“Bu Isyana masih ingat saya kan?” tanya Pria yang duduk di belakang kemudi.“Pak Basel kan ya. Dulu kalau tidak salah, perusahaan saya pernah pakai hotel Bapak untuk pameran.”Isyana kembali mengingat pria yang baik hati menjemputnya. Tentu dia tidak ingin kurang ajar dengan melupakan pria ini begitu saja.“Ya benar Bu.”“Em, panggil Isyana saja kali ya.”“Oh iya boleh. Kita kan juga gak sedang kerja. Kalau begitu, panggil aku juga Basel. Kita akan lebih akrab. Jadi Isyana mau diantar ke mana?”Isyana menepuk dahinya sendiri. Dia benar-benar lupa telah tersesat dan baik hati dijemput Basel. “Ya ampun, antar ke pangkalan ojek saja atau taksi. Aku bisa naik itu untuk pulang.”Tampak keberatan, Basel seketika menggeleng. Merasa tidak mungkin untuk menurunkan Isyana di tempat yang terasa asing baginya.“No ... no. Aku akan antar ke rumah. Jangan sungkan. Kau kan juga temannya Joseline,” ujar Basel yang mulai masuk ke tahap pengenalan lebih dekat.“Iya benar. Kok kau tahu?”Tentu saja cuk
“Duh Cah Bagus, siapanya Isyana ya? Gebetan?”Nenek Asma tidak malu untuk menanyakan hal tersebut. Tentu saja, kakinya telah kena injakan Isyana yang menganggap itu hal lancang. Isyana tidak ingin neneknya salah paham terhadapnya. Terlebih rasanya malu di hadapan Basel.“Apa sih Isyana?” ujar Nenek Asma yang kesal kakinya diinjak cucunya sendiri.“Nenek yang apa-apaan. Bisa gak jangan banyak menimbulkan kehebohan,” ujar Isyana yang sewot pada neneknya.“Ck, kau ini ya. Orang nenek juga tanya baik-baik. Kenapa juga kau yang kesal.”Wajah Nenek Asma kembali pada Basel. Pria itu sedang meminum teh hangat yang disuguhkan si tuan rumah. Tenggorokannya yang kering segera terisi dengan teh tersebut.“Aku hanya rekan kerjanya Nek. Hanya satu kali bertemu dulu. Ini pertemuan kedua, dan ternyata bisa bermanfaat bagi Isyana.”Basel berkata dengan mata dan bibirnya yang terus tersenyum. Apa lagi dia memandang Isyana dengan tatapan memuja. Seperti ingin memiliki gadis itu.“Ah Nenek doakan yang t
Setelah rencana membeli bahan-bahan membuat kamar mandi baru yang batal kemarin, Isyana ingin melakukannya hari ini. Sayangnya, cuaca hari juga tidak mendukung. Hujan sejak semalam mengguyur desa. Semakin bertambah deras di kala subuh, dan berakhir cukup lebat di pagi harinya.“Kau lagi ingat mantan, Basel apa justru si Ash?” Tubuh Isyana tiba-tiba meremang. Nenek Asma datang mengejutkannya tiba-tiba.“Apa sih Nek. Ada-ada aja pertanyaannya,” ujar Isyana yang wajahnya terasa panas. Entah karena ucapan neneknya, atau hanya hasil dari tangkupan tangan di wajah.“Loh kok ada-ada saja. Habisnya, sejak selesai mandi, hanya bengong saja kerjaanmu. Nih lemet singkong, makan.”Sambil menemani cucunya yang entah sedang memikirkan apa. Nenek Asma, menyodorkan olahan singkong yang dibuat menjadi lemet. Hasil menyisihkan dari camilan suaminya tadi.Di kampung memang sudah biasa dengan olahan singkong yang satu ini. Singkong yang ditumpuk, dibalur dengan santan dan gula merah. Setelah menyatu, b
Rasa penasaran Isyana akibat perkataan Nenek Asma, tentu saja membuat gadis itu mencari tahu sendiri. Untuk lebih mudah, dia akan ajak Asher berpikir. Dari pada berpikir sendiri yang lebih banyak pada hal negatif.Selain itu, Isyana juga benci untuk disindir. Terkait hal kecil yang harus segera diselesaikan, memang itu menjadi prinsipnya. Hanya saja tidak terbayang, neneknya harus ikut mengingatkan kata-kata tersebut.Semakin kesal Isyana, kalanya rumah Asher tampak begitu sepi. Dia mencoba untuk mengintip di celah kaca yang sedikit terbuka. Digedor beberapa kali pun, tidak ada sahutan dari dalam. “Sepi banget sih. Assalamualaikum Bu Ranty, Asher!”Isyana mencoba mengetuk sekali lagi. Nyatanya, sampai tangan panas, tetap tidak ada yang keluar untuk menemuinya.“Hai Nona Isyana. Langit ini memang mendung, tapi Abang tidak menyangka bertemu dengan Nona yang membuat hati secerah pelangi.”Motor buntut Bagas berhenti di sebelah Isyana. Sengaja sekali untuk mendekati gadis tersebut. “Em
Toko yang seharusnya sudah bisa beroperasi hari ini, terpaksa harus diundur. Isyana merasa belum puas dalam tata letak serta konsep yang sangat monoton.Terlihat sangat kaku, karyawannya menata toko yang bukannya memberikan kesan lega, justru sangat sesak. Banyak juga yang tidak sesuai di matanya.“Andi, Lo kok bisa buat konsep seperti ini sih?” Isyana hanya geleng-geleng kepala melihat ini. Tangannya juga mengelus dada. Harus banyak beristighfar dengan kelakuan pria yang seharusnya sudah paham dengan keinginannya.“Maaf Bu, ini saya sudah atur agar semua barang bisa masuk ke rak. Tempatnya terbatas jadi—”“Jadi Lo mau salahin tempat yang seuprit ini, terus barangnya banyak, gitu?”Pria bermata sipit itu hanya bisa garuk-garuk kepala. Rasanya sulit juga menyesuaikan hal ini. Karena di pusat, toko yang Isyana sewa sangat besar. Banyak yang bisa dia atur. Sementara di sini, mereka menyewa tempat yang cukup kecil, belum lagi diapit dua brand besar.“Bukan begitu Bu. Hanya saja—”“Udah .
Sepanjang perjalanan kembali ke rumah, tidak ada yang berniat membuka suara. Isyana sibuk dengan pekerjaan. Sementara Asher juga tidak berani mengeluarkan suara. Dia menghormati Isyana. Memang sudah seharusnya seperti itu.Sedikit berpikir juga dalam hati, apa tindakannya tadi pada Cakra berlebihan. Terlihat Cakra yang meringis kesakitan. Meski pada akhirnya dia menggeleng. Karena merasa Cakra berlebihan sekali.“Ash, Lo tadi pagi gak bilang apa-apa sama Nenek?” tanya Isyana yang sudah menutup tabletnya. Kini suaranya terdengar untuk mulai mengintrogasi Asher.Pemuda yang sedang melamun, sontak menoleh. “Eh, saya hanya bilang akan ijin antar Mommy.”Dari gerakan wajah Asher yang gugup, Isyana bisa menebak ada yang sedang disembunyikan pria itu. Tipikal Asher tidak mungkin berbohong. Kalau pun iya, akan mudah kentara.“Ada lagi gak selain itu? Lo jangan bohongi gue ya. Soalnya gak suka loh.”“Maksudnya Nona apa? Karena saya sudah berkata jujur.”Isyana hanya bisa menghela napas. Tidak
Kata Asher begitu benar. Siang ini ada beberapa orang yang datang untuk membawa pesanan Asher. Hal ini tentu saja membuat desas-desus baru di antara mereka. Bagaimana tidak, Asher berterus terang pada yang menanyakan untuk apa semen, pasir, keramik dan teman-temannya ini datang adalah membuat kamar mandi untuk kamar Isyana. Semakin memperkuat dugaan, jika Isyana akan menikah dengan Asher.“Syan, emangnya kamar mandi lama kenapa? Kok sampai buat yang baru.”“Gak kenapa-napa kok Bu. Ini biar aku gak bolak-balik ke belakang aja kalau malam.”“Mau nikah ya?”Isyana tertegun sejenak. Tapi dia cepat menguasai diri. “Ya mau lah Bu.”“Oh berarti bener. Kapan?”“Kalau gak Sabtu ya Minggu.”“Cepet ya.”Isyana hanya bisa nyengir. Tidak tahu lagi harus menanggapi dengan hal apa. Yang ada dalam benaknya, ibu ini hanya ingin mengorek informasi lalu menyebarkannya tanpa saring lagi. Atau yang lebih parah, menambahkan sesuatu yang tidak ada.“Em, pasti mewah kan ya. Secara sekarang udah sukses,” uja
Dengan desakan Asher, Isyana akhirnya memboyong laptop dan beberapa peralatan kerja ke rumah Asher. Tentu saja dia tidak akan bisa konsentrasi, jika rumah dalam kondisi berisik.“Ck, kenapa jadi gini sih?”Bukannya membaik, kondisi Isyana justru menyedihkan. Telinganya sudah tidak mendengar ketukan palu, adukan semen, atau suara tukang hilir mudik di depannya, tapi justru yang berisik hatinya.Dia sedang berpikir, apa sebenarnya maksud dari sikap Asher tadi. Belum lagi godaan tukang pengantar yang dia lupa namanya itu. Jelas sekali kalau mereka semua paham jika Isyana dan Asher memiliki hubungan khusus selain sopir dan bos semata. Ingin menjawab mereka hanya sebatas profesional, tapi gerak badan berlainan. Apa lagi berisiknya hati yang tidak baik-baik saja saat berdekatan.Belum lagi ucapan Basel yang terus terang menembaknya. Isyana jadi semakin pusing. Yang ada pekerjaannya tidak tersentuh di sisa hari ini.“Duh sial, jadi kacau begini sih!” Dengan berat dia menurup laptop milikn