Hampir setiap hari Zhafira dijemput Kaivan dari kantor.
Seperti malam ini, Kaivan mengatakan hendak membawa Zhafira makan malam tapi bukan disebuah resto melainkan di rumah kakek dan nenek dari pihak bundanya.Monica-sang nenek dan Edward-kakek dari pihak Bundanya meminta Kaivan membawa Zhafira untuk makan malam di rumah mereka.“Ya ampun, ada bidadari Mi ... itu bidadari ‘kan Mi!” Edward berseru saat melihat seorang gadis cantik masuk ke dalam rumahnya digandeng oleh Kaivan.Bibir Monica mencebik disertai delikan tajam membunuh.“Grandpa ... Grandma, kenalin ... ini Fira, calon istri Kai.”Untuk yang kedua kalinya Zhafira merasa kesal karena Kai tidak mengatakan apapun tentang acara makan malam bersama keluarga.Zhafira tidak memiliki waktu mempersiapkan dirinya bertemu mereka.Ingin memprotes pun percuma karena ia dan Kaivan sudah berada di sini.“Ini sih seleraku,” celetuk Edward mengikuti slogan sebuah iklan di televisi.Pria tua itu mengulurkan tangan ke depan Zhafira yang langsung Zhafira raih dan mengecup bagian punggungnya.“Apakabar, Pak?” Zhafira menyapa.“Kok Pak? Grandpa donk,” ralat Edward kemudian dan Zhafira tersenyum menanggapi.Zhafira beralih pada wanita cantik di samping Edward, mengulurkan tangan untuk bersalaman.“Grandma Monica,” kata wanita tua yang cantik itu memberitau Zhafira bagaimana memanggil dirinya.“Saya Fira, Grandma ....”Monica tersenyum lembut lantas merangkul Zhafira masuk lebih dalam menuju ruang makan.“Menantu di keluarga kami—enggak bisa masak enggak apa-apa, tapi harus cantik dan fashionable ... nanti Grandma kirim baju-baju keluaran brand punya Grandma.” Monica berceloteh tampak bahagia karena baru sekali melihat Zhafira ia sudah bisa menilai bila Zhafira adalah gadis baik.“Terimakasih sebelumnya Grandma tapi jangan repot-repot ... Fira memang enggak ngerti fashion, nanti Fira bisa belajar sama Grandma ya?” kata Zhafira dengan suara lembutnya.“Aaaa ... cucu menantu Grandma tersayang.” Monica memeluk Zhafira, langsung sayang padahal baru pertama kali bertemu.Kaivan tersenyum lebar menatap kakeknya, dari sorot matanya seolah membanggakan diri sendiri bahwa kali ini ia tidak akan salah mencari calon istri.Makan malam itu berjalan dengan penuh kehangatan dan ceria.Sama seperti ketika makan malam beberapa hari lalu bersama kakek dan nenek dati pihak ayahnya Kaivan.Tapi kali ini lebih berkesan karena Monica dan Edward lebih santai dan rock roll.Berkali-kali Kaivan menegur mereka dan mengingatkan mereka sudah tua dan jangan konyol di depan Zhafira.Zhafira tidak keberatan sama sekali, air matanya sampai menetes karena terlalu sering tertawa.Dalam setiap perkenalan dengan keluarga Kaivan, Zhafira tidak menemukan sesuatu yang membuat ragu akan ketulusan cinta Kaivan.Hebatnya, tidak ada satu pun keluarga Kaivan yang membahas masa lalu pria itu dengan Imelda.Nama Imelda seolah tabu disebut dalam keluarga Gunadhya padahal Imelda lebih dulu masuk dalam keluarga Gunadhya sebelum hadirnya ipar-ipar Kaivan.***Ponsel Zhafira yang berada di atas nakas berdering nyaring.Zhafira yang sedang duduk di meja belajar mencari bahan film yang akan ditontonnya bersama Bella dan Nova di laptop pun akhirnya menoleh ke asal suara.Bergegas beranjak berdiri untuk mencari tau siapa yang menghubunginya.Nama Arshavina-kakak ipar Kaivan tertera di layar, ketika makan malam bersama keluarga beberapa minggu lalu—mereka memang bertukar nomor ponsel.“Hallo Mbak?” Zhafira menyahut.“Fir, ada acara enggak hari ini?” Arshavina to the point bertanya.“Enggak ada, Mbak ... ada apa ya?”“Kita ketemuan yuk!” ajak Arshavina dengan tegas seperti tidak ingin dibantah.“Sekarang?” Zhafira memastikan.“Iya lah, masa besok ... besok ‘kan kamu menikah,” pungkas Arshavina yang menghasilkan tawa Zhafira.Zhafira kemudian memetakan rencananya yang harus ia ubah karena sebetulnya malam ini sudah memiliki janji dengan Bella dan Nova untuk menonton drama Korea.“Oke Mbak, ketemuan di mana?” Zhafira menyanggupi.“Langsung di Mall aja ya,” kata Arshavina.Usai memberi tau tempat dan jam pertemuan, keduanya sepakat memutuskan sambungan telepon.Zhafira beralih menghubungi kedua sahabatnya sekaligus melalui panggilan grup.“Kenapa Fir?” sahut Nova.“Apaan?” kata Bella.Keduanya menjawab panggilan telepon dari Zhafira dengan gaya masing-masing sesuai karakter.“Barusan kakak iparnya pak Kaivan telepon aku ngajak ketemuan di Mall ....” Zhafira memberitau lalu menjeda.“Mau bridal shower party kali, Fir ... orang kaya ‘kan gitu, suka kasih surprise.” Nova menebak.“Lo mau bilang kalau nonton drakor kita enggak jadi ya?” tuduh Bella bernada kesal.“Biarin kali Bel, Fira harus deket sama iparnya pak Kaivan sekalian minta tips dan trik menjadi menantu Gunadhya,” tukas Nova setengah berkelakar membuat kedua sahabatnya tertawa.“Jadi gini, aku ‘kan di kasih kamar tuh buat nginep semalem di hotel tempat aku nikah biar besok aku enggak kesiangan dan pakaian pengantin juga di antar ke sana hari ini ... Naaah, gimana kalau nanti malem kita ketemu di sana ... kalian ke sana aja duluan, aku nyusul setelah ketemuan sama Mbak Arshavina ... nanti aku telepon resepsionisnya kalau kunci kalian yang akan ambil.” Zhafira mengatakan rencananya.“Kalau lo datengnya malem, kita enggak nonton drakor donk.” Itu Bella yang masih belum move on dari rencana pertama.“Gue temenin nonton drakor deh.” Nova yang menyahut.“Kalau enggak nonton drakor sama aku enggak apa-apa, kan? Kita cerita-cerita aja sebelum tidur.” Zhafira memberi ide.Bella dan Nova sempat terdiam, pikiran mereka sama yaitu Zhafira menjadikan mereka berdua sebagai keluarga paling dekat menggantikan kedua orang tuanya di malam sebelum pernikahan dan mereka baru menyadari itu.“Oke, Gue sorean ke sana ya Fir.” Bella langsung menyetujui.“Jemput gue ya Bel,” kata Nova yang selalu menebeng karena tidak bisa mengemudikan mobil.“Okay.” Bella langsung menyetujui.“Sampai ketemu di hotel ya Ghenks.” Zhafira mengakhiri dengan riang karena rencananya meski berubah tapi lebih sempurna karena dalam satu hari satu malam ia bisa bersama keluarga Kaivan dan ‘keluarganya’ sekaligus.“See you.” Bella dan Nova mengakhiri sebelum memutus sambungan telepon.***Zhafira berpikir hanya akan ada dirinya bersama Arshavina saja karena kakak ipar Kaivan itu yang menghubunginya tapi nyatanya ada Zara dan dua orang perempuan lainnya bernama Rachel dan Sifabella yang merupakan kakak ipar dari Arshavina.Suami Rachel dan Sifabella ternyata sahabat Kaivan juga, malah Zhafira mengenal Aarash-suami Rachel yang pernah ia datangi ke kantor karena merupakan nasabah prioritasnya.“Enggak apa-apa ‘kan kalau aku bawa mereka, kebetulan Bella baru dateng dari Sydney ... udah lama kita enggak ketemu jadi sekalian jalan-jalan.” Arshavina meminta ijin meski terlambat.“Enggak apa-apa Mbak, biar seru ... tambah rame,” kata Zhafira dengan binar di matanya.Ia jadi mengenal banyak kerabat suaminya yang mungkin bisa diprospek untuk penempatan dana dalam rangka menghijaukan target cabang.Seketika jiwa marketing Zhafira meronta-ronta.Para wanita yang bukan gadis—kecuali Zhafira—tapi masih terlihat seperti gadis itu keluar masuk butik pakaian brandedternama.Toko perlengkapan perawatan tubuh dan wajah juga tidak luput mereka sambangi.Jangan tanya butik tas juga sepatu branded, dengan enteng mereka membeli yang harganya cukup fantastis.Karena selain suami mereka kaya raya, keempat wanita yang merupakan ipar dan kerabat Kai itu memiliki penghasilan sendiri dari profesi masing-masing.Hanya Zhafira yang tidak tergiur dengan belanja, ia hanya membeli satu botol parfum seharga jutaan dan itu pun Zhafira menyesalinya setelah tiga langkah keluar dari toko.Puas berbelanja, mereka melakukan perawatan tubuh dan wajah di salon yang masih berada di Mall para kaum jet set tersebut.Lagi-lagi Zhafira-si gadis sederhana hanya melakukan perawatan rambut biasa.Zhafira memilih creambath untuk rambutnya yang sepunggung.Hari sudah malam ketika mereka selesai memanjakan diri di Salon, Arshavina memiliki ide gila mengajak mereka semua untuk makan malam di sebuah resto yang cozy.Kadung keluar seharian, maka lanjut saja sampai malam.Tidak setaun sekali mereka melakukan ini mengingat sebagian besar dari mereka telah memiliki anak.Zhafira tampak menikmati kebersamaannya bersama keluarga calon suami.Ia jadi mengerti banyak tentang kebiasaan keluarga besar calon suaminya karena mendapat mentor berpengalaman langsung dari dua menantu Gunadhya.Sementara itu, ditempat lain para suami dari keempat wanita yang bersama Zhafira tengah melakukan pesta untuk melepas masa lajang Kaivan.Sebuah night club mewah langganan mereka menjadi tempat berkumpul kali ini.Akhirnya ghenk mereka komplit karena Aarav-kakak dari Arshavina yang berdomisili di Sydney pulang ke Jakarta hanya untuk menghadiri pesta pernikahan Kaivan.Sekedar informasi, Aarash dan Aarah itu kembar sama seperti Kama dan Kalila.Jadi kedekatan keluarga Gunadhya dan Marthadidjaya terjalin karena Kama-kakak pertama dari Kaivan menikahi Arshavina—adik dari Aarash dan Aarav.“Lo yakin udah lupain Imelda?” celetuk Aarav bertanya karena pria itu yang paling dekat dengan Kaivan sebelum hijrah ke Sydney.“Yakinlah gue,” pungkas Kaivan penuh percaya diri.“Masalahnya gue baru beberapa bulan aja pergi, Kai ... dan gue masih inget gimana hancurnya lo sebelum gue pergi, masa semudah itu lo move on.” Sebagai sahabat Kaivan, tentu saja Aarav curiga.Bertambah satu orang lagi yang mempertanyakan kesungguhan Kaivan memperistri Zhafira.“Tau tuh, gue juga heran ...,” timpal Arkana.“Tenang, Bro! Gue udah move on ... enggak ada Imelda lagi,” tegas Kaivan menambahkan.“Inget Kai, kakek membenci perceraian ... jadi kalau lo berubah pikiran—siap-siap dapet murkanya kakek.” Kama mengancam.Kali ini Kaivan terdiam tampak berpikir.“Lo harus keluar dari circle lo karena akan selalu ada Imelda di sana.” Aarash mengingatkan dan berbalas anggukan mengerti dari Kaivan.“Pokoknya gue udah cinta mati sama Zhafira, mentok sementok-mentoknya.” Kaivan berucap penuh keyakinan.“Mencintai itu jangan berlebihan Kai, sewajarnya aja ... nanti kalau enggak dia yang nyakitin lo, ya elo yang nyakitin dia.” Adalah Kama yang paling logis tapi selalu menyebalkan.“Iya Bang ... iyaaaa,” sahut Kaivan memanjangkan kata sambil merotasi bola matanya.Kama-kakak pertamanya Kaivan memang paling kaku di antara yang lain, entah kenapa pria itu cocok dengan Arshavina- istrinya yang selalu melanggar aturan.***Jam sebelas malam tepat Zhafira tiba di kamar hotelnya menggunakan kartu akses yang ia minta di resepsionis.Di dalam sana dua sahabatnya sedang saling kejar-kejaran sambil memukulkan bantal satu sama lain.Zhafira sempat tertawa ketika melihat Nova terjungkal dari ranjang tapi kemudian ....Bugh!Sebuah bantal menghantam wajah Zhafira membuat Bella si pelaku tergelak.Bukannya marah, ketiganya malah tergelak. Zhafira pun membalas dengan memburu Bella sambil membawa bantal.Bella berlari mengelilingi kamar itu yang terdapat ruang tamu juga pantry, bayangkan bagaimana luasnya kamar itu.Nova yang telah bangkit setelah terjungkal tadi mulai berlari mengejar Zhafira, ketiganya saling kejar-kejaran seperti anak kecil.Bantal sofa beterbaran, seprei sudah terlepas dari kasur. Kamar itu tampak seperti kapal pecah.Ketiganya saling memukulkan bantal tidak peduli siapa lawan mana kawan sampai akhirnya mereka lelah dan menjatuhkan tubuh di ranjang dengan napas tersengal.“Kenapa kalian main perang bantal?” Zhafira bertanya.“Pengen aja,” balas Nova dan Bella kompak.Sudah Zhafira duga, harusnya Zhafira tidak perlu bertanya kepada dua sahabat absurdnya karena memang terkadang mereka melakukan hal konyol tanpa alasan hanya karena ingin saja.“Gimana jalan-jalannya?” Bella yang berbaring terlentang menggulingkan badan menjadi tengkurap demi menatap wajah Zhafira.Napasnya masih tersengal tapi ia ingin tau cerita Zhafira hari ini.“Seru, kita shopping ... nyalon trus nongkrong di caffe ... sorry, kalian jadi nunggu lama.” Zhafira menjawab dengan penuh penyesalan.“Siapa yang nungguin elo? Kita asyik-asyik aja tadi, malah sempet berenang ya, Bell?” Nova meminta dukungan.Bella mengangguk cepat. “Banyak cowok ganteng, eksecutive muda ... lo rugi nikah cepet-cepet,” tukas Bella meledek.“Ya enggak rugi lah, Bel ... Si Fira nikahnya sama Gunadhya,” timpal Nova realistis.“Iya sih,” ujar Bella sambil menyengir.“Gaun pengantin aku udah dateng?” Zhafira bertanya seraya bangkit dari atas ranjang.“Udah ... keren banget,” kata Bella, menarik tangan Zhafira menuju weardrobe.Di sana tergantung gaun pengantin dan kebaya untuk digunakan Zhafira esok hari melepas masa lajangnya.“Gue ralat, Fir ... kamu beruntung! Ini gaun keren banget, Viviene Westwood!” Bella berseru, ia telah melihat labelnya.“Seriusan?” Zhafira bertanya tidak yakin.“Kebaya lo juga karya Ibu Anneu loh, Fir.” Nova memberitau.Zhafira menatap nanar gaunnya, ia tidak pernah bermimpi akan menggunakan pakaian mewah pada hari pernikahannya tapi Kaivan mewujudkannya.“Bersih-bersih dulu, Fir ... trus tidur, biar enggak ada kantung mata ... besok lo harus bangun pagi,” kata Nova setengah memerintah. Ia ingin Zhafira tampil maksimal pada hari paling bahagia dalam hidupnya.“Kita enggak ngobrol-ngobrol dulu gitu?” Zhafira memberengut.“Memangnya kita kerjaannya apaan di kantor kalau bukan ngobrol,” sindir Bella membuat Nova dan Zhafira tergelak.“Ya udah, aku cuci muka dulu ....” Zhafira lantas pergi masuk ke kamar mandi.Tidak lama kemudian setelah menuntaskan urusannya di sana, ia keluar tapi hening yang pertama kali menyapanya.Lampu kamar juga sudah sebagaian dimatikan. Zhafira menuju ranjang dan menemukan kedua sahabatnya sudah tepar tidak berdaya dengan dengkuran halus keluar dari hidung.Zhafira melipat bibir ke dalam menahan tawa. “Nyuruh tidur tapi mereka yang tidur duluan,” gumam Zhafira menggerutu.Zhafira tidak langsung menuju tempat tidur, ia mencari tasnya kemudian mengeluarkan ponsel.Satu pesan dari Kaivan entah sejak kapan masuk ke ponselnya.Mas Kai : Lagi apa?Zhafira langsung membalas berharap Kaivan belum tidur karena pesan tersebut sudah dikirim satu jam yang lalu.My Boo : Maaf Mas, Fira baru sampe kamar ... tadi hapenya di tas. Enggak kedengaran ada pesan masuk.Kaivan tersenyum membaca pesan Zhafira, lalu mengetikan sesuatu membalas pesan tersebut.Mas Kai : Gimana jalan-jalannya?Setelah membaca pesan berikutnya dari Kaivan—jempol Zhafira sibuk mengetik.My Boo : Seru banget, tadi Fira beli parfum trus creambath udah gitu makan malem di caffe.Mai Kai : Sekarang mau ngapain?My Boo : tidur.Raut wajah Kaivan tampak kecewa, padahal ia sedang memberi kode sebentar ingin bertemu untuk sebuah pelukan. Kaivan merindukan Zhafiranya.Mas Kai : Kamu enggak kangen sama, Mas?”Zhafira mendengus geli tapi tak ayal membalas pesan Kaivan juga.My Boo : Besok juga kita ketemu dan setiap hari akan terus ketemu hingga selamanya.Raut kecewa tadi hilang begitu saja tergantikan oleh senyum dan hati yang tiba-tiba menghangat.Gadis itu benar, setelah malam ini—Zhafira akan menjadi miliknya, selamanya.Mas Kai : Mimpiin Mas ya, Fir.My Boo : 🥰😘Zhafira menjawab dengan emoticon penuh cinta dan kiss seperti apa yang ia rasakan saat ini.Gadis itu mendekap ponselnya di dada sambil melangkah menuju dinding jendela yang menampilkan gedung-gedung pencakar langit seperti di New York.Zhafira menatap langit di mana kata orang Tuhan berada di sana.Sorot matanya berkilauan tampak memohon kepada sang Pencipta.“Tuhan, restui pernikahan kami ... jadikanlah pernikahan ini untuk pertama dan yangterakhir, tumbuhkanlah cinta yang kuat di antara kami ... Fira akan menerima Mas Kai apa adanya dan Fira harap, Mas Kai juga begitu.”Di kamar dengan lampu temaram yang hanya berjarak dua lantai di atas kamar Zhafira, Kaivan tengah sendirian membaca lagi pesan dari Zhafira.Ini kali pertama Zhafira mengirim emoticon kiss padanya dan Kaivan bahagia.Tidak sulit memang bagi seorang Kaivan untuk mendekati dan membuat gadis jatuh cinta padanya tapi hanya dengan Zhafira—Kaivan mendapat penolakan di awal.Hingga harus berusaha lebih keras meyakinkan gadis itu jika ia mencintai dan ingin menikahinya.Cinta?Hati Kaivan mencetuskan pertanyaan itu hingga menggaung di benaknya.Apa benar Kaivan memang mencintai Zhafira?Atau kah seperti dugaan keluarganya saja, untuk membalas dendam kepada Imelda.Karena terkadang, apa yang diucapkan mulut tidak sesuai dengan hati.Pagi ini Zhafira tidur dengan nyenyak setelah tadi malam berkumpul dengan para ipar dan kerabat suaminya. Mereka membuat bridal shower untuk Zhafira dan dari sana Zhafira yakin jika keluarga suaminya memang baik dan menerimanya dengan terbuka meski ia bukan dari keluarga Konglomerat seperti mereka. Kaivan juga sudah berjuang sejauh ini, rasanya tidak adil jika Zhafira menyerah hanya khawatir dengan prasangka maupun judge yang mungkin diberikan salah satu keluarga Kaivan. Zhafira menatap dirinya di cermin, pakaian adat berbahan brukat telah membalut tubuhnya dengan sempurna ditambah mahkota ciri khas tanah kelahirannya bertengger di kepala begitu mewah dengan butiran batu kristal. Rangkaian bunga melati tersampir di pundaknya menjadi ciri khas pengantin adat Sunda. Bibir Zhafira tersenyum tipis, puas dengan maha karya MUA dari tim wedding organizer. Kaivan memang tidak main-main ketika mengatakan ingin menikah se
Narendra dan Aura sudah lima kali menikahkan anak mereka dan setiap pernikahan pasti selalu tersimpan cerita. Aura menggenggam tangan suaminya. “Tugas kita selesai, Yah.” Narendra menoleh kemudian sedikit membungkuk untuk mengecup kening sang istri yang di matanya selalu cantik tidak pernah menua. “Iya ... semoga anak-anak kita bahagia seperti yang kita rasakan.” Aura mengangguk mengaminkan kemudian mengembalikan tatapan pada Kaivan dan Zhafira yang tengah berbahagia. “Makasih sayang,” ucap Kaivan setelah menurunkan Zhafira. Rasa syukur tidak berhenti hatinya bisikan untuk sang pencipta karena telah dipertemukan dengan Zhafira. Tuhan mengirim Zhafira untuknya, gadis cantik-sederhana-polos dan lugu yang belum terjamah pria manapun. *** Zhafira sudah berganti pakaian dengan gaun pengantin rancangan desiner ternama dunia. Ia diperkenalkan dengan kakak perempuan dan ad
“Maaf ya Mas.” Zhafira melirih dalam pelukan suaminya ketika mereka berada di dalam lift. “Maaf untuk apa?” Kaivan bertanya. Wajah pria itu menunduk agar bisa menatap wajah sang istri yang kini terbenam di dadanya. “Mama sama papa ...,” kata Zhafira mirip sebuah bisikan yang terdengar pilu. “Enggak apa-apa, mereka enggak berbuat aneh kok ... seperti membakar ballroom atau bergulat di pelaminan.” Zhafira tertawa mendengar kelakar Kaivan, pria itu memang pandai mengubah mood-nya. Akhirnya mereka tiba di depan kamar pengantin, sesaat Zhafira tercenung menatap pintunya.Baru tersadar ada kewajiban yang harus dipenuhi setelah resmi menyandang status istri Kaivan. “Fir, kalau kamu belum siap malam ini ... enggak apa-apa, aku enggak akan maksa ... kita punya waktu seumur hidup untuk malam pertama,” ujar Kaivan yang mengerti dengan kekhawatiran yang tercetak di wajah cantik istrinya. Ia tau
Zhafira melenguh pelan di sela ciuman membuat Kaivan semakin rakus memagut bibirnya, membelit lidah Zhafira hingga Zhafira kewalahan tapi berusaha belajar dan mengimbangi kemampuan Kaivan. Tangan Kaivan kembali merayap di naik ke perut Zhafira, memberikan sentuhan lembut seringan bulai kemudian meremat pelan bagian lekukan di pinggang Zhafira. Kaivan melanjutkan sentuhannya sampai menemukan bagian menyebul di balik kain berenda. “Aaah ....” Zhafira mendesah dalam pagutan ketika Kaivan memberikan rematan lembut di dada. Tidak ada penolakan dari Zhafira yang memang sedang dilingkupi sebuah perasaan asing yang menyenangkan. Zhafira terdiam ketika telapak tangan Kaivan mulai menyusuri punggungnya. Ia hanya bisa berpegangan dengan melingkarkan tangan di sekeliling pundak Kaivan. Kaivan mulai merasakan Zhafira bisa menanggapi ciumannya dengan baik, sang istri ternyata belajar dengan cepat. Seti
Setelah menikah, Kaivan membawa Zhafira ke rumah orang tuanya. Hal itu disambut baik kedua orang tua Kaivan yang sekarang berdomisili di Vietnam dan hanya sesekali pulang ke Jakarta. Sebetulnya Kaivan memiliki beberapa properti yang disewakan tapi Kaivan malas pindah, ia nyaman tinggal di rumah tempat ia tumbuh dan besar apalagi rumah orang tuanya memiliki fasilitas yang lengkap dengan pelayan, koki juga driver. Dua tangan kokoh yang memeluk pinggangnya membuat Zhafira terkesiap disusul hembusan napas hangat menerpa leher. Cup. Sebuah kecupan mendarat di sana. “Lagi apa?” tanya si pelaku kemudian. Alasan Zhafira tidak meronta adalah karena tau siapa lagi yang akan berbuat seperti itu kepadanya jika bukan sang suami tercinta. Sebetulnya Zhafira malu karena di dapur ini bukan hanya mereka berdua tapi ada pak Haris-sang kepala asisten rumah tangga dan beberapa asisten rumah tangga. Tadi Zhaf
“Besok Mas mau keluar kota, Ayang mau ikut?” Kaivan yang barus aja menaiki ranjang bertanya basa-basi. Zhafira tertawa pelan, menyimpan ponselnya ke atas nakas. “Besok Fira kerja ... Mas Kai berapa hari di luar kota?” Zhafira memutar sedikit tubuhnya agar menghadap Kaivan sempurna. “Tiga hari, tapi Mas usahain pulang secepatnya kalau udah selesai.” Zhafira mengangguk tapi kemudian raut wajahnya berubah, Zhafira malah melamun. Ia teringat perkataan pak Wisnu siang ini. “Yang,” panggil Kaivan. “Jangan sedih, kalau Ayang pengen ikut nanti Mas bilang sama pak Wisnu ... pasti diijinin,” kata Kaivan seraya mengangkat dagu Zhafira dengan kedua jemarinya untuk mempertemukan mata mereka. Semburat merah segera saja menghiasi pipi Zhafira. Zhafira kembali menunduk sambil tersenyum malu, bukan itu yang mengganjal di hatinya tapi ia juga tidak berani mempertanyakan kepada Kaiva
“Fiiiir, kok lama?” panggil Kaivan dari atas ranjang. Pria itu hanya memakai celana boxer saja menunggu Zhafira yang sedang mengganti pakaiannya dengan Lingery. Akhirnya, setelah Kaivan membujuk selama beberapa hari—Zhafira mau juga menggunakan salah satu Lingery hadiah pernikahan mereka. “Bentar Mas, Fira malu.” Terdengar balasan dari dalam walk in closet. Kaivan tersenyum simpul, istrinya benar-benar polos. Dari segi wajah, body dan sifat—Zhafira merupakan paket lengkap yang termasuk kriteria yang diinginkan banyak pria. Bagi Kaivan, tidak ada kekurangan dalam diri Zhafira dan ia tidak pernah menyesali keputusannya menikahi Zhafira hanya dalam waktu singkat. Semakin hari, Kaivan semakin mencintai Zhafira. “Yang, ayo donk ... cuma ada Mas doank, masa malu.” Kaivan membujuk lagi. Setelah itu terdengar suara langkah kaki perlahan keluar dari walk in closet. Zhafira
Sesuai janji, Kaivan menjemput Zhafira tepat waktu di kantor. Mereka makan malam di rumah karena Zhafira selalu mengatakan makanan rumah lebih sehat, Kaivan setuju dan selain itu kalau di rumah bisa bermesraan dengan Zhafira. Keduanya sudah melupakan kejadian tadi siang, Zhafira berusaha mengerti amarah Kaivan meski sebetulnya banyak pertanyaan di benak Zhafira yang membutuhkan penjelasan pria itu. Zhafira masih heran kenapa Kaivan melarang keras dirinya berhubungan dengan Xander padahal jelas-jelas Kaivan mengetahui bahwa Xander adalah nasabah pegangannya. Kaivan juga tidak ingin membahas hal itu lagi karena membenci Xander yang selalu unggul dibanding dirinya dalam bisnis. Kaivan tidak ingin orang terdekatnya berhubungan dengan pria blasteran Amerika itu. “Tangan kamu kenapa Fir?” Kaivan terkejut melihat pergelangan tangan Zhafira yang membiru. Pria itu menegakan punggung dari sandarannya pada head
“Arumi Kamaniya Gunadhya.” Suara sang Papa yang pelan namun terdengar tegas membuat Arumi-bocah berumur lima tahun itu menegang. Arumi sedang bermain di halaman belakang, ia masuk ke dalam rumah untuk mengambil air minum karena udara hari ini sangat panas. Tapi malah bertemu papanya yang baru saja pulang kerja. Dan kenapa sang Papa tampannya memanggil namanya dengan tegas, sudah dipastikan karena telah melihat hasil ujian semester ini. Arumi membalikkan badan, matanya menatap takut-takut sang papa lantas mengumpulkan keberaniannya untuk memberikan senyum sejuta pesona. “Enggak mempan, sayang.” Meski keluar kata ‘sayang’ tapi ekspresi wajah Kaivan terlihat datar. “Duduk sini samping Papa.” Kaivan menepuk Spaces kosong di sofa yang ia duduki. Arumi duduk di samping papanya dengan gerakan lemah gemulai bak seorang princess. Bahkan sempat merapihkan rok belakangnya agar tidak kusu
“Kamu pucat, Yang … tadi enggak sarapan sih,” tegur Kaivan, tangannya terulur mengusap keringat di pelipis Zhafira setelah mengangkat helm proyek di kepala istrinya. Mereka sedang berada di salah satu proyek untuk keperluan pengecekan dan koordinasi karena perhari ini pengerjaan resmi di mulai. Zhafira memaksakan sebuah senyum untuk menunjukkan ia baik-baik saja. “Tadi Fira belum lapar, tapi Fira bawa bekal kok Mas di mobil.” Zhafira berdusta, padahal tadi ia muntah-muntah di kamar mandi sehingga terlambat ikut sarapan di meja makan. Dan sebenarnya bukan tidak lapar tapi Zhafira merasakan mual dan begah pada perutnya. Ia sadar selama beberapa hari terakhir terlambat makan sehingga bisa dipastikan asam lambungnya pasti kambuh. Zhafira tidak ingin Kaivan mengetahui hal tersebut. “Ga, bawain bekal di mobil untuk ibu …,” titah Kaivan pada sekertaris Zhafira. “Baik Pak,” sahut pria
Suasana kantor Kaivan tampak kondusif di jam setelah makan siang. Anggukan seorang satpam yang ada di loby depan menyambut kedatangannya setelah bertemu klien sejak pagi tadi. “Istri saya masih di atas?” Kaivan bertanya pada salah seorang sekuriti yang berada di dalam gedung. “Masih, Pak ... ibu dia atas sama Rey.” Pria itu menjawab sambil setengah berlari lebih dulu untuk menekan tombol lift. Kaivan mengangguk samar kepada security sebelum masuk ke dalam lift diikuti sekretaris cantiknya bernama Irma. “Nanti malam ada acara sosial bersama pak Wali Kota, Pak.” Irma memberitau sambil membaca iPad di tangannya. “Belikan satu gaun untuk istri saya, saya lupa kasih tahu kalau hari ini ada pesta.” “Baik, Pak!” Ting … Detik berikutnya setelah lift berdenting, Kaivan dan Irma keluar dari lift. Seorang pria muda tampan dan bertubuh atletis seperti K
Setelah resign, Zhafira tidak memiliki kegiatan selain menggambar sketsa. Setiap hari ia menghabiskan waktunya di perpustakaan menggambar banyak bangunan menunggu Kaivan pulang kerja yang saat itu sedang asyik dengan kedekatan bersama Imelda sehingga pulang selalu larut malam. Ternyata apa yang ia kerjakan itu tidak sia-sia. Zhafira mengirim semua karyanya pada Architecture Design Competition yang diadakan oleh Ikatan Arsitek Indonesia dan juga Lomba design gedung dan jembatan yang diadakan pemerintah. Dan hasil Karya Zhafira selalu menjadi pemenangnya. Seperti malam ini, Zhafira diundang oleh Gubernur Jawa Barat untuk menerima penghargaan dan hadiah atas kemenangannya dalam mendesain ulang bangunan yang tidak berfungsi dengan baik atau bahkan terbengkalai di Kota Bandung menjadi bangunan dengan fungsi baru yang nyaman, aman, berkelanjutan, dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar dan kota itu sendiri.
Suara tangis Rey yang membahana membuat Kaivan dan Zhafira terjaga dari tidur yang lelap di dini hari. Kaivan menegakan tubuhnya lebih dulu, menurunkan kedua kakinya lalu beranjak menghampiri box bayi Rey. “Tunggu aja di sana, Yang … aku bawa Rey ke sana.” Zhafira menaikkan kakinya kembali, menumpuk bantal untuk membuatnya nyaman bersandar ketika menyusui. Sementara itu Kaivan mengecek popok Rey. “Alexa, play You Are My Sunshine,” perintah Kai pada smart speaker yang berada di atas nakas. Lagu You Are My Sunshine mengalun dengan volume rendah dan tangis Rey perlahan berhenti. Kaivan jadi bisa dengan mudah mengganti popok Rey yang sudah penuh. Zhafira memperhatikan Kaivan dari atas ranjang, suaminya begitu mahir mengganti popok dengan lebih dulu membersihkan bagian bawah tubuh Rey. Tidak sia-sia Kaivan resign, karena selain memiliki banyak waktu untuk bersama Zhafira—ia juga me
Bayi laki-laki gempal yang diberi nama Reynand Arkananta Gunadhya itu hanya selisih satu bulan lahir ke dunia dengan anak keempat pasangan Arkana dan Zara. Bahkan Zara sudah bisa menghadiri peresmian resort kemarin. Zhafira jadi semangat untuk cepat pulih karena ada rumah baru mereka yang menanti di Bandung. “Eeeh, sudah cantik cucu Nenek.” Nenek Shareena memuji Zhafira yang sudah mandi dan cantik sepagi ini. Nenek Shareena bersama grandma Monica masuk ke ruangan rawat Zhafira. “Nenek … Grandma.” Zhafira balas menyapa dengan senyumnya yang khas. Zhafira duduk bersandar di ranjang yang bagian kepalanya dibuat tegak. Wajah Zhafira berseri-seri, segar dan cantik. “Kemarin Grandma pulang duluan anterin nenek kamu ini yang masuk angin … pakai acara kerokan lah kita sampe rumah.” Grandma Monica misuh-misuh karena gara-gara itu ia tidak bisa langsung bertemu cicitnya. “Terus sekarang
Zhafira memejamkan matanya tatkala rasa mulas dan nyeri di bagian pinggang menghantam begitu dahsyat. Genggaman tangan Zhafira di tangan Kaivan yang duduk di samping sambil mengusap perutnya pun mengerat kuat. Keduanya sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Kebetulan heli milik kakek Kallandra yang beberapa bulan terakhir ini terparkir di halaman belakang Villa merupakan heli jenis KA 62 yang mampu menampung hingga sepuluh orang sehingga grandpa Edward, grandma Monica juga nenek Shareena bisa ikut menemani Zhafira yang akan melakukan persalinan.Sementara kakek Kallandra dan keluarga yang lain akan menyusul setelah acara peresmian resort selesai. Di antara rasa sakit yang sedang Zhafira alami selama ini, terselip lega dan puas karena dengan mengepalai proyek pembangunan resort tersebut—ia bisa membuktikan siapa dirinya kepada dunia. Zhafira bukan hanya Zhafira yang berasal dari keluarga broken home dan manta
Zhafira merasakan tubuhnya tidak nyaman, perutnya mulas tapi setiap kali duduk di atas closet—mulas itu lenyap entah ke mana. Sayangnya Zhafira tidak memiliki waktu untuk mengkhawatirkannya karena besok adalah peresmian resort dan hari ini segala sesuatunya harus sudah siap seratus persen. Jam sembilan malam Zhafira masih sibuk menata venue padahal sudah ada Event Organizer tapi Zhafira tidak percaya begitu saja dan tetap mengecek setiap detailnya satu persatu. Kakinya yang bengkak terasa kebas, belum lagi rasa mulas semakin sering mendera meski hilang timbul. “Yang, kita pulang sekarang … udah malem.” Nada suara dan sorot mata yang tegas milik Kaivan tidak bisa Zhafira tawar lagi, ia harus menurut. Selama ini Kaivan selalu mengalah, berusaha mengerti keinginannya jadi tidak semestinya Zhafira membantah apalagi ini demi kebaikan dirinya dan si janin. “Iya Mas, Fira pamit sama EO-nya dulu.”
Beberapa hari terakhir Kaivan selalu terbangun tengah malam terusik oleh pergerakan Zhafira yang gelisah dalam tidurnya. Perut Zhafira sudah sangat besar, dokter mengatakan jika sebentar lagi akan melahirkan tapi Zhafira masih bertahan tinggal di Puncak hingga peresmian resort. Begitulah permintaan Zhafira pada Kaivan yang tidak bisa Kaivan tolak. “Yang,” panggil Kaivan menegakan sedikit tubuhnya mengecek keadaan sang istri. “Begah, Mas … Fira juga engap banget, keluh Zhafira dengan mata berkaca-kaca. Semenjak hamil Zhafira memang mudah mengeluarkan air mata membuat Kaivan kalang kabut berusaha agar air mata Zhafira berhenti mengalir. “Coba bobonya sambil duduk, nanti aku benerin posisi tidur kamu kalau kamu udah terlelap.” Kaivan mencoba mencari solusi dengan terlebih dahulu ia menegakan tubuhnya bersandar pada headboard agar Zhafira bisa bersandar di dadanya. Zhafira menurut, dengan ban