Setelah resign, Zhafira tidak memiliki kegiatan selain menggambar sketsa.
Setiap hari ia menghabiskan waktunya di perpustakaan menggambar banyak bangunan menunggu Kaivan pulang kerja yang saat itu sedang asyik dengan kedekatan bersama Imelda sehingga pulang selalu larut malam.Ternyata apa yang ia kerjakan itu tidak sia-sia.Zhafira mengirim semua karyanya pada Architecture Design Competition yang diadakan oleh Ikatan Arsitek Indonesia dan juga Lomba design gedung dan jembatan yang diadakan pemerintah.Dan hasil Karya Zhafira selalu menjadi pemenangnya.Seperti malam ini, Zhafira diundang oleh Gubernur Jawa Barat untuk menerima penghargaan dan hadiah atas kemenangannya dalam mendesain ulang bangunan yang tidak berfungsi dengan baik atau bahkan terbengkalai di Kota Bandung menjadi bangunan dengan fungsi baru yang nyaman, aman, berkelanjutan, dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar dan kota itu sendiri.Suasana kantor Kaivan tampak kondusif di jam setelah makan siang. Anggukan seorang satpam yang ada di loby depan menyambut kedatangannya setelah bertemu klien sejak pagi tadi. “Istri saya masih di atas?” Kaivan bertanya pada salah seorang sekuriti yang berada di dalam gedung. “Masih, Pak ... ibu dia atas sama Rey.” Pria itu menjawab sambil setengah berlari lebih dulu untuk menekan tombol lift. Kaivan mengangguk samar kepada security sebelum masuk ke dalam lift diikuti sekretaris cantiknya bernama Irma. “Nanti malam ada acara sosial bersama pak Wali Kota, Pak.” Irma memberitau sambil membaca iPad di tangannya. “Belikan satu gaun untuk istri saya, saya lupa kasih tahu kalau hari ini ada pesta.” “Baik, Pak!” Ting … Detik berikutnya setelah lift berdenting, Kaivan dan Irma keluar dari lift. Seorang pria muda tampan dan bertubuh atletis seperti K
“Kamu pucat, Yang … tadi enggak sarapan sih,” tegur Kaivan, tangannya terulur mengusap keringat di pelipis Zhafira setelah mengangkat helm proyek di kepala istrinya. Mereka sedang berada di salah satu proyek untuk keperluan pengecekan dan koordinasi karena perhari ini pengerjaan resmi di mulai. Zhafira memaksakan sebuah senyum untuk menunjukkan ia baik-baik saja. “Tadi Fira belum lapar, tapi Fira bawa bekal kok Mas di mobil.” Zhafira berdusta, padahal tadi ia muntah-muntah di kamar mandi sehingga terlambat ikut sarapan di meja makan. Dan sebenarnya bukan tidak lapar tapi Zhafira merasakan mual dan begah pada perutnya. Ia sadar selama beberapa hari terakhir terlambat makan sehingga bisa dipastikan asam lambungnya pasti kambuh. Zhafira tidak ingin Kaivan mengetahui hal tersebut. “Ga, bawain bekal di mobil untuk ibu …,” titah Kaivan pada sekertaris Zhafira. “Baik Pak,” sahut pria
“Arumi Kamaniya Gunadhya.” Suara sang Papa yang pelan namun terdengar tegas membuat Arumi-bocah berumur lima tahun itu menegang. Arumi sedang bermain di halaman belakang, ia masuk ke dalam rumah untuk mengambil air minum karena udara hari ini sangat panas. Tapi malah bertemu papanya yang baru saja pulang kerja. Dan kenapa sang Papa tampannya memanggil namanya dengan tegas, sudah dipastikan karena telah melihat hasil ujian semester ini. Arumi membalikkan badan, matanya menatap takut-takut sang papa lantas mengumpulkan keberaniannya untuk memberikan senyum sejuta pesona. “Enggak mempan, sayang.” Meski keluar kata ‘sayang’ tapi ekspresi wajah Kaivan terlihat datar. “Duduk sini samping Papa.” Kaivan menepuk Spaces kosong di sofa yang ia duduki. Arumi duduk di samping papanya dengan gerakan lemah gemulai bak seorang princess. Bahkan sempat merapihkan rok belakangnya agar tidak kusu
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” Seorang wanita dari balik meja resepsionis bertanya. “Selamat siang Bu, saya Zhafira dari Bank BUMN mau bertemu dengan pak Kaivan Gunadhya,” sahut Zhafira menjawab. “Apakah sudah membuat janji sebelumnya?” Wanita itu bertanya lagi. “Sudah,” balas Zhafira disertai senyum. “Silahkan tunggu di sofa sana, nanti akan saya panggil.” Wanita itu menengadahkan tangan ke arah sofa set yang berada di tengah-tengah loby mempersilahkan Zhafira duduk sementara ia akan berkoordinasi dengan sekertaris Bosnya. “Baik, terimakasih.” Zhafira tersenyum kemudian membalikan badan menarik langkah menuju sofa yang dimaksud wanita resepsionis. Semestinya yang datang ke anak perusahaan AG Group ini adalah Branch Manager Priority-nya. Tapi beliau tertahan meeting dengan nasabah prioritas lain sehingga menghubungi Zhafira untuk mewakili karena kadung sudah membuat janji. Zhafira mengedarkan pandangan ke sekeliling loby yang memiliki interior futuristik modern. C
Tok ...Tok ...Suara pintu yang diketuk mengalihkan perhatian Zhafira dari layar televisi yang dipantenginnya semenjak tadi pagi ia membuka mata.Seperti biasa, weekend ini akan Zhafira habiskan menonton drama Korea saja.“Mbak Fira ... Mbak!” panggil suara dari luar sana.Suara yang begitu familiar di telinga Zhafira, siapa lagi kalau bukan pak Nono security kossannya.Malas-malasan Zhafira beranjak dari sofa untuk membuka pintu.“Ada apa, Pak?” Zhafira bertanya dengan tampang malas, gadis itu belum mandi padahal matahari hampir berada di atas kepala.“Ada yang nyari, Mbak ... di depan.” Pak Nono menunjuk ke arah depan tapi terhalang tembok, percuma juga Zhafira menoleh ke sana.“Ya udah suruh masuk aja,” kata Zhafira yang berpikir jika tamu yang dimaksud pak Nono adalah Bella atau Nova, sahabatnya.Mereka terkadang mengunjungi Zhafira tanpa memberitau terlebih dahulu.Bukannya segera pergi, Pak Nono malah memberikan tatapan skeptis.
Dunia Fantasi Ancol menjadi pilihan Kaivan membawa Zhafira pacaran.Benarkan, Kaivan bukan pria nakal yang mungkin akan membawa kekasihnya ke tempat sepi atau bioskop agar bisa mencuri cium.Tapi Kaivan malah membawa Zhafira ke tempat ramai.“Ayo,” ajak Kaivan ketika Zhafira malah mematung sambil menengadah memandang rel roller coaster.Zhafira menggelengkan kepala membayangkan dirinya menaiki wahana extrem tersebut.“Enggak deh, Mas ... Istana Boneka aja yuk!”Zhafira sudah membalikan badan namun tertahan oleh Kaivan yang menggenggam tangannya.Zhafira menurunkan pandangan dan menatap jemarinya yang dilingkupi jemari Kaivan.“Boleh pegang tangan kamu? Kita udah resmi pacaran, kan?” Dua pertanyaan yang secara langsung terlontar dari bibir Kaivan membuat Zhafira mendongak demi bisa menatap wajah pria yang baru ia sadari telah resmi menjadi kekasihnya.“I-iya ... boleh,” jawab Zhafira dengan debaran jantung menggila.Usai mendapat persetujuan, K
Seriusan lo pacaran sama salah satu cowok Gunadhya?” Nova begitu antusias bertanya kepada sahabatnya yang tengah menjadi bahan gosip karena seorang Taipan tampan Negri ini memposting fotonya bersama Zhafira dengan caption ‘My Boo’.Zhafira mengembuskan napasnya, bersandar punggung pada kursi di meja pantry.Sudah Zhafira duga jika berita tersebut akan cepat tersebar karena terpaksa ia memposting ulang story Kaivan untuk menghargai pria itu.Keduanya sedang meracik kopi untuk menambah semangat memulai hari.“Harusnya kemarin itu kamu aja yang ketemu pak Kaivan di kantornya.” Bukannya senang, Zhafira malah tampak terbebani.Siapa yang tidak jika ia masih belum yakin juga dengan niat Kaivan yang ingin menjadikannya seorang istri.Zhafira tidak ingin berujung sakit hati.“Kalau gue yang datang ketemu pak Kaivan, nanti jodoh kalian tersesat.” Nova berkelakar.“Morning galz ....” Bella masuk dengan raut wajah ceria seperti biasa.“Kalian liat enggak ken
Tepat pukul empat sore ketika jam kerja telah selesai, pintu depan kantor Zhafira dibuka lebar oleh dua orang security di kiri dan kanannya.Seisi kantor geger karena Kaivan datang bersama beberapa orang pria.Yang satu membawa satu buket bunga, yang satunya lagi sedang menabur kelopak bunga mawar di sekeling tempat Kaivan berdiri.Dan ada satu pria membawa kamera film sepertinya mereka akan melakukan syuting.Pak Wisnu keluar dari ruangannya, bibir pria itu tersenyum melihat Kaivan karena Kaivan sudah meminta ijin kepada beliau.Sedangkan para karyawan yang lain tampak melongo bingung termasuk Bella dan Nova.Saat itu Zhafira sedang berada di pantry untuk membuat kopi.“Bu Fira, sebaiknya Bu Fira ke Banking Hall sekarang,” kata pak Wawan-sang OB.“Ada apa memang, Pak? Ada nasabah yang marah-marah lagi?” tebak Zhafira asal seraya mengaduk kopinya.“Bukan ... duh, itu ... aduh, Bu ... mending Ibu liat sendiri.” Pak Waw
“Arumi Kamaniya Gunadhya.” Suara sang Papa yang pelan namun terdengar tegas membuat Arumi-bocah berumur lima tahun itu menegang. Arumi sedang bermain di halaman belakang, ia masuk ke dalam rumah untuk mengambil air minum karena udara hari ini sangat panas. Tapi malah bertemu papanya yang baru saja pulang kerja. Dan kenapa sang Papa tampannya memanggil namanya dengan tegas, sudah dipastikan karena telah melihat hasil ujian semester ini. Arumi membalikkan badan, matanya menatap takut-takut sang papa lantas mengumpulkan keberaniannya untuk memberikan senyum sejuta pesona. “Enggak mempan, sayang.” Meski keluar kata ‘sayang’ tapi ekspresi wajah Kaivan terlihat datar. “Duduk sini samping Papa.” Kaivan menepuk Spaces kosong di sofa yang ia duduki. Arumi duduk di samping papanya dengan gerakan lemah gemulai bak seorang princess. Bahkan sempat merapihkan rok belakangnya agar tidak kusu
“Kamu pucat, Yang … tadi enggak sarapan sih,” tegur Kaivan, tangannya terulur mengusap keringat di pelipis Zhafira setelah mengangkat helm proyek di kepala istrinya. Mereka sedang berada di salah satu proyek untuk keperluan pengecekan dan koordinasi karena perhari ini pengerjaan resmi di mulai. Zhafira memaksakan sebuah senyum untuk menunjukkan ia baik-baik saja. “Tadi Fira belum lapar, tapi Fira bawa bekal kok Mas di mobil.” Zhafira berdusta, padahal tadi ia muntah-muntah di kamar mandi sehingga terlambat ikut sarapan di meja makan. Dan sebenarnya bukan tidak lapar tapi Zhafira merasakan mual dan begah pada perutnya. Ia sadar selama beberapa hari terakhir terlambat makan sehingga bisa dipastikan asam lambungnya pasti kambuh. Zhafira tidak ingin Kaivan mengetahui hal tersebut. “Ga, bawain bekal di mobil untuk ibu …,” titah Kaivan pada sekertaris Zhafira. “Baik Pak,” sahut pria
Suasana kantor Kaivan tampak kondusif di jam setelah makan siang. Anggukan seorang satpam yang ada di loby depan menyambut kedatangannya setelah bertemu klien sejak pagi tadi. “Istri saya masih di atas?” Kaivan bertanya pada salah seorang sekuriti yang berada di dalam gedung. “Masih, Pak ... ibu dia atas sama Rey.” Pria itu menjawab sambil setengah berlari lebih dulu untuk menekan tombol lift. Kaivan mengangguk samar kepada security sebelum masuk ke dalam lift diikuti sekretaris cantiknya bernama Irma. “Nanti malam ada acara sosial bersama pak Wali Kota, Pak.” Irma memberitau sambil membaca iPad di tangannya. “Belikan satu gaun untuk istri saya, saya lupa kasih tahu kalau hari ini ada pesta.” “Baik, Pak!” Ting … Detik berikutnya setelah lift berdenting, Kaivan dan Irma keluar dari lift. Seorang pria muda tampan dan bertubuh atletis seperti K
Setelah resign, Zhafira tidak memiliki kegiatan selain menggambar sketsa. Setiap hari ia menghabiskan waktunya di perpustakaan menggambar banyak bangunan menunggu Kaivan pulang kerja yang saat itu sedang asyik dengan kedekatan bersama Imelda sehingga pulang selalu larut malam. Ternyata apa yang ia kerjakan itu tidak sia-sia. Zhafira mengirim semua karyanya pada Architecture Design Competition yang diadakan oleh Ikatan Arsitek Indonesia dan juga Lomba design gedung dan jembatan yang diadakan pemerintah. Dan hasil Karya Zhafira selalu menjadi pemenangnya. Seperti malam ini, Zhafira diundang oleh Gubernur Jawa Barat untuk menerima penghargaan dan hadiah atas kemenangannya dalam mendesain ulang bangunan yang tidak berfungsi dengan baik atau bahkan terbengkalai di Kota Bandung menjadi bangunan dengan fungsi baru yang nyaman, aman, berkelanjutan, dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar dan kota itu sendiri.
Suara tangis Rey yang membahana membuat Kaivan dan Zhafira terjaga dari tidur yang lelap di dini hari. Kaivan menegakan tubuhnya lebih dulu, menurunkan kedua kakinya lalu beranjak menghampiri box bayi Rey. “Tunggu aja di sana, Yang … aku bawa Rey ke sana.” Zhafira menaikkan kakinya kembali, menumpuk bantal untuk membuatnya nyaman bersandar ketika menyusui. Sementara itu Kaivan mengecek popok Rey. “Alexa, play You Are My Sunshine,” perintah Kai pada smart speaker yang berada di atas nakas. Lagu You Are My Sunshine mengalun dengan volume rendah dan tangis Rey perlahan berhenti. Kaivan jadi bisa dengan mudah mengganti popok Rey yang sudah penuh. Zhafira memperhatikan Kaivan dari atas ranjang, suaminya begitu mahir mengganti popok dengan lebih dulu membersihkan bagian bawah tubuh Rey. Tidak sia-sia Kaivan resign, karena selain memiliki banyak waktu untuk bersama Zhafira—ia juga me
Bayi laki-laki gempal yang diberi nama Reynand Arkananta Gunadhya itu hanya selisih satu bulan lahir ke dunia dengan anak keempat pasangan Arkana dan Zara. Bahkan Zara sudah bisa menghadiri peresmian resort kemarin. Zhafira jadi semangat untuk cepat pulih karena ada rumah baru mereka yang menanti di Bandung. “Eeeh, sudah cantik cucu Nenek.” Nenek Shareena memuji Zhafira yang sudah mandi dan cantik sepagi ini. Nenek Shareena bersama grandma Monica masuk ke ruangan rawat Zhafira. “Nenek … Grandma.” Zhafira balas menyapa dengan senyumnya yang khas. Zhafira duduk bersandar di ranjang yang bagian kepalanya dibuat tegak. Wajah Zhafira berseri-seri, segar dan cantik. “Kemarin Grandma pulang duluan anterin nenek kamu ini yang masuk angin … pakai acara kerokan lah kita sampe rumah.” Grandma Monica misuh-misuh karena gara-gara itu ia tidak bisa langsung bertemu cicitnya. “Terus sekarang
Zhafira memejamkan matanya tatkala rasa mulas dan nyeri di bagian pinggang menghantam begitu dahsyat. Genggaman tangan Zhafira di tangan Kaivan yang duduk di samping sambil mengusap perutnya pun mengerat kuat. Keduanya sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Kebetulan heli milik kakek Kallandra yang beberapa bulan terakhir ini terparkir di halaman belakang Villa merupakan heli jenis KA 62 yang mampu menampung hingga sepuluh orang sehingga grandpa Edward, grandma Monica juga nenek Shareena bisa ikut menemani Zhafira yang akan melakukan persalinan.Sementara kakek Kallandra dan keluarga yang lain akan menyusul setelah acara peresmian resort selesai. Di antara rasa sakit yang sedang Zhafira alami selama ini, terselip lega dan puas karena dengan mengepalai proyek pembangunan resort tersebut—ia bisa membuktikan siapa dirinya kepada dunia. Zhafira bukan hanya Zhafira yang berasal dari keluarga broken home dan manta
Zhafira merasakan tubuhnya tidak nyaman, perutnya mulas tapi setiap kali duduk di atas closet—mulas itu lenyap entah ke mana. Sayangnya Zhafira tidak memiliki waktu untuk mengkhawatirkannya karena besok adalah peresmian resort dan hari ini segala sesuatunya harus sudah siap seratus persen. Jam sembilan malam Zhafira masih sibuk menata venue padahal sudah ada Event Organizer tapi Zhafira tidak percaya begitu saja dan tetap mengecek setiap detailnya satu persatu. Kakinya yang bengkak terasa kebas, belum lagi rasa mulas semakin sering mendera meski hilang timbul. “Yang, kita pulang sekarang … udah malem.” Nada suara dan sorot mata yang tegas milik Kaivan tidak bisa Zhafira tawar lagi, ia harus menurut. Selama ini Kaivan selalu mengalah, berusaha mengerti keinginannya jadi tidak semestinya Zhafira membantah apalagi ini demi kebaikan dirinya dan si janin. “Iya Mas, Fira pamit sama EO-nya dulu.”
Beberapa hari terakhir Kaivan selalu terbangun tengah malam terusik oleh pergerakan Zhafira yang gelisah dalam tidurnya. Perut Zhafira sudah sangat besar, dokter mengatakan jika sebentar lagi akan melahirkan tapi Zhafira masih bertahan tinggal di Puncak hingga peresmian resort. Begitulah permintaan Zhafira pada Kaivan yang tidak bisa Kaivan tolak. “Yang,” panggil Kaivan menegakan sedikit tubuhnya mengecek keadaan sang istri. “Begah, Mas … Fira juga engap banget, keluh Zhafira dengan mata berkaca-kaca. Semenjak hamil Zhafira memang mudah mengeluarkan air mata membuat Kaivan kalang kabut berusaha agar air mata Zhafira berhenti mengalir. “Coba bobonya sambil duduk, nanti aku benerin posisi tidur kamu kalau kamu udah terlelap.” Kaivan mencoba mencari solusi dengan terlebih dahulu ia menegakan tubuhnya bersandar pada headboard agar Zhafira bisa bersandar di dadanya. Zhafira menurut, dengan ban