Suri menghela napas.
Kenapa ia harus bertahan selama ini? Romeo jelas tidak mencintainya dan akan selalu memilih Diva. Tanpa bisa dicegah, air matanya akhirnya kembali mengalir.
Akan tetapi, Suri menahan diri agar tak bersuara. Ia takut tangisannya didengar oleh orang-orang di mansion yang justru akan menertawakan kelemahannya.
Tapi ia berjanji....
Setelah ini, ia tak akan menangis lagi.
Kriet!
Pintu kamar mendadak terbuka, menampilkan Romeo di sana. Suri sontak berdiri dan mendekatinya–berharap bisa menyelesaikan semua masalah malam ini.
Hanya saja, suara berat Romeo mengisi ruangan lagi-lagi mengecewakannya. “Aku akan mengantar Diva pulang ke apartemennya karena sudah malam. Aku akan kembali secepatnya ke sini.”
“Tapi, aku ingin membicarakan perceraian kita segera,” tuntut Suri.
"Apa maksudmu?" Romeo menyipitkan matanya, “apa kau cemburu dengan Diva?”
Suri menarik napas panjang, seolah mengumpulkan keberanian yang tersisa. "Bukan hanya itu. Yang jelas, aku sudah menghubungi pengacaraku," katanya tanpa ragu. "Beberapa jam lagi, kita akan menandatangani surat cerai.”
Romeo tampak terpaku. Mata laki-laki itu membesar, bibirnya setengah terbuka. “Apa kamu ingin membuat lelucon untuk menarik perhatianku?”
"Kita akan bercerai, Romeo," ulang Suri dengan tegas. "Aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan ini."
Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan. Lalu,
tiba-tiba Romeo melangkah cepat ke arah Suri, matanya penuh amarah. Sebelum Suri sempat bereaksi, Romeo telah meraih lengannya dan menekannya ke dinding dengan kuat. Tubuh Suri yang ringkih terhantam pelan di dinding, membuat dadanya terasa sesak.
"Berani sekali kamu minta cerai dariku. Apa kamu sudah punya laki-laki lain yang bisa memberimu kepuasan, hah?"
Deg!
Suri terperangah mendengar tuduhan sepihak itu. Matanya mulai mengembun akibat penghinaan yang dilontarkan Romero. Dengan suara serak, ia membalas perkataan pria itu. "Bukankah kamu yang mencintai wanita lain? Kenapa kamu menuduhku?"
Pria bermata hazel itu melepaskan genggamannya pada lengan Suri, tetapi tatapan marah masih terpancar dari wajahnya.
Romeo melangkah mundur, mencoba mengendalikan emosinya yang meledak-ledak. "Kamu pikir bisa meninggalkan aku begitu saja?"
Suri menegakkan tubuhnya, berdiri kaku di hadapan Romeo meski hatinya terasa hancur. Meski demikian, pandangannya tajam, tak goyah oleh tatapan murka suaminya.
Setiap kata terasa berat, tetapi sudah terlampau lama ia menahan semuanya. "Aku tidak perlu persetujuan darimu, Romeo," kata Suri dengan bibir bergetar. "Kita harus mengakhiri pernikahan yang penuh sandiwara ini.”
Romeo tertawa sinis, lalu memandang Suri dengan tatapan menghunus. "Apa kamu mampu bertahan sendiri di luar sana tanpa bantuan dariku?"
"Aku bisa hidup mandiri. Lagi pula, kamu akan menikahi Diva dan sudah menghabiskan malam bersamanya. Tidak ada gunanya kamu menahanku di sini," kata Suri sambil memandang Romeo dengan tatapan yang penuh luka.
Romeo mendengus, matanya menyipit tajam, penuh amarah yang hampir tak terkendali. Ia kembali mendekat, langkahnya terlihat mantap dan berbahaya.
Lelaki itu tersenyum sinis, lalu merengkuh erat pinggang Suri dengan lengan kekarnya. "Kamu pikir aku meniduri Diva?" Suaranya merendahkan, hampir seperti hinaan.
Setiap kata dari Romeo seperti racun yang menyusup ke dalam jiwanya. Namun, ia menolak untuk bereaksi dengan emosi yang serupa. “Aku tidak peduli. Entah kamu menyentuhnya atau tidak, itu tidak penting. Kamu bebas bersama Diva, atau siapapun yang kamu inginkan.”
“Tidak peduli?” desis Romeo. Wajahnya kini begitu dekat hingga napas hangatnya menerpa kulit Suri. “Kalau kamu ingin disentuh, maka memohonlah. Mungkin, aku akan merasa kasihan padamu dan mengabulkannya.”
Suri membeku sejenak, merasa harga dirinya runtuh oleh kata-kata Romeo.
Namun, dia mengepalkan tangan, berusaha mengendalikan diri.
Suri tidak ingin menunjukkan kelemahan di hadapan pria yang selama ini ia cintai dalam diam.
Hanya saja, Suri tak menyangka bila Romeo justru meraih pinggangnya dan menghapus jarak antara keduanya.
“Emmmph ….”
Pria itu langsung meraup bibir Suri dengan paksa sembari menatapnya tajam penuh kemarahan.
Bahkan, tangan dingin pria itu mulai masuk dan menyentuh punggung telanjang Suri!
Sensasi yang tak pernah dirasakan Suri membuatnya merinding.
Namun sekuat tenaga, wanita itu menolaknya.
Bahkan, Suri sampai menggigit bibir Romeo hingga ciuman mereka terlepas.
Tak ayal, darah segar pun mengalir dari bibir Romeo. "Kau---"
Hanya saja, Suri tak menyia-nyiakan kesempatan itu.Ia segera melarikan diri dari kamar yang telah menjadi saksi bisu penderitaannya selama ini.Bingung harus ke mana, Suri berlari ke bagian belakang mansion, menuju kamar pelayan.Hanya tempat itu yang aman bagi dirinya saat ini. Tidak mungkin ia menuju ke depan mansion karena di sana masih ada Diva, ibu mertua, dan adik iparnya. Dengan tubuh yang gemetar, Suri berhenti di depan kamar Bi Wina. Selama ini, hanya wanita tua yang sudah bertahun-tahun bekerja di mansion keluarga Albantara itu yang pernah menunjukkan rasa simpati padanya. “Bi Wina,” suara Suri terdengar pecah, ia menahan isak. “Bolehkan aku bermalam di sini? Aku tidak ingin kembali ke kamarku.”Bi Wina terkejut dan menatap Suri penuh kebingungan. Namun, melihat mata Suri yang sembap dan memerah, ia bisa merasakan kepedihan yang sedang ditanggung perempuan muda itu. Dengan lembut, Bi Wina mempersilakan Suri duduk di atas tempat tidur kecil di sudut kamarnya.“Nona Suri,
Ck!Ucapan Yonas itu membuat Suri mendengus sinis.Sudah jelas, bukan? Romeo lebih memilih menghabiskan waktu bersama Diva daripada pulang dan menyelesaikan masalah rumah tangganya. "Sampaikan pada Romeo," kata Suri dengan nada tajam, "aku hanya minta sepuluh menit waktunya. Sepuluh menit saja untuk menandatangani surat cerai." Yonas terdiam sesaat, lalu berkata hati-hati, "Baik, Nona Suri. Nanti saya sampaikan." Suri tahu, tak ada gunanya berharap banyak.Romeo pasti akan mencari alasan untuk terus mengabaikannya, lalu memadu kasih dengan Diva tanpa rasa bersalah. Tut!Dengan gerakan tegas, Suri memutus sambungan telepon dan meletakkan ponselnya di meja.Ia lalu membuka kopernya sekali lagi.Tangannya terulur, menyentuh sebuah gaun merah anggun yang sudah lama tidak ia pakai.Gaun itu pernah menjadi favoritnya—simbol keberanian dan kekuatan.Namun sejak kehidupannya dengan Romeo berubah menjadi penjara, gaun itu hanya berdiam dalam gelap, seperti dirinya.Suri melepas pakaian
Begitu tiba, Suri berjalan cepat memasuki lobi Hotel Orion.Gaun merah yang ia kenakan berayun mengikuti gerakan tubuhnya, menarik perhatian tamu dan staf hotel.Namun, Suri tidak peduli. Hanya satu hal yang ada dalam pikirannya malam ini—mengakhiri pernikahan dengan Romeo. Ia langsung menuju meja resepsionis dan bertanya, “Di mana letak restoran?” “Di sebelah kanan lobi, Nyonya.”Setelah mendapat arahan dari sang resepsionis, Suri mengayunkan langkah. Begitu sampai di depan pintu restoran, ia berhenti sejenak, mengatur napas. Dari celah pintu kaca, Suri langsung menangkap sosok Romeo yang duduk di meja besar bersama seorang pria berjas hitam. Ia menebak pria itu adalah Tuan Thomas. Sementara di samping Romeo, ada Diva yang terlihat cantik dengan gaun model sabrina berwarna hitam. Suri mencoba menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyergap hatinya. Ia melihat mereka berbincang akrab, seperti tak ada beban. Sejenak, ia ingin berbalik dan pergi, tetapi ia sudah terlalu jauh. Ini buka
Suri terkejut dan mencoba melawan, tetapi Romeo menggenggam tangannya lebih erat. Ia menyeret Suri keluar dari restoran tanpa menghiraukan tatapan heran para tamu. “Romeo, kamu gila!” Suri berteriak.Romeo terus menariknya menuju lift, lalu menekan tombol ke lantai tujuh dengan terburu-buru. Pintu lift tertutup, mengurung mereka berdua dalam ruang sempit yang penuh dengan ketegangan. “Kenapa kamu melakukan ini?” Suri berbisik, suaranya bergetar antara marah dan takut. Romeo menatapnya dengan mata yang penuh emosi. “Kamu ingin kebebasan, Suri? Kamu akan mendapatkannya setelah kita selesaikan semuanya malam ini.” Suri menelan ludah, hatinya berdegup kencang. Ia merasa terperangkap dalam situasi yang tak terduga. Meski begitu, ia tidak akan membiarkan Romeo menang. Begitu lift sampai di lantai yang dituju, Romeo menarik Suri keluar dan membawanya ke depan pintu kamar. Dengan satu gerakan cepat, lelaki itu menyeret Suri masuk lalu menutup pintu dengan keras. Bunyi pintu yang te
Entah berapa lama, Suri tak tahu.Romeo benar-benar tak dapat dicegah sama sekali.Pria itu benar-benar keras, panas, dan tak tertahankan.Tapi begitu memaksa di saat bersamaan.Hal ini sungguh berbeda dari bayangan Suri sebelumnya.Ia selalu membayangkan malam pertamanya dengan sang suami akan begitu hangat dan lembut. Bukan kemarahan seperti ini.Perlahan, Suri merasakan kantuk.Ia terlalu lelah, hingga menyerah.Dibiarkannya Romeo menguasai tubuhnya.***"Arrgh..." erang Suri kala terbangun dengan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya, seolah-olah ia baru saja dilindas truk.Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya lemas, seperti kehilangan seluruh energi dan harapannya.Di kamar hotel yang mewah itu, matanya mengerjap beberapa kali kala menyadari kenyataan pahit yang menimpanya—Romeo sudah tidak ada.Suri meremas selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Napasnya terasa berat, seolah-olah ada beban tak terlihat yang menekan dadanya. Ia memaksa dirinya turun dari tempat tidur denga
Selama perjalanan, Suri menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Ia memikirkan semua kenangan buruk dan perasaan terperangkap yang ia alami bersama Romeo semalam. Pria itu, yang tidak pernah menyentuhnya selama pernikahan, justru mengambil kesuciannya secara paksa di saat-saat terakhir mereka bersama. Betapa ironisnya cinta yang dulu ia pikir akan membuatnya bahagia, kini hanya menyisakan luka mendalam.Suri mengepalkan tangan di atas pangkuan. Romeo boleh mengambil surat cerai mereka, tetapi pria itu tidak akan bisa menghentikan niatnya untuk pergi. Apapun risikonya, ia akan menggugat Romeo secara hukum untuk mengakhiri pernikahan mereka.Saat taksi berhenti di tempat tujuan, Suri menghela napas sepenuh dada. Dengan langkah gontai, ia keluar dari taksi. Gaun merah yang ia kenakan tampak kusut, dan wajahnya terlihat begitu pucat, membuat aura kerapuhan menyelimuti dirinya. Meski tubuhnya serasa tak bertenaga, Suri tahu bahwa langkah pertama menuju kebebasan sudah dimulai. Kini
Setelah asisten Tuan Josua membelikan blazer baru, Suri segera melanjutkan perjalanan ke rumah sakit dengan diantar mobil pribadi milik pengacaranya. Di dalam mobil, tubuh Suri bersandar lemah, tetapi pikirannya berputar. Setiap detik berlalu terasa lambat, dan hatinya masih bergejolak dengan kenangan buruk semalam.Ia menatap keluar jendela, melihat pemandangan kota yang berlalu begitu cepat, seolah mengisyaratkan bahwa waktu tak akan berhenti menunggunya. Begitu sampai di rumah sakit, Suri turun dengan langkah berat. Blazer yang ia kenakan sedikit memberikan rasa nyaman, seolah menyembunyikan luka batin yang menggerogoti hatinya.Di ruang tunggu, ia duduk sejenak sebelum akhirnya perawat memanggilnya masuk ke ruangan dokter Adrian. Ketika dokter Adrian melihat Suri masuk, wajahnya langsung memancarkan keterkejutan.“Suri, apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah jadwal operasimu besok siang?” tanyanya, bingung.
Baru saja Romeo meletakkan gagang telepon, pintu ruangannya terbuka. Diva masuk dengan senyuman yang tersungging di bibirnya, menenteng kantong cokelat yang terlihat seperti bungkusan makan siang. Dengan gaya berjalan bak model di atas catwalk, wanita itu mendekati meja kerja Romeo.“Kak Romeo, aku bawakan makan siang untukmu. Aku sendiri yang masak,” tuturnya dengan nada menggoda. Padahal, makanan itu dipesannya dari salah satu restoran mahal. Ia tahu Romeo menyukai perhatian semacam itu, dan Diva sangat ahli memainkan peran wanita ideal di hadapan pria yang ia inginkan. Romeo melonggarkan dasi di lehernya yang terasa mencekik. Kemudian, ia beranjak dari kursi untuk membuang amplop cokelat dan potongan kertas yang masih tersisa di meja.Mata Diva langsung menangkap benda yang dibawa oleh Romeo, dan ia menyadari apa itu. “Bukankah itu surat cerai dari Suri?” tanyanya dengan nada terkejut, alisnya terangkat. “Kenapa Kak Romeo malah membuangnya? Aku pikir Kak Romeo sudah menandatang
Kenan masih menatap Jeandra lekat-lekat, seolah ingin memastikan penglihatannya tidak salah.“Kamu ... Jeandra? Kenapa wajahmu terlihat berbeda tanpa kacamata?”Jeandra menarik napas panjang dan berkata lirih, “Ini memang saya, Pak. Saya tidak pakai kacamata karena sudah mau tidur.” Meski panik, Jeandra berusaha tersenyum tenang. Dengan gerakan cepat, ia menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajahnya dari pandangan Kenan.“Malam ini, kita tidak bisa pulang. Di bawah sedang terjadi longsor, sehingga jalan akses pulang ditutup. Kita harus menginap di rumah Pak Kepala Desa,” pungkas Jeandra mengalihkan pembicaraan.“Longsor?” ulang Kenan terkejut, seolah tak percaya mendengar ucapan Jeandra.Kenan mengerjapkan mata beberapa kali, lalu mendesah pelan. Nampaknya, ia merasa keberatan untuk bermalam di rumah Pak Anwar. “Apa reaksi alergi Bapak sudah berkurang?” tanya Jeandra dengan nada lebih lembut, memperhatikan perubahan pada wajah pria itu.Kenan mengangguk lemah, menggaruk pelan bag
Jeandra menoleh pelan ke arah Pak Anwar dan Bu Rita, menyandarkan telapak tangannya di kusen pintu dengan tatapan tak tenang. Bayangan tentang malam panjang yang harus ia lalui dalam suasana serba canggung, membuat Jeandra risau. Kenan masih terbaring lemah di kamar, dan ia tidak tahu harus bermalam di mana.“Pak Anwar, Bu Rita… apa di rumah ini ada kamar lain yang bisa saya gunakan?” tanya Jeandra, suaranya nyaris tenggelam dalam deru hujan yang belum juga reda.Pak Anwar saling pandang dengan istrinya sejenak, lalu menjawab dengan nada menyesal.“Maaf, rumah kami ini kecil. Kamarnya cuma dua. Satu yang kami pakai, dan satu lagi itu…, yang dipakai temanmu sekarang. Itu kamar anak kami, yang sekarang sudah tinggal di kota bersama istrinya.”“Jadi hanya dua kamar, Pak,” gumam Jeandra lirih, bibirnya mengatup pelan. Hati Jeandra langsung dilingkupi dilema yang menyesakkan dada—tidak mungkin ia tidur sekamar dengan Kenan. Dalam keadaan darurat seperti ini pun, ia tahu batas kesopanan.P
Meskipun hatinya masih diselimuti keraguan, Jeandra terpaksa mengikuti langkah panjang Kenan menyusuri jalan setapak. Pria itu tampak tak sabar, seakan medan pegunungan dan ancaman hujan bukanlah apa-apa dibandingkan ambisinya.Jeandra hanya bisa menarik napas, sambil terus menyusun akal sehat agar tetap waras di tengah situasi ini. Namun, baru saja ia membuka pintu mobil, dorongan alami yang tak bisa ditunda muncul begitu saja.“Maaf, Pak, apakah ada toilet di sini?” tanyanya lirih, menahan malu.Kenan menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyalakan mesin. Ia memandang ke sekitar yang hanya dipenuhi oleh pepohonan lebat, jalan setapak berbatu, dan langit yang mulai kelabu. “Tidak ada. Kita harus cari rumah warga atau warung terdekat,” jawabnya singkat, seraya memundurkan mobil.Tidak lama kemudian, mereka menemukan sebuah warung kopi di pinggir jalan. Kenan menunjuk warung itu dengan dagunya. “Ke sana saja. Saya tunggu di mobil.”Jeandra mengangguk dan bergegas turun. Sementa
Di dalam sebuah mobil hitam yang melaju ke pegunungan Angkasa, suasana hening terasa menggantung di antara Jeandra dan Kenan. Tak ada percakapan, tak ada tawa ringan, bahkan tak sepotong sapaan pun terucap. Yang terdengar hanyalah denting lembut musik yang mengalun di telinga Jeandra lewat earphone.Wanita muda itu bersandar di kursi penumpang, membiarkan matanya menatap jenuh ke luar jendela. Jalan menuju pegunungan ternyata tidak semulus yang ia bayangkan. Banyak belokan tajam meliuk-liuk seperti tubuh ular raksasa, membuat Jeandra harus menahan napas setiap kali mobil berbelok dengan kecepatan konstan. Perut Jeandra terasa sedikit mual. Entah kenapa Kenan memilih lokasi terpencil ini untuk membangun sebuah vila mewah.Jeandra pun melirik kesal ke kaca spion, dan mendapati Kenan tengah menatapnya juga—entah sejak kapan pria itu memperhatikan. Alhasil, mata mereka bersitatap sepersekian detik. Buru-buru, Jeandra memalingkan wajah, berpura-pura mengecek notifikasi di ponselnya. Padah
Tepat pukul dua belas siang, jarum jam di dinding kantor Verdant Group berdentang lembut, mengiringi langkah Jevandro yang meninggalkan ruang kerjanya. Di luar ruangan, Mateo langsung beranjak dari kursi saat melihat sosok atasan yang ia hormati berjalan mendekat."Aku akan keluar sebentar," ucap Jevandro sambil menyelipkan kunci mobil ke saku jasnya. "Mungkin baru kembali sekitar pukul dua siang."Mateo mengangguk cepat, “Baik, Tuan. Hati-hati di jalan.”Tanpa menambahkan sepatah kata pun, Jevandro masuk ke lift pribadi. Ia turun menuju basement, tempat mobil hitamnya terparkir.Dengan gerakan cepat, lelaki itu membuka pintu dan masuk ke kabin mobil. Jevandro mengusap wajahnya sejenak, sebelum menyalakan mesin dengan satu putaran halus pada kunci.Kendaraan beroda empat itu melaju kencang menuju rumah keluarga Liora, tempat yang dahulu kerap ia kunjungi dengan sukacita. Namun, kini selalu menyisakan luka setiap kali ia mendekatinya.Bayangan Liora, senyumnya, suara lembutnya, dan sor
Setelah beberapa saat berdiam diri di ruang tamu yang senyap, Serin menarik napas panjang. Gadis itu berusaha menenangkan detak jantungnya yang belum juga surut, sejak menginjakkan kaki di apartemen. Hatinya dipenuhi perasaan ganjil—bukan takut, bukan pula nyaman, tetapi semacam canggung yang perlahan menjelma menjadi kehati-hatian.Dengan ragu-ragu, Serin melangkah menuju kamar tamu yang tadi ditunjukkan oleh Jevandro. Koper besar yang digenggamnya ia dorong pelan, menyusuri lantai apartemen yang mengilap. Langkahnya terasa berat, seolah tengah berjalan memasuki wilayah suci yang bukan miliknya.Ketika pintu kamar terbuka, mata Serin membulat. Kamar tamu itu lebih indah dari yang ia bayangkan. Tempat tidurnya besar, terlapisi seprai katun putih bersih dan bantal-bantal empuk yang tersusun rapi. Lemari baju berdiri di sisi ranjang, berdampingan dengan meja kerja yang dilengkapi lampu mungil.Serin berjalan ke dalam, lalu meletakkan kopernya di dekat tempat tidur. Tangannya menyentuh p
Matahari belum tinggi, ketika Serin kembali ke kos usai mengantar Tristan ke sekolah. Langkahnya terasa lebih berat dari biasanya, bukan karena lelah, melainkan karena sebuah keputusan besar yang tidak bisa ditawar.Sesampainya di kamar kos yang mungil, Serin membuka lemari dan mulai membereskan barang-barangnya ke dalam koper besar. Bi Janti, perempuan paruh baya yang setia membantu Serin, ikut berkemas dengan gerakan tangannya yang lincah. Sesekali, ia melipat pakaian dan seragam sekolah milik Tristan dengan hati-hati.“Non Serin benar-benar mau pindah?” tanya Bi Janti pelan, suaranya sarat dengan rasa tak ingin kehilangan.Serin mengangguk lemah, lalu berhenti melipat jaket untuk sesaat. Matanya menatap ke luar jendela yang dipenuhi bayangan pepohonan rindang.“Iya, Bi. Ini perintah atasan di kantor. Saya tidak bisa membantah, apalagi setelah kejadian dengan Kak Zico kemarin,” jawabnya lirih.Bi Janti diam sejenak, lalu memberanikan diri berkata, “Apa saya boleh ikut, Non? Saya kha
Pagi itu, belum genap pukul enam Jeandra sudah membuka mata. Entah karena was-was akan perjalanan panjang ke lokasi proyek yang cukup terpencil, atau karena diam-diam ada sejumput rasa khawatir yang melanda. Pikiran Jeandra seakan sudah melangkah lebih dulu, membayangkan hari yang mungkin saja mengubah arah dari misi penyamarannya.Dengan gerakan ringan, Jeandra bangkit dari tempat tidur untuk mempersiapkan diri. Selesai mandi, ia melangkah ke depan cermin. Meraih sebuah blazer warna krem lembut, lalu memadukannya dengan celana panjang cokelat tua yang mempertegas siluet ramping tubuhnya. Rambut panjang yang semula tergerai, kini ia tarik ke belakang dan dikuncir ekor kuda. Wajah Jeandra hanya dirias tipis, sekadar memberi kesan segar dan profesional. Dan terakhir, ia menyempurnakan penyamarannya dengan sepasang kacamata berbingkai tebal.Setelah mengambil tas tenteng hitam yang sudah ia siapkan semalam, Jeandra menyambar ponselnya dan menekan nomor yang sudah sangat ia hafal di luar
Sementara itu, di sebuah apartemen lain yang tak kalah mewah, Jeandra baru saja keluar dari kamar mandi dengan balutan piyama sutra berwarna pastel. Rambut panjangnya yang masih basah tergerai di bahu.Duduk di depan meja rias, Jeandra menggenggam hair dryer. Ia tertawa kecil, tawa riang yang mengambang di udara malam yang tenang. Tawa itu bukan karena lelucon atau hiburan, melainkan karena kepuasan batin yang ia rasakan. Bagaimana tidak. Bayangan ekspresi wajah Kenan sore tadi kembali berkelebat di benaknya—terpahat jelas dan begitu menyenangkan untuk dikenang.Jeandra menunduk sedikit, mempercepat aliran angin panas ke ujung rambutnya. Namun, pikirannya justru hanyut ke dalam sebuah kilas balik.Tatkala mentari menyemburatkan cahaya keemasan di jendela kaca Pradipta Group, Jeandra berdiri di depan pintu ruang CEO. Ia mengetuk perlahan, hingga suara datar dari dalam terdengar."Masuk!" Tanpa disertai anggukan kepala atau lirikan mata, Kenan tetap fokus menatap layar laptop, mengama