"Yeayyy, kita pergi ke danau..." seru Sharu dengan antusias.Setelah mendapatkan izin untuk Laila cuti hari ini, mereka bertiga bermain menuju danau yang sempat Sharu inginkan. "Sharu, jangan lari-lari, sayang?!""Mas! Lihat ih Sharu lari-lari, bukannya hentiin dia.""Udahlah sayang... dia itu udah besar. Yang harus dijaga itu, ya kamu."Laila melotot. Terkejut pula. "Gak kebalik?"Arya terkekeh. "Enggak." Dengan posesif pria itu menarik pinggang Laila agar tetap berada di sampingnya. "Tapi kan...""Mau jatuh ke danau ini?" Pertanyaan Arya sontak membuat Laila menggeleng cepat. "Gak mau! Nanti Laila drop lagi.""Ya, makannya tetep di sini, di samping Mas."Laila tersenyum, membalas pelukan dengan melingkarkan tangannya di pinggang Arya. Kini danau itu tidak seperti dulu. Jika dulu nampak sepi sekarang banyak pengunjung yang bermain di pinggir danau ini. Jika dulu yang naik perahu hanya satu, dua. Sekarang sepuluh bahkan lima belas perahu terapung memenuhi danau ini. Bahkan Sharu
Laila menatap terlebih dahulu Arya yang masih setia menatap fokus Sharu. "Aku akan membawa Mas Arya kembali. Tapi Kak Rani jangan keluar sebelum Laila pergi lebih dahulu, ya?"Rania mengangguk. "Baik. Jangan sampai Arya menaruh curiga sama kamu."Dengan kepala mengangguk Laila beringsut pergi menuju Arya. "Mas? Maaf ya, pasti nunggu lama?" Laila menyengir kuda. Dia menepuk setelah menghampiri Arya. Arya menolehkan kepalanya. "Tidak juga kok. Lagi pula, fokus Mas sedari tadi cuman ke Sharu."Laila tersenyum kikuk, tatapannya sesekali mengarah pada Rania yang membalas tatapannya."Mas, kita pindah yu? Laila bosan di sini..." rengek Laila bergelayut manja pada sang empu. Membuat Arya tersenyum geli melihatnya. "Maunya ke mana?""Ke mana aja. Asal enggak di sini doang. Laila bosan.""Liatin aja Mas. Gak bakal bosan, tau!" Arya terkekeh membuat Laila mendengkus. "Mas udah manis, Laila takut diabetes!"Arya kembali terkekeh. "Cium dulu, boleh?" Tanpa merasa malu Arya sedikit mencondong
"Mas, katakan? Mas sebenarnya udah ingat, kan?" Pertanyaan berulang dari Laila membuat Arya membuka suara. "Kalaupun iya, kenapa?" tanya Arya tersenyum. "Laila ingin yang pasti, Mas! Kamu udah ingat, kan?""Heum, anggap saja begitu," jawab Arya dengan memalingkan wajahnya. Laila berdecak kesal. "Mas? Laila beneran nanya ih!""Emang Mas bohong? Kan kamu bertanya, ya Mas jawab gitu."Laila menggeleng, "Bukan gitu juga responnya Mas!""Terus gimana? Apa Mas harus terkejut? Atau mungkin jungkir balik? Gendong kamu? Atau harus berekspresi gimana sih?"Laila membuang nafas kasar. Ucapan Arya malah nampak tengah mempermainkannya. Padahal ia ingin tahu. Karena selama ini perasaannya selalu punya firasat bahwa Arya sebenarnya sudah ingat. "Laila beneran serius Mas... kamu udah ingat, kan?" Kini Laila bertanya tanpa emosi, membuat Arya lagi-lagi hanya menghela nafas pelan."Anggap saja begitu Laila...""Jawaban kamu selalu enggak meyakinkan, Mas."Arya bungkam. Tidak mengerti juga apa yang
Laila tersenyum samar saat ia melihat wajah tenang Arya yang sudah terpejam tidur. Matanya nampak begitu tenang nan kalem, membuat satu kecupan hinggap menyentuh kening Arya. "Maaf..." Lirih, ucap Laila amat lirih. Berusaha mungkin Laila tahan agar air matanya tidak jatuh, namun semua sia-sia. Tangis itu kembali luruh saat tersadar kembali akan kesalahan dirinya. Memikirkan bagaimana jika Arya tahu? Apa Arya akan membencinya? Kecewa? Atau mungkin pria itu tidak akan memaafkan dirinya? Tapi, ia istrinya kan? Suaminya sangat mencintainya kan? Suaminya ini akan memaafkannya kan? Walau belum pasti akan ingatan Arya yang memang sudah pulih atau belum. Laila yakin pasti Arya akan memaafkannya. Ya! Ia yakin, suaminya ini pasti akan memaafkannya. Laila tersenyum tipis, mengusap pipinya yang basah. "Sayang..."Suara parau Arya terdengar, membuat Laila refleks semakin mengusap pipinya. "Iya Mas?""Pengen peluk kamu."Laila terkekeh. Segera menyingkap selimut dan menelusuk masuk diantara ce
Masih tidak menyangka akan sosok di sampingnya ini. Arya ... dia sebenarnya Bara yang berpura-pura hilang ingatan? Yang sedari awal hingga saat ini dia itu memang Bara? Baranya Laila... Laila tersenyum samar saat bangun tidur langsung disuguhi pemandangan indah di sampingnya. Kerutan yang nampak semakin penuh kharisma itu membuat Laila ingin berlama-lama memandangnya seperti ini. Apalagi melihat bibir tipis Bara yang elok amat seksi di mata Laila. Yang mana ingin sekali ia cicipi berkali-kali. Hidung mancung sang empu membuat Laila tertawa, membayangkan bagaimana jika ia berubah menjadi sangat kecil dan berseluncur main di hidung mancung tersebut? Pasti seru. Haha. Laila terkikik kecil, menyentuh kening Bara dengan jari telunjuknya dan berseluncur ke bawah, dari mulai kening, hidung dan berhenti di bibir pria itu. "Nambah tua bukannya nambah kerutan, ini malah nambah ganteng." Tawa renyah Laila terdengar merdu, namun tidak untuk Bara yang masih setia memejamkan matanya. Mencium l
"Laila sayang...? Kamu di mana?" Bara berseru mencari Laila. Ada sebuah kejutan yang harus ia berikan pada dia. Ah, hingga ia melupakan satu hal. Bahwa seminggu ini sudah terlewat, yang mana Sharu akan dikembalikan pada sang Ibu--Rania. Sebenarnya Bara tidak pernah mau memberikan Sharu kepada orang lain termasuk Ibunya sendiri, karena jelas Bara sudah sangat-sangat mencintai Sharu sebagai putri angkatnya. Tidak ada yang bisa menggantikan cinta seorang Ayah untuk sang putri sekalipun hanya Ayah angkat, karena memang dialah yang membesarkan Sharu dari sejak dia masih bayi. Dirinyalah yang berjuang dan berkorban. Maka untuk itu sebisa mungkin Bara akan melakukan hal agar Sharu ada ditangannya, termasuk jika harus melawan hukum sekalipun. Ya! Sebisa mungkin Bara akan membawa Sharu ke dalam kasus hukum, yang mana ia akan memberitahukan bagaimana sosok seorang Ibu tega membuang anaknya sendiri! Dan malah ingin mengambilnya saat ia sudah beranjak dewasa. "Laila?" Sedari tadi Bara berser
"Rindu Sharu, La... kamu rindu enggak?" tanya Bara dengan mode manja. Kini keduanya tengah nonton tv dengan Bara yang mengdungselkan kepalanya diantara perut Laila. Kepalanya terbaring di pangkuan Laila. Sedang Laila mengusap pelan surai rambut Bara. Dia hanya terdiam, enggan menjawab pertanyaan Bara. Bukan enggan hanya saja ia sudah bosan karena sejak kepulangan Sharu kemarin pria itu terus-menerus memelas ingin Sharu. Membuat Laila jengkel sendiri. "La? Sharu bilang mau hidup sama kita kan?" tanya Bara kembali. "Kapan kita akan membawa masalah ini ke pihak hukum? Aku enggak mau Sharu nanti malah ingin hidup dengan Rania! Kalau nanti Sharu sayang Rania? Gimana?""Ya udah kalau dia sayang sama Rania. Dia ibunya, kan?" jawab Laila malas. Mode ketusnya keluar karena bosan mendengar ocehan Sharu. Sharu, Sharu, Sharu! Apa Bara pernah sekali saja berpikir akan masalah istrinya sendiri? Yang mana sedang di ujung tanduk? Bara mana tau kalau jabatan istrinya sebagai seorang pengacara se
"Syam? Bukankah dia...?" Mata Laila melotot terkejut saat ia melihatnya juga. Wajah Ibu Sharu yang ternyata ia kenali. Sangat. Rania melirikkan ekor matanya. "Kau pun? Mengetahuinya Laila?" tanya Rania dengan kening terlipat. Sangat kentara akan penuh keheranan. Laila mengangguk, "Dia Bu Rahayu Ningsih yang pernah aku dan Asyam temui semasa tugas kami. Ya, maksudnya, kami ditugaskan oleh dosen kami untuk mencari asal-muasal tentang Bu Rahayu. Dan memang..." Laila menggantung ucapannya. Terasa ada yang mengganjal saat mengingat kembali masa itu. "Jadi? Sharu itu anak yang sering Bu Rahayu bicarakan Syam?" tanya Laila terkejut. Dia menatap Asyam yang balas menatapnya. Asyam bergeming kemudian mengangguk membenarkan. "Iya. Dan memang kita enggak sadar itu."Laila benar-benar terkejut, tidak percaya bahwa ternyata orang-orang terdekatnya justru saling terhubung tanpa sadar. Rahayu Ningsih, seorang wanita berumur 40 tahun lebih yang memiliki hati selembut kapas. Dia tinggal di sebuah
"Bunda? Di dalam pelut Bunda ini, nanti bakal ada belapa bayi?" tanya anak kecil berumur 3 tahun. Dia Albyshaka Ghibran Arseno, anak pertama Bara dan Laila. Setelah proses yang sempat tertunda akibat kecelakaan dahulu membuat Laila bisa kembali hamil. "Eum, berapa ya ...?" Laila nampak berpikir, jari telunjuknya tersimpan di dagu. "Emangnya kakak maunya berapa?" tanya Laila. Bukannya menjawab Laila malah balik bertanya. "Alby maunya sih satu. Laki-laki lagi! Kalau pelempuan Alby gak mau, pelempuan itu banyak maunya Bunda, telus celewet lagi! Shaka gak mau!" Laila tertawa atas keinginan Alby yang terlewat jujur. "Tapi kalau nanti adik kamu perempuan, gimana? Semuanya kan, sudah kehendak Allah," ucap Laila. "Kehendak itu apa Bunda?" tanya Alby mengerutkan keningnya. Laila yang tengah duduk di kursi taman itu membuat Alby ikut duduk di samping sang Bunda. "Kehendak itu sebuah keinginan, kemauan atau juga bisa harapan. Suatu hal yang tidak bisa kita paksakan kecuali dengan mengikut
Suara tangis bayi menggema di udara, membuat Laila yang tengah membereskan beberapa pakaian harus terhenti. Ah, anaknya sudah bangun ternyata. Dengan segera Laila menuju ranjang, hendak mengambil anaknya namun gerakannya terhenti kala melihat Bara yang tengah tertidur pulas. "Astaghfirullah, di mana bayinya?" Suara tangis itu ada, hanya saja kenapa anaknya tidak terlihat. Namun sedetik kemudian Laila melotot terkejut kala selimut besar malah membungkus bayi tersebut. "Astaghfirullah, anak Bunda ... " Dengan segera Laila menyibak kasar selimut hingga selimut itu menutupi muka Bara yang asik tidur. "Cup, cup, cup. Anak Bunda ternyata udah bangun, iya? Eumm, manisnya ..." ujar Laila yang kini Alby dalam gendongannya. Anak Laila yang bernama Albyshaka itu terhenti dari tangisnya. Dia tersenyum ceria kala sang Bunda terus berceloteh sembari menggoyang-goyangkan badannya ke sana ke mari. Kini usia Alby sudah menginjak 9 bulan, yang mana sudah bisa berceloteh bahasa planet. Terbukti de
"La, Mas mohon ... bertahanlah ..." Tangis Bara kian luruh. Tubuhnya gemetar dengan tatapan mata yang mengarah pada lampu bewarna merah, di mana sang istri berada. "Bara?" Sebuah seruan di belakang sana membuat Bara membalikkan badan hingga melihat Vano berlari ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Vano cemas. Dia berdiri di hadapan Bara, dan bukannya menjawab pertanyaan sang Ayah, Bara dengan segera memeluk tubuh Vano. "Ayah, Bara takut .. Laila---""Kita doakan keselamatan untuk Laila. Insya Allah dia pasti akan baik-baik saja," ucap Vano berusaha menenangkan sang anak. Walau nyatanya dia juga ikut merasakan takut. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut itu kian bertambah kala pintu di mana Laila berada terbuka. Membuat Bara dan Vano langsung menatap sang Dokter yang baru keluar. "Dok--?""Siapa wali dari pasien ini?""Saya, saya suaminya Dok? A--ada apa?" tanya Bara berusaha mungkin untuk tenang. Walau faktanya tidak. "Pasien mengalami pendarahan yang cukup fatal. Menja
Dalam remang-remang Laila membuka mata pelan. Masih dalam proses kesadaran, Laila menatap ruangan serba putih itu. Bukan rumah sakit atau ruangan lainnya. Melainkan warna putih yang tidak berbentuk apa-apa. Laila masih dalam keterdiaman, masih merasakan kenyamanan yang baru kali ini ia rasakan. Sebuah kenyamanan yang terasa sejuk nan menentramkan. Sampai saat sebuah suara terdengar membuat lamunan Laila terbuyarkan. "Hah!" Laila beranjak duduk. Nafasnya sedikit memburu. Yang kemudian matanya melirik di sekitar ruangan tersebut. Putih, hanya putih yang Laila tangkap di dalam ruangan ini. "Putri Abi ..."Sebuah seruan membuat Laila kembali menoleh yang mana membuat Laila terbelalak. "Abi?!" pekik Laila dengan segera berlari. Berlari menuju Abinya yang tengah tertawa. Detik berikutnya Laila memeluk Rahman yang sudah lama ini tidak Laila peluk. Ya, setelah 5 tahun lamanya atas kepergian sang Ayah membuat Laila merindukan sosoknya. "Abi, ternyata Abi ada di sini juga? Ya Allah, Laila
Makin besar perut Laila makin besar pula harapan yang selalu Laila nantikan. Ya, akan kelahiran bayi ini yang mungkin sebulan lagi. Kini Laila tengah duduk bersantai di depan TV. Semakin hari dirinya hanya berdiam diri di tempat. Jik tidak paling hanya membereskan rumah dengan menyapu lantai, membantu Mbok Eka. Tidak banyak, namun cukup membuat keringat Laila bercucuran. Kata Uminya hal seperti ini baik untuk Ibu hamil. Karena dengan begitu akan memperlancar dalam melahirkan. Dan tentu, setiap pagi Laila selalu jalan pagi bersama Bara. Hal itu pun katanya memudahkan dalam lahiran.Rumah kini sepi. Bara yang tengah bekerja, Mbok Eka yang pergi berbelanja, dan Pak Imron yang katanya istrinya tengah sakit. Menjadikan dia harus pulang untuk menjenguk. "Ya Allah bosan ..," keluh Laila. Menjadi Ibu hamil terasa serba salah. Duduk begini pegal, duduk begitu sakit, mau duduk seperti apapun rasanya benar-benar tidak nyaman. Derrrtt DerrtttSuara dering ponsel terdengar membuat atensi Laila
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tidak terasa, usia kandungan Laila sudah naik 8 bulan. Pemeriksaan rutin mingguan sering dilakukan, demi sang bayi yang ingin sehat, apapun akan Bara dan Laila lakukan."Assalamu'alaikum?" Bara baru masuk ke dalam. Laila yang tengah makan buah apel di atas karpet langsung menjawab panggilan sang suami. "Wa'alaikumussalam," jawabnya. Bara tersenyum kala melihat sang istri tengah lesehan di atas karpet. Dengan segera dia ikut lesehan di atas karpet dengan menjatuhkan kepalanya di atas kaki Laila yang diselonjorkan. Sebelum itu Laila mencium punggung tangan Bara yang habis pulang kerja. "Enggak biasanya pulang siang, Mas?" tanya Laila masih sibuk mengupas apel. Sedang Bara sudah mencium perut Laila yang sudah membesar itu."Mas rindu kamu, emang enggak boleh?"Laila terkekeh, "boleh dong sayang, apa sih yang enggak boleh buat kamu? Kamu ngidam aneh aja Laila lakuin!" sindirnya dengan sehalus mungkin. Namun, sang empu malah tertawa mendeng
"Eugh ..." Laila melenguh dalam tidurnya. Matanya merem-melek dengan gerakan pelan. Hingga, kala mata itu terbuka sebuah senyuman terbit di bibir Laila. Wajah suaminya. Ya, di depannya Bara masih tertidur pulas dengan dengkuran yang amat halus. Refleks Laila semakin memeluk Bara dari depan. Mengingat kejadian malam itu membuat Laila merasa lega. Sangat. Walau terasa sakit tapi, dia juga menikmatinya. Pelan, Bara ikut membuka mata. Menarik Laila agar lebih dekat dengannya. Dikecupnya kening Laila dengan begitu lembut. Yang kemudian mengusap lembut rambut sang istri. "Terima kasih ya sayang?" ucap Bara dengan terus menerus mencium kening Laila. Tubuh yang masih polos itu saling melekat hangat. Laila tersenyum. "Makasih juga Mas. Akhirnya, akhirnya Mas Bara nebang Laila," ucapnya parau. Namun, dengan tiba-tiba Bara menarik Laila yang malah sudah menangis. "Hey? Sayang, kenapa nangis?" Dengan sigap Bara menghapus air mata Laila yang jatuh menetes. "Udah, jangan nangis. Harusnya kita
Laila menghela nafas pelan. Dia duduk di tepi ranjang dengan jantung yang deg-deg an. Bagaimana tidak deg-degan, selepas makan Bara berlalu pergi tanpa mengatakan apapun. Entah ke mana, yang pasti Bara pergi setelah makan itu selesai.Dan sekarang Laila harus menunggu sang suami pulang. Apalagi teringat akan Bara yang sudah menginginkan dirinya malam ini. Hal yang jelas membuat Laila deg-degan. Berpikir bahwa haruskah malam ini keduanya melakukan hubungan suami-istri? Apakah malam ini keduanya akan memadu kasih? Tiba-tiba pipi Laila memanas. Memikirkannya saja sudah membuatnya panas-dingin. Tapi, jikapun tidak ... bukankah selama ini inilah yang ia harapkan? Memadu kasih hingga terciptanya sang buah hati? Bukankah ini yang Laila harapkan setelah bertahun-tahun lamanya? Masa dirinya masih belum siap? Tidak! Laila menggeleng. Malam ini harus menjadi malam paling indah untuk keduanya. Terutama untuk Bara, suaminya! Laila beranjak berdiri. Beringusut menuju lemari yang sebelumnya dia
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya ..." Mata Laila berbinar indah kala menatap pemandangan yang belum pernah ia lihat. Di mana ia dan sang suami sudah berada di Turki. Perjalanan dari Indonesia ke Turki membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Yang mana waktu antara Indonesia-Turki jauh berbeda. Yang mana mereka turun dari Bandara Turki tepat pukul 21.00. Perbedaan waktu yang cukup jauh bukan? Yah, jika di Indonesia mungkin hari ini jam satu pagi, tapi karena ini di Turki membuat jalanan kota ini masih nampak sangat ramai. Tidak hanya ramai, tapi ramai sekali. Bara tersenyum, raut kebinaran dari matanya pun tidak bisa terelakkan. Dia begitu takjub melihat negara yang baru kali ini ia lihat. "Biar Mas yang bawakan barangnya," ucap Bara sembari mengambil alih koper yang Laila pegang. "Gpp, Mas. Biar Laila aja.""Udah, kamu lebih baik diam aja. Bias Mas! "Baiklah."Bara mengambil barang-barang bawaan. Melihat sebuah taksi membuat keduanya langsung masuk dan melaju ke Hotel Aydinli. Katanya,