Hari jum’at sore Kaivan dan Zhafira bertolak ke Surabaya, mereka menggunakan pesawat komersil dan tiba di Bandara tepat waktu.
“Fir, kita langsung ke hotel ya ... ayah sama bunda udah sampe di hotel, nanti kamu mandi dulu trus kita makan malam bareng mereka sekaligus aku kenalin kamu sama mereka.”Kaivan membacakan jadwal acara mereka malam ini dan mendengar ayah bunda disebut membuat Zhafira gugup.“Kalau mereka enggak suka Fira gimana, Mas?” Zhafira bertanya pelan seiring langkahnya terseok menyamakan langkah Kaivan.“Mereka suka sama kamu, kok ... buktinya mereka enggak menolak waktu aku minta waktu mereka datang ke Surabaya untuk meminta restu papa kamu.”Kaivan meraih tangan Zhafira kemudian menggenggamnya erat.“Jangan over thinking lagi ya, sejauh ini jalan kita mulus ... tinggal kita lalui aja,” ujar Kaivan menenangkan.Meski sebenarnya hati Zhafira masih saja gundah, banyak yang Zhafira cemaskan terutama karena dirinya berbeda kasta dengan Kaivan.Ketika mereka sampai di pintu kedatangan—sebuah mobil sudah menanti lengkap dengan drivernya yang membawa kertas bertuliskan Kai dan Fira beserta gambar hati menggantikan kata ‘dan’.Itu pasti kerjaan bundanya Kaivan yang selalu antusias setiap kali akan bertemu dengan kekasih anaknya.“Mas, keluarga Mas udah tau tentang keluarga Fira?” Zhafira bertanya lagi setelah lama melamun menatap ke luar jendela semenjak mereka menaiki mobil karena Kaivan sibuk dengan ponsel.Zhafira mengerti, mungkin Kaivan sedang berkomunikasi dengan Gerry mengenai perusahaan atau malah urusan pernikahan karena Kaivan lah yang mengurus semuanya.Kaivan menoleh, meraih tangan Zhafira untuk ia genggam dan simpan di atas pangkuannya.“Mereka tau semuanya ... tenang Fira, keluarga aku bukan seperti di sinetron atau FTV ... mereka semua baik dan mendukung hubungan kita.”Kaivan kembali menatap layar ponsel dengan jempolnya yang bergerak menggulir-gulir layar sementara satu tangannya masih menggenggam tangan Zhafira dengan menyelipkan jemarinya di antara jemari ramping sang gadis.Zhafira sedikit merasa lega mendengar ucapan Kaivan tapi belum benar-benar yakin sebelum bertemu dengan kedua orang tua Kaivan.Sesampainya di hotel, yang ternyata bukan sembarang hotel tapi hotel paling mewah di kota Pahlawan tersebut—Kaivan menuntun Zhafira ke kamar suite mereka.“Ki-kita tidur satu kamar?” Zhafira bertanya polos.“Kamu mau kita tidur satu kamar?” Kaivan menggoda Zhafira sambil membuka pintu.“Enggak,” balas Zhafira cepat sambil memaku kakinya di ambang pintu.“Aku ambil Family Room ... di dalem ada dua kamar konsepnya seperti apartemen, kita akan tidur di kamar terpisah,” papar Kaivan menjelaskan.Detik berikutnya—Zhafira baru mau masuk ke sana menyusul Kaivan.Sebegitunya Zhafira menjaga kehormatan dan harga diri sebagai perempuan.“Di sana kamar kamu, yang itu kamar aku ....” Kaivan menunjuk dua pintu yang bersebelahan secara bergantian.“Apa satu jam cukup untuk mandi dan bersiap ketemu orang tua aku?”“Cukup,” balas Zhafira cepat, menarik koper ke kamar lalu menutup pintu tanpa basa-basi padahal Kaivan masih berdiri di tempatnya.Zhafira harus berpenampilan baik karena akan bertemu dengan calon mertua.Pria itu tersenyum sambil menggelengkan kepala samar lantas masuk ke kamarnya untuk melakukan hal yang sama dengan Zhafira.Belum satu jam, keduanya keluar dari kamar dengan waktu yang bersamaan.“Udah siap?” Kaivan bertanya, tatapannya mengamati Zhafira dari atas hingga bawah.Pria itu terpesona.“Udah ...,” balas Zhafira singkat.“Kenapa kamu dandan cantik banget?” Kaivan melangkah mendekat.“Mau ketemu calon mertua.” Zhafira menjawab dengan rona merah di pipinya.Senyum Kaivan begitu lebar, Zhafira telah mengakui kedua orang tuanya sebagai calon mertua padahal ketika dalam perjalanan tadi sang gadis tampak ragu dengan pertemuan ini.Sepertinya Zhafira sudah lebih santai.“Yuk, kita ke resto sekarang ...,” ajak Kaivan seraya menggandeng tangan Zhafira.Keduanya berjalan beriringan, Kaivan menggenggam tangan Zhafira dan merasakan telapak tangannya dingin.“Kamu gugup?” Kaivan bertanya setelah menekan tombol pada panel lift.Sang gadis mengangguk dengan senyum ironi terselip di bibirnya.Pintu lift terbuka, Kaivan dan Zhafira masuk ke dalam dan hanya mereka berdua di sana.“Tenang aja, kedua orang tua aku manusia ... bukan Alien.” Kaivan berkelakar mencoba menenangkan Zhafira dan ternyata berhasil, Zhafira tertawa cantik.Di restoran, kedua orang tua Kaivan sudah datang lebih dulu.“Yah, kok Bunda enggak yakin ya sama keputusan Kaivan ... soalnya ini terlalu cepat bukan hanya proses pernikahan antara Kai sama Fira aja yang cepat tapi proses Kai melupakan Imelda juga bisa dibilang cepat.” Bunda Aura mengutarakan keluh kesahnya.“Ayah juga ngerasanya gitu, tapi kita enggak tau ‘kan ... siapa tau Fira bisa ngobatin luka hatinya Kai.” Narendra berpendapat.Mata keduanya lantas menangkap sosok Kai yang menggandeng tangan seorang gadis cantik.“Sekarang Ayah yakin kenapa Kai tergila-gila sama Fira,” gumam Narendra dengan mata berbinar setelah melihat calon menantunya.Bunda Aura tertawa dan ia setuju dengan suaminya karena gadis yang digandeng Kaivan memiliki paras cantik natural dengan gurat wajah ramah.“Hai kalian,” sapa Aura dengan suara lembut.Zhafira langsung memberikan senyum terbaiknya membalas sapaan sang ibu mertua.“Ini yang namanya Zhafira?” Aura bertanya.“Betul Bu, saya Zhafira.” Zhafira meraih tangan Aura untuk ia kecup bagian punggungnya.“Panggil Bunda aja, sebentar lagi kamu mau jadi anak Bunda, kan?” pinta Aura kemudian mengecup pipi kiri dan kanan Zhafira yang menegang karena keramahan wanita yang masih sangat cantik di usianya yang tidak lagi muda.“I-iya, Bunda ....” Zhafira menanggapi.Aura tersenyum hangat dan beralih kepada Kaivan.“Bunda suka yang ini dari pada yang dulu,” bisik Aura yang masih sakit hati kepada Imelda karena tiba-tiba saja membatalkan pernikahan.Kaivan mengangkat kedua alisnya berkali-kali menunjukan tampang kocak membuat sang bunda mencubit lengannya pelan.“Hallo Fira.” Narendra lebih ramah lagi, memanggil Zhafira dengan nama kecil.Zhafira mengecup punggung tangan calon ayah mertua tanpa membalas sapaan Narendra hanya memberikan senyumnya saja.Ia bingung apakah harus memanggil ayah atau om atau pak.Mereka berempat kemudian duduk, Aura duduk di samping Zhafira sementara Kaivan duduk di samping Narendra tepat di depan Zhafira.Banyak hal yang mereka bicarakan, mulai dari masa kecil Kaivan, kenakalannya hingga prestasi disekolah.Narendra dan Aura membongkar semua aib Kaivan agar Zhafira tidak terkejut dikemudian hari bila mendapati hal aneh dalam diri Kaivan mengingat masa pendekatan mereka terbilang singkat.Tapi aib Kaivan tersebut malah membuat Zhafira tertawa, ia tidak keberatan karena masih dalam katagori normal.Lama-lama Zhafira merasa nyaman, kedua orang tua Kaivan sangat baik dan ramah.Sekarang Zhafira baru percaya jika sang calon mertua memang menerima dirinya apa adanya.Makan malam pun selesai, kesan pertama Zhafira cukup baik di mata kedua orang tua Kaivan.Sebagai customer service priority tentu Zhafira pintar memilah kata untuk menanggapi ucapan kedua mertuanya.Zhafira juga begitu sopan, mengerti table manner dan berwawasan luas apalagi masalah keuangan dan Ekonomi.“Sampai ketemu besok ya, sayang.” Aura mengucapkan salam perpisahan sambil melambaikan tangan sebelum akhirnya di rengkuh pinggangnya oleh tangan kokoh Narendra untuk kemudian keluar dari area resto.Kaivan yang juga mengaitkan tangan di pinggang Zhafira balas melambaikan tangan seperti yang dilakukan Zhafira.“Bundanya Mas Kai, cantik ...,” cetus Zhafira ketika mereka melangkah beriringan menuju lift.“Kamu juga cantik,” ucap Kaivan tulus sambil menatap Zhafira tepat di matanya.Tentu saja Zhafira jadi salah tingkah, cepat-cepat memutus tatapan lalu menunduk menatap ujung sepatunya bersandar pada dinding lift.Kaivan selalu gemas setiap kali melihat Zhafira tersipu seperti itu, Zhafira terlalu polos dan hal-hal kecil pun mampu membuatnya merona.Gadis sederhana dan unik yang baru Kaivan temui selama hidupnya.Setibanya di suite, suasana sangat gelap lantas bermandikan cahaya lampu saat Kaivan menyelipkan keycard pada tempatnya.“Kamu mau nonton tv dulu?”Tawaran Kaivan tersebut sungguh berbahaya, Zhafira memilih menghindar karena di dalam suite itu hanya mereka berdua dan ia tidak pernah tau jika mungkin saja ada setan lewat yang bisa menggoyahkan Imannya.“Fira tidur aja ya, Mas ... udah malem,” tolak Zhafira secara halus.Kaivan mengerti, ia pun mengangguk tapi menarik langkah mendekati Zhafira dan berhenti tepat di depan Zhafira hingga ujung sepatu mereka saling bersentuhan.“Tidur yang nyenyak ya, Fir ....” Kaivan membingkai pipi Zhafira dengan satu tangannya, mengelus lembut ibu jarinya di sana.“Mas juga,” kata Zhafira yang mendongak demi bisa menatap wajah tampan sang calon suami, menyimpannya di memory agar bisa terbawa mimpi.Kaivan menundukan kepala perlahan, Zhafira mengira jika Kaivan akan mengecup keningnya jadi ia memejamkan mata.Tapi kecupan Kaivan mendarat di hidung Zhafira, yang kemudian refleks membuka mata setelah Kaivan menjauhkan wajahnya.Masih dengan ibu jari dari tangan yang membingkai sisi wajah Zhafira—Kaivan mengusap bibir Zhafira.“Aku pengen ini, Fir ... tapi aku simpan sampai kita udah syah menjadi suami istri.”Hati wanita mana yang tidak bergetar mendengar kalimat tersebut.Meski mereka sudah dipastikan akan menikah tapi Kaivan tidak ingin melewati batas—pria itu tidak mengambil kesempatan.Kaivan menghormati kesucian Zhafira.Zhafira tersenyum, sorot matanya berbinar—menceritakan banyak hal termasuk jika ia bahagia sebagai gadis yang dipilih Kaivan untuk menjadi calon istrinya.Zhafira bersyukur mendapatkan calon suami yang tidak mengedepankan hasrat semata tapi benar-benar tulus mencintainya sepenuh hati.Kaivan melepaskan Zhafira yang kemudian membalikan badan untuk membuka pintu kamar.Zhafira melambai canggung sambil tersenyum malu sebelum menutup pintu.Lagi-lagi hal itu begitu menggemaskan di mata Kaivan.Kaivan jadi semakin mencintai Zhafira.Narendra dan Aura sudah menikahkan empat anaknya, jadi mereka sudah terbiasa memperlakukan besannya dengan baik. Seperti saat ini, walau semestinya papa dari Zhafira yang menjamu calon menantu dan calon besan tapi malah Narendra dan Aura yang memfasilitasi pertemuan tersebut. Bagi mereka tidak masalah siapa yang harus menjamu, yang terpenting adalah anaknya bisa hidup bahagia dengan gadis yang dicintai. Sebuah resto mewah di hotel tersebut menjadi pilihan Aura bertemu calon besan. Herry-papanya Zhafira datang tepat waktu bersama istri dan kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Narendra dan Aura menyambut kedatangan calon besan dengan sangat ramah dan tangan terbuka. “Saya Narendra dan ini istri saya Aura,” kata Narendra memperkenalkan diri lebih dulu. “Saya Herry dan ini Arum istri saya lalu dua anak saya Zivanya dan Zahra.” Gantian Herry memperkenalkan diri. Keduanya saling berjabat tanga
“Kamu baik-baik aja?” Kaivan bertanya karena ia lihat Zhafira menjadi sangat pendiam semenjak mengantar kedua orang tuanya hingga lobby.Zhafira menganggukan kepala sambil memaksakan senyum.Tapi Kaivan tau jika ada yang sesuatu yang mengganjal di hati dan benak Zhafira.Kaivan membuka pintu kamar suitenya, seperti di Surabaya—ia juga mencari hotel yang memiliki kamar suite atau Familly room yang memiliki dua kamar agar bisa selalu dekat dengan Zhafira meski pada kenyataannya Zhafira lebih suka mengurung diri di kamar.Mereka bermaksud membawa koper sebelum meninggalkan hotel untuk kembali ke Jakarta yang akan dilakukan melalui perjalanan darat karena sang driver beserta mobil dikabarkan sudah standby di parkiran.“Fir,” panggil Kaivan membuat langkah Zhafira yang hendak masuk ke dalam kamar terhenti.Kaivan mendekat menyusul Zhafira dan ketika Zhafira berbalik ia mendapati Kaivan begitu dekat hingga saat mendongak, hembusan napas Kaivan l
Hampir setiap hari Zhafira dijemput Kaivan dari kantor.Seperti malam ini, Kaivan mengatakan hendak membawa Zhafira makan malam tapi bukan disebuah resto melainkan di rumah kakek dan nenek dari pihak bundanya.Monica-sang nenek dan Edward-kakek dari pihak Bundanya meminta Kaivan membawa Zhafira untuk makan malam di rumah mereka.“Ya ampun, ada bidadari Mi ... itu bidadari ‘kan Mi!” Edward berseru saat melihat seorang gadis cantik masuk ke dalam rumahnya digandeng oleh Kaivan.Bibir Monica mencebik disertai delikan tajam membunuh.“Grandpa ... Grandma, kenalin ... ini Fira, calon istri Kai.”Untuk yang kedua kalinya Zhafira merasa kesal karena Kai tidak mengatakan apapun tentang acara makan malam bersama keluarga.Zhafira tidak memiliki waktu mempersiapkan dirinya bertemu mereka.Ingin memprotes pun percuma karena ia dan Kaivan sudah berada di sini.“Ini sih seleraku,” celetuk Edward mengikuti slogan seb
Pagi ini Zhafira tidur dengan nyenyak setelah tadi malam berkumpul dengan para ipar dan kerabat suaminya. Mereka membuat bridal shower untuk Zhafira dan dari sana Zhafira yakin jika keluarga suaminya memang baik dan menerimanya dengan terbuka meski ia bukan dari keluarga Konglomerat seperti mereka. Kaivan juga sudah berjuang sejauh ini, rasanya tidak adil jika Zhafira menyerah hanya khawatir dengan prasangka maupun judge yang mungkin diberikan salah satu keluarga Kaivan. Zhafira menatap dirinya di cermin, pakaian adat berbahan brukat telah membalut tubuhnya dengan sempurna ditambah mahkota ciri khas tanah kelahirannya bertengger di kepala begitu mewah dengan butiran batu kristal. Rangkaian bunga melati tersampir di pundaknya menjadi ciri khas pengantin adat Sunda. Bibir Zhafira tersenyum tipis, puas dengan maha karya MUA dari tim wedding organizer. Kaivan memang tidak main-main ketika mengatakan ingin menikah se
Narendra dan Aura sudah lima kali menikahkan anak mereka dan setiap pernikahan pasti selalu tersimpan cerita. Aura menggenggam tangan suaminya. “Tugas kita selesai, Yah.” Narendra menoleh kemudian sedikit membungkuk untuk mengecup kening sang istri yang di matanya selalu cantik tidak pernah menua. “Iya ... semoga anak-anak kita bahagia seperti yang kita rasakan.” Aura mengangguk mengaminkan kemudian mengembalikan tatapan pada Kaivan dan Zhafira yang tengah berbahagia. “Makasih sayang,” ucap Kaivan setelah menurunkan Zhafira. Rasa syukur tidak berhenti hatinya bisikan untuk sang pencipta karena telah dipertemukan dengan Zhafira. Tuhan mengirim Zhafira untuknya, gadis cantik-sederhana-polos dan lugu yang belum terjamah pria manapun. *** Zhafira sudah berganti pakaian dengan gaun pengantin rancangan desiner ternama dunia. Ia diperkenalkan dengan kakak perempuan dan ad
“Maaf ya Mas.” Zhafira melirih dalam pelukan suaminya ketika mereka berada di dalam lift. “Maaf untuk apa?” Kaivan bertanya. Wajah pria itu menunduk agar bisa menatap wajah sang istri yang kini terbenam di dadanya. “Mama sama papa ...,” kata Zhafira mirip sebuah bisikan yang terdengar pilu. “Enggak apa-apa, mereka enggak berbuat aneh kok ... seperti membakar ballroom atau bergulat di pelaminan.” Zhafira tertawa mendengar kelakar Kaivan, pria itu memang pandai mengubah mood-nya. Akhirnya mereka tiba di depan kamar pengantin, sesaat Zhafira tercenung menatap pintunya.Baru tersadar ada kewajiban yang harus dipenuhi setelah resmi menyandang status istri Kaivan. “Fir, kalau kamu belum siap malam ini ... enggak apa-apa, aku enggak akan maksa ... kita punya waktu seumur hidup untuk malam pertama,” ujar Kaivan yang mengerti dengan kekhawatiran yang tercetak di wajah cantik istrinya. Ia tau
Zhafira melenguh pelan di sela ciuman membuat Kaivan semakin rakus memagut bibirnya, membelit lidah Zhafira hingga Zhafira kewalahan tapi berusaha belajar dan mengimbangi kemampuan Kaivan. Tangan Kaivan kembali merayap di naik ke perut Zhafira, memberikan sentuhan lembut seringan bulai kemudian meremat pelan bagian lekukan di pinggang Zhafira. Kaivan melanjutkan sentuhannya sampai menemukan bagian menyebul di balik kain berenda. “Aaah ....” Zhafira mendesah dalam pagutan ketika Kaivan memberikan rematan lembut di dada. Tidak ada penolakan dari Zhafira yang memang sedang dilingkupi sebuah perasaan asing yang menyenangkan. Zhafira terdiam ketika telapak tangan Kaivan mulai menyusuri punggungnya. Ia hanya bisa berpegangan dengan melingkarkan tangan di sekeliling pundak Kaivan. Kaivan mulai merasakan Zhafira bisa menanggapi ciumannya dengan baik, sang istri ternyata belajar dengan cepat. Seti
Setelah menikah, Kaivan membawa Zhafira ke rumah orang tuanya. Hal itu disambut baik kedua orang tua Kaivan yang sekarang berdomisili di Vietnam dan hanya sesekali pulang ke Jakarta. Sebetulnya Kaivan memiliki beberapa properti yang disewakan tapi Kaivan malas pindah, ia nyaman tinggal di rumah tempat ia tumbuh dan besar apalagi rumah orang tuanya memiliki fasilitas yang lengkap dengan pelayan, koki juga driver. Dua tangan kokoh yang memeluk pinggangnya membuat Zhafira terkesiap disusul hembusan napas hangat menerpa leher. Cup. Sebuah kecupan mendarat di sana. “Lagi apa?” tanya si pelaku kemudian. Alasan Zhafira tidak meronta adalah karena tau siapa lagi yang akan berbuat seperti itu kepadanya jika bukan sang suami tercinta. Sebetulnya Zhafira malu karena di dapur ini bukan hanya mereka berdua tapi ada pak Haris-sang kepala asisten rumah tangga dan beberapa asisten rumah tangga. Tadi Zhaf
“Arumi Kamaniya Gunadhya.” Suara sang Papa yang pelan namun terdengar tegas membuat Arumi-bocah berumur lima tahun itu menegang. Arumi sedang bermain di halaman belakang, ia masuk ke dalam rumah untuk mengambil air minum karena udara hari ini sangat panas. Tapi malah bertemu papanya yang baru saja pulang kerja. Dan kenapa sang Papa tampannya memanggil namanya dengan tegas, sudah dipastikan karena telah melihat hasil ujian semester ini. Arumi membalikkan badan, matanya menatap takut-takut sang papa lantas mengumpulkan keberaniannya untuk memberikan senyum sejuta pesona. “Enggak mempan, sayang.” Meski keluar kata ‘sayang’ tapi ekspresi wajah Kaivan terlihat datar. “Duduk sini samping Papa.” Kaivan menepuk Spaces kosong di sofa yang ia duduki. Arumi duduk di samping papanya dengan gerakan lemah gemulai bak seorang princess. Bahkan sempat merapihkan rok belakangnya agar tidak kusu
“Kamu pucat, Yang … tadi enggak sarapan sih,” tegur Kaivan, tangannya terulur mengusap keringat di pelipis Zhafira setelah mengangkat helm proyek di kepala istrinya. Mereka sedang berada di salah satu proyek untuk keperluan pengecekan dan koordinasi karena perhari ini pengerjaan resmi di mulai. Zhafira memaksakan sebuah senyum untuk menunjukkan ia baik-baik saja. “Tadi Fira belum lapar, tapi Fira bawa bekal kok Mas di mobil.” Zhafira berdusta, padahal tadi ia muntah-muntah di kamar mandi sehingga terlambat ikut sarapan di meja makan. Dan sebenarnya bukan tidak lapar tapi Zhafira merasakan mual dan begah pada perutnya. Ia sadar selama beberapa hari terakhir terlambat makan sehingga bisa dipastikan asam lambungnya pasti kambuh. Zhafira tidak ingin Kaivan mengetahui hal tersebut. “Ga, bawain bekal di mobil untuk ibu …,” titah Kaivan pada sekertaris Zhafira. “Baik Pak,” sahut pria
Suasana kantor Kaivan tampak kondusif di jam setelah makan siang. Anggukan seorang satpam yang ada di loby depan menyambut kedatangannya setelah bertemu klien sejak pagi tadi. “Istri saya masih di atas?” Kaivan bertanya pada salah seorang sekuriti yang berada di dalam gedung. “Masih, Pak ... ibu dia atas sama Rey.” Pria itu menjawab sambil setengah berlari lebih dulu untuk menekan tombol lift. Kaivan mengangguk samar kepada security sebelum masuk ke dalam lift diikuti sekretaris cantiknya bernama Irma. “Nanti malam ada acara sosial bersama pak Wali Kota, Pak.” Irma memberitau sambil membaca iPad di tangannya. “Belikan satu gaun untuk istri saya, saya lupa kasih tahu kalau hari ini ada pesta.” “Baik, Pak!” Ting … Detik berikutnya setelah lift berdenting, Kaivan dan Irma keluar dari lift. Seorang pria muda tampan dan bertubuh atletis seperti K
Setelah resign, Zhafira tidak memiliki kegiatan selain menggambar sketsa. Setiap hari ia menghabiskan waktunya di perpustakaan menggambar banyak bangunan menunggu Kaivan pulang kerja yang saat itu sedang asyik dengan kedekatan bersama Imelda sehingga pulang selalu larut malam. Ternyata apa yang ia kerjakan itu tidak sia-sia. Zhafira mengirim semua karyanya pada Architecture Design Competition yang diadakan oleh Ikatan Arsitek Indonesia dan juga Lomba design gedung dan jembatan yang diadakan pemerintah. Dan hasil Karya Zhafira selalu menjadi pemenangnya. Seperti malam ini, Zhafira diundang oleh Gubernur Jawa Barat untuk menerima penghargaan dan hadiah atas kemenangannya dalam mendesain ulang bangunan yang tidak berfungsi dengan baik atau bahkan terbengkalai di Kota Bandung menjadi bangunan dengan fungsi baru yang nyaman, aman, berkelanjutan, dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar dan kota itu sendiri.
Suara tangis Rey yang membahana membuat Kaivan dan Zhafira terjaga dari tidur yang lelap di dini hari. Kaivan menegakan tubuhnya lebih dulu, menurunkan kedua kakinya lalu beranjak menghampiri box bayi Rey. “Tunggu aja di sana, Yang … aku bawa Rey ke sana.” Zhafira menaikkan kakinya kembali, menumpuk bantal untuk membuatnya nyaman bersandar ketika menyusui. Sementara itu Kaivan mengecek popok Rey. “Alexa, play You Are My Sunshine,” perintah Kai pada smart speaker yang berada di atas nakas. Lagu You Are My Sunshine mengalun dengan volume rendah dan tangis Rey perlahan berhenti. Kaivan jadi bisa dengan mudah mengganti popok Rey yang sudah penuh. Zhafira memperhatikan Kaivan dari atas ranjang, suaminya begitu mahir mengganti popok dengan lebih dulu membersihkan bagian bawah tubuh Rey. Tidak sia-sia Kaivan resign, karena selain memiliki banyak waktu untuk bersama Zhafira—ia juga me
Bayi laki-laki gempal yang diberi nama Reynand Arkananta Gunadhya itu hanya selisih satu bulan lahir ke dunia dengan anak keempat pasangan Arkana dan Zara. Bahkan Zara sudah bisa menghadiri peresmian resort kemarin. Zhafira jadi semangat untuk cepat pulih karena ada rumah baru mereka yang menanti di Bandung. “Eeeh, sudah cantik cucu Nenek.” Nenek Shareena memuji Zhafira yang sudah mandi dan cantik sepagi ini. Nenek Shareena bersama grandma Monica masuk ke ruangan rawat Zhafira. “Nenek … Grandma.” Zhafira balas menyapa dengan senyumnya yang khas. Zhafira duduk bersandar di ranjang yang bagian kepalanya dibuat tegak. Wajah Zhafira berseri-seri, segar dan cantik. “Kemarin Grandma pulang duluan anterin nenek kamu ini yang masuk angin … pakai acara kerokan lah kita sampe rumah.” Grandma Monica misuh-misuh karena gara-gara itu ia tidak bisa langsung bertemu cicitnya. “Terus sekarang
Zhafira memejamkan matanya tatkala rasa mulas dan nyeri di bagian pinggang menghantam begitu dahsyat. Genggaman tangan Zhafira di tangan Kaivan yang duduk di samping sambil mengusap perutnya pun mengerat kuat. Keduanya sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Kebetulan heli milik kakek Kallandra yang beberapa bulan terakhir ini terparkir di halaman belakang Villa merupakan heli jenis KA 62 yang mampu menampung hingga sepuluh orang sehingga grandpa Edward, grandma Monica juga nenek Shareena bisa ikut menemani Zhafira yang akan melakukan persalinan.Sementara kakek Kallandra dan keluarga yang lain akan menyusul setelah acara peresmian resort selesai. Di antara rasa sakit yang sedang Zhafira alami selama ini, terselip lega dan puas karena dengan mengepalai proyek pembangunan resort tersebut—ia bisa membuktikan siapa dirinya kepada dunia. Zhafira bukan hanya Zhafira yang berasal dari keluarga broken home dan manta
Zhafira merasakan tubuhnya tidak nyaman, perutnya mulas tapi setiap kali duduk di atas closet—mulas itu lenyap entah ke mana. Sayangnya Zhafira tidak memiliki waktu untuk mengkhawatirkannya karena besok adalah peresmian resort dan hari ini segala sesuatunya harus sudah siap seratus persen. Jam sembilan malam Zhafira masih sibuk menata venue padahal sudah ada Event Organizer tapi Zhafira tidak percaya begitu saja dan tetap mengecek setiap detailnya satu persatu. Kakinya yang bengkak terasa kebas, belum lagi rasa mulas semakin sering mendera meski hilang timbul. “Yang, kita pulang sekarang … udah malem.” Nada suara dan sorot mata yang tegas milik Kaivan tidak bisa Zhafira tawar lagi, ia harus menurut. Selama ini Kaivan selalu mengalah, berusaha mengerti keinginannya jadi tidak semestinya Zhafira membantah apalagi ini demi kebaikan dirinya dan si janin. “Iya Mas, Fira pamit sama EO-nya dulu.”
Beberapa hari terakhir Kaivan selalu terbangun tengah malam terusik oleh pergerakan Zhafira yang gelisah dalam tidurnya. Perut Zhafira sudah sangat besar, dokter mengatakan jika sebentar lagi akan melahirkan tapi Zhafira masih bertahan tinggal di Puncak hingga peresmian resort. Begitulah permintaan Zhafira pada Kaivan yang tidak bisa Kaivan tolak. “Yang,” panggil Kaivan menegakan sedikit tubuhnya mengecek keadaan sang istri. “Begah, Mas … Fira juga engap banget, keluh Zhafira dengan mata berkaca-kaca. Semenjak hamil Zhafira memang mudah mengeluarkan air mata membuat Kaivan kalang kabut berusaha agar air mata Zhafira berhenti mengalir. “Coba bobonya sambil duduk, nanti aku benerin posisi tidur kamu kalau kamu udah terlelap.” Kaivan mencoba mencari solusi dengan terlebih dahulu ia menegakan tubuhnya bersandar pada headboard agar Zhafira bisa bersandar di dadanya. Zhafira menurut, dengan ban