perhatian pada sekitar yang masih banyak tamu berdatangan, padahal acara pasti sudah dimulai lama. Ngomong-ngomong, apa Luga sudah datang? Yerinsa saja tidak tau seperti apa sosok laki-laki yang dikatakan dalam novel berusia sekitar 22 tahun itu. Visualisasi dari penulis sangat kuat, menjelaskan detail dan jeli tentang karakter Luga yang intinya berpenampilan khas anak gangster, di satu sisi juga penuh kharisma. Sejauh ini, Yerinsa tidak bisa membayangkan seberapa sempurna fisik karakter itu. Seberapa kental darah Italia mengalir pada sosok Luga, karena itu tanah kelahirannya. "Yerin." Panggilan dari arah belakang membuat Yerinsa menoleh, mendapati Gabriella muncul di pintu masuk dengan langkah cepat. "Gabby," sapa Yerinsa sumringah, mendekat. Gabriella sesaat bertukar sapaan dengan pa
***"Vie, tenanglah," bisik Luga kesulitan menahan lonjakan tenaga gadis itu."Sakit! Sakiitt! Sakiitt!" Yerinsa tidak menahan jeritan untuk mengeluarkan segala keluhan yang hanya bisa diwakili satu jenis kata itu saja.Memeluk erat gadis yang menggeliat seperti cacing kepanasan, Luga tidak mengatakan apapun selain membantu menekan kepala itu ke dadanya, juga membiarkan kemeja kusut direnggut Yerinsa.Bercak kemerahan timbul di kemeja, Luga mendesis rendah merasakan luka jahitan pasti terbuka kembali karena tersikut lengan Yerinsa, membuat kain kasa ikut bernoda darah."Gerald!" teriak Luga ke arah pintu masuk.Hanya butuh satu detik untuk seorang pria masuk terburu-buru. "Saya, Tuan Muda," sahutnya."Bantu aku," kata Luga sambil mengeluarkan sebuah botol kecil dan suntikan dari saku celana.Pria bernama Gerald mendekati tempat tidur, membantu memindah isi cairan dari botol ke dalam suntikan, lalu menyerahkan kembali pada Luga, membiarkan sang tuan muda menyuntik sendiri.Tubuh Yerins
***Abrady menegang di posisi memangku Yerinsa, merasakan moncong dingin revolver menyentuh tepat di pelipis sama seperti sebelumnya dialami Luga. Selain itu, tanpa diduga sederet pria kekar bersenjata yang sebelumnya mengancam Luga, kini malah berpaling mengancam Abrady.Pertemuan mengharukan yang diimpikan akan berakhir indah nyatanya tidak semulus yang dibayangkan. Rencana diam-diam memang sudah disusun sebelum keberangkatan, membayar sejumlah penembak jitu sebagai pelindung dan bisa digunakan mengancam.Namun, siapa menyangka Luga tau satu langkah di depan Abrady."Kupikir manusia, ternyata memang serangga yang tidak memiliki akal," desis Luga dengan sorot mata kelewat dingin."Apa yang sudah kamu lakukan pada orang-orangku?" tanya Abrady geram.Seringai Luga tersungging lebar. "Sejak kapan mereka orang-orangmu?" tanyanya mengejek."AYAH!" teriak Gabriella saat situasi dua pria itu mendadak terbalik.Margareth menangis melihat sang suami berada di bawah target ancaman Luga sekaran
***"Luga!" pekik Yerinsa kencang melihat Luga ambruk di tanah dengan memegang satu kaki.Tubuh Yerinsa gemetar, menatap sang ayah yang baru saja memberikan perintah menembak. Bagaimana bisa ayahnya memerintahkan hal sekejam itu dilakukan pada Luga, bahkan tanpa pembicaraan apapun di antara mereka."Yerin, jangan ke mana-mana! Tetap di sini!" Margareth menyusul berteriak saat Yerinsa benar-benar akan turun dari kursinya."Lepaskan aku, Bu. Ayah melukai Luga," pinta Yerinsa tanpa sadar mata sudah berkaca-kaca."Dia pantas mendapatkannya, Yerin. Bahkan harusnya lebih dari itu," sentak Gabriella, menarik kasar Yerinsa agar kembali duduk.Yerinsa menoleh tercengang. "Apa maksudmu dia pantas mendapatkan itu? Kamu mendukung Ayah melakukan kejahatan?" tanyanya tidak percaya."Sayang, percayalah pada Ayahmu, dia ingin kita semua kembali, seperti dulu lagi, mengertilah," ujar Margareth lembut mengusap pipi basah Yerinsa."Tapi, tidak perlu dengan hal keterlaluan seperti ini, Bu. Jangan melukai
***Kerinduan yang terpendam selama berbulan-bulan membuncah di mata biru itu, segera pandangan Yerinsa buram akibat berkaca-kaca. Bahagia menggelegak dari lubuk hati begitu melihat sosok Gabriella, Margareth, lalu disusul Arbady turun dari helikopter dibantu beberapa orang berpakaian hitam tebal seperti jaket boomber.Mereka benar-benar di sini, melihatnya, bertatapan dengannya penuh rindu, dalam jarak yang hanya terpaut lebih dari sepuluh meter.Satu langkah pertama Yerinsa ambil saat helikopter dimatikan dan udara sekitar menjadi tenang, lupa bahwa tadi berlari bersama Luga hingga tautan tangan itu terlepas untuk menyongsong menyambut keluarga tercinta.Luga menatap tangan sendiri yang menggantung di udara, kehangatan kecil dari tangan lembut menghilang perlahan. Menatap punggung sempit bak peri yang berlari menuju gerbang kehidupan alam bebas, tangan Luga mendadak terkepal."Ibu," lirih Yerinsa dengan setetes linangan air mata jatuh di pipi, menatap sang ibu yang juga mendekat."A
***Yerinsa mengangguk sambil menerima jabat tangan itu, bangkit berdiri di atas kekuatan kaki sendiri. Aroma musk yang familiar di hidung Yerinsa sekarang tercium dari tubuh Luga bersama campuran wangi mint dari sabun mandi."Ayo turun sekarang," ajak Yerinsa saat tangan sudah digenggam erat.Baru saja akan melangkah lebih dulu memimpin jalan ke arah pintu keluar, niatnya tidak bisa terlaksana karena kaki Luga masih terpaku kuat di lantai, tidak bergeser saat ditarik."Ada apa?" tanya Yerinsa heran, menoleh menatap Luga yang masih diam."Morning kiss, kamu belum memberikannya," kata Luga dengan dahi berkerut samar."A- ... Oh," gumam Yerinsa gugup, masih ada dua pelayan selain mereka di kamar ini, jadi mendadak canggung oleh kalimat Luga yang diucapkan tanpa malu.Luga melirik Chang Mei dan Ruan Ruan yang menjadi sumber kegugupan Yerinsa. Dengan gerakan bola mata saja sudah cukup membuat mereka mengerti dan merundukkan tubuh."K-Kalau begitu kami permisi, Nona, Tuan." Chang Mei berka
***Hari yang dinanti Yerinsa selama dua hari belakangan, tidak, lebih tepatnya tujuh bulan ini, akhirnya tiba. Bangun pagi dengan semangat empat-lima bahkan sebelum Chang Mei dan Ruan Ruan membangunkan.Saat dua pelayan itu memasuki kamar, Yerinsa sudah berendam di air hangat dalam bathup. Bersenandung kecil sambil memainkan busa sabun yang menggunung di permukaan air hingga wangi semerbak memenuhi kamar mandi.Jadi, setelah Yerinsa keluar kamar mandi, Lolita dress hitam beserta seluruh aksesoris dari atas kepala hingga ujung kaki sudah disiapkan Ruan Ruan, sementara Chang Mei menunggui di depan pintu ruang ganti."Anda sangat senang, Nona," komentar Chang Mei sambil membantu mengeringkan sisa bulir air di wajah dan leher Yerinsa."Tentu, hari ini akhirnya aku dijemput keluargaku," balas Yerinsa lebih bersemangat dari hari biasanya.Dua pelayan yang membantu Yerinsa mengenakan pakaian itu saling tatap sejenak, ada sepintas keresahan di sorot mata mereka sebelum menatap Yerinsa dengan
***Untuk sementara Luga hanya diam membalas senyum itu dengan tatapan tenang, tak lama ikut tersenyum dan mengangguk sebelum menarik kepala Yerinsa untuk jatuh ke dalam pelukan."Aku tau," kata Luga singkat.Sesaat Yerinsa berkerut dahi, balasan Luga bukankah sedikit tidak nyambung?Tapi, tidak masalah, selagi laki-laki itu tidak tersinggung, Yerinsa aman.Luga menatap dinding dengan pandangan kelewat tajam seakan ingin melubangi menggunakan laser dari mata, sesaat kemudian menyeringai sinis sebelum menutup mata dan mengecup puncak kepala gadis dalam pelukan."Aku tidak khawatir dibenci siapapun," ujar Luga sambil mengurai pelukan."Ya. Ya. Tuan tidak takut apapun. Aku tau, bahkan kalau seluruh dunia membencimu, kamu tidak akan khawatir," cibir Yerinsa sambil bersandar di sofa dan mengayunkan kaki.Luga terkekeh rendah, mengusak puncak rambut gadis itu. "Kecuali kebencianmu," ujarnya.Yerinsa melirik dengan bersidekap di dada, "jangan mencoba menggoda, kamu sangat tidak cocok."Kekeh
***Lolita dress biru muda lembut dengan renda di ujung rok dan berlengan panjang, hari ini dikenakan Yerinsa. Panjang hanya mencapai lutut, dan bagian lengan berwarna putih.Jepit rambut burung bangau dari permata disematkan ke sisi telinga sebelah kiri Yerinsa, sementara sejumlah kecil rambut di sisi kanan dikepang menjuntai hingga ujung.Suara jatuhnya belenggu menghantam lantai membuat Yerinsa mendesah lega tanpa sadar, saat ini duduk di pangkuan Luga yang baru saja melepas rantai di kaki hingga terasa lebih ringan."Lebih nyaman?" tanya Luga sambil mengelus bekas kemerahan di pergelangan kaki itu yang selama dua bulan ini menyandang pengekang.Yerinsa mengangguk. "Ini jadi lebih ringan," jawabnya.Chang Mei datang dari ruang ganti membawa sepasang high heels jenis ankle straps tidak terlalu tinggi, haknya hanya sekitar lima senti berwarna biru muda senada dress, dan kaus kaki putih transparan berenda.Berlutut di kaki Yerinsa, pelayan itu memasangkan kaus kaki sebelum sepatu, den
***Siapa yang tidak akan terkejut jika mendapati jari dimasukkan ke mulut seseorang seakan itu sebuah lolipop.Luga tertawa pelan. "Sudah kubilang untuk memelukku," katanya sambil merebahkan diri kembali.Kening di antara alis Yerinsa bertaut sebal sebelum menjatuhkan diri dalam pelukan Luga, meletakkan kepala di atas dada bidang itu dan membiarkan laki-laki itu mengusap pundaknya.Kamar menjadi hening saat keduanya tidak ada yang membuka mulut untuk bicara, Luga menikmati waktu nyaman mereka, sementara Yerinsa setengah melamun.Apa yang Luga urus selama pergi dua bulan ini?"Vie," panggil Luga memecah keheningan, yang dibalas dengan gumaman samar."Kalau aku ... mempertemukanmu dengan keluargamu, apa kamu senang?" tanya Luga dengan suara rendah seakan ragu.Yerinsa mengerjab, kemudian mengangkat pandangan untuk menatap Luga yang rupanya hanya menatap lurus ke atas lampu di langit-langit."Tentu saja. Apa kamu akan melakukan itu? Kamu akan mengembalikanku? Kapan?" Pertanyaan Yerinsa