“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” Seorang wanita dari balik meja resepsionis bertanya.
“Selamat siang Bu, saya Zhafira dari Bank BUMN mau bertemu dengan pak Kaivan Gunadhya,” sahut Zhafira menjawab.“Apakah sudah membuat janji sebelumnya?” Wanita itu bertanya lagi.“Sudah,” balas Zhafira disertai senyum.“Silahkan tunggu di sofa sana, nanti akan saya panggil.” Wanita itu menengadahkan tangan ke arah sofa set yang berada di tengah-tengah loby mempersilahkan Zhafira duduk sementara ia akan berkoordinasi dengan sekertaris Bosnya.“Baik, terimakasih.”Zhafira tersenyum kemudian membalikan badan menarik langkah menuju sofa yang dimaksud wanita resepsionis.Semestinya yang datang ke anak perusahaan AG Group ini adalah Branch Manager Priority-nya.Tapi beliau tertahan meeting dengan nasabah prioritas lain sehingga menghubungi Zhafira untuk mewakili karena kadung sudah membuat janji.Zhafira mengedarkan pandangan ke sekeliling loby yang memiliki interior futuristik modern.Cita-citanya dulu adalah menjadi seorang Arsitek dan Zhafira merupakan lulusan terbaik dari fakultas Teknik jurusan Arsitektur di Universitas Swasta di Bandung.Tapi Zhafira harus mengubur cita-citanya karena mencari pekerjaan dalam bidang tersebut ternyata sulit.Zhafira tidak sengaja melamar kerja di Bank dan ternyata malah lolos seleksi.Saat itu ia sangat membutuhkan pekerjaan demi membiayai hidup sehingga mensyukuri pekerjaan apapun yang datang padanya.Menjadikan Zhafira sebagai Customer Service Priority di sebuah Bank milik Negara.“Ibu Zhafira.”Wanita resepsionis memanggil, Zhafira beranjak dari sofa kemudian menghampirinya.“Ini tanda pengenalnya,” kata wanita resepsionis seraya memberikan name tag dengan tulisan ‘Visitor’.“Ruangan pak Kaivan ada di lantai lima belas nanti Ibu bertemu pak Gerry-sekertarisnya pak Kaivan dulu dan akan di arahkan ke ruangan pak Kaivan.” Wanita resepsionis memberikan intruksi.“Baik, terimakasih,” ucap Zhafira tulus sambil membawa name tag dari atas meja resepsionis.Akhirnya bisa bertemu sang pemimpin tertinggi perusahaan ini yang katanya super sibuk dan sulit sekali ditemui, beruntungnya Zhafira tidak perlu menunggu lama.Ting ...Pintu lift yang membawa Zhafira ke lantai lima belas pun terbuka.Lantai itu sepi, hanya ada seorang security menyambut Zhafira.“Saya mau bertemu dengan pak Kaivan atau pak Gerry.”Zhafira memberitau sebelum pria security menanyakan maksud kedatangannya.“Dengan Ibu Zhafira?” Pria security bertanya.“Betul,” balas Zhafira cepat.Sepertinya resepsionis di lobby dan security di lantai ini telah terkoneksi.“Silahkan, Bu ... sudah ditunggu pak Gerry di dalam.”Security membuka pintu kaca mempersilahkan Zhafira masuk.Zhafira mengangguk sambil mengucapkan terimakasih kemudian melangkah menyusuri lorong.Di ujung lorong, Zhafira melihat seorang pria begitu tekun menatap layar datar di hadapannya.Pria itu cukup tampan dengan pundak lebar dan rahangnya yang tegas diselimuti bulu halus.Rambutnya tebal menggunakan pomade sehingga tampak sangat rapih dan mengkilat.“Selamat siang, saya Zhafira dari Bank BUMN ....”Zhafira langsung memperkenalkan dirinya membuat pria tersebut mendongak lalu berdiri.Sesaat Gerry terpana, wanita dengan suara lembut itu begitu anggun dan memiliki paras cantik asli di Indonesia.“Saya Gerry, sekertaris pak Kaivan ....” Gerry mengulurkan tangan yang langsung dijabat Zhafira.“Seharusnya pak Wisnu, Branch Manager Priority saya yang datang tapi beliau berhalangan sehingga mengutus saya ke sini.” Zhafira memberitau.“Betul, saya sudah mendapat informasinya dari pak Wisnu ... silahkan, saya antar ke ruangannya pak Kaivan.”Garry merentangkan tangannya ke arah dalam, melangkah terlebih dahulu menuju ruangan pimpinan tertinggi di perusahaan ini diikuti Zhafira.Langkah keduanya berhenti tepat di depan sebuah pintu ganda dengan desain unik.Sekali lagi Zhafira mengagumi interior di kantor ini.Gerry mendorong pintu tersebut lalu mempersilahkan Zhafira masuk.Zhafira mengangguk samar sebelum melangkah masuk lebih dalam.Netranya langsung bersirobok dengan netra indah yang memiliki bulu mata lentik dan alis yang tebal.Hidung lancip dan bibir tipis.Garis wajahnya halus tidak setegas Gerry, rambut tebal dan lurusnya berpotongan undercut dengan belahan di pinggir, jika diperhatikan lebih seksama—nasabah prioritas yang satu ini begitu tampan mirip aktor-aktor Korea.“Apa kriteria menjadi karyawan di perusahaan ini harus cantik dan ganteng?” batin Zhafira bertanya karena semenjak ia menginjakan kakinya di anak perusahaan AG Group ini mendapati semua karyawannya good looking termasuk sang CEO yang kini sedang menatap Zhafira tanpa berkedip.“Cantik banget,” batin Kaivan memuji. “Apa gue enggak salah liat? Dia bidadari bukan sih?” Kaivan masih berbicara sendiri di dalam hati.Jazziel Kaivan Gunadhya adalah anak keempat dari pasangan Narendra Gunadhya dan Jovanka Aura Lovata.Kallandra Gunadhya yang merupakan kakek dari pihak ayahnya Kaivan adalah pemilik pertama AG Group, kerajaan bisnis di Indonesia yang kini telah merambah ke Vietnam dan Macau.Menariknya, Shareena yang merupakan sang nenek dari pihak ayah Kaivan adalah mantan pegawai Bank.Sedangkan Edward-kakek dari pihak ibunya adalah seorang dokter dan memiliki rumah sakit swasta terbesar dan terbaik di Jakarta.Lain halnya dengan Monica-nenek dari pihak ibunya Kaivan selain pemilik agensi model bergengsi di Indonesia yang memiliki cabang di Paris juga memiliki brand fashion ternama yang telah mendunia.Tak heran di usianya yang masih muda—Kaivan sudah menjabat sebagai CEO di anak perusahaan milik keluarganya.“Ini ibu Zhafira, utusannya pak Wisnu.” Gerry memberitau.Barulah Kaivan berkedip dari tatapannya yang memaku Zhafira.Pria itu mengangguk sekilas menanggapi ucapan Gerry lantas beranjak dari kursi kebesarannya.Kaivan ternyata memiliki tubuh tinggi dan atletis, hanya beberapa langkah saja sudah sampai di sofa set yang berada di tengah ruangan.“Silahkan.” Gerry mempersilahkan Zhafira duduk karena gadis itu tidak bergerak dari tempatnya berdiri.“Terimakasih Pak Gerry.” Zhafira berujar dibalas senyuman sangat manis oleh Gerry sambil mengangguk sebelum akhirnya meninggalkan ruangan.Zhafira kembali mengarahkan tatapannya pada Kaivan, ia bingung dengan kinerja jantungnya yang menaikan tempo debaran, telapak tangannya terasa dingin dan basah.Apakah Zhafira sedang gugup?Bagaimana tidak, pria tampan—pimpinan perusahaan besar dan cucu dari orang-orang terkaya di Negaranya sedari tadi memandang Zhafira tanpa jeda.Zhafira mengambil duduk di sofa terdekat dengan Kaivan agar tidak perlu mengeraskan suara karena ia akan menjelaskan banyak hal kepada pria itu.“Sebelumnya saya ingin menyampaikan permohonan maaf dari pak Wisnu karena seharusnya beliau yang datang tapi kebetulan beliau berhalangan sehingga mengutus saya ke sini.”Kaivan mengangguk mengerti, seulas senyum masih terpatri di bibir tipisnya.“Saya Fira yang akan membacakan portofolio keuangan pak Kaivan.” Zhafira mengulurkan tangan.Kaivan menatap sebentar tangan Zhafira membuat gadis itu sempat menaikan satu alis nyaris menarik kembali tangan tapi Kaivan terlanjur menangkap tangannya, membalas jabatan tangan Zhafira.Dan ketika telapak tangan mereka bersentuhan—Zhafira juga Kaivan merasakan arus listrik bertegangan rendah yang membuat keduanya nyaris terhenyak.“Pak Wisnu maksa banget membuat jadwal pertemuan secara formal tapi sekarang dianya malah enggak datang,” ujar Kaivan casual.Zhafira menanggapi dengan tawa kering. “Iya Pak, maaf ya ...,” balas Zhafira sama santainya.Kaivan menggerakan bahu memberi kesan jika ia menerima permintaan maaf Zhafira dan pak Wisnu.“Baik, Pak Kaivan ... saya minta waktunya sebentar untuk lebih dahulu menjelaskan Portofolio Keuangan milik Pak Kaivan.” Zhafira meminta ijin.“Kamu minta waktu saya seumur hidup juga enggak apa-apa,” balas Kaivan menggoda membuat Zhafira tertawa sumbang.Zhafira mengabaikannya, membuka map yang ia bawa dan mulai membacakan Portofolio sang Nasabah Prioritas.“Pak Kaivan memiliki dana seratus lima puluh Milyar yang ditempatkan di Deposito, sebelas Milyar pada tabungan dan lima Triliun tersebar di saham, obligasi dan rekasadana.”Zhafira menjeda, mengangkat wajahnya dan ia mendapati Kaivan sedang menatapnya dengan sebuah senyum tipis sama seperti tadi.Kembali tubuh Zhafira menggigil karena gugup.Perempuan mana yang tidak begitu, pria setampan aktor Korea sedang menatapnya sangat dalam hingga Zhafira nyaris tenggelam dan Zhafira cukup dewasa mengartikan tatapan beserta senyum tersebut sebagai suatu bentuk ketertarikan.Zhafira berdehem, mengerjap beberapa kali dengan tempo cepat untuk menetralkan debaran jantungnya yang tidak bisa ia kendalikan.“Jangan ge’er, Fir ... jangan ngarep, kamu siapa? Dia siapa? Kerja aja yang bener,” batin Zhafira mengingatkan sekaligus menguatkan imannya.“Dana Pak Kaivan ini bisa dikembangkan melalui produk yang sedang memberikan return tinggi....”Zhafira menjeda lagi, sekarang bukan hanya menggigil tapi tubuhnya mulai keringat dingin terbukti dari pelipisnya yang menghasilkan buliran keringat padahal pendingin ruangan bekerja maksimal.Kaivan tidak bersuara, masih menatap Zhafira dengan senyum sejuta pesona yang setia di bibir tipis pria itu.Zhafira menelan saliva kelat, wajahnya tampak pias membuat Kaivan tersenyum lebih lebar di dalam hati.Kaivan yakin jika Zhafira telah jatuh dalam pesonanya.“Sebentar lagi akan launching Obligasi Retail Indonesia seri terbaru, apakah pak Kaivan berminat untuk menginvestasikan sebagian dana Pak Kaivan?”Zhafira langsung mengutarakan inti maksud dari kedatangannya ke sini.Ia ingin segera pergi dari ruangan Kaivan yang terasa menyesakan.“Berminat ... saya berminat sama kamu,” sahut Kaivan enteng yang kemudian memunculkan kerutan halus di kening Zhafira.Melihat ekspresi melongo Zhafira—tawa Kaivan pun tercetus.“Ma ... maksudnya gimana, Pak?” tanya Zhafira terbata.“Fira,” panggil Kaivan.“Ya, Pak.” Zhafira refleks menjawab.“Nikah yuk!”Kalimat ajakan itu terlontar dari bibir tipis Kaivan dengan ekspresi serius tapi entah kenapa Zhafira malah ingin tertawa.Beberapa nasabah prioritasnya sering menggoda Zhafira dengan cara lebih elegan, menggunakan kode kalimat-kalimat terselubung dan mereka kebanyakan seumur dengan papa atau mendiang kakeknya.Tapi kalimat langsung, terang-terangan dan jelas itu diucapkan oleh seorang pria tampan yang umurnya tidak jauh di atas Zhafira.Pria itu pasti bercanda ‘kan?Mana mungkin seorang pria seperti Kaivan mau menikah dengan perempuan biasa seperti dirinya.Alhasil Zhafira tertawa pelan, jenis tawa yang mencerminkan ketidakpercayaan atas ucapan Kaivan tadi.“Jangan becanda, Pak ...,” kata Zhafira kemudian.Kaivan menggeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan Zhafira.“Saya serius, menikah dengan saya dan nanti kamu bisa mengatur keuangan saya sesuka hati kamu.”Zhafira mengerjap, memberanikan diri menatap Kaivan tepat di mata menyelami hati pria itu mencari kesungguhan dari kata-katanya.Meski sebenarnya tidak perlu Zhafira lakukan.Beberapa detik berlalu sampai akhirnya Zhafira mengembuskan napas sambil memutus tatapan dengan Kaivan, menutup map yang berada di atas pangkuannya kemudian meraih tas yang ia simpan di belakang punggung.“Saya akan jadwalkan kembali pertemuan ini dengan pak Wisnu, sepertinya hari ini Pak Kaivan sedang tidak enak badan atau mungkin terlalu banyak minum alkohol sehingga bicaranya meracau jadi saya pam—““Fira, saya serius ...,” sela Kaivan seraya memegang tangan Zhafira, menahan sang gadis agar tidak berdiri dan meninggalkan ruangannya.Kaivan belum selesai dengan Zhafira.Zhafira melirik tangan Kaivan yang mencengkram pergelangan tangannya dan seketika itu juga Kaivan melepaskan cekalan.“Masa Pak Kaivan mau sama saya?” Pertanyaan Zhafira itu terdengar insecure.“Kenapa enggak?” sahut Kaivan penuh keyakinan.Zhafira mengesah. “Maaf banget, Pak ... kalau Pak Kaivan enggak berminat dengan produk yang saya tawarkan enggak apa-apa ... saya mengerti tapi jangan nge-prank saya kaya gini.”Zhafira mengucapkannya dengan suara lembut dan raut wajah memelas.“Sudah berapa kali saya bilang kalau saya serius? Saya benar-benar serius ingin menikahi kamu.”“Tapi kita baru aja ketemu, Pak ... Pak Kaivan enggak tau siapa saya dan saya juga begitu ....” Zhafira melemparkan fakta.“Oke, sabtu besok kita nge-date!” putus Kaivan sesuka hati.Zhafira menundukan pandangan lagi menatap berkas keuangan milik Kaivan.“Ini cowok maunya apa sih? Kalau diliat-liat, kayanya pak Kaivan bukan buaya ... malah keliatan cowok baik tapi kenapa dia ngerjain aku kaya gini ya?” Zhafira membatin, masih tidak percaya dengan ajakan gila nasabah prioritasnya.“Kamu enggak percaya sama saya?”Suara Kaivan begitu lembut ketika bertanya demikian membuat hati Zhafira bergetar, ia pun mengangkat wajahnya dan menggelengkan kepala menatap Kaivan dengan sorot mata nanar.***Zhafira melamun sepanjang perjalanan pulang ke kantor, mengingat kembali semua ucapan Kaivan barusan.Apa pria kaya memang selalu semudah itu mengajak seorang wanita menikah?Kaivan bukan hanya pimpinan tertinggi di anak perusahaan AG Group tapi juga cucu dari pemilik kerajaan bisnis yang tersebar di Indonesia hingga Asia Tenggara.Apa pria itu sudah gila sehingga menginginkan dirinya?Zhafira menggelengkan kepala mengenyahkan pemikiran tersebut, pasalnya tidak mungkin seorang Kaivan ingin menikahinya di momen pertama kali mereka bertemu.Kaivan pasti sedang bercanda, mabuk atau hilang ingatan.Entah mana yang benar tapi Zhafira tidak mempercayainya, ia menolak percaya.Sesampainya di kantor dan kebetulan mobil dinas atasannya sudah terparkir di sana—Zhafira langsung mendatangi ruangan pak Wisnu.“Pak,” sapa Zhafira setelah mengetuk pintu ruangan atasannya yang setengah terbuka sebanyak tiga kali.“Fir, masuk ...,” titah pria yang usianya baru menginjak tiga puluh tujuh tahun itu.Ekspresi wajahnya tampak berbinar dengan rona bahagia.“Apa kata pak Kaivan? Dia mau menempatkan dananya, kan?” Wisnu menebak penuh percaya diri.Zhafira mengangguk lemas. “Katanya dia mau menempatkan dananya bahkan memindahkan sebagian dana dari Bank lain asalkan saya bersedia menikah denganya.”Zhafira menyampaikan kalimat terakhir yang diucapkan Kaivan sebelum akhirnya ia bisa keluar dari ruangan pria itu.Wisnu tertawa tampak bahagia bahkan sampai bertepuk tangan, tanggapan atasannya itu di luar dugaan Zhafira.Zhafira pikir, pak Wisnu akan marah dan tersinggung karema bawahannya seakan sedang dikerjai oleh nasabah prioritas.Ah, Zhafira lupa kalau pak Wisnu itu adalah teman main golfnya Kaivan.“Bagus itu, Fir ... kamu akan jadi Nyonya besar! Kamu beruntung, Kaivan pria baik ... dia juga single dan memang lagi cari istri ... enggak salah saya ngutus kamu ke sana ya ... ya udah sekarang kamu pros—““Paaak,” sambar Zhafira mengerang.“Sorry ... saya terlalu senang, sudah lama saya berteman dengan pak Kaivan tapi dia hanya memutar dananya yang sudah ada di kita saja ... mendengar dia mau memindahkan dananya dari Bank lain—saya senang sekali ....” Wisnu beralasan lantas tertawa kembali.Melihat raut wajah Zhafira yang memberengut seketika Wisnu mengerti apa yang membuat hati Zhafira gundah. Tawanya pun mendadak berhenti.“Tenang Fir, pak Kaivan bukan orang jahat ... saya sering main golf sama dia ... kalau dia ngajak kamu menikah itu mungkin memang tulus bukan lagi melecehkan kamu ... percaya sama saya, pak Kaivan itu pria baik-baik.”Kali ini ekspresi wajah pak Wisnu berubah serius pertanda ia yakin dengan penilaiannya.“Tapi kenapa harus saya, Pak? Masih banyak perempuan yang lebih cantik dan lebih kaya dari saya.”Wisnu mengangkat kedua bahunya. “Kenapa kamu enggak tanya sama dia, tadi?”“Saya enggak percaya sama ucapannya!” ucap Zhafira penuh penekanan.“Nanti saya yang akan follow up pak Kaivan.” Wisnu berjanji.Zhafira mengangguk bersamaan dengan hembusan napas lega kemudian pamit undur diri dari ruangan sang atasan yang sama anehnya dengan nasabah yang tadi ia temui.Usai meninggalkan ruangan Branch Manager Priority, Zhafira sudah tidak memikirkan Kaivan lagi.Ia telah menyerahkan semua tentang Kaivan kepada atasannya.Masalah penempatan dana pengusaha kaya nan tampan itu biarlah menjadi urusan pak Wisnu.Zhafira kembali melakukan aktifitasnya seperti biasa, melakukan pekerjaannya dengan baik dan benar lalu pulang ke kossannya hanya untuk tidur dan keesokan harinya Zhafira melakukan rutinitas yang sama, bertemu orang-orang kaya untuk menawarkan investasi terbaik bagi mereka.Sangat membosankan tapi dari pekerjaan itu—Zhafira bisa menafkahi dirinya sendiri dan hidup dengan layak.***Hari jumat selalu menjadi hari yang paling melelahkan apalagi di akhir bulan, Kaivan harus bertemu klien, meeting dengan para Direktur di bawah kepemimpinannya untuk mengecek dan mem-push kinerja mereka.“Menurut lo, cantik mana Imelda sama dia?”Kaivan bertanya kepada Gerry seraya menarik kendur dasi yang melingkar di lehernya.Mereka sedang dalam perjalanan pulang, Kaivan selalu menumpang mobil sekertaris tapi sahabatnya itu.Gerry tau siapa ‘Dia’ yang dimaksud Kaivan, siapa lagi kalau bukan Bankir cantik yang beberapa hari lalu datang menemui Kaivan.“Cantik itu relatif, Kai ...,” ujar Gerry sambil mengemudikan mobilnya.Kaivan dan Gerry telah bersahabat cukup lama, tidak sia-sia Gerry memiliki sahabat seorang anak Konglomerat karena lulus kuliah—ia bisa langsung bekerja dan memiliki penghasilan cukup besar dari multi jobnya menjadi sekertaris, asisten, penasehat dan tangan kanan Kaivan.Gerry mengurus segala hal tentang Kaivan termasuk mengingatkan dan membuat pesta kejutan ulang tahun dan pesta kejutan lainnya untuk para kekasih Kaivan di masa lalu.“Gue suka dia, Ger ... cantik, polos ... senyumnya tulus ... tutur katanya lembut kaya nenek gue dan waktu gue ngajakin dia nikah, bukannya seneng—dia malah syok.” Kaivan berceloteh.“Gimana enggak syok, dia yang baru ketemu lo langsung diajakin nikah ... ya mana percaya dia, lo emang suka ngaco!” umpat Gerry yang cara bicaranya begitu santai karena sudah di luar jam kerja.Kaivan tertawa pelan, tangannya mengeluarkan sebuah kartu nama milik Zhafira dari dalam saku jas yang beberapa hari ini dianggapnya sebagai jimat keberuntungan karena selalu ia bawa-bawa di dalam saku jasnya.Kartu nama itu ia dapatkan setelah membujuk Zhafira dengan iming-iming pindah kelola dana miliknya dari Bank lain ke Bank di mana Zhafira bekerja.Tapi Kaivan belum berani menghubungi Zhafira, masih memberi waktu kepada Zhafira untuk berpikir.“Lo serius sama dia?” Gerry bertanya membuat Kaivan menoleh dari kartu bertuliskan nama lengkap, nomor ponsel dan jabatan di mana Zhafira bekerja.“Dia satu-satunya cewek di dunia ini yang hanya dengan menatap wajahnya dan mendengar suaranya ngebuat gue pengen nikahin dia,” ungkap Kaivan membuat Gerry mendengus geli.“Lo yakin? Bukan hanya pelarian sementara?” sindir Gerry yang justru terdengar tidak yakin.“Pelarian dari Imelda maksud lo?” Kaivan menebak lantas tergelak.“Udah ke laut dia mah,” imbuh Kaivan meremehkan sebelum Gerry sempat menjawab.“Yakin?” Gerry menaikan satu alisnya skeptis.Mobil yang ia kemudikan sudah memasuki halaman rumah orang tua Kaivan.“Setelah ketemu Fira beberapa hari lalu, gue baru yakin kalau gue udah enggak ada perasaan apapun sama Imelda Valencia,” jawab Kaivan mantap.Pria itu lantas turun dari mobil Gerry tanpa mengucapkan terimakasih dan melenggang begitu saja masuk ke dalam rumah orang tuanya yang tidak kosong tapi selalu sepi.Gerry mengembuskan napas panjang, menggelengkan kepalanya—ia lantas memutar kemudi membawa mobilnya keluar dari halaman rumah Narendra Gunadhya—ayah dari Kaivan.Pria itu telah mengenal Kaivan begitu dekat dan bisa dibilang—Gerry lah yang lebih mengetahui Kaivan dibanding keluarganya.Gerry berharap Kaivan memikirkan kembali tindakan impulsifnya yang ingin menikahi Zhafira karena sesungguhnya, ia tidak yakin Kaivan sudah benar-benar melupakan Imelda.Author Note : Temen-temen bisa liat visualisasi tokohnya di i* erna_azuraTok ...Tok ...Suara pintu yang diketuk mengalihkan perhatian Zhafira dari layar televisi yang dipantenginnya semenjak tadi pagi ia membuka mata.Seperti biasa, weekend ini akan Zhafira habiskan menonton drama Korea saja.“Mbak Fira ... Mbak!” panggil suara dari luar sana.Suara yang begitu familiar di telinga Zhafira, siapa lagi kalau bukan pak Nono security kossannya.Malas-malasan Zhafira beranjak dari sofa untuk membuka pintu.“Ada apa, Pak?” Zhafira bertanya dengan tampang malas, gadis itu belum mandi padahal matahari hampir berada di atas kepala.“Ada yang nyari, Mbak ... di depan.” Pak Nono menunjuk ke arah depan tapi terhalang tembok, percuma juga Zhafira menoleh ke sana.“Ya udah suruh masuk aja,” kata Zhafira yang berpikir jika tamu yang dimaksud pak Nono adalah Bella atau Nova, sahabatnya.Mereka terkadang mengunjungi Zhafira tanpa memberitau terlebih dahulu.Bukannya segera pergi, Pak Nono malah memberikan tatapan skeptis.
Dunia Fantasi Ancol menjadi pilihan Kaivan membawa Zhafira pacaran.Benarkan, Kaivan bukan pria nakal yang mungkin akan membawa kekasihnya ke tempat sepi atau bioskop agar bisa mencuri cium.Tapi Kaivan malah membawa Zhafira ke tempat ramai.“Ayo,” ajak Kaivan ketika Zhafira malah mematung sambil menengadah memandang rel roller coaster.Zhafira menggelengkan kepala membayangkan dirinya menaiki wahana extrem tersebut.“Enggak deh, Mas ... Istana Boneka aja yuk!”Zhafira sudah membalikan badan namun tertahan oleh Kaivan yang menggenggam tangannya.Zhafira menurunkan pandangan dan menatap jemarinya yang dilingkupi jemari Kaivan.“Boleh pegang tangan kamu? Kita udah resmi pacaran, kan?” Dua pertanyaan yang secara langsung terlontar dari bibir Kaivan membuat Zhafira mendongak demi bisa menatap wajah pria yang baru ia sadari telah resmi menjadi kekasihnya.“I-iya ... boleh,” jawab Zhafira dengan debaran jantung menggila.Usai mendapat persetujuan, K
Seriusan lo pacaran sama salah satu cowok Gunadhya?” Nova begitu antusias bertanya kepada sahabatnya yang tengah menjadi bahan gosip karena seorang Taipan tampan Negri ini memposting fotonya bersama Zhafira dengan caption ‘My Boo’.Zhafira mengembuskan napasnya, bersandar punggung pada kursi di meja pantry.Sudah Zhafira duga jika berita tersebut akan cepat tersebar karena terpaksa ia memposting ulang story Kaivan untuk menghargai pria itu.Keduanya sedang meracik kopi untuk menambah semangat memulai hari.“Harusnya kemarin itu kamu aja yang ketemu pak Kaivan di kantornya.” Bukannya senang, Zhafira malah tampak terbebani.Siapa yang tidak jika ia masih belum yakin juga dengan niat Kaivan yang ingin menjadikannya seorang istri.Zhafira tidak ingin berujung sakit hati.“Kalau gue yang datang ketemu pak Kaivan, nanti jodoh kalian tersesat.” Nova berkelakar.“Morning galz ....” Bella masuk dengan raut wajah ceria seperti biasa.“Kalian liat enggak ken
Tepat pukul empat sore ketika jam kerja telah selesai, pintu depan kantor Zhafira dibuka lebar oleh dua orang security di kiri dan kanannya.Seisi kantor geger karena Kaivan datang bersama beberapa orang pria.Yang satu membawa satu buket bunga, yang satunya lagi sedang menabur kelopak bunga mawar di sekeling tempat Kaivan berdiri.Dan ada satu pria membawa kamera film sepertinya mereka akan melakukan syuting.Pak Wisnu keluar dari ruangannya, bibir pria itu tersenyum melihat Kaivan karena Kaivan sudah meminta ijin kepada beliau.Sedangkan para karyawan yang lain tampak melongo bingung termasuk Bella dan Nova.Saat itu Zhafira sedang berada di pantry untuk membuat kopi.“Bu Fira, sebaiknya Bu Fira ke Banking Hall sekarang,” kata pak Wawan-sang OB.“Ada apa memang, Pak? Ada nasabah yang marah-marah lagi?” tebak Zhafira asal seraya mengaduk kopinya.“Bukan ... duh, itu ... aduh, Bu ... mending Ibu liat sendiri.” Pak Waw
Hari jum’at sore Kaivan dan Zhafira bertolak ke Surabaya, mereka menggunakan pesawat komersil dan tiba di Bandara tepat waktu. “Fir, kita langsung ke hotel ya ... ayah sama bunda udah sampe di hotel, nanti kamu mandi dulu trus kita makan malam bareng mereka sekaligus aku kenalin kamu sama mereka.” Kaivan membacakan jadwal acara mereka malam ini dan mendengar ayah bunda disebut membuat Zhafira gugup. “Kalau mereka enggak suka Fira gimana, Mas?” Zhafira bertanya pelan seiring langkahnya terseok menyamakan langkah Kaivan. “Mereka suka sama kamu, kok ... buktinya mereka enggak menolak waktu aku minta waktu mereka datang ke Surabaya untuk meminta restu papa kamu.” Kaivan meraih tangan Zhafira kemudian menggenggamnya erat. “Jangan over thinking lagi ya, sejauh ini jalan kita mulus ... tinggal kita lalui aja,” ujar Kaivan menenangkan. Meski sebenarnya hati Zhafira masih saja gundah, banyak yang Zhafira cema
Narendra dan Aura sudah menikahkan empat anaknya, jadi mereka sudah terbiasa memperlakukan besannya dengan baik. Seperti saat ini, walau semestinya papa dari Zhafira yang menjamu calon menantu dan calon besan tapi malah Narendra dan Aura yang memfasilitasi pertemuan tersebut. Bagi mereka tidak masalah siapa yang harus menjamu, yang terpenting adalah anaknya bisa hidup bahagia dengan gadis yang dicintai. Sebuah resto mewah di hotel tersebut menjadi pilihan Aura bertemu calon besan. Herry-papanya Zhafira datang tepat waktu bersama istri dan kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Narendra dan Aura menyambut kedatangan calon besan dengan sangat ramah dan tangan terbuka. “Saya Narendra dan ini istri saya Aura,” kata Narendra memperkenalkan diri lebih dulu. “Saya Herry dan ini Arum istri saya lalu dua anak saya Zivanya dan Zahra.” Gantian Herry memperkenalkan diri. Keduanya saling berjabat tanga
“Kamu baik-baik aja?” Kaivan bertanya karena ia lihat Zhafira menjadi sangat pendiam semenjak mengantar kedua orang tuanya hingga lobby.Zhafira menganggukan kepala sambil memaksakan senyum.Tapi Kaivan tau jika ada yang sesuatu yang mengganjal di hati dan benak Zhafira.Kaivan membuka pintu kamar suitenya, seperti di Surabaya—ia juga mencari hotel yang memiliki kamar suite atau Familly room yang memiliki dua kamar agar bisa selalu dekat dengan Zhafira meski pada kenyataannya Zhafira lebih suka mengurung diri di kamar.Mereka bermaksud membawa koper sebelum meninggalkan hotel untuk kembali ke Jakarta yang akan dilakukan melalui perjalanan darat karena sang driver beserta mobil dikabarkan sudah standby di parkiran.“Fir,” panggil Kaivan membuat langkah Zhafira yang hendak masuk ke dalam kamar terhenti.Kaivan mendekat menyusul Zhafira dan ketika Zhafira berbalik ia mendapati Kaivan begitu dekat hingga saat mendongak, hembusan napas Kaivan l
Hampir setiap hari Zhafira dijemput Kaivan dari kantor.Seperti malam ini, Kaivan mengatakan hendak membawa Zhafira makan malam tapi bukan disebuah resto melainkan di rumah kakek dan nenek dari pihak bundanya.Monica-sang nenek dan Edward-kakek dari pihak Bundanya meminta Kaivan membawa Zhafira untuk makan malam di rumah mereka.“Ya ampun, ada bidadari Mi ... itu bidadari ‘kan Mi!” Edward berseru saat melihat seorang gadis cantik masuk ke dalam rumahnya digandeng oleh Kaivan.Bibir Monica mencebik disertai delikan tajam membunuh.“Grandpa ... Grandma, kenalin ... ini Fira, calon istri Kai.”Untuk yang kedua kalinya Zhafira merasa kesal karena Kai tidak mengatakan apapun tentang acara makan malam bersama keluarga.Zhafira tidak memiliki waktu mempersiapkan dirinya bertemu mereka.Ingin memprotes pun percuma karena ia dan Kaivan sudah berada di sini.“Ini sih seleraku,” celetuk Edward mengikuti slogan seb
“Arumi Kamaniya Gunadhya.” Suara sang Papa yang pelan namun terdengar tegas membuat Arumi-bocah berumur lima tahun itu menegang. Arumi sedang bermain di halaman belakang, ia masuk ke dalam rumah untuk mengambil air minum karena udara hari ini sangat panas. Tapi malah bertemu papanya yang baru saja pulang kerja. Dan kenapa sang Papa tampannya memanggil namanya dengan tegas, sudah dipastikan karena telah melihat hasil ujian semester ini. Arumi membalikkan badan, matanya menatap takut-takut sang papa lantas mengumpulkan keberaniannya untuk memberikan senyum sejuta pesona. “Enggak mempan, sayang.” Meski keluar kata ‘sayang’ tapi ekspresi wajah Kaivan terlihat datar. “Duduk sini samping Papa.” Kaivan menepuk Spaces kosong di sofa yang ia duduki. Arumi duduk di samping papanya dengan gerakan lemah gemulai bak seorang princess. Bahkan sempat merapihkan rok belakangnya agar tidak kusu
“Kamu pucat, Yang … tadi enggak sarapan sih,” tegur Kaivan, tangannya terulur mengusap keringat di pelipis Zhafira setelah mengangkat helm proyek di kepala istrinya. Mereka sedang berada di salah satu proyek untuk keperluan pengecekan dan koordinasi karena perhari ini pengerjaan resmi di mulai. Zhafira memaksakan sebuah senyum untuk menunjukkan ia baik-baik saja. “Tadi Fira belum lapar, tapi Fira bawa bekal kok Mas di mobil.” Zhafira berdusta, padahal tadi ia muntah-muntah di kamar mandi sehingga terlambat ikut sarapan di meja makan. Dan sebenarnya bukan tidak lapar tapi Zhafira merasakan mual dan begah pada perutnya. Ia sadar selama beberapa hari terakhir terlambat makan sehingga bisa dipastikan asam lambungnya pasti kambuh. Zhafira tidak ingin Kaivan mengetahui hal tersebut. “Ga, bawain bekal di mobil untuk ibu …,” titah Kaivan pada sekertaris Zhafira. “Baik Pak,” sahut pria
Suasana kantor Kaivan tampak kondusif di jam setelah makan siang. Anggukan seorang satpam yang ada di loby depan menyambut kedatangannya setelah bertemu klien sejak pagi tadi. “Istri saya masih di atas?” Kaivan bertanya pada salah seorang sekuriti yang berada di dalam gedung. “Masih, Pak ... ibu dia atas sama Rey.” Pria itu menjawab sambil setengah berlari lebih dulu untuk menekan tombol lift. Kaivan mengangguk samar kepada security sebelum masuk ke dalam lift diikuti sekretaris cantiknya bernama Irma. “Nanti malam ada acara sosial bersama pak Wali Kota, Pak.” Irma memberitau sambil membaca iPad di tangannya. “Belikan satu gaun untuk istri saya, saya lupa kasih tahu kalau hari ini ada pesta.” “Baik, Pak!” Ting … Detik berikutnya setelah lift berdenting, Kaivan dan Irma keluar dari lift. Seorang pria muda tampan dan bertubuh atletis seperti K
Setelah resign, Zhafira tidak memiliki kegiatan selain menggambar sketsa. Setiap hari ia menghabiskan waktunya di perpustakaan menggambar banyak bangunan menunggu Kaivan pulang kerja yang saat itu sedang asyik dengan kedekatan bersama Imelda sehingga pulang selalu larut malam. Ternyata apa yang ia kerjakan itu tidak sia-sia. Zhafira mengirim semua karyanya pada Architecture Design Competition yang diadakan oleh Ikatan Arsitek Indonesia dan juga Lomba design gedung dan jembatan yang diadakan pemerintah. Dan hasil Karya Zhafira selalu menjadi pemenangnya. Seperti malam ini, Zhafira diundang oleh Gubernur Jawa Barat untuk menerima penghargaan dan hadiah atas kemenangannya dalam mendesain ulang bangunan yang tidak berfungsi dengan baik atau bahkan terbengkalai di Kota Bandung menjadi bangunan dengan fungsi baru yang nyaman, aman, berkelanjutan, dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar dan kota itu sendiri.
Suara tangis Rey yang membahana membuat Kaivan dan Zhafira terjaga dari tidur yang lelap di dini hari. Kaivan menegakan tubuhnya lebih dulu, menurunkan kedua kakinya lalu beranjak menghampiri box bayi Rey. “Tunggu aja di sana, Yang … aku bawa Rey ke sana.” Zhafira menaikkan kakinya kembali, menumpuk bantal untuk membuatnya nyaman bersandar ketika menyusui. Sementara itu Kaivan mengecek popok Rey. “Alexa, play You Are My Sunshine,” perintah Kai pada smart speaker yang berada di atas nakas. Lagu You Are My Sunshine mengalun dengan volume rendah dan tangis Rey perlahan berhenti. Kaivan jadi bisa dengan mudah mengganti popok Rey yang sudah penuh. Zhafira memperhatikan Kaivan dari atas ranjang, suaminya begitu mahir mengganti popok dengan lebih dulu membersihkan bagian bawah tubuh Rey. Tidak sia-sia Kaivan resign, karena selain memiliki banyak waktu untuk bersama Zhafira—ia juga me
Bayi laki-laki gempal yang diberi nama Reynand Arkananta Gunadhya itu hanya selisih satu bulan lahir ke dunia dengan anak keempat pasangan Arkana dan Zara. Bahkan Zara sudah bisa menghadiri peresmian resort kemarin. Zhafira jadi semangat untuk cepat pulih karena ada rumah baru mereka yang menanti di Bandung. “Eeeh, sudah cantik cucu Nenek.” Nenek Shareena memuji Zhafira yang sudah mandi dan cantik sepagi ini. Nenek Shareena bersama grandma Monica masuk ke ruangan rawat Zhafira. “Nenek … Grandma.” Zhafira balas menyapa dengan senyumnya yang khas. Zhafira duduk bersandar di ranjang yang bagian kepalanya dibuat tegak. Wajah Zhafira berseri-seri, segar dan cantik. “Kemarin Grandma pulang duluan anterin nenek kamu ini yang masuk angin … pakai acara kerokan lah kita sampe rumah.” Grandma Monica misuh-misuh karena gara-gara itu ia tidak bisa langsung bertemu cicitnya. “Terus sekarang
Zhafira memejamkan matanya tatkala rasa mulas dan nyeri di bagian pinggang menghantam begitu dahsyat. Genggaman tangan Zhafira di tangan Kaivan yang duduk di samping sambil mengusap perutnya pun mengerat kuat. Keduanya sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Kebetulan heli milik kakek Kallandra yang beberapa bulan terakhir ini terparkir di halaman belakang Villa merupakan heli jenis KA 62 yang mampu menampung hingga sepuluh orang sehingga grandpa Edward, grandma Monica juga nenek Shareena bisa ikut menemani Zhafira yang akan melakukan persalinan.Sementara kakek Kallandra dan keluarga yang lain akan menyusul setelah acara peresmian resort selesai. Di antara rasa sakit yang sedang Zhafira alami selama ini, terselip lega dan puas karena dengan mengepalai proyek pembangunan resort tersebut—ia bisa membuktikan siapa dirinya kepada dunia. Zhafira bukan hanya Zhafira yang berasal dari keluarga broken home dan manta
Zhafira merasakan tubuhnya tidak nyaman, perutnya mulas tapi setiap kali duduk di atas closet—mulas itu lenyap entah ke mana. Sayangnya Zhafira tidak memiliki waktu untuk mengkhawatirkannya karena besok adalah peresmian resort dan hari ini segala sesuatunya harus sudah siap seratus persen. Jam sembilan malam Zhafira masih sibuk menata venue padahal sudah ada Event Organizer tapi Zhafira tidak percaya begitu saja dan tetap mengecek setiap detailnya satu persatu. Kakinya yang bengkak terasa kebas, belum lagi rasa mulas semakin sering mendera meski hilang timbul. “Yang, kita pulang sekarang … udah malem.” Nada suara dan sorot mata yang tegas milik Kaivan tidak bisa Zhafira tawar lagi, ia harus menurut. Selama ini Kaivan selalu mengalah, berusaha mengerti keinginannya jadi tidak semestinya Zhafira membantah apalagi ini demi kebaikan dirinya dan si janin. “Iya Mas, Fira pamit sama EO-nya dulu.”
Beberapa hari terakhir Kaivan selalu terbangun tengah malam terusik oleh pergerakan Zhafira yang gelisah dalam tidurnya. Perut Zhafira sudah sangat besar, dokter mengatakan jika sebentar lagi akan melahirkan tapi Zhafira masih bertahan tinggal di Puncak hingga peresmian resort. Begitulah permintaan Zhafira pada Kaivan yang tidak bisa Kaivan tolak. “Yang,” panggil Kaivan menegakan sedikit tubuhnya mengecek keadaan sang istri. “Begah, Mas … Fira juga engap banget, keluh Zhafira dengan mata berkaca-kaca. Semenjak hamil Zhafira memang mudah mengeluarkan air mata membuat Kaivan kalang kabut berusaha agar air mata Zhafira berhenti mengalir. “Coba bobonya sambil duduk, nanti aku benerin posisi tidur kamu kalau kamu udah terlelap.” Kaivan mencoba mencari solusi dengan terlebih dahulu ia menegakan tubuhnya bersandar pada headboard agar Zhafira bisa bersandar di dadanya. Zhafira menurut, dengan ban