Zhafira melenguh pelan di sela ciuman membuat Kaivan semakin rakus memagut bibirnya, membelit lidah Zhafira hingga Zhafira kewalahan tapi berusaha belajar dan mengimbangi kemampuan Kaivan.
Tangan Kaivan kembali merayap di naik ke perut Zhafira, memberikan sentuhan lembut seringan bulai kemudian meremat pelan bagian lekukan di pinggang Zhafira.Kaivan melanjutkan sentuhannya sampai menemukan bagian menyebul di balik kain berenda.“Aaah ....” Zhafira mendesah dalam pagutan ketika Kaivan memberikan rematan lembut di dada.Tidak ada penolakan dari Zhafira yang memang sedang dilingkupi sebuah perasaan asing yang menyenangkan.Zhafira terdiam ketika telapak tangan Kaivan mulai menyusuri punggungnya.Ia hanya bisa berpegangan dengan melingkarkan tangan di sekeliling pundak Kaivan.Kaivan mulai merasakan Zhafira bisa menanggapi ciumannya dengan baik, sang istri ternyata belajar dengan cepat.SetiSetelah menikah, Kaivan membawa Zhafira ke rumah orang tuanya. Hal itu disambut baik kedua orang tua Kaivan yang sekarang berdomisili di Vietnam dan hanya sesekali pulang ke Jakarta. Sebetulnya Kaivan memiliki beberapa properti yang disewakan tapi Kaivan malas pindah, ia nyaman tinggal di rumah tempat ia tumbuh dan besar apalagi rumah orang tuanya memiliki fasilitas yang lengkap dengan pelayan, koki juga driver. Dua tangan kokoh yang memeluk pinggangnya membuat Zhafira terkesiap disusul hembusan napas hangat menerpa leher. Cup. Sebuah kecupan mendarat di sana. “Lagi apa?” tanya si pelaku kemudian. Alasan Zhafira tidak meronta adalah karena tau siapa lagi yang akan berbuat seperti itu kepadanya jika bukan sang suami tercinta. Sebetulnya Zhafira malu karena di dapur ini bukan hanya mereka berdua tapi ada pak Haris-sang kepala asisten rumah tangga dan beberapa asisten rumah tangga. Tadi Zhaf
“Besok Mas mau keluar kota, Ayang mau ikut?” Kaivan yang barus aja menaiki ranjang bertanya basa-basi. Zhafira tertawa pelan, menyimpan ponselnya ke atas nakas. “Besok Fira kerja ... Mas Kai berapa hari di luar kota?” Zhafira memutar sedikit tubuhnya agar menghadap Kaivan sempurna. “Tiga hari, tapi Mas usahain pulang secepatnya kalau udah selesai.” Zhafira mengangguk tapi kemudian raut wajahnya berubah, Zhafira malah melamun. Ia teringat perkataan pak Wisnu siang ini. “Yang,” panggil Kaivan. “Jangan sedih, kalau Ayang pengen ikut nanti Mas bilang sama pak Wisnu ... pasti diijinin,” kata Kaivan seraya mengangkat dagu Zhafira dengan kedua jemarinya untuk mempertemukan mata mereka. Semburat merah segera saja menghiasi pipi Zhafira. Zhafira kembali menunduk sambil tersenyum malu, bukan itu yang mengganjal di hatinya tapi ia juga tidak berani mempertanyakan kepada Kaiva
“Fiiiir, kok lama?” panggil Kaivan dari atas ranjang. Pria itu hanya memakai celana boxer saja menunggu Zhafira yang sedang mengganti pakaiannya dengan Lingery. Akhirnya, setelah Kaivan membujuk selama beberapa hari—Zhafira mau juga menggunakan salah satu Lingery hadiah pernikahan mereka. “Bentar Mas, Fira malu.” Terdengar balasan dari dalam walk in closet. Kaivan tersenyum simpul, istrinya benar-benar polos. Dari segi wajah, body dan sifat—Zhafira merupakan paket lengkap yang termasuk kriteria yang diinginkan banyak pria. Bagi Kaivan, tidak ada kekurangan dalam diri Zhafira dan ia tidak pernah menyesali keputusannya menikahi Zhafira hanya dalam waktu singkat. Semakin hari, Kaivan semakin mencintai Zhafira. “Yang, ayo donk ... cuma ada Mas doank, masa malu.” Kaivan membujuk lagi. Setelah itu terdengar suara langkah kaki perlahan keluar dari walk in closet. Zhafira
Sesuai janji, Kaivan menjemput Zhafira tepat waktu di kantor. Mereka makan malam di rumah karena Zhafira selalu mengatakan makanan rumah lebih sehat, Kaivan setuju dan selain itu kalau di rumah bisa bermesraan dengan Zhafira. Keduanya sudah melupakan kejadian tadi siang, Zhafira berusaha mengerti amarah Kaivan meski sebetulnya banyak pertanyaan di benak Zhafira yang membutuhkan penjelasan pria itu. Zhafira masih heran kenapa Kaivan melarang keras dirinya berhubungan dengan Xander padahal jelas-jelas Kaivan mengetahui bahwa Xander adalah nasabah pegangannya. Kaivan juga tidak ingin membahas hal itu lagi karena membenci Xander yang selalu unggul dibanding dirinya dalam bisnis. Kaivan tidak ingin orang terdekatnya berhubungan dengan pria blasteran Amerika itu. “Tangan kamu kenapa Fir?” Kaivan terkejut melihat pergelangan tangan Zhafira yang membiru. Pria itu menegakan punggung dari sandarannya pada head
Kaivan lupa jika Richard berteman juga dengan Imelda jadi sang mantan kekasih tentunya ada dalam pesta ulang tahun sahabat yang dihadirinya bersama Zhafira. “Kai,” panggil Gerry, pria itu telah duduk di sebuah meja bersama Aarash dan Rachel. Kaivan yang menggandeng Zhafira pun balas melambaikan tangan dan barulah Zhafira sadari jika ia sedang berada di circle kaum jetset. Sebagai customer service priority Zhafira tidak asing dengan para tamu yang hadir dalam pesta tersebut. Mereka adalah orang-orang yang uangnya ‘tidak berseri’ tapi masalahnya sekarang Zhafira menjadi bagian dari mereka karena menikahi Kaivan. Jiwa insecure Zhafira kembali terusik. Namun, genggaman tangan Kaivan yang hangat mengalihkan sejenak rasa gugup Zhafira—menguatkan kaki Zhafira untuk terus melangkah bersanding dengan pria itu. Kaivan menjabat tangan lalu memeluk Aarash yang merupakankakak kandung dari Arshavina-kakak iparnya
Langkah kaki Imelda berhenti di meja yang berisi para sahabatnya tapi hati Imelda masih saja gundah. Pasalnya jangkauan matanya menangkap kemesraan Kaivan dengan Zhafira Keduanya sedang suap-suapan makanan tampak bahagia, dengan sering juga Kaivan melabuhkan kecupan di pipi atau kepala Zhafira. Tangan Kaivan yang kokoh tidak pernah meninggalkan tubuh Zhafira, merengkuh, mengait bahkan memeluk tubuh ramping itu. Imelda bagaikan melihat dirinya dan Kaivan di masa lalu. Penyesalan yang bersarang dalam hatinya kini kian besar mendera Imelda tapi tak berlangsung lama karena beberapa pria datang menghampiri mejanya dan Imelda beserta para sahabat perempuan yang lain mulai terlibat obrolan seru. Imelda berusaha mengalihkan atensi kepada salah satu pria tampan yang mencoba mendekatinya. Tanpa Imelda ketahui jika diam-diam Kaivan tersenyum miring melihat kedekatan Imelda dengan pria tersebut. ***
Selesai sarapan pagi yang sedikit kesiangan—Zhafira keluar dari hotel menggunakan taxi yang dipesan oleh pihak hotel. Taxi melaju ke arah Sukajadi menuju sebuah Mall terbesar di kota Bandung, tempat janji Zhafira bertemu dengan mamanya. Driver taxi menurunkan Zhafira di loby depan. Matanya memindai ke sekeliling dan ia mendapati sebuah tangan melambai padanya. Zhafira tersenyum tatkala melihat senyum di bibir Dewi, wanita yang telah melahirkannya itu tampak bahagia. Cukup lama dari terakhir mereka bertemu di pesta pernikahan, Zhafira baru sekarang bertemu lagi dengan Dewi. “Fir, Mama kangen!” kata Dewi seraya memeluk Zhafira. “Fira juga kangen, Ma.” Zhafira sedikit canggung karena sesungguhnya mereka tidak sedekat ini. Tapi semenjak ia menikah dengan Kaivan—mamanya jadi perhatian sering menghubunginya terlebih dahulu. Keduanya melangkah bersama saling bergandengan tangan memas
“Mas ....” Zhafira yang menyembulkan kepalanya dari balik pintu memanggil Kaivan dengan suara lembut mendayu membuat yang dipanggil mendongak dari layar komputer di ruang perpustakaan. “Sebentar sayang, sedikit lagi selesai.” Kaivan menyahut tanpa mengalihkan tatapan matanya dari layar pipih yang menampilkan banyak angka dan huruf. Entah apa yang suaminya kerjakan, apakah tidak cukup waktu delapan jam di kantor hingga pekerjaan itu harus ia bawa pulang juga. Andaikan bisa, Zhafira pasti akan dengan senang hati membantu. “Oke,” balas Zhafira enggan mengganggu mungkin besok suaminya tidak sibuk, sebaiknya ia bicara besok saja kepada Kaivan. Zhafira kembali ke kamar, bersiap untuk tidur. Beberapa lama menunggu Kaivan hingga akhirnya tertidur sebelum Kaivan bergabung bersamanya. Dan ketika membuka mata di pagi hari, ia tidak melihat Kaivan di atas ranjang. Kapan suaminya tidur dan kapan pria itu terbangu