“Bos!!! Apa kabar lo?”
Suara Gerry di ujung sambungan telepon terdengar bahagia dan baru sekarang pria itu memanggil Kaivan dengan sebutan Bos padahal sekarang Kaivan sudah bukan Bosnya lagi.“Seneng ‘kan lo!” cibir Kaivan dengan nada malas.“Iya lah seneng, gue yang sekretaris ini gantiin lo jadi CEO … walau baru masa percobaan tapi kesempatan gue besar banget megang jabatan ini … ternyata kerja keras gue jadi babu lo selama ini enggak sia-sia ya,” celoteh Gerry membuat Kaivan mendengus geli menanggapinya.“Lo belum jawab pertanyaan gue, Kai … gue serius waktu tanya kabar lo?” Gerry mengulang pertanyaannya.“Basa-basi lo, kita tiap hari teleponan ….”Gerry tergelak. “Maksud gue hari ini.”Lidah Kaivan berdecak sebal, menurutnya Gerry kepo.“Tadi malam gue abis di-charge sama Fira, jadi kabar gue baik pakai banget hari ini.”Kaivan menjawab penuh dengan rasa bangga karenHari masih sore ketika Zhafira sampai di rumah, tubuhnya terasa lengket dan kotor karena hari ini matahari begitu terik. Zhafira langsung naik ke kamarnya yang berada di lantai dua. Mendorong pintu kamar sambil berpikir jika Kaivan ada di sana sedang beristirahat. Kaivan memang ada di dalam kamar, lebih tepatnya duduk di single sofa dekat jendela diselingi bunga. Ah, tidak. Bukan hanya mengelilingi Kaivan tapi banyak bunga memenuhi kamar itu hingga di atas sofa dan ranjang. Mata Zhafira membulat sempurna sama dengan mulutnya yang kemudian ia tutup dengan tangan. “M-mas … ini ….” Kaivan beranjak dari sofa, meraih satu buket bunga mawar yang lantas ia bawa mendekati Zhafira. “Walau aku enggak jadi CEO lagi, aku masih mampu beliin kamu bunga sekamar.” Karena tadi ia memetik bunga di halaman Villa karena saran Gerry saja. “Memang kurang ajar si Gerry.” Kaivan membatin.
Di dalam kamar Kaivan—Zhafira terlihat keheranan melihat ibu mertua dan nenek mertuanya memasuki kamar. “Kamu enggak apa-apa, Fir?” Bunda Aura bertanya. “Apa yang kamu rasa?”Belum sempat menjawab—kakek Kallandra sudah melayangkan pertanyaan. “Kapan terakhir kamu menstruasi?” Itu nenek Shareena yang bertanya. Zhafira jadi terdiam, mengingat kapan dirinya menstruasi. “Lupa, kayanya udah lama enggak.” Zhafira menjawab ragu.Berturut-turut Kama dan istrinya Arshavina juga Kalila beserta suaminya King masuk ke dalam kamar membuat Zhafira semakin heran.“Tenang pemirsa … ini Kejora punya testpack kehamilan, Mbak Fira coba tes dulu pakai alat ini siapa tahu kaya Mbak Zara langsung jadi … soalnya testpack Kejora itu sakti,” celoteh Kejora mengurai kerumunan di depan ranjang Zhafira. Rupanya Kejora tidak langsung ke kamar Kaivan, ia berbelok dulu ke kamarnya untuk mengambil testpack dari
Genggaman Kaivan di tangan Zhafira mengerat ketika ia mendengar suara detak jantung yang keluar dari alat USG. Mata Kaivan yang berkaca-kaca menampung buliran kristal menatap pada layar datar yang menunjukkan keadaan janin di dalam rahim Zhafira. “Enam minggu usia janinnya dan detak jantungnya sangat sehat … Pak Kaivan bisa mendengarnya, kan?” Dokter paruh baya yang diganggu hari liburnya itu begitu antusias memberitau Zhafira dan Kaivan. Tidak ada yang menjawab pertanyaan sang dokter, Kaivan dan Zhafira membisu menatap takjub pada layar televisi yang tergantung di dinding dan tersambung pada mesin USG. Dan ya, mereka mendengar detak jantung sang janin yang kuat membuat jantung kedua orang tuanya pun berdetak cepat. “Baiklah, saya akan resepkan vitamin dan obat mual untuk Ibu.” Dokter hendak mengangkat alat USG dari perut Zhafira tapi urung karena tangan Kaivan menahan. “Sebentar lagi Dok, saya i
“Pak Kaivan, ini vitamin dan obat mual untuk Ibu Fira.” Seorang pria menghampiri mereka dengan membawa paper bag kecil berisi obat-obatan. “Terimakasih,” kata Kaivan, menerima paper bag itu dengan satu tangannya yang tidak memeluk Zhafira. “Sama-sama, semoga sehat selalu.” Pria itu pergi setelah berkata demikian. “Mas, Fira mau digendong sampe mobil,” pinta Zhafira yang mendadak berubah manja. “Siap, Ratuku.” Kaivan langsung menggendong Zhafira ala bridal, melewati lorong klinik yang kosong melompong untuk tiba di lift. Beberapa keluarga pasien rawat inap yang berada di dalam di lift sesekali mencuri pandang. Heran melihat aksi Kaivan yang menggendong Zhafira karena jika memang Zhafira tidak mampu berjalan, ada kursi di roda yang disediakan di setiap lantai khusus pasien yang bisa Zhafira gunakan. Zhafira menyembunyikan wajahnya di leher Kaivan dengan kedua tangan
Zhafira terbangun dari tidurnya yang nyenyak oleh suara alarm, rasanya sangat malas untuk melakukan aktivitas hari ini. Matanya sulit sekali terbuka tapi kemudian rasa mual bergejolak di dalam perutnya merangkak naik ke tenggorokan membuat Zhafira bergegas turun dari atas ranjang dan berlari ke kamar mandi. “Yaaaang,” panggil Kaivan dengan suara parau nan sexy bangun tidur. Zhafira tidak bisa menjawab karena mulutnya sibuk memuntahkan sesuatu tapi hingga urat-urat lehernya muncul tidak ada yang bisa ia keluarkan. “Duh, Ayang ….” Kaivan mengesah khawatir.Mengusap punggung Zhafira dengan satu tangan dan satu tangannya yang lain mengumpulkan rambut Zhafira menjadi satu genggaman. Ketika dirasa mual itu sedikit mereda, Zhafira membasuh mulutnya kemudian menegakan punggung dan bersandar di dada Kaivan sambil memejamkan mata. “Pusing, Yang?” Kaivan bertanya, tangannya terangkat memijat pelipis Zhafira.
“Bi, buah rambutan Fira mana?” Zhafira bertanya pada Bi Eneng begitu ia sampai di Villa. “Bibi cuci dulu dan pindahkan ke piring ya, Non.” “Jangan Bi, tetap simpan di karungnya saja … nanti bawa ke ruang tv ya, Bi … Fira mandi dulu.” “Iya, Non.” Zhafira menggandeng tangan Kaivan dengan hati riang menaiki anak tangga menuju kamar. “Mandi bareng ya, Mas.” Tumben-tumbenan Fira mengajak mandi bersama membuat perasaan Kaivan tidak enak. “Ayang enggak akan minta aku yang ngabisin rambutan sekarung itu, kan?” Zhafira tergelak melihat raut wajah was-was Kaivan. “Enggak lah, Mas … Fira aja yang makan, nanti kalau Fira sama bayi kenyang bisa buat di makan besok … terus besoknya lagi.” Segera saja hati Kaivan terasa lega mendengarnya, ia pun jadi semangat mandi bersama Zhafira. Usai mandi dan mengganti pakaian, keduanya langsung menuju ruang makan untu
Xander sudah mendengar berita kehamilan Zhafira tapi baru sekarang ia melihat Zhafira dengan perutnya yang sedikit membuncit. Tubuh Zhafira kini lebih berisi dan kulitnya tampak bercahaya meski beberapa bulan ini terpapar sinar matahari tapi tidak membuat kulitnya tampak kusam. Dengan kata lain Zhafira lebih cantik dari terakhir Xander melihatnya. Dan kedatangan Xander ke proyek ini tidak lain karena merindukan Zhafira, sebetulnya sebagai pemilik perusahaan ia tidak perlu datang. Kepala proyek yang akan melaporkan kepadanya dan ada tim yang meninjau kinerja para pekerja di proyek beserta mengecek kualitas bahan agar sesuai dalam kontrak. Bila tidak begitu pun, Zhafira akan menerornya langsung jika ada yang tidak sesuai. “Pak Xander … apa Pak Xander baik-baik saja?” Zhafira bertanya karena pria tampan di depannya membatu dengan memaku tatap padanya. Xander berdekhem kemudian melarikan pandangan ke ara
Keluarga Gunadhya mengadakan Baby shower untuk Zara dan Zhafira sekaligus. Perhelatan megah itu mengundang ribuan orang layaknya seperti sebuah acara pernikahan. Semua ini adalah bentuk rasa sayang dan cinta kasih kakek Kallandra Gunadhya kepada cucu dan cucu menantu juga cicit yang sebentar lagi akan lahir ke dunia. Juga bentuk rasa syukur kepada Tuhan karena akhirnya dua cucu mantunya diberi kepercayaan untuk menjadi seorang ibu. Seluruh keluarga dan kerabat tentunya diundang dalam acara tersebut termasuk klien dan partner AG Group. Mungkin kakek Kallandra lupa jika ayah dari banyak teman Kaivan adalah klien AG Grup bahkan ada yang klien dan kerabat AG Group itu sendiri sehingga pertemuan dengan Imelda tidak dapat dihindarkan. Imelda sengaja menghampiri Zhafira yang baru saja masuk ke dalam Ball room hotel tempat acara berlangsung. Zhafira begitu cantik dan tampak elegan dengan balutan gaun peranca