“Suri, saya harus jujur padamu. Berdasarkan hasil pemeriksaan, kamu memiliki tumor di dalam hidungmu. Tumor ini cukup berbahaya, dan harus segera diangkat melalui pembedahan,” ucap Dokter Adrian setelah Suri duduk di hadapannya.
“Jika dibiarkan terlalu lama, tumor ini dapat berubah menjadi ganas dan bisa mengancam nyawamu.”
Deg!
Suri merasa napasnya tercekat.
Selama ini ia sudah terbiasa dengan penderitaan fisik dan emosional, tetapi kabar ini membuat semua masalah lain tampak kecil.
“Kita perlu segera menjadwalkan operasi, Suri,” kata dokter Adrian. “Apakah kamu perlu membicarakan ini dengan suamimu?”
Mendengar pertanyaan itu, Suri merasa hatinya semakin berat.
Apa Romeo peduli? Selama ini, dalam rumah tangganya ia berdiri sendirian. Keberadaan Romeo di sisinya lebih seperti bayangan daripada kenyataan. Terlebih, Diva sudah kembali.
Tidak ada tempat untuknya.
“Tidak, Dok. Saya tidak perlu izin dari siapapun,” jawab Suri berusaha tegar.
Dokter Adrian memandang Suri dengan tatapan heran. “Apakah kamu yakin? Ini keputusan besar, dan kamu tidak perlu menanggungnya sendirian.”
“Saya yakin, Dok. Saya akan menjalani operasi itu.”
Dokter Adrian tampak terkesan dengan keberanian yang ditunjukkan Suri. “Baiklah. Saya akan menjadwalkan operasi dalam dua hari ke depan. Saya akan memastikan kamu mendapatkan perawatan terbaik.”
Suri mengangguk pelan sebelum meninggalkan ruangan itu.
Dua hari lagi.
Dalam dua hari, hidupnya bisa berubah—atau mungkin akan berakhir.
Dalam perjalanan pulang, Suri duduk terdiam di kursi belakang taksi.
Jalanan terasa panjang dan sepi, persis seperti hidupnya sekarang.
Tangis yang dia tahan, akhirnya luruh juga.
Mengapa hidupnya menjadi seperti ini?
Pikirannya dipenuhi kecemasan tentang tumor di hidungnya yang harus segera dioperasi sembari memandang keluar jendela.
Mencari jawaban atas semua pertanyaan yang terus bergema di kepalanya.
Drrrt!
Tiba-tiba, ponselnya bergetar, menandakan ada pesan masuk. Suri lantas mengerutkan kening melihat pesan dari pengirim yang nomornya tak dikenal.
Hanya saja, rasa penasaran membuatnya membuka pesan yang ternyata membuat matanya terbelalak.
Di layar terpampang foto-foto Romeo yang tertidur di samping Diva, di atas ranjang yang tidak ia kenali—mungkin di apartemen wanita itu?
Romeo tertidur lelap, sementara Diva terlihat mengenakan baju tidur yang tipis dan nyaris terbuka.
Sungguh, pemandangan itu seperti mimpi buruk yang tak bisa ia hindari.
Hatinya bahkan seperti dihantam palu berkali-kali. Bahkan, air mata mengalir lebih deras dari mata Suri.
Lelucon macam apa ini?
Saat ia sedang menghadapi ancaman tumor dan harus segera menjalani operasi, suaminya justru asyik meniduri wanita lain?
‘Sudah cukup. Aku harus berhenti berharap pada sesuatu yang tidak akan pernah jadi milikku,’ gumam Suri sembari menyeka air matanya.
Setelah perjalanan yang terasa panjang, akhirnya taksi berhenti di depan mansion. Suri menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum melangkahkan kakinya. Namun, begitu ia masuk, suasana di dalam mansion berubah mencekam.
"Kenapa tidak ada kudapan untuk tea time kami? Apa kamu lupa tugasmu di keluarga ini? Keluyuran tidak jelas dan meninggalkan tanggung jawab!" bentak sang mertua tanpa basa-basi.
Aira, yang selalu siap mendukung ibunya, ikut menimpali. "Kamu memang istri yang tidak berguna. Mengurus itu saja, tidak becus.”
Rasa dingin seketika menjalari tulang punggung Suri.
Setelah menerima kabar buruk tentang kesehatannya, ia tak mampu lagi menahan kemarahan yang selama ini terpendam.
Padahal, mereka jelas tahu dirinya izin pergi ke rumah sakit!
"Dengar," kata Suri dengan nada suara yang lebih tegas dari biasanya. "Mulai sekarang, aku tidakakan memasak untuk kalian. Kalian bisa menyuruh pelayan, atau buat sendiri."
Seketika suasana di ruang tamu hening.
Mertua dan adik iparnya itu terkejut dengan keberanian Suri.
Biasanya, wanita ini akan menunduk, meminta maaf, dan patuh pada semua permintaan mereka. Mengapa sekarang Suri berani membangkang perintah mereka?
"Apa?" Ibu mertuanya membelalak marah. "Beraninya kamu bicara seperti itu padaku!"
Tanpa menunggu jawaban, Suri berbalik dan melangkah menuju ke kamarnya. Namun, Aira berdiri menghadangnya dengan wajah memerah."Kamu pikir kamu siapa, hah? Minta maaf sekarang pada Mama, atau kamu akan ditendang keluar dari sini oleh Kak Romeo!"
Suri menatap iparnya itu dengan tenang. "Aku tidak merasa bersalah. Kalian yang selama ini membentak dan merendahkanku, seharusnya kalian yang minta maaf. Dan kamu tidak perlu khawatir, Aira, aku akan segera meninggalkan mansion ini dengan senang hati.”
Aira, yang tak pernah mendengar Suri berbicara seperti itu, kehilangan kendali. Ia mengangkat tangannya, hendak melayangkan tamparan keras ke wajah adik iparnya itu. Namun, Suri menangkap tangan Aira di udara, menahan pukulan yang akan menghantam pipinya.
"Jangan pernah lakukan itu lagi, atau aku akan menuntutmu atas tindakan penganiayaan," kata Suri dengan suara rendah, tetapi penuh ancaman.
Aira tercengang, tak bisa berkata apa-apa.
Di sisi lain, sang mertua yang melihat kejadian itu pun tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ada perubahan besar dalam diri menantunya yang cacat itu. Suri biasanya lemah dan patuh, tapi kini menunjukkan perlawanan.
Tak peduli dengan reaksi mereka, Suri menghempaskan tangan Aira, lalu melangkah ke kamarnya tanpa menoleh. Begitu pintu kamar tertutup di belakangnya, air mata Suri kembali mengalir. Kali ini, bukan karena kesedihan, melainkan karena ia berhasil memperjuangkan keadilan untuk dirinya sendiri.
Sambil menghela napas, Suri mengambil ponselnya dari dalam tas. Jari-jarinya langsung mengetik nomor Tuan Josua, pengacara sekaligus sahabat lama mendiang ayahnya. Setelah dering ketiga, suara berat Tuan Josua terdengar di ujung sana.
"Suri, bagaimana kabarmu?" sapa Tuan Josua penuh perhatian.
"Paman, saya butuh bantuan," suara Suri terdengar bergetar. "Saya ingin bercerai dari Romeo Albantara."
Hening sesaat. Tuan Josua tampak terkejut di seberang telepon. "Cerai? Apa kamu yakin, Suri? Ini keputusan besar."
Suri mengangguk, meskipun ia tahu Tuan Josua tidak bisa melihatnya. "Saya sudah memikirkannya, Paman. Romeo akan menikah lagi dengan wanita lain. Saya tidak bisa terus hidup seperti ini."
Tuan Josua terdiam, mungkin menyadari betapa mendesaknya situasi yang dialami Suri. Tanpa banyak bertanya lagi, ia segera memenuhi permintaan dari putri sahabatnya itu.
"Baiklah, aku akan mengurusnya. Hari ini juga, akan kuberikan berkas perceraian, supaya kamu dan Romeo bisa menandatanganinya."
"Terima kasih, Paman," jawab Suri dengan napas lega yang bercampur keputusasaan.
Usai menutup telepon, Suri dapat mendengar teriakan kesal ibu mertua dan iparnya itu.
Namun, tidak ia pedulikan sama sekali dan memilih untuk terus berada di kamar!
Bahkan saat mobil hitam mewah milik sang suami terparkir di halaman, Suri enggan menyambutnya–tidak seperti biasanya. "Mari, akhiri ini semua."
Suri tertawa miris.Tepat setelah ia mengatakannya, ia dapat melihat pintu mobil mewah milik suaminya terbuka.Seperti biasa, Romeo terlihat tampan dengan setelan jas abu-abu tua yang membalut tubuh tegapnya.Namun, kemejanya sama dengan yang ada di foto yang diterimanya tadi.Terlebih, ia melihat Romeo berjalan ke sisi lain mobil, membukakan pintu penumpang untuk Diva. Sesuatu yang bahkan tak pernah suaminya itu lakukan selama pernikahan mereka. Mungkin karena wajahnya yang buruk rupa tak menyenangkan dipandang, dibanding Diva yang seorang artis terkenal yang memang rupawan?Hati Suri kembali berdenyut pedih. Dia juga dapat melihat sang mertua dan ipar menyambut cinta pertama suaminya itu dengan senyuman hangat, seolah mereka baru saja bertemu dengan seorang ratu. “Diva, Sayang, kamu semakin cantik saja,” puji wanita paruh baya itu.Aira, yang selalu suka ikut campur, menambahkan, “Aku tidak sabar untuk makan malam bersamamu, Kak Diva. Aku sudah bilang pada teman-temanku bahwa aku a
Suri menghela napas.Kenapa ia harus bertahan selama ini? Romeo jelas tidak mencintainya dan akan selalu memilih Diva. Tanpa bisa dicegah, air matanya akhirnya kembali mengalir.Akan tetapi, Suri menahan diri agar tak bersuara. Ia takut tangisannya didengar oleh orang-orang di mansion yang justru akan menertawakan kelemahannya. Tapi ia berjanji....Setelah ini, ia tak akan menangis lagi. Kriet!Pintu kamar mendadak terbuka, menampilkan Romeo di sana. Suri sontak berdiri dan mendekatinya–berharap bisa menyelesaikan semua masalah malam ini.Hanya saja, suara berat Romeo mengisi ruangan lagi-lagi mengecewakannya. “Aku akan mengantar Diva pulang ke apartemennya karena sudah malam. Aku akan kembali secepatnya ke sini.”“Tapi, aku ingin membicarakan perceraian kita segera,” tuntut Suri."Apa maksudmu?" Romeo menyipitkan matanya, “apa kau cemburu dengan Diva?”Suri menarik napas panjang, seolah mengumpulkan keberanian yang tersisa. "Bukan hanya itu. Yang jelas, aku sudah menghubungi pengac
Hanya saja, Suri tak menyia-nyiakan kesempatan itu.Ia segera melarikan diri dari kamar yang telah menjadi saksi bisu penderitaannya selama ini.Bingung harus ke mana, Suri berlari ke bagian belakang mansion, menuju kamar pelayan.Hanya tempat itu yang aman bagi dirinya saat ini. Tidak mungkin ia menuju ke depan mansion karena di sana masih ada Diva, ibu mertua, dan adik iparnya. Dengan tubuh yang gemetar, Suri berhenti di depan kamar Bi Wina. Selama ini, hanya wanita tua yang sudah bertahun-tahun bekerja di mansion keluarga Albantara itu yang pernah menunjukkan rasa simpati padanya. “Bi Wina,” suara Suri terdengar pecah, ia menahan isak. “Bolehkan aku bermalam di sini? Aku tidak ingin kembali ke kamarku.”Bi Wina terkejut dan menatap Suri penuh kebingungan. Namun, melihat mata Suri yang sembap dan memerah, ia bisa merasakan kepedihan yang sedang ditanggung perempuan muda itu. Dengan lembut, Bi Wina mempersilakan Suri duduk di atas tempat tidur kecil di sudut kamarnya.“Nona Suri,
Ck!Ucapan Yonas itu membuat Suri mendengus sinis.Sudah jelas, bukan? Romeo lebih memilih menghabiskan waktu bersama Diva daripada pulang dan menyelesaikan masalah rumah tangganya. "Sampaikan pada Romeo," kata Suri dengan nada tajam, "aku hanya minta sepuluh menit waktunya. Sepuluh menit saja untuk menandatangani surat cerai." Yonas terdiam sesaat, lalu berkata hati-hati, "Baik, Nona Suri. Nanti saya sampaikan." Suri tahu, tak ada gunanya berharap banyak.Romeo pasti akan mencari alasan untuk terus mengabaikannya, lalu memadu kasih dengan Diva tanpa rasa bersalah. Tut!Dengan gerakan tegas, Suri memutus sambungan telepon dan meletakkan ponselnya di meja.Ia lalu membuka kopernya sekali lagi.Tangannya terulur, menyentuh sebuah gaun merah anggun yang sudah lama tidak ia pakai.Gaun itu pernah menjadi favoritnya—simbol keberanian dan kekuatan.Namun sejak kehidupannya dengan Romeo berubah menjadi penjara, gaun itu hanya berdiam dalam gelap, seperti dirinya.Suri melepas pakaian
Begitu tiba, Suri berjalan cepat memasuki lobi Hotel Orion.Gaun merah yang ia kenakan berayun mengikuti gerakan tubuhnya, menarik perhatian tamu dan staf hotel.Namun, Suri tidak peduli. Hanya satu hal yang ada dalam pikirannya malam ini—mengakhiri pernikahan dengan Romeo. Ia langsung menuju meja resepsionis dan bertanya, “Di mana letak restoran?” “Di sebelah kanan lobi, Nyonya.”Setelah mendapat arahan dari sang resepsionis, Suri mengayunkan langkah. Begitu sampai di depan pintu restoran, ia berhenti sejenak, mengatur napas. Dari celah pintu kaca, Suri langsung menangkap sosok Romeo yang duduk di meja besar bersama seorang pria berjas hitam. Ia menebak pria itu adalah Tuan Thomas. Sementara di samping Romeo, ada Diva yang terlihat cantik dengan gaun model sabrina berwarna hitam. Suri mencoba menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyergap hatinya. Ia melihat mereka berbincang akrab, seperti tak ada beban. Sejenak, ia ingin berbalik dan pergi, tetapi ia sudah terlalu jauh. Ini buka
Suri terkejut dan mencoba melawan, tetapi Romeo menggenggam tangannya lebih erat. Ia menyeret Suri keluar dari restoran tanpa menghiraukan tatapan heran para tamu. “Romeo, kamu gila!” Suri berteriak.Romeo terus menariknya menuju lift, lalu menekan tombol ke lantai tujuh dengan terburu-buru. Pintu lift tertutup, mengurung mereka berdua dalam ruang sempit yang penuh dengan ketegangan. “Kenapa kamu melakukan ini?” Suri berbisik, suaranya bergetar antara marah dan takut. Romeo menatapnya dengan mata yang penuh emosi. “Kamu ingin kebebasan, Suri? Kamu akan mendapatkannya setelah kita selesaikan semuanya malam ini.” Suri menelan ludah, hatinya berdegup kencang. Ia merasa terperangkap dalam situasi yang tak terduga. Meski begitu, ia tidak akan membiarkan Romeo menang. Begitu lift sampai di lantai yang dituju, Romeo menarik Suri keluar dan membawanya ke depan pintu kamar. Dengan satu gerakan cepat, lelaki itu menyeret Suri masuk lalu menutup pintu dengan keras. Bunyi pintu yang te
Entah berapa lama, Suri tak tahu.Romeo benar-benar tak dapat dicegah sama sekali.Pria itu benar-benar keras, panas, dan tak tertahankan.Tapi begitu memaksa di saat bersamaan.Hal ini sungguh berbeda dari bayangan Suri sebelumnya.Ia selalu membayangkan malam pertamanya dengan sang suami akan begitu hangat dan lembut. Bukan kemarahan seperti ini.Perlahan, Suri merasakan kantuk.Ia terlalu lelah, hingga menyerah.Dibiarkannya Romeo menguasai tubuhnya.***"Arrgh..." erang Suri kala terbangun dengan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya, seolah-olah ia baru saja dilindas truk.Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya lemas, seperti kehilangan seluruh energi dan harapannya.Di kamar hotel yang mewah itu, matanya mengerjap beberapa kali kala menyadari kenyataan pahit yang menimpanya—Romeo sudah tidak ada.Suri meremas selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Napasnya terasa berat, seolah-olah ada beban tak terlihat yang menekan dadanya. Ia memaksa dirinya turun dari tempat tidur denga
Selama perjalanan, Suri menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Ia memikirkan semua kenangan buruk dan perasaan terperangkap yang ia alami bersama Romeo semalam. Pria itu, yang tidak pernah menyentuhnya selama pernikahan, justru mengambil kesuciannya secara paksa di saat-saat terakhir mereka bersama. Betapa ironisnya cinta yang dulu ia pikir akan membuatnya bahagia, kini hanya menyisakan luka mendalam.Suri mengepalkan tangan di atas pangkuan. Romeo boleh mengambil surat cerai mereka, tetapi pria itu tidak akan bisa menghentikan niatnya untuk pergi. Apapun risikonya, ia akan menggugat Romeo secara hukum untuk mengakhiri pernikahan mereka.Saat taksi berhenti di tempat tujuan, Suri menghela napas sepenuh dada. Dengan langkah gontai, ia keluar dari taksi. Gaun merah yang ia kenakan tampak kusut, dan wajahnya terlihat begitu pucat, membuat aura kerapuhan menyelimuti dirinya. Meski tubuhnya serasa tak bertenaga, Suri tahu bahwa langkah pertama menuju kebebasan sudah dimulai. Kini
Di apartemennya, Diva baru saja menggeliat di tempat tidur. Kebiasaannya bangun siang membuatnya enggan beranjak. Akan tetapi, dering ponsel memaksanya untuk meraih perangkat itu dengan malas.Begitu melihat nama di layar, Diva segera menjawab dengan suara lembut.“Halo, Tante Valerie?""Diva, Tante ingin bertanya. Apakah kamu yang mengirimkan foto-foto Suri ke mansion? Kami baru saja menerima sebuah paket tak bernama berisi foto-foto itu."Rasa malas Diva hilang seketika, berganti dengan senyum lebar yang tersungging di wajahnya. "Iya, Tante. Aku menyewa orang untuk memata-matai Suri,” katanya penuh antusiasme. “Apakah Nyonya Miranda sudah melihatnya? Bagaimana reaksinya?”Ada jeda sejenak sebelum Nyonya Valerie menjawab. "Ya, Mama Miranda sudah melihat foto-foto itu. Tangannya gemetar, bahkan dia hampir pingsan.""Bagus! Itu artinya Beliau sangat marah. Lalu, apakah Suri akan dipanggil hari ini dan dipaksa untuk bercerai dari Kak Romeo?” tanya Diva tak sabar.Nyonya Valerie mendesah
Aira membuka amplop besar itu dengan rasa penasaran. Begitu matanya menangkap isi di dalamnya, tubuhnya langsung membeku. Deretan foto-foto yang terjatuh ke pangkuannya menampilkan sosok Suri bersama seorang pria yang terlihat mesra. Di dalam foto pertama, Suri dan pria itu tampak sedang makan siang bersama di sebuah kafe. Senyum mereka begitu akrab, seolah tidak ada jarak. Dalam foto lain, pria itu merangkul Suri, memegang tangannya bahkan memeluknya di halaman rumah tanpa rasa malu.Aira merasa napasnya tersendat. “Tidak mungkin… Suri?” bisiknya, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Tangannya gemetar saat menggenggam foto-foto itu. Selama ini, ia memang tidak menyukai Suri, tetapi ia tidak pernah menyangka sang kakak ipar akan melakukan perselingkuhan. Nyonya Miranda yang sejak tadi memperhatikan cucunya, melangkah perlahan. Ia mendekat sambil mencengkeram tongkatnya dengan erat. Garis wajahnya yang mulai menua memancarkan ketegasan.“Ada apa, Aira?”Aira tersen
Hati Suri terasa lebih ringan usai melihat kondisi sang tante, yang akhirnya bersedia menjalani pengobatan. Ia meletakkan tasnya di sofa, lalu bergegas menuju kamar mandi. Air hangat menyentuh kulitnya, menghapus penat yang melekat setelah seharian bekerja. Selesai mandi, Suri mengenakan piyama berbahan katun lembut dan berjalan menuju ruang makan. Di atas meja, terdapat semangkuk sup ayam dengan potongan wortel dan kentang, sepiring nasi putih, serta sari buah segar yang disiapkan pelayan. Suri duduk dan mulai menyantap makanan dengan tenangDi tengah suapan makan malamnya, ponselnya yang tergeletak di meja bergetar. Suri mengambilnya dan melihat nama Raysa terpampang di layar. Ia segera menjawab panggilan itu dengan senyum."Halo, Raysa.""Suri, aku mau berbagi sesuatu!" suara Raysa terdengar penuh kebahagiaan di seberang sana.Suri menaruh sendoknya, penasaran dengan kabar yang akan disampaikan sahabatnya itu. "Apa itu? Suaramu terdengar sangat bahagia."Raysa tertawa kecil sebel
Suri melangkah mengikuti Axel ke dalam kamar yang beraroma obat. Di atas ranjang berkanopi putih, seorang wanita paruh baya terbaring lemah. Wajahnya yang dulu penuh wibawa kini tampak pucat dan tirus.Lingkaran hitam di bawah matanya semakin menegaskan betapa sakitnya ia selama ini. Napasnya terdengar berat, dan tangannya yang dulu tampak berisi kini terlihat ringkih dan berurat.Suri terkejut melihat kondisi tantenya yang begitu rapuh. Ada rasa iba yang tiba-tiba menyelubungi hatinya. Walau masih ada bekas luka atas apa yang terjadi di masa lalu, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa wanita di depannya ini adalah keluarga.Axel mendekati ranjang terlebih dahulu, membangunkan sang ibu dengan suara lembut. "Mama, aku membawa Suri ke sini. Dia ingin menjenguk Mama."Mata wanita itu terbuka perlahan, tampak terkejut dan tidak percaya. Dengan usaha yang terlihat menyakitkan, ia mencoba bangun dari posisinya. Suri segera melangkah maju, tangannya menopang tubuh sang tante. "Jangan,
Tepat pukul dua belas, Suri melangkah masuk ke Kafe Eclesia, tempat yang telah ia sepakati dengan Axel. Aroma kopi yang khas bercampur dengan wangi roti panggang menyambutnya, memberikan suasana hangat di tengah kepenatan. Matanya segera menangkap sosok pria yang duduk di sendirian di meja nomor sebelas, menunggunya dengan wajah penuh harap. Axel segera berdiri begitu melihat Suri datang. Ia berjalan ke pintu masuk dengan senyum mengembang, lalu meraih tangan Suri dan menariknya ke dalam pelukan.Suri sempat terkejut, tubuhnya menegang sejenak, tetapi ia tidak menolak. Ia menganggap pelukan itu sebagai ungkapan persaudaraan semata. Bagaimanapun, Axel adalah putra dari sang tante, walaupun hubungan mereka memiliki riwayat yang pelik. "Aku senang kamu datang," ujar Axel sambil melepas pelukannya. Ia kemudian menggandeng tangan Suri, membimbingnya menuju meja yang telah ia pesan sebelumnya.Suri duduk dengan sopan, menarik tangannya secara perlahan dari genggaman Axel. Matanya menatap
Raysa baru saja menyelesaikan pertemuan dengan salah satu calon pembeli apartemen. Setelah merapikan berkas-berkasnya, ia menghela napas sejenak sebelum bersiap menemui klien berikutnya—seseorang yang berniat membeli unit penthouse eksklusif dengan luas lebih dari 250 meter persegi di pusat kota. Pertemuan mereka dijadwalkan berlangsung di sebuah kafe, yang terletak di dekat area pengembangan apartemen.Setibanya di kafe, Raysa memesan secangkir kopi latte dan duduk di salah satu meja yang menghadap ke jendela. Ia mengecek kembali dokumen properti sambil menunggu kliennya datang.Namun, alih-alih sosok asing yang muncul, Raysa justru mendapati seorang pria yang sangat dikenalnya.Kenzo.Matanya melebar, tubuhnya menegang. Kenzo berjalan santai mendekatinya, mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung, memperlihatkan pergelangan tangan kokohnya. Senyum khasnya yang penuh percaya diri membuat Raysa semakin kesal."Apa yang kamu lakukan di sini?" Raysa langsung berdiri dari kursinya,
Hampir tiga minggu berlalu sejak pengakuan Romeo tentang kondisinya di depan keluarga. Sejak itu, Nyonya Miranda semakin sering mengundang mereka ke mansion, sekadar untuk makan malam bersama atau berjalan-jalan menikmati udara segar. Sementara itu, Nyonya Valerie, meskipun masih bersikap sinis, tampaknya belum melakukan apapun yang mengusik kehidupan rumah tangga putranya.Hanya saja, saat ini Suri sedang merasa kesepian. Romeo harus pergi ke luar negeri selama lima hari untuk melakukan kesepakatan kerja sama proyek pembangunan mal. Hari ini baru memasuki hari kedua, tetapi Suri sudah merindukan suaminya dengan begitu dalam. Sepulang dari kantor, ia hanya duduk termenung di kamar, memeluk erat boneka beruang besar pemberian Romeo. Walaupun tubuhnya lelah usai seharian meninjau proyek kota mandiri, Suri sama sekali tidak mengantuk.Biasanya, di malam-malam seperti ini, Suri terlelap dalam pelukan suaminya, merasakan kehangatan dan perlindungannya. Namun kini, ranjang tempatnya berbar
Gedung galeri seni di pusat kota Velmora berdiri megah dengan arsitektur bernuansa klasik. Dinding-dindingnya tinggi, dihiasi karya-karya para pelukis ternama. Aroma cat minyak samar-samar bercampur dengan wangi bunga yang disusun dalam vas kristal. Para tamu yang berlalu-lalang, mengamati lukisan-lukisan yang dipajang dengan pencahayaan sempurna.Nyonya Miranda berjalan perlahan, matanya menyusuri tiap kanvas yang memajang berbagai mahakarya dari tiga pelukis tersohor. Romeo dan Suri setia mendampinginya, memperhatikan ekspresi nenek mereka yang sesekali mengangguk kagum. Ia berhenti di depan lukisan malaikat yang melayang di atas hamparan bunga lili putih, serta lukisan burung camar yang terbang bebas di langit jingga. Kemudian, matanya berpindah lagi ke lukisan laut bergelora, dengan mercusuar yang berdiri kokoh di tengah badai. Lukisan-lukisan itu bercerita tentang warna dan goresan, menyuguhkan potret emosional dan abstrak yang menggugah imajinasi."Sungguh luar biasa," gumam N
Kesunyian yang melingkupi ruangan itu membuat setiap detik terasa begitu panjang. Bak badai yang baru saja reda, tetapi meninggalkan jejak kehancuran yang tak kasatmata. Nyonya Miranda, Nyonya Valerie, dan Aira masih terdiam, seolah tersambar petir oleh kenyataan yang baru saja terungkap. Mata Nyonya Valerie memerah, dadanya naik turun seiring kedua bahunya yang terguncang pelan. Sedangkan Nyonya Miranda, wanita tua itu tampak pucat. Ia terbatuk sebentar, lalu menghela napas sepenuh dada.Romeo menatap mereka satu per satu, membiarkan mereka menyerap berita buruk yang selama ini ia pendam sendiri. Dengan suara bergetar, Nyonya Miranda akhirnya membuka suara.“Romeo, apakah kamu yakin hasil ini benar?” tanyanya lirih, menatap cucunya penuh harap.Romeo mengangguk tegas. “Sangat benar, Nek. Aku diperiksa di rumah sakit terpercaya oleh dokter Fani, seorang dokter obgyn yang sangat berpengalaman.”Mendengar penegasan dari Romeo, Nyonya Valerie terisak, menutupi wajahnya dengan kedua tan