Genggaman Kaivan di tangan Zhafira mengerat ketika ia mendengar suara detak jantung yang keluar dari alat USG.
Mata Kaivan yang berkaca-kaca menampung buliran kristal menatap pada layar datar yang menunjukkan keadaan janin di dalam rahim Zhafira.“Enam minggu usia janinnya dan detak jantungnya sangat sehat … Pak Kaivan bisa mendengarnya, kan?”Dokter paruh baya yang diganggu hari liburnya itu begitu antusias memberitau Zhafira dan Kaivan.Tidak ada yang menjawab pertanyaan sang dokter, Kaivan dan Zhafira membisu menatap takjub pada layar televisi yang tergantung di dinding dan tersambung pada mesin USG.Dan ya, mereka mendengar detak jantung sang janin yang kuat membuat jantung kedua orang tuanya pun berdetak cepat.“Baiklah, saya akan resepkan vitamin dan obat mual untuk Ibu.”Dokter hendak mengangkat alat USG dari perut Zhafira tapi urung karena tangan Kaivan menahan.“Sebentar lagi Dok, saya i“Pak Kaivan, ini vitamin dan obat mual untuk Ibu Fira.” Seorang pria menghampiri mereka dengan membawa paper bag kecil berisi obat-obatan. “Terimakasih,” kata Kaivan, menerima paper bag itu dengan satu tangannya yang tidak memeluk Zhafira. “Sama-sama, semoga sehat selalu.” Pria itu pergi setelah berkata demikian. “Mas, Fira mau digendong sampe mobil,” pinta Zhafira yang mendadak berubah manja. “Siap, Ratuku.” Kaivan langsung menggendong Zhafira ala bridal, melewati lorong klinik yang kosong melompong untuk tiba di lift. Beberapa keluarga pasien rawat inap yang berada di dalam di lift sesekali mencuri pandang. Heran melihat aksi Kaivan yang menggendong Zhafira karena jika memang Zhafira tidak mampu berjalan, ada kursi di roda yang disediakan di setiap lantai khusus pasien yang bisa Zhafira gunakan. Zhafira menyembunyikan wajahnya di leher Kaivan dengan kedua tangan
Zhafira terbangun dari tidurnya yang nyenyak oleh suara alarm, rasanya sangat malas untuk melakukan aktivitas hari ini. Matanya sulit sekali terbuka tapi kemudian rasa mual bergejolak di dalam perutnya merangkak naik ke tenggorokan membuat Zhafira bergegas turun dari atas ranjang dan berlari ke kamar mandi. “Yaaaang,” panggil Kaivan dengan suara parau nan sexy bangun tidur. Zhafira tidak bisa menjawab karena mulutnya sibuk memuntahkan sesuatu tapi hingga urat-urat lehernya muncul tidak ada yang bisa ia keluarkan. “Duh, Ayang ….” Kaivan mengesah khawatir.Mengusap punggung Zhafira dengan satu tangan dan satu tangannya yang lain mengumpulkan rambut Zhafira menjadi satu genggaman. Ketika dirasa mual itu sedikit mereda, Zhafira membasuh mulutnya kemudian menegakan punggung dan bersandar di dada Kaivan sambil memejamkan mata. “Pusing, Yang?” Kaivan bertanya, tangannya terangkat memijat pelipis Zhafira.
“Bi, buah rambutan Fira mana?” Zhafira bertanya pada Bi Eneng begitu ia sampai di Villa. “Bibi cuci dulu dan pindahkan ke piring ya, Non.” “Jangan Bi, tetap simpan di karungnya saja … nanti bawa ke ruang tv ya, Bi … Fira mandi dulu.” “Iya, Non.” Zhafira menggandeng tangan Kaivan dengan hati riang menaiki anak tangga menuju kamar. “Mandi bareng ya, Mas.” Tumben-tumbenan Fira mengajak mandi bersama membuat perasaan Kaivan tidak enak. “Ayang enggak akan minta aku yang ngabisin rambutan sekarung itu, kan?” Zhafira tergelak melihat raut wajah was-was Kaivan. “Enggak lah, Mas … Fira aja yang makan, nanti kalau Fira sama bayi kenyang bisa buat di makan besok … terus besoknya lagi.” Segera saja hati Kaivan terasa lega mendengarnya, ia pun jadi semangat mandi bersama Zhafira. Usai mandi dan mengganti pakaian, keduanya langsung menuju ruang makan untu
Xander sudah mendengar berita kehamilan Zhafira tapi baru sekarang ia melihat Zhafira dengan perutnya yang sedikit membuncit. Tubuh Zhafira kini lebih berisi dan kulitnya tampak bercahaya meski beberapa bulan ini terpapar sinar matahari tapi tidak membuat kulitnya tampak kusam. Dengan kata lain Zhafira lebih cantik dari terakhir Xander melihatnya. Dan kedatangan Xander ke proyek ini tidak lain karena merindukan Zhafira, sebetulnya sebagai pemilik perusahaan ia tidak perlu datang. Kepala proyek yang akan melaporkan kepadanya dan ada tim yang meninjau kinerja para pekerja di proyek beserta mengecek kualitas bahan agar sesuai dalam kontrak. Bila tidak begitu pun, Zhafira akan menerornya langsung jika ada yang tidak sesuai. “Pak Xander … apa Pak Xander baik-baik saja?” Zhafira bertanya karena pria tampan di depannya membatu dengan memaku tatap padanya. Xander berdekhem kemudian melarikan pandangan ke ara
Keluarga Gunadhya mengadakan Baby shower untuk Zara dan Zhafira sekaligus. Perhelatan megah itu mengundang ribuan orang layaknya seperti sebuah acara pernikahan. Semua ini adalah bentuk rasa sayang dan cinta kasih kakek Kallandra Gunadhya kepada cucu dan cucu menantu juga cicit yang sebentar lagi akan lahir ke dunia. Juga bentuk rasa syukur kepada Tuhan karena akhirnya dua cucu mantunya diberi kepercayaan untuk menjadi seorang ibu. Seluruh keluarga dan kerabat tentunya diundang dalam acara tersebut termasuk klien dan partner AG Group. Mungkin kakek Kallandra lupa jika ayah dari banyak teman Kaivan adalah klien AG Grup bahkan ada yang klien dan kerabat AG Group itu sendiri sehingga pertemuan dengan Imelda tidak dapat dihindarkan. Imelda sengaja menghampiri Zhafira yang baru saja masuk ke dalam Ball room hotel tempat acara berlangsung. Zhafira begitu cantik dan tampak elegan dengan balutan gaun peranca
Beberapa hari terakhir Kaivan selalu terbangun tengah malam terusik oleh pergerakan Zhafira yang gelisah dalam tidurnya. Perut Zhafira sudah sangat besar, dokter mengatakan jika sebentar lagi akan melahirkan tapi Zhafira masih bertahan tinggal di Puncak hingga peresmian resort. Begitulah permintaan Zhafira pada Kaivan yang tidak bisa Kaivan tolak. “Yang,” panggil Kaivan menegakan sedikit tubuhnya mengecek keadaan sang istri. “Begah, Mas … Fira juga engap banget, keluh Zhafira dengan mata berkaca-kaca. Semenjak hamil Zhafira memang mudah mengeluarkan air mata membuat Kaivan kalang kabut berusaha agar air mata Zhafira berhenti mengalir. “Coba bobonya sambil duduk, nanti aku benerin posisi tidur kamu kalau kamu udah terlelap.” Kaivan mencoba mencari solusi dengan terlebih dahulu ia menegakan tubuhnya bersandar pada headboard agar Zhafira bisa bersandar di dadanya. Zhafira menurut, dengan ban
Zhafira merasakan tubuhnya tidak nyaman, perutnya mulas tapi setiap kali duduk di atas closet—mulas itu lenyap entah ke mana. Sayangnya Zhafira tidak memiliki waktu untuk mengkhawatirkannya karena besok adalah peresmian resort dan hari ini segala sesuatunya harus sudah siap seratus persen. Jam sembilan malam Zhafira masih sibuk menata venue padahal sudah ada Event Organizer tapi Zhafira tidak percaya begitu saja dan tetap mengecek setiap detailnya satu persatu. Kakinya yang bengkak terasa kebas, belum lagi rasa mulas semakin sering mendera meski hilang timbul. “Yang, kita pulang sekarang … udah malem.” Nada suara dan sorot mata yang tegas milik Kaivan tidak bisa Zhafira tawar lagi, ia harus menurut. Selama ini Kaivan selalu mengalah, berusaha mengerti keinginannya jadi tidak semestinya Zhafira membantah apalagi ini demi kebaikan dirinya dan si janin. “Iya Mas, Fira pamit sama EO-nya dulu.”
Zhafira memejamkan matanya tatkala rasa mulas dan nyeri di bagian pinggang menghantam begitu dahsyat. Genggaman tangan Zhafira di tangan Kaivan yang duduk di samping sambil mengusap perutnya pun mengerat kuat. Keduanya sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Kebetulan heli milik kakek Kallandra yang beberapa bulan terakhir ini terparkir di halaman belakang Villa merupakan heli jenis KA 62 yang mampu menampung hingga sepuluh orang sehingga grandpa Edward, grandma Monica juga nenek Shareena bisa ikut menemani Zhafira yang akan melakukan persalinan.Sementara kakek Kallandra dan keluarga yang lain akan menyusul setelah acara peresmian resort selesai. Di antara rasa sakit yang sedang Zhafira alami selama ini, terselip lega dan puas karena dengan mengepalai proyek pembangunan resort tersebut—ia bisa membuktikan siapa dirinya kepada dunia. Zhafira bukan hanya Zhafira yang berasal dari keluarga broken home dan manta