Kenan masih menatap Jeandra lekat-lekat, seolah ingin memastikan penglihatannya tidak salah.“Kamu ... Jeandra? Kenapa wajahmu terlihat berbeda tanpa kacamata?”Jeandra menarik napas panjang dan berkata lirih, “Ini memang saya, Pak. Saya tidak pakai kacamata karena sudah mau tidur.” Meski panik, Jeandra berusaha tersenyum tenang. Dengan gerakan cepat, ia menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajahnya dari pandangan Kenan.“Malam ini, kita tidak bisa pulang. Di bawah sedang terjadi longsor, sehingga jalan akses pulang ditutup. Kita harus menginap di rumah Pak Kepala Desa,” pungkas Jeandra mengalihkan pembicaraan.“Longsor?” ulang Kenan terkejut, seolah tak percaya mendengar ucapan Jeandra.Kenan mengerjapkan mata beberapa kali, lalu mendesah pelan. Nampaknya, ia merasa keberatan untuk bermalam di rumah Pak Anwar. “Apa reaksi alergi Bapak sudah berkurang?” tanya Jeandra dengan nada lebih lembut, memperhatikan perubahan pada wajah pria itu.Kenan mengangguk lemah, menggaruk pelan bag
Langit senja sebentar lagi akan berganti malam, tatkala Serin melangkah ke apartemen. Dua kantong kertas berisi makanan kesukaan Tristan menggantung di tangannya—ayam kecap hangat, dan satu kotak kecil donat cokelat.Begitu memasuki lobi apartemen, langkah Serin terasa ringan meski tubuhnya letih. Setengah hari di kantor cukup melelahkan, tetapi membayangkan wajah ceria Tristan sudah cukup menjadi pelepas penatnya. Sembari menekan tombol angka tujuh di lift, Serin berharap malam pertamanya di apartemen akan berjalan tenang. Saat pintu apartemen terbuka, senyum langsung menghiasi wajah Serin. Di ruang tengah, Tristan tampak duduk di sofa dengan kaki dilipat. Tangan mungilnya sibuk menggambar sesuatu di atas kertas putih yang penuh warna.Tak jauh dari sana, terdengar suara panci beradu lembut—Bi Janti tengah bersiap memasak nasi goreng. Serin meletakkan tasnya, melepas sepatu, lalu menghampiri mereka.“Selamat datang, Non Serin," sapa Bi Janti.“Bi, saya sudah membeli makanan, tidak u
Serin bergidik. Tubuhnya semakin gemetar seperti anak kecil yang tertangkap basah melakukan kesalahan besar. "F-foto Kak Liora, saya simpan di kamar. Saya akan membersihkannya karena … ada sedikit coretan crayon,” ujar Serin tergagap.Mendengar penjelasan Serin, amarah di mata Jevandro tak lantas surut. Hatinya telah diguncang rasa kehilangan, dan kini, melihat jejak Liora diusik —membuat luka yang ia kubur dalam-dalam kembali berdarah."Ambil bingkai fotonya!" titahnya, seperti instruksi seorang komandan yang tak bisa dibantah.Serin nyaris terlonjak. Matanya membelalak dan tengkuknya terasa dingin seperti disiram air es. Dengan wajah pucat pasi, gadis itu membungkukkan sedikit tubuhnya, lalu bergegas menuju kamar dengan langkah tergesa.Sesampainya di kamar, Serin mengulurkan tangan untuk membuka laci nakas, tempat ia menaruh bingkai foto Liora. Jemarinya bergetar hebat saat menyentuh kayu dingin bingkai tersebut.Wajah Liora dalam foto masih tersenyum, tetapi senyum itu ternoda o
Mesin mobil menderu halus saat Jevandro memutarnya, kemudian perlahan membawa kendaraan mewah itu menuruni area parkir apartemen. Tangan kirinya menggenggam setir, sementara tangan kanan meraih ponsel di dashboard, lalu menekan kontak nama “Papa”.Beberapa detik kemudian, suara berat Romeo terdengar di ujung sana.“Kamu di mana, Jevan?”“Aku masih di apartemen, Pa. Dalam perjalanan ke mansion sekarang. Tidak lama lagi aku sampai,” jawab Jevandro dengan suara tenang, walau hatinya masih resah oleh peristiwa yang baru saja terjadi.“Baiklah, kami tunggu,” sahut Romeo sebelum menutup sambungan.Tak ingin orangtuanya cemas, Jevandro mempercepat laju mobilnya. Lampu-lampu kota menyinari wajahnya yang tampak tenang di permukaan, tetapi ada pertarungan batin yang tak bisa diabaikan.Malam ini, Serin telah menerima lamarannya meski dengan air mata dan ketakutan yang menusuk hati. Gadis itu patuh, tidak berani melawan. Namun, mengapa gambaran Serin yang terduduk di sofa dengan tubuh gemetar, m
Pagi yang merekah lembut di rumah Kepala Desa, berubah menjadi awal yang tak terduga bagi Jeandra. Wanita muda itu menggeliat pelan di atas tempat tidur kayu, mengeratkan pelukannya pada sesuatu yang ia kira guling empuk pemberian Bu Rita. Dalam kantuknya Jeandra membenamkan wajahnya lebih dalam, merasa nyaman dan hangat oleh sentuhan kulit yang nyata.Namun, kenyataan yang terjadi selanjutnya membuat Jeandra tak mampu berkata-kata.“Sampai kapan kamu berniat memeluk saya?” Suara bariton itu terdengar berat, tetapi mengandung makna ganda.Jeandra mengerjapkan mata, dan dalam satu kedipan yang memutar dunia, matanya bertemu dengan sepasang mata tajam milik Kenan — pria yang ia rawat semalam. Dan, yang lebih mengagetkan, pria itu kini berada dalam pelukannya ... dengan kondisi bertelanjang dada.Jantung Jeandra serasa terpental dari dada. Kedua matanya membelalak, dan dengan secepat kilat, ia melepaskan pelukan itu sambil melompat mundur dari tubuh Kenan. “Pak Kenan!” jerit Jeandra, se
Tak menghiraukan penolakan keras dari Jeandra, Kenan hanya menoleh padanya dengan pandangan tenang. Ia mengedipkan sebelah mata dengan isyarat halus, seolah berkata: “tenanglah, saya tahu apa yang saya lakukan.” Isyarat itu seperti belati yang menusuk hati Jeandra—membuatnya diam seribu bahasa. Ia tak mengerti arah permainan yang kini mulai berubah.Kenan menoleh lagi pada para warga, lalu berkata dengan tegas, “Berikan kami waktu sebentar untuk bersiap. Setelah itu, kalian bisa mengantar kami ke kantor catatan sipil terdekat.”Warga menyambutnya dengan puas, kendati beberapa masih bergumam tentang keharusan menjaga moral desa. Pak Anwar mengangguk lemah, tak punya pilihan lain selain mengikuti arus yang telah digerakkan oleh desakan massa.Tak lama kemudian, Kenan terpaksa mengenakan kembali jas dan kemeja kemarin—karena ia tak punya baju ganti. Jeandra pun mengenakan gaun berwarna biru yang ia bawa. Wajahnya pucat, pikirannya seperti benang kusut yang tak mungkin diurai. Mobil hit
"Suri, cepat buatkan kami teh hijau tanpa gula!" Suara sang ibu mertua menggema dari ruang tengah, hingga Suri yang sedang membersihkan meja makan, segera meletakkan lap yang ia pegang dan menuju dapur. Meski ada banyak pelayan di mansion keluarga Albantara, mertuanya itu memang selalu menyuruh Suri melakukan berbagai pekerjaan, seolah-olah dia adalah bagian dari staf rumah tangga. Tapi, Suri tak melawan karena merasa itulah tugasnya di rumah ini. Setidaknya, ia bisa bermanfaat dibandingkan diabaikan seperti tahun pertamanya sebagai menantu di keluarga itu.Tak lama kemudian, Suri pun kembali dengan membawa nampan berisi 2 cangkir teh yang masih mengepul. Hanya saja saat Suri meletakkan cangkir di atas meja, ia baru menyadari ada tante sang suami yang datang bersama kedua putrinya di sofa mewah ruang tamu.“Pagi, Tan–”"Suri, bekas luka di pipimu itu masih ada?" potong Mira menatap Suri dari atas hingga bawah dengan pandangan merendahkan. "Apa Romeo tidak malu memiliki istri yang
“Suri, saya harus jujur padamu. Berdasarkan hasil pemeriksaan, kamu memiliki tumor di dalam hidungmu. Tumor ini cukup berbahaya, dan harus segera diangkat melalui pembedahan,” ucap Dokter Adrian setelah Suri duduk di hadapannya.“Jika dibiarkan terlalu lama, tumor ini dapat berubah menjadi ganas dan bisa mengancam nyawamu.”Deg!Suri merasa napasnya tercekat.Selama ini ia sudah terbiasa dengan penderitaan fisik dan emosional, tetapi kabar ini membuat semua masalah lain tampak kecil.“Kita perlu segera menjadwalkan operasi, Suri,” kata dokter Adrian. “Apakah kamu perlu membicarakan ini dengan suamimu?”Mendengar pertanyaan itu, Suri merasa hatinya semakin berat.Apa Romeo peduli? Selama ini, dalam rumah tangganya ia berdiri sendirian. Keberadaan Romeo di sisinya lebih seperti bayangan daripada kenyataan. Terlebih, Diva sudah kembali.Tidak ada tempat untuknya.“Tidak, Dok. Saya tidak perlu izin dari siapapun,” jawab Suri berusaha tegar.Dokter Adrian memandang Suri dengan tatapan hera
Tak menghiraukan penolakan keras dari Jeandra, Kenan hanya menoleh padanya dengan pandangan tenang. Ia mengedipkan sebelah mata dengan isyarat halus, seolah berkata: “tenanglah, saya tahu apa yang saya lakukan.” Isyarat itu seperti belati yang menusuk hati Jeandra—membuatnya diam seribu bahasa. Ia tak mengerti arah permainan yang kini mulai berubah.Kenan menoleh lagi pada para warga, lalu berkata dengan tegas, “Berikan kami waktu sebentar untuk bersiap. Setelah itu, kalian bisa mengantar kami ke kantor catatan sipil terdekat.”Warga menyambutnya dengan puas, kendati beberapa masih bergumam tentang keharusan menjaga moral desa. Pak Anwar mengangguk lemah, tak punya pilihan lain selain mengikuti arus yang telah digerakkan oleh desakan massa.Tak lama kemudian, Kenan terpaksa mengenakan kembali jas dan kemeja kemarin—karena ia tak punya baju ganti. Jeandra pun mengenakan gaun berwarna biru yang ia bawa. Wajahnya pucat, pikirannya seperti benang kusut yang tak mungkin diurai. Mobil hit
Pagi yang merekah lembut di rumah Kepala Desa, berubah menjadi awal yang tak terduga bagi Jeandra. Wanita muda itu menggeliat pelan di atas tempat tidur kayu, mengeratkan pelukannya pada sesuatu yang ia kira guling empuk pemberian Bu Rita. Dalam kantuknya Jeandra membenamkan wajahnya lebih dalam, merasa nyaman dan hangat oleh sentuhan kulit yang nyata.Namun, kenyataan yang terjadi selanjutnya membuat Jeandra tak mampu berkata-kata.“Sampai kapan kamu berniat memeluk saya?” Suara bariton itu terdengar berat, tetapi mengandung makna ganda.Jeandra mengerjapkan mata, dan dalam satu kedipan yang memutar dunia, matanya bertemu dengan sepasang mata tajam milik Kenan — pria yang ia rawat semalam. Dan, yang lebih mengagetkan, pria itu kini berada dalam pelukannya ... dengan kondisi bertelanjang dada.Jantung Jeandra serasa terpental dari dada. Kedua matanya membelalak, dan dengan secepat kilat, ia melepaskan pelukan itu sambil melompat mundur dari tubuh Kenan. “Pak Kenan!” jerit Jeandra, se
Mesin mobil menderu halus saat Jevandro memutarnya, kemudian perlahan membawa kendaraan mewah itu menuruni area parkir apartemen. Tangan kirinya menggenggam setir, sementara tangan kanan meraih ponsel di dashboard, lalu menekan kontak nama “Papa”.Beberapa detik kemudian, suara berat Romeo terdengar di ujung sana.“Kamu di mana, Jevan?”“Aku masih di apartemen, Pa. Dalam perjalanan ke mansion sekarang. Tidak lama lagi aku sampai,” jawab Jevandro dengan suara tenang, walau hatinya masih resah oleh peristiwa yang baru saja terjadi.“Baiklah, kami tunggu,” sahut Romeo sebelum menutup sambungan.Tak ingin orangtuanya cemas, Jevandro mempercepat laju mobilnya. Lampu-lampu kota menyinari wajahnya yang tampak tenang di permukaan, tetapi ada pertarungan batin yang tak bisa diabaikan.Malam ini, Serin telah menerima lamarannya meski dengan air mata dan ketakutan yang menusuk hati. Gadis itu patuh, tidak berani melawan. Namun, mengapa gambaran Serin yang terduduk di sofa dengan tubuh gemetar, m
Serin bergidik. Tubuhnya semakin gemetar seperti anak kecil yang tertangkap basah melakukan kesalahan besar. "F-foto Kak Liora, saya simpan di kamar. Saya akan membersihkannya karena … ada sedikit coretan crayon,” ujar Serin tergagap.Mendengar penjelasan Serin, amarah di mata Jevandro tak lantas surut. Hatinya telah diguncang rasa kehilangan, dan kini, melihat jejak Liora diusik —membuat luka yang ia kubur dalam-dalam kembali berdarah."Ambil bingkai fotonya!" titahnya, seperti instruksi seorang komandan yang tak bisa dibantah.Serin nyaris terlonjak. Matanya membelalak dan tengkuknya terasa dingin seperti disiram air es. Dengan wajah pucat pasi, gadis itu membungkukkan sedikit tubuhnya, lalu bergegas menuju kamar dengan langkah tergesa.Sesampainya di kamar, Serin mengulurkan tangan untuk membuka laci nakas, tempat ia menaruh bingkai foto Liora. Jemarinya bergetar hebat saat menyentuh kayu dingin bingkai tersebut.Wajah Liora dalam foto masih tersenyum, tetapi senyum itu ternoda o
Langit senja sebentar lagi akan berganti malam, tatkala Serin melangkah ke apartemen. Dua kantong kertas berisi makanan kesukaan Tristan menggantung di tangannya—ayam kecap hangat, dan satu kotak kecil donat cokelat.Begitu memasuki lobi apartemen, langkah Serin terasa ringan meski tubuhnya letih. Setengah hari di kantor cukup melelahkan, tetapi membayangkan wajah ceria Tristan sudah cukup menjadi pelepas penatnya. Sembari menekan tombol angka tujuh di lift, Serin berharap malam pertamanya di apartemen akan berjalan tenang. Saat pintu apartemen terbuka, senyum langsung menghiasi wajah Serin. Di ruang tengah, Tristan tampak duduk di sofa dengan kaki dilipat. Tangan mungilnya sibuk menggambar sesuatu di atas kertas putih yang penuh warna.Tak jauh dari sana, terdengar suara panci beradu lembut—Bi Janti tengah bersiap memasak nasi goreng. Serin meletakkan tasnya, melepas sepatu, lalu menghampiri mereka.“Selamat datang, Non Serin," sapa Bi Janti.“Bi, saya sudah membeli makanan, tidak u
Kenan masih menatap Jeandra lekat-lekat, seolah ingin memastikan penglihatannya tidak salah.“Kamu ... Jeandra? Kenapa wajahmu terlihat berbeda tanpa kacamata?”Jeandra menarik napas panjang dan berkata lirih, “Ini memang saya, Pak. Saya tidak pakai kacamata karena sudah mau tidur.” Meski panik, Jeandra berusaha tersenyum tenang. Dengan gerakan cepat, ia menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajahnya dari pandangan Kenan.“Malam ini, kita tidak bisa pulang. Di bawah sedang terjadi longsor, sehingga jalan akses pulang ditutup. Kita harus menginap di rumah Pak Kepala Desa,” pungkas Jeandra mengalihkan pembicaraan.“Longsor?” ulang Kenan terkejut, seolah tak percaya mendengar ucapan Jeandra.Kenan mengerjapkan mata beberapa kali, lalu mendesah pelan. Nampaknya, ia merasa keberatan untuk bermalam di rumah Pak Anwar. “Apa reaksi alergi Bapak sudah berkurang?” tanya Jeandra dengan nada lebih lembut, memperhatikan perubahan pada wajah pria itu.Kenan mengangguk lemah, menggaruk pelan bag
Jeandra menoleh pelan ke arah Pak Anwar dan Bu Rita, menyandarkan telapak tangannya di kusen pintu dengan tatapan tak tenang. Bayangan tentang malam panjang yang harus ia lalui dalam suasana serba canggung, membuat Jeandra risau. Kenan masih terbaring lemah di kamar, dan ia tidak tahu harus bermalam di mana.“Pak Anwar, Bu Rita… apa di rumah ini ada kamar lain yang bisa saya gunakan?” tanya Jeandra, suaranya nyaris tenggelam dalam deru hujan yang belum juga reda.Pak Anwar saling pandang dengan istrinya sejenak, lalu menjawab dengan nada menyesal.“Maaf, rumah kami ini kecil. Kamarnya cuma dua. Satu yang kami pakai, dan satu lagi itu…, yang dipakai temanmu sekarang. Itu kamar anak kami, yang sekarang sudah tinggal di kota bersama istrinya.”“Jadi hanya dua kamar, Pak,” gumam Jeandra lirih, bibirnya mengatup pelan. Hati Jeandra langsung dilingkupi dilema yang menyesakkan dada—tidak mungkin ia tidur sekamar dengan Kenan. Dalam keadaan darurat seperti ini pun, ia tahu batas kesopanan.P
Meskipun hatinya masih diselimuti keraguan, Jeandra terpaksa mengikuti langkah panjang Kenan menyusuri jalan setapak. Pria itu tampak tak sabar, seakan medan pegunungan dan ancaman hujan bukanlah apa-apa dibandingkan ambisinya.Jeandra hanya bisa menarik napas, sambil terus menyusun akal sehat agar tetap waras di tengah situasi ini. Namun, baru saja ia membuka pintu mobil, dorongan alami yang tak bisa ditunda muncul begitu saja.“Maaf, Pak, apakah ada toilet di sini?” tanyanya lirih, menahan malu.Kenan menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyalakan mesin. Ia memandang ke sekitar yang hanya dipenuhi oleh pepohonan lebat, jalan setapak berbatu, dan langit yang mulai kelabu. “Tidak ada. Kita harus cari rumah warga atau warung terdekat,” jawabnya singkat, seraya memundurkan mobil.Tidak lama kemudian, mereka menemukan sebuah warung kopi di pinggir jalan. Kenan menunjuk warung itu dengan dagunya. “Ke sana saja. Saya tunggu di mobil.”Jeandra mengangguk dan bergegas turun. Sementa
Di dalam sebuah mobil hitam yang melaju ke pegunungan Angkasa, suasana hening terasa menggantung di antara Jeandra dan Kenan. Tak ada percakapan, tak ada tawa ringan, bahkan tak sepotong sapaan pun terucap. Yang terdengar hanyalah denting lembut musik yang mengalun di telinga Jeandra lewat earphone.Wanita muda itu bersandar di kursi penumpang, membiarkan matanya menatap jenuh ke luar jendela. Jalan menuju pegunungan ternyata tidak semulus yang ia bayangkan. Banyak belokan tajam meliuk-liuk seperti tubuh ular raksasa, membuat Jeandra harus menahan napas setiap kali mobil berbelok dengan kecepatan konstan. Perut Jeandra terasa sedikit mual. Entah kenapa Kenan memilih lokasi terpencil ini untuk membangun sebuah vila mewah.Jeandra pun melirik kesal ke kaca spion, dan mendapati Kenan tengah menatapnya juga—entah sejak kapan pria itu memperhatikan. Alhasil, mata mereka bersitatap sepersekian detik. Buru-buru, Jeandra memalingkan wajah, berpura-pura mengecek notifikasi di ponselnya. Padah