Laila menatap terlebih dahulu Arya yang masih setia menatap fokus Sharu. "Aku akan membawa Mas Arya kembali. Tapi Kak Rani jangan keluar sebelum Laila pergi lebih dahulu, ya?"Rania mengangguk. "Baik. Jangan sampai Arya menaruh curiga sama kamu."Dengan kepala mengangguk Laila beringsut pergi menuju Arya. "Mas? Maaf ya, pasti nunggu lama?" Laila menyengir kuda. Dia menepuk setelah menghampiri Arya. Arya menolehkan kepalanya. "Tidak juga kok. Lagi pula, fokus Mas sedari tadi cuman ke Sharu."Laila tersenyum kikuk, tatapannya sesekali mengarah pada Rania yang membalas tatapannya."Mas, kita pindah yu? Laila bosan di sini..." rengek Laila bergelayut manja pada sang empu. Membuat Arya tersenyum geli melihatnya. "Maunya ke mana?""Ke mana aja. Asal enggak di sini doang. Laila bosan.""Liatin aja Mas. Gak bakal bosan, tau!" Arya terkekeh membuat Laila mendengkus. "Mas udah manis, Laila takut diabetes!"Arya kembali terkekeh. "Cium dulu, boleh?" Tanpa merasa malu Arya sedikit mencondong
"Mas, katakan? Mas sebenarnya udah ingat, kan?" Pertanyaan berulang dari Laila membuat Arya membuka suara. "Kalaupun iya, kenapa?" tanya Arya tersenyum. "Laila ingin yang pasti, Mas! Kamu udah ingat, kan?""Heum, anggap saja begitu," jawab Arya dengan memalingkan wajahnya. Laila berdecak kesal. "Mas? Laila beneran nanya ih!""Emang Mas bohong? Kan kamu bertanya, ya Mas jawab gitu."Laila menggeleng, "Bukan gitu juga responnya Mas!""Terus gimana? Apa Mas harus terkejut? Atau mungkin jungkir balik? Gendong kamu? Atau harus berekspresi gimana sih?"Laila membuang nafas kasar. Ucapan Arya malah nampak tengah mempermainkannya. Padahal ia ingin tahu. Karena selama ini perasaannya selalu punya firasat bahwa Arya sebenarnya sudah ingat. "Laila beneran serius Mas... kamu udah ingat, kan?" Kini Laila bertanya tanpa emosi, membuat Arya lagi-lagi hanya menghela nafas pelan."Anggap saja begitu Laila...""Jawaban kamu selalu enggak meyakinkan, Mas."Arya bungkam. Tidak mengerti juga apa yang
Laila tersenyum samar saat ia melihat wajah tenang Arya yang sudah terpejam tidur. Matanya nampak begitu tenang nan kalem, membuat satu kecupan hinggap menyentuh kening Arya. "Maaf..." Lirih, ucap Laila amat lirih. Berusaha mungkin Laila tahan agar air matanya tidak jatuh, namun semua sia-sia. Tangis itu kembali luruh saat tersadar kembali akan kesalahan dirinya. Memikirkan bagaimana jika Arya tahu? Apa Arya akan membencinya? Kecewa? Atau mungkin pria itu tidak akan memaafkan dirinya? Tapi, ia istrinya kan? Suaminya sangat mencintainya kan? Suaminya ini akan memaafkannya kan? Walau belum pasti akan ingatan Arya yang memang sudah pulih atau belum. Laila yakin pasti Arya akan memaafkannya. Ya! Ia yakin, suaminya ini pasti akan memaafkannya. Laila tersenyum tipis, mengusap pipinya yang basah. "Sayang..."Suara parau Arya terdengar, membuat Laila refleks semakin mengusap pipinya. "Iya Mas?""Pengen peluk kamu."Laila terkekeh. Segera menyingkap selimut dan menelusuk masuk diantara ce
Masih tidak menyangka akan sosok di sampingnya ini. Arya ... dia sebenarnya Bara yang berpura-pura hilang ingatan? Yang sedari awal hingga saat ini dia itu memang Bara? Baranya Laila... Laila tersenyum samar saat bangun tidur langsung disuguhi pemandangan indah di sampingnya. Kerutan yang nampak semakin penuh kharisma itu membuat Laila ingin berlama-lama memandangnya seperti ini. Apalagi melihat bibir tipis Bara yang elok amat seksi di mata Laila. Yang mana ingin sekali ia cicipi berkali-kali. Hidung mancung sang empu membuat Laila tertawa, membayangkan bagaimana jika ia berubah menjadi sangat kecil dan berseluncur main di hidung mancung tersebut? Pasti seru. Haha. Laila terkikik kecil, menyentuh kening Bara dengan jari telunjuknya dan berseluncur ke bawah, dari mulai kening, hidung dan berhenti di bibir pria itu. "Nambah tua bukannya nambah kerutan, ini malah nambah ganteng." Tawa renyah Laila terdengar merdu, namun tidak untuk Bara yang masih setia memejamkan matanya. Mencium l
"Laila sayang...? Kamu di mana?" Bara berseru mencari Laila. Ada sebuah kejutan yang harus ia berikan pada dia. Ah, hingga ia melupakan satu hal. Bahwa seminggu ini sudah terlewat, yang mana Sharu akan dikembalikan pada sang Ibu--Rania. Sebenarnya Bara tidak pernah mau memberikan Sharu kepada orang lain termasuk Ibunya sendiri, karena jelas Bara sudah sangat-sangat mencintai Sharu sebagai putri angkatnya. Tidak ada yang bisa menggantikan cinta seorang Ayah untuk sang putri sekalipun hanya Ayah angkat, karena memang dialah yang membesarkan Sharu dari sejak dia masih bayi. Dirinyalah yang berjuang dan berkorban. Maka untuk itu sebisa mungkin Bara akan melakukan hal agar Sharu ada ditangannya, termasuk jika harus melawan hukum sekalipun. Ya! Sebisa mungkin Bara akan membawa Sharu ke dalam kasus hukum, yang mana ia akan memberitahukan bagaimana sosok seorang Ibu tega membuang anaknya sendiri! Dan malah ingin mengambilnya saat ia sudah beranjak dewasa. "Laila?" Sedari tadi Bara berser
"Rindu Sharu, La... kamu rindu enggak?" tanya Bara dengan mode manja. Kini keduanya tengah nonton tv dengan Bara yang mengdungselkan kepalanya diantara perut Laila. Kepalanya terbaring di pangkuan Laila. Sedang Laila mengusap pelan surai rambut Bara. Dia hanya terdiam, enggan menjawab pertanyaan Bara. Bukan enggan hanya saja ia sudah bosan karena sejak kepulangan Sharu kemarin pria itu terus-menerus memelas ingin Sharu. Membuat Laila jengkel sendiri. "La? Sharu bilang mau hidup sama kita kan?" tanya Bara kembali. "Kapan kita akan membawa masalah ini ke pihak hukum? Aku enggak mau Sharu nanti malah ingin hidup dengan Rania! Kalau nanti Sharu sayang Rania? Gimana?""Ya udah kalau dia sayang sama Rania. Dia ibunya, kan?" jawab Laila malas. Mode ketusnya keluar karena bosan mendengar ocehan Sharu. Sharu, Sharu, Sharu! Apa Bara pernah sekali saja berpikir akan masalah istrinya sendiri? Yang mana sedang di ujung tanduk? Bara mana tau kalau jabatan istrinya sebagai seorang pengacara se
"Syam? Bukankah dia...?" Mata Laila melotot terkejut saat ia melihatnya juga. Wajah Ibu Sharu yang ternyata ia kenali. Sangat. Rania melirikkan ekor matanya. "Kau pun? Mengetahuinya Laila?" tanya Rania dengan kening terlipat. Sangat kentara akan penuh keheranan. Laila mengangguk, "Dia Bu Rahayu Ningsih yang pernah aku dan Asyam temui semasa tugas kami. Ya, maksudnya, kami ditugaskan oleh dosen kami untuk mencari asal-muasal tentang Bu Rahayu. Dan memang..." Laila menggantung ucapannya. Terasa ada yang mengganjal saat mengingat kembali masa itu. "Jadi? Sharu itu anak yang sering Bu Rahayu bicarakan Syam?" tanya Laila terkejut. Dia menatap Asyam yang balas menatapnya. Asyam bergeming kemudian mengangguk membenarkan. "Iya. Dan memang kita enggak sadar itu."Laila benar-benar terkejut, tidak percaya bahwa ternyata orang-orang terdekatnya justru saling terhubung tanpa sadar. Rahayu Ningsih, seorang wanita berumur 40 tahun lebih yang memiliki hati selembut kapas. Dia tinggal di sebuah
"Sayang? Lho, sudah pulang ternyata." Bara, pria itu tersenyum lebar melihat sang istri sudah pulang."Non Laila? Mari ke sini. Non mau ikutan?" seru Mbok Eka yang ternyata tengah bersama Bara.Laila tersenyum tipis, ia menghampiri keduanya."Kalian lagi ngapain?" tanya Laila sembari duduk di sebelah Bara.Bara menoleh, matanya mendengkus kala kursi yang Laila duduki berjauhan dengannya. "Sayang, deketin ih! Sini, di samping Mas lebih dekat."Laila terkekeh, dengan segera menggeser kursi tersebut agar lebih dekat dengan Bara."Kami itu lagi bermain permainan stacko uno. Kamu tahu kan?" tanya Bara membuat Laila menoleh."Ohhh, yang enggak boleh jatuh kan?"Bara tertawa pun dengan Mbok Eka."Coba ambil satu, tapi Laila enggak boleh sampai jatuh!" ucap Bara membuat Laila menggeleng."Engga! Laila engga bisa bermain itu Mas! Nanti pas Laila ambil satu, malah semuanya yang jatuh." Laila menggeleng saat menatap benda yang nampak seperti bangunan itu sudah hampir mau jatuh. Permainan yang je