Ck!
Ucapan Yonas itu membuat Suri mendengus sinis.
Sudah jelas, bukan? Romeo lebih memilih menghabiskan waktu bersama Diva daripada pulang dan menyelesaikan masalah rumah tangganya.
"Sampaikan pada Romeo," kata Suri dengan nada tajam, "aku hanya minta sepuluh menit waktunya. Sepuluh menit saja untuk menandatangani surat cerai."
Yonas terdiam sesaat, lalu berkata hati-hati, "Baik, Nona Suri. Nanti saya sampaikan."
Suri tahu, tak ada gunanya berharap banyak.
Romeo pasti akan mencari alasan untuk terus mengabaikannya, lalu memadu kasih dengan Diva tanpa rasa bersalah.
Tut!
Dengan gerakan tegas, Suri memutus sambungan telepon dan meletakkan ponselnya di meja.
Ia lalu membuka kopernya sekali lagi.
Tangannya terulur, menyentuh sebuah gaun merah anggun yang sudah lama tidak ia pakai.
Gaun itu pernah menjadi favoritnya—simbol keberanian dan kekuatan.
Namun sejak kehidupannya dengan Romeo berubah menjadi penjara, gaun itu hanya berdiam dalam gelap, seperti dirinya.
Suri melepas pakaiannya dan mengenakan gaun merah itu. Potongan gaun tersebut begitu pas, memperlihatkan lekuk tubuh yang selama ini ia sembunyikan di balik pakaian longgar dan sederhana.
Suri menatap cermin, menilai bayangannya dengan saksama. Bekas luka di pipi kirinya terlihat jelas di bawah lampu kamar. Luka yang ia terima dari tragedi kecelakaan masa lalu.
Namun hari ini, Suri tak ingin terlihat rapuh. Ia mengambil kuas make-up dan mulai bekerja.
Dengan telaten, ia menutupi bekas luka itu hingga nyaris tak terlihat.
Ia memoles wajahnya dengan riasan lembut, menyamarkan jejak kesedihan yang pernah ada.
Lipstik berwarna nude mengguratkan ketegasan di bibir Suri, sementara matanya berkilat penuh tekad.
Wanita di pantulan cermin itu bukan lagi Suri yang pasrah dan lemah.
Ia adalah Suri yang siap mengambil alih hidupnya, menegakkan keadilan di sisa waktu yang ia punya.
Matanya menyala dengan api kemarahan dan tekad. Ia sudah cukup bersabar. Bagaimanapun caranya, ia akan menemui Romeo langsung di hotel, dan memaksa lelaki itu untuk menandatangani surat cerai!
Kriet!
Suri membuka pintu kamar dan menarik koper besar miliknya. Ini adalah detik terakhir ia akan menginjakkan kaki di mansion keluarga Albantara.
Di dalam hati, Suri sudah mantap untuk meninggalkan masa lalu yang pahit, menuju awal baru yang akan ia jalani dengan penuh keberanian.
Namun ketika Suri melintasi ruang tengah, suara keras menyapanya. “Suri! Mau pergi ke mana kau dengan dandanan menor seperti itu?”
Suri menoleh, mendapati Nyonya Valerie, ibu mertuanya, berdiri di ujung lorong, matanya memicing penuh curiga. Di sebelahnya, Aira, bersedekap sembari menyunggingkan senyum sinis.
Ia tampak kebingungan, seperti tak ingin terlibat dalam situasi yang tidak nyaman ini.
Suri mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada Bi Wina agar berhenti. “Tidak perlu, Bi. Aku sendiri yang akan membukanya.” Dengan gerakan tenang, Suri berlutut dan membuka kopernya di hadapan mereka. Pakaian-pakaian, perlengkapan pribadi, dan barang-barang kecil yang ia bawa tampak tertata rapi di dalam koper itu. “Lihat sendiri, apakah ada uang atau perhiasan yang saya ambil?” tantang Suri. Aira mencibir, lalu berkata dengan nada sinis, “Sebagian dari baju-bajumu juga dibeli dengan uang Kak Romeo, kan? Jadi, bisa dibilang semua itu adalah milik kakakku!” Suri tetap tenang. Tanpa berkata apa-apa, ia memasukkan tangannya ke dalam koper, mengeluarkan sejumlah pakaian, sepatu, dan tas yang pernah diberikan Romeo kepadanya. Satu per satu, barang-barang itu ia lemparkan ke lantai, di depan kaki ibu mertuanya dan Aira. “Silakan ambil. Saya tidak butuh semua ini.” Ucapannya datar, tetapi setiap kata terasa seperti tusukan dingin. Ibu mertuanya hanya bisa terdiam sejenak, memandangi barang-barang itu dengan tatapan penuh kebencian. Sedangkan Aira tak mampu menyembunyikan rasa terkejutnya melihat keberanian Suri yang selama ini mereka pandang lemah. Suri menutup kopernya kembali dan bangkit berdiri. Ia siap untuk meninggalkan manison, ketika Nyonya Valerie menahan lengannya. “Suri, kau masih memakai perhiasan dari Romeo di jarimu!” Kali ini, Suri tersentak.Baru disadarinya bahwa cincin pernikahan itu masih tersemat di jari manis.
Cincin emas bermata berlian, yang dulu menjadi lambang ikatan antara dirinya dan Romeo, kini terasa seperti belenggu yang ingin ia lepaskan secepatnya.
Dengan tenang, Suri melepaskan cincin itu dari jarinya, menggenggamnya sejenak, lalu menyerahkannya ke tangan Nyonya Valerie. Ia menatap mata ibu mertuanya itu dengan sorot tajam, yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya. “Ini tanda bahwa pernikahan saya dengan Romeo telah berakhir. Atau, anggap saja tidak pernah ada,” tegas Suri tanpa keraguan sedikitpun. Tanpa sepatah kata lagi, Suri meneruskan langkahnya. Saat pintu depan terbuka, ia melihat taksi sudah menunggunya di depan gerbang.Suri masuk ke dalam taksi, menutup pintunya, lalu memandang mansion itu untuk terakhir kalinya.
Tidak ada rasa rindu, hanya kelegaan yang membuncah di dadanya.Sebentar lagi, ia bebas.
Bebas dari Romeo, bebas dari keluarga yang tak pernah menerimanya.
Begitu tiba, Suri berjalan cepat memasuki lobi Hotel Orion.Gaun merah yang ia kenakan berayun mengikuti gerakan tubuhnya, menarik perhatian tamu dan staf hotel.Namun, Suri tidak peduli. Hanya satu hal yang ada dalam pikirannya malam ini—mengakhiri pernikahan dengan Romeo. Ia langsung menuju meja resepsionis dan bertanya, “Di mana letak restoran?” “Di sebelah kanan lobi, Nyonya.”Setelah mendapat arahan dari sang resepsionis, Suri mengayunkan langkah. Begitu sampai di depan pintu restoran, ia berhenti sejenak, mengatur napas. Dari celah pintu kaca, Suri langsung menangkap sosok Romeo yang duduk di meja besar bersama seorang pria berjas hitam. Ia menebak pria itu adalah Tuan Thomas. Sementara di samping Romeo, ada Diva yang terlihat cantik dengan gaun model sabrina berwarna hitam. Suri mencoba menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyergap hatinya. Ia melihat mereka berbincang akrab, seperti tak ada beban. Sejenak, ia ingin berbalik dan pergi, tetapi ia sudah terlalu jauh. Ini buka
Suri terkejut dan mencoba melawan, tetapi Romeo menggenggam tangannya lebih erat. Ia menyeret Suri keluar dari restoran tanpa menghiraukan tatapan heran para tamu. “Romeo, kamu gila!” Suri berteriak.Romeo terus menariknya menuju lift, lalu menekan tombol ke lantai tujuh dengan terburu-buru. Pintu lift tertutup, mengurung mereka berdua dalam ruang sempit yang penuh dengan ketegangan. “Kenapa kamu melakukan ini?” Suri berbisik, suaranya bergetar antara marah dan takut. Romeo menatapnya dengan mata yang penuh emosi. “Kamu ingin kebebasan, Suri? Kamu akan mendapatkannya setelah kita selesaikan semuanya malam ini.” Suri menelan ludah, hatinya berdegup kencang. Ia merasa terperangkap dalam situasi yang tak terduga. Meski begitu, ia tidak akan membiarkan Romeo menang. Begitu lift sampai di lantai yang dituju, Romeo menarik Suri keluar dan membawanya ke depan pintu kamar. Dengan satu gerakan cepat, lelaki itu menyeret Suri masuk lalu menutup pintu dengan keras. Bunyi pintu yang te
Entah berapa lama, Suri tak tahu.Romeo benar-benar tak dapat dicegah sama sekali.Pria itu benar-benar keras, panas, dan tak tertahankan.Tapi begitu memaksa di saat bersamaan.Hal ini sungguh berbeda dari bayangan Suri sebelumnya.Ia selalu membayangkan malam pertamanya dengan sang suami akan begitu hangat dan lembut. Bukan kemarahan seperti ini.Perlahan, Suri merasakan kantuk.Ia terlalu lelah, hingga menyerah.Dibiarkannya Romeo menguasai tubuhnya.***"Arrgh..." erang Suri kala terbangun dengan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya, seolah-olah ia baru saja dilindas truk.Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya lemas, seperti kehilangan seluruh energi dan harapannya.Di kamar hotel yang mewah itu, matanya mengerjap beberapa kali kala menyadari kenyataan pahit yang menimpanya—Romeo sudah tidak ada.Suri meremas selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Napasnya terasa berat, seolah-olah ada beban tak terlihat yang menekan dadanya. Ia memaksa dirinya turun dari tempat tidur denga
Selama perjalanan, Suri menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Ia memikirkan semua kenangan buruk dan perasaan terperangkap yang ia alami bersama Romeo semalam. Pria itu, yang tidak pernah menyentuhnya selama pernikahan, justru mengambil kesuciannya secara paksa di saat-saat terakhir mereka bersama. Betapa ironisnya cinta yang dulu ia pikir akan membuatnya bahagia, kini hanya menyisakan luka mendalam.Suri mengepalkan tangan di atas pangkuan. Romeo boleh mengambil surat cerai mereka, tetapi pria itu tidak akan bisa menghentikan niatnya untuk pergi. Apapun risikonya, ia akan menggugat Romeo secara hukum untuk mengakhiri pernikahan mereka.Saat taksi berhenti di tempat tujuan, Suri menghela napas sepenuh dada. Dengan langkah gontai, ia keluar dari taksi. Gaun merah yang ia kenakan tampak kusut, dan wajahnya terlihat begitu pucat, membuat aura kerapuhan menyelimuti dirinya. Meski tubuhnya serasa tak bertenaga, Suri tahu bahwa langkah pertama menuju kebebasan sudah dimulai. Kini
Setelah asisten Tuan Josua membelikan blazer baru, Suri segera melanjutkan perjalanan ke rumah sakit dengan diantar mobil pribadi milik pengacaranya. Di dalam mobil, tubuh Suri bersandar lemah, tetapi pikirannya berputar. Setiap detik berlalu terasa lambat, dan hatinya masih bergejolak dengan kenangan buruk semalam.Ia menatap keluar jendela, melihat pemandangan kota yang berlalu begitu cepat, seolah mengisyaratkan bahwa waktu tak akan berhenti menunggunya. Begitu sampai di rumah sakit, Suri turun dengan langkah berat. Blazer yang ia kenakan sedikit memberikan rasa nyaman, seolah menyembunyikan luka batin yang menggerogoti hatinya.Di ruang tunggu, ia duduk sejenak sebelum akhirnya perawat memanggilnya masuk ke ruangan dokter Adrian. Ketika dokter Adrian melihat Suri masuk, wajahnya langsung memancarkan keterkejutan.“Suri, apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah jadwal operasimu besok siang?” tanyanya, bingung.
Baru saja Romeo meletakkan gagang telepon, pintu ruangannya terbuka. Diva masuk dengan senyuman yang tersungging di bibirnya, menenteng kantong cokelat yang terlihat seperti bungkusan makan siang. Dengan gaya berjalan bak model di atas catwalk, wanita itu mendekati meja kerja Romeo.“Kak Romeo, aku bawakan makan siang untukmu. Aku sendiri yang masak,” tuturnya dengan nada menggoda. Padahal, makanan itu dipesannya dari salah satu restoran mahal. Ia tahu Romeo menyukai perhatian semacam itu, dan Diva sangat ahli memainkan peran wanita ideal di hadapan pria yang ia inginkan. Romeo melonggarkan dasi di lehernya yang terasa mencekik. Kemudian, ia beranjak dari kursi untuk membuang amplop cokelat dan potongan kertas yang masih tersisa di meja.Mata Diva langsung menangkap benda yang dibawa oleh Romeo, dan ia menyadari apa itu. “Bukankah itu surat cerai dari Suri?” tanyanya dengan nada terkejut, alisnya terangkat. “Kenapa Kak Romeo malah membuangnya? Aku pikir Kak Romeo sudah menandatang
Ketika akhirnya mobil tiba di depan Hotel Orion, Romeo langsung melompat keluar bahkan sebelum mobil benar-benar berhenti. Ia masuk ke lobi dengan langkah lebar. Tanpa mempedulikan pandangan staf hotel yang memperhatikannya, Romeo menghampiri meja resepsionis. Yonas yang melihat kedatangan sang atasan, buru-buru mendampingi Romeo.“Di mana istri saya, Suri Albantara?” suaranya tajam dan dingin seperti pisau. Resepsionis yang bertugas tampak canggung, menunduk sedikit sambil berkata dengan hati-hati, “Maaf, Tuan Romeo. Kami tidak tahu. Istri Anda meninggalkan hotel sekitar pukul sembilan pagi.”Romeo semakin berang. “Bagaimana kalian bisa tidak tahu? Bukankah setiap tamu VIP di sini harus diperhatikan?” Suaranya meninggi, membuat beberapa tamu di sekitar lobi menoleh dengan rasa ingin tahu bercampur ketakutan.Manajer hotel yang mendengar keributan itu segera datang, wajahnya tegang. Ia mengenali Romeo sebagai salah satu tamu penting, sekaligus rekan bisnis dari keluarga Gunarto, pe
Romeo memandang jepit rambut berbentuk kupu-kupu yang ia pegang dengan erat. Benda kecil itu terasa lebih berat daripada kelihatannya, seakan menyimpan rahasia masa lalu yang tidak pernah ia pahami. Ia membolak-balik jepit itu di antara jarinya, pikirannya berputar-putar tanpa henti. Apakah mungkin Suri adalah gadis kecil yang pernah menolongnya dulu? Ataukah jepit ini hanya kebetulan saja? Ya, hanya satu benda belum bisa membuktikan bahwa Suri adalah gadis yang ia cari. Pastinya ada banyak gadis di kota ini yang memiliki hiasan rambut serupa. Ketika Romeo masih tenggelam dalam ketidakpastian, pintu kamarnya tiba-tiba diketuk. Bunyi tumit sepatu beradu dengan lantai terdengar mendekat. Tanpa menunggu jawaban, pintu terbuka perlahan. Sosok Nyonya Valerie, ibunya, melangkah masuk seraya membawa sesuatu di genggaman tangannya. Wajah perempuan paruh baya itu tampak masam, alisnya terangkat seolah siap menghakimi apa pun yang dilihatnya. Sebelum ibunya bertanya, Romeo segera menyimpa
Meski Romeo tak menoleh sama sekali, Diva masih terus meronta-ronta. Suaranya melengking di antara pekikan sirene dan derap langkah para petugas yang mengawalnya. "Tolong, Pak, saya ingin bicara dengan Kak Romeo," serunya, sarat dengan emosi. "Sebentar saja." Para polisi saling bertukar pandang, ragu apakah akan mengabulkan permintaan tersangka yang jelas-jelas baru saja mencoba membunuh seseorang. Sementara itu, Romeo sudah mendudukkan Suri di dalam mobil. Namun, ketika pria itu hendak menutup pintu, Suri tiba-tiba mencegahnya. "Sayang, bicaralah pada Diva," tutur Suri lembut. "Untuk terakhir kali." Romeo mengerutkan kening, menoleh ke arah Suri, seolah ingin meyakinkan bahwa istrinya tidak salah bicara. Namun, tatapan Suri yang penuh pengertian dan ketulusan, membuat Romeo menemukan jawaban. "Mungkin, bila kamu yang menasihatinya, Diva akan lebih tenang," lanjut Suri.Romeo menarik napas dalam, lalu keluar dari mobilnya. Dengan sopan, pria itu meminta kepada polisi agar memb
Langkah Suri tetap tenang saat ia memasuki rumah itu, tetapi jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang yang bertalu tanpa henti. Jemarinya yang menggenggam gagang kereta bayi terasa dingin, sementara ponselnya bergetar berulang kali di dalam tas. Suri tahu siapa yang menghubunginya.Romeo. Pria itu pasti mengetahui bahwa ia telah sampai di titik lokasi, dan tengah berusaha memperingatkannya. Namun, Suri tidak ingin mundur. Ia sudah berada di titik ini, sudah setengah jalan, dan harus memastikan dengan matanya sendiri bahwa Diva benar-benar ada di dalam rumah. Begitu Suri melewati ambang pintu, Bastian mengikuti dari belakang. Pria itu lantas berjalan ke tangga dan memanggil istrinya dengan lantang.“Sayang, Ibu Suri sudah datang!” Suara Bastian menggema ke lantai atas, nyaris seperti pekikan.Lalu, tanpa memberi kesempatan bagi Suri untuk merespons, Bastian berkata dengan santai.“Silakan duduk, Bu Suri. Saya harus keluar sebentar untuk memeriksa barang yang tertinggal
Bukit Harapan. Nama itu terasa ironis bagi Suri. Tempat itu dikenal sebagai tempat yang damai, pelarian bagi mereka yang ingin melepas penat dari hiruk-pikuk kota. Namun, bagi Suri, tempat itu bukan lagi lambang ketenangan. Sebaliknya, di sanalah kemungkinan terburuk bisa terjadi. Ia menatap ke luar jendela, memperhatikan perubahan pemandangan di luar sana. Gedung-gedung tinggi mulai tergantikan oleh deretan rumah kecil yang berjajar rapi, kemudian berganti menjadi jalanan yang lebih sepi. Rasa dingin menjalari tubuhnya, bukan karena cuaca, melainkan karena kesadaran bahwa ia semakin dekat dengan titik penentuan. Suri merapatkan blazer yang ia kenakan. Hatinya berdegup cepat, tetapi ia menolak membiarkan ketegangan menguasainya. Mobil yang ditumpangi Suri akhirnya mencapai kawasan Bukit Harapan. Jalanan yang mereka lalui semakin sepi, dikelilingi oleh pepohonan rindang yang menjulang tinggi di kedua sisi. Suasana di tempat ini cukup lengang, hanya sesekali terdengar suara burun
Pagi itu, Suri membuka tirai lebar-lebar agar cahaya matahari menghangatkan kamar tidurnya. Kemudian, ia duduk di kursi khusus, menyusui bayi kembarnya dengan penuh kelembutan. Jevandro dan Jeandra yang mungil tampak nyaman dalam dekapan ibunya. Jemari kecil mereka menggenggam baju Suri, seolah tidak ingin terpisah barang sedetik pun. Namun, di balik momen penuh kasih itu, kegelisahan perlahan merambat ke dalam hati Suri. Hari ini akan menjadi hari yang penting, hari di mana ia mempertaruhkan segalanya demi mengakhiri ancaman Diva. Jarum jam telah menunjukkan pukul delapan pagi, tetapi Romeo belum juga pulang. Sejak pukul enam, pria itu sudah pergi untuk mengatur segala persiapan, memastikan rencana mereka berjalan sempurna. Selesai menyusui, Suri menyerahkan Jevandro dan Jeandra kepada pengasuh. Dengan hati-hati, ia mengusap pipi kedua bayinya sebelum beranjak ke depan cermin besar di sudut kamar. Tangannya meraih setelan blazer berwarna putih gading yang dipadukan dengan blu
Sejenak, keheningan menelan ruangan. Randy terpaku di tempatnya, wajahnya kehilangan warna. Ia berkedip beberapa kali, seolah tidak yakin dengan apa yang baru saja diucapkan Diva. "M—maksudmu rumah ini akan dibakar?" tanyanya dengan suara serak. “Bukankah ini hasil dari kerja kerasmu?”Diva mengangkat dagu, mata elangnya berkilat tajam. "Aku rela kehilangan rumah, asalkan bisa menghabisi Suri. Orang yang berani merebut milikku, harus dihukum." Randy menelan ludah, rasa dingin menjalari tengkuknya. "Tapi... ini.…" Pria feminim itu menggeleng, mencari kata-kata yang tepat. "Aku tidak menyangka kamu akan melakukan tindakan berbahaya, Diva. Ini seperti adegan film kriminal!" Diva tertawa. Tawanya renyah, tetapi mengandung sesuatu yang dingin dan beracun. Ia melangkah lebih dekat, jemarinya yang ramping menyentuh wajahnya sendiri, seolah ia sedang membayangkan dirinya berperan dalam suatu adegan epik. “Tentu saja,” tukas Diva, bibirnya membentuk senyum sinis.“Karena aku adalah seo
Mereka berdua kemudian naik ke tempat tidur, duduk berdampingan dalam keheningan. Waktu berjalan perlahan, setiap detik terasa lebih panjang dari biasanya. Hingga akhirnya, suara notifikasi masuk terdengar dari ponsel Suri. Dengan cepat, Suri meraih ponselnya dan membuka email. Rekaman CCTV sudah diterima.Suri bergegas turun dari tempat tidur untuk mengambil laptop. Ia mulai mengunduh rekaman CCTV itu, sementara Romeo duduk lebih dekat untuk melihat layar bersama. Ketika rekaman mulai terputar, tampak suasana lobi kantor Pilar Interior Desain. Orang-orang berlalu lalang dan staf yang keluar masuk tampak di sana. Lalu, dalam beberapa detik, muncul sepasang pria dan wanita yang masuk ke dalam gedung. Suri langsung memperbesar tampilan. Pria itu masih muda, berpenampilan rapi dengan kemeja formal, sedangkan wanita di sebelahnya mengenakan setelan blazer hitam, rambutnya pendek, dan sebuah kacamata menghiasi wajahnya. Romeo menyipitkan mata, berusaha melihat lebih jelas. “Aku
“Apakah saya perlu menghubungkan mereka dengan Anda, Bu?” tanya sang resepsionis dengan nada sedikit ragu. Romeo yang berdiri di sebelah Suri langsung menggeleng, ekspresinya jelas menunjukkan bahwa ia tidak setuju. Namun, Suri tetap mendekatkan ponselnya ke telinga. “Baiklah, hubungkan dengan saya.” Beberapa detik kemudian, suara bariton seorang pria terdengar dari seberang. Nada bicaranya terdengar ramah. “Selamat malam, Bu Suri. Perkenalkan, saya Henri. Saya mendengar bahwa Anda adalah salah satu arsitek terbaik di kota Velmora," jelas Henri penuh semangat."Kebetulan saya dan istri saya baru saja membeli rumah, dan kami ingin mendesain ulang. Kami berharap Anda sendiri yang menangani proyek ini.” Suri berusaha tetap tenang. “Terima kasih atas kepercayaan Anda, Pak Henri, tetapi saat ini saya sedang cuti untuk mengurus bayi saya.” “Ah, saya mengerti,” Henri menanggapi dengan nada pengertian, sebelum ia melanjutkan, “sebenarnya, itu bukan masalah. Jika perlu, Anda bisa me
Di kantor Pilar Interior Desain, kesibukan masih terasa meski waktu telah menunjukkan pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Akhir bulan selalu menjadi waktu yang paling sibuk bagi perusahaan itu. Apalagi, proyek-proyek besar terus berdatangan tanpa henti, menumpuk seperti gelombang pasang yang tak kunjung surut. Beberapa staf nampak sibuk di meja kerja mereka, menyelesaikan detail proyek sebelum tenggat waktu. Axel, dengan kemeja yang sedikit kusut, sedang berkutat dengan berkas-berkas desain yang berserakan di mejanya. Ia tengah menangani proyek renovasi butik eksklusif di pusat kota Velmora.Kini, tanggung jawab itu sepenuhnya berada di pundaknya. Tidak hanya proyek butik ini, tetapi juga beberapa proyek lain yang seharusnya masih di bawah pengawasan Suri. Sejak Suri tidak ada, ia harus mengambil alih beban kerja dua kali lipat. Penat, Axel menghela napas panjang dan meremas pelipisnya. Merasa kepalanya mulai berat, pria itu bangkit dari kursi. "Aku butuh makan," putusnya sambil me
Mobil melaju dengan stabil, membelah malam yang hangat dengan nuansa kebersamaan. Suri menyandarkan kepala pada bahu suaminya, menikmati perjalanan di bawah kerlip lampu-lampu kota. Romeo sesekali mengusap punggung tangan Suri dengan ibu jarinya, gerakan kecil yang menenangkan sekaligus penuh kasih sayang. Tak berselang lama, sopir menghentikan mobil perlahan di depan Hotel Scarlett, tempat di mana mereka akan bertemu dengan dua sahabat lama. Seorang petugas valet segera datang membukakan pintu.Romeo turun terlebih dahulu, lalu mengulurkan tangan untuk membantu Suri keluar dari mobil. Namun, baru beberapa langkah mereka berjalan memasuki lobi, sebuah suara yang begitu akrab menggema di telinga mereka. "Romeo!" Suri menoleh dan melihat seorang pria bertubuh tegap dengan senyum lebar, berjalan cepat ke arah mereka.Kenzo.Tepat di sampingnya, Raysa melangkah anggun, tersenyum hangat ke arah mereka. Wajah Kenzo langsung berubah begitu melihat sosok Romeo. Hampir satu tahun berla