Narendra dan Aura sudah menikahkan empat anaknya, jadi mereka sudah terbiasa memperlakukan besannya dengan baik.
Seperti saat ini, walau semestinya papa dari Zhafira yang menjamu calon menantu dan calon besan tapi malah Narendra dan Aura yang memfasilitasi pertemuan tersebut.Bagi mereka tidak masalah siapa yang harus menjamu, yang terpenting adalah anaknya bisa hidup bahagia dengan gadis yang dicintai.Sebuah resto mewah di hotel tersebut menjadi pilihan Aura bertemu calon besan.Herry-papanya Zhafira datang tepat waktu bersama istri dan kedua anaknya yang masih kecil-kecil.Narendra dan Aura menyambut kedatangan calon besan dengan sangat ramah dan tangan terbuka.“Saya Narendra dan ini istri saya Aura,” kata Narendra memperkenalkan diri lebih dulu.“Saya Herry dan ini Arum istri saya lalu dua anak saya Zivanya dan Zahra.” Gantian Herry memperkenalkan diri.Keduanya saling berjabat tangan lalu Herry beralih pada Aura dan Narendra bersalaman dengan Arum.Dua putri Herry dan Arum tidak luput dari sapaan Narendra dan Aura.“Kalau anak saya yang itu pasti Pak Narendra udah kenal ya karena datang bersama Bapak,” sambung Herry berkelakar.“Ah ya, kami juga baru kenalan tadi malam dan saya langsung jatuh cinta.” Narendra membalas.Pipi Zhafira memanas, hatinya seakan ingin berjingkrak saking bahagia.Pernyataan Narendra itu semakin membuat Zhafira lega.Arum-istri dari Herry sedang berusaha menunjukan keramahannya.Wanita yang hanya terpaut umur tujuh tahun lebih tua di atas Zhafira itu tumben sekali mau memeluk Zhafira tidak lupa memberikan kecupan di pipi kiri dan kanan.“Saya Kaivan, Om ... saya yang akan menjadi suami Fira,” ujar Kaivan memperkenalkan diri dengan penuh percaya diri.Herry tersenyum lebar. “Apakabar Nak Kaivan, saya dengar dari Fira kalau Nak Kaivan adalah pria yang baik.”“Kabar saya baik, Pa ... dan saya akan selalu memperlakukan Fira dengan baik dan lebih baik lagi,” sahut Kaivan mantap.Semua tertawa tercetus seketika, mereka pun duduk di kursi yang telah tersedia.Herry mengamati, jika dari gesture tubuh, pemilihan tempat pertemuan dan semua melekat yang di tubuh calon besan dan calon menantunya sudah bisa dipastikan jika mereka adalah orang kaya.Herry merasa lega karena Zhafira tidak akan hidup susah dari segi materi di masa depan.“Jadi ... kedatangan kami ke sini bertemu Pak Herry adalah mewakilkan anak kami yang ingin meminta restu untuk meminang Fira,” cetus Narendra setelah mereka berbasa-basi sepanjang menu makan siang appetizer dan main course, sekarang mereka sedang berada pada menu dessert.“Baiklah, langsung saja ya ....” Herry menjeda.“Papa memberikan restu untuk Fira dan Kaivan, Papa senang karena akhirnya ada pria yang serius ingin menikahi Fira,” sambung Herry memberikan restu.Senyum Zhafira terkembang sama halnya dengan senyum di bibir Kaivan.Seolah semesta mendukung, restu itu dengan mudah mereka dapatkan.“Terimakasih, Pa ... Kai janji akan menjaga putri Papa dengan baik ... Kai akan jadikan Ratu di hati Kai.” Kaivan mengucapkan janji dengn mantap dan sorot mata penuh keyakinan.Semua kembali tertawa tidak terkecuali Zhafira yang wajahnya sudah memerah.Kaivan tidak berhenti membuatnya tersipu.Roman-romannya proses pernikahan mereka akan lancar dan biduk rumah tangga mereka akan langgeng.Diam-diam di bawah meja, Kaivan menggenggam tangan Zhafira erat memberitau Zhafira jika ia sangat bahagia setelah mendapat restu.“Tapi maaf ya Fir, papa kamu enggak bisa membuat pesta yang meriah untuk pernikahan kamu karena sekarang uang sekolah adik-adik kamu naik trus kami juga harus bayar gaji orang kerja,” ujar Arum membuat Zhafira malu.Wajah Zhafira seketika memerah, ia menoleh menatap sang papa yang diam saja tidak memberi bantahan seolah membenarkan ucapan istrinya.“Enggak apa-apa, Bun ... biar semua Kaivan yang siapkan termasuk akomodasi Papa Herry dan Bunda Arum dari Surabaya,” pungkas Kaivan cepat.“Betul itu, sama aja ‘kan ya Fir?” Aura yang merasakan perubahan ekspresi Zhafira lantas menegurnya agar Zhafira tidak kecil hati.Zhafira mengangguk kaku disertai senyum terpaksa. “I-iya Bunda,” sahut Zhafira melirih.Meski begitu tetap saja Zhafira kadung dirundung malu dengan ucapan terang-terangan ibu tirinya.Ah, perempuan itu ternyata tidak berubah masih menyebalkan.Zhafira jadi tidak banyak bicara hingga pertemuan itu selesai karena kecewa kepada papanya.Tapi Zhafira berterimakasih kepada Herry karena tidak mempersulit restu.“Pa, makasih ya udah dateng.” Zhafira berujar basa-basi sebelum papa beserta keluarga beliau pergi.“Ya masa Papa enggak dateng ... sekarang kamu enggak sendiri lagi, Fir.”Zhafira mengangguk dengan senyuman lalu mengecup punggung tangan papanya sebelum kemudian sang papa dan keluarganya meninggalkan restoran.“Bunda ... Ayah, maafin ucapan istrinya papa tadi ya,” ucap Zhafira dengan raut wajah menyesal.“Enggak apa-apa, jangan dipikirin ... sekarang kamu harus fokus sama pesta pernikahan kamu, pikiran kamu harus positif ya.” Aura memberi semangat.Melihat senyum dan ekspresi juga nada suara Aura—Zhafira tau jika Aura tulus mengatakannya.Dan pernyataan Aura itu mendapat anggukan setuju dari Narendra dan Kaivan.Kaivan juga diam-diam memberikan usapan di punggung Zhafira, pria itu paling pandai membuat hati Zhafira tentram.Masih ada kota lain yang harus mereka kunjungi jadi tanpa berlama-lama langsung menuju Bandara.Kali ini mereka menggunakan privat jet milik Narendra.Zhafira baru ingat jika keluarga suaminya kaya raya, ia jadi semakin insecure.“Kenapa diem aja?” Kaivan mencondongkan tubuhnya ke samping untuk mengecek kondisi Zhafira lebih dekat.Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti meter, Zhafira sampai harus melirik ke arah kedua orang tua Kaivan yang duduk di kabin lain dalam privat jet—memastikan mereka tidak melihat posisi meresahkan ini.“Nanti Mama mau ajak suaminya ketemu kita, Fira malu sama orang tua Mas Kai ... suami Mama kaya preman, urakan.”Zhafira mengungkapkan apa yang mengganjal di hati.“Jangan dipikirin, ayah sama bunda udah tau ... mereka juga enggak mempermasalahkan.”Zhafira memang pernah menceritakan tentang mama dan keluarga barunya dan informasi tersebut langsung diteruskan kepada keluarga Gunadhya.Dan Kaivan meminta mereka semua untuk memaklumi.FLASH BACK ON“Pokoknya Kai minta kalian tutup mata sama keadaan keluarga Fira ... Fira bukan berasal dari keluarga kaya seperti menantu-menantu Ayah dan Bunda yang lain jadi Kai mohon sekali lagi ... terima Firanya aja, dia baik kok ... Kai jamin enggak akan malu-maluin keluarga kita.”Kaivan setengah memelas dalam rapat keluarga terakhir.“Bro!” kayanya kita harus ketemu sama nih cewek, soalnya sampai bisa buat si Kai bucin gini,” cetus Edward-kakek dari pihak bundanya kepada Kallandra-kakek dari pihak ayah Kai.“Setuju!” balas Kallandra singkat tapi penuh rasa ingin tau.“Gue tes dulu donk Kai, jangan sampe kecolongan kaya yang kemarin.” Kalila-sang Kakak mengancam.“Kagak ada ya, Kak ... lo mah jutek, lo enggak usah dateng lah ke pesta gue ... gue enggak mau Fira takut liat muka lo yang judes,” sergah Kaivan tidak santai.“Wooo, santai Bro! Lo ngehina wajah istri gue yang cantik ...,” timpal King-suami dari Kalila.“Ya habis ... masa Kak Lila mau ngetes-ngetes segala.” Kaivan menggerutu, memajukan bibirnya dengan nada pelan.“BUCIN!!!” seru seluruh anggota keluarganya bersamaan.FLASH BACK OFFKaivan menegakan tubuhnya tapi meraih tangan Zhafira untuk ia genggam, menyalurkan kenyamanan dan rasa aman agar Zhafira tenang.“Kalau kepala kamu mau bersandar di pundak aku juga enggak apa-apa kok, Fir.”Zhafira menoleh kemudian tertawa pelan. “Malu Mas, ada orang tua Mas Kai.”“Ya udah, pegangan tangan aja.” Kaivan mengeratkan genggaman tangannya tapi Zhafira malah menutup tangan mereka yang saling bertaut dengan bantal sofa.Zhafira tersenyum menggemaskan hingga mengerucutkan pangkal hidung setelah melakukannya.“Gemesin banget sih kamu,” kata Kaivan seraya mengusak kepala Zhafira tapi kenyataannya malah hati Zhafira yang berantakan.***Raut wajah Zhafira berubah muram saat hendak bertemu sang mama.Sudah lama mereka tidak bertemu karena setiap kali bertemu akan melahirkan pertengkaran.Dan sekarang Zhafira harus bertemu dengan beliau untuk mengenalkan calon suami dan kedua calon mertuanya.“Ma,” sapa Zhafira ketika Dewi datang setelah terlambat hampir satu jam.Luar biasa sekali bukan, Dewi membuat seorang Narendra Gunadhya menunggu lama.Zhafira tidak tau saja, berulang kali Aura mengusap punggung suaminya agar sabar dan tidak memperlihatkan emosi di depan Zhafira meski ia sendiri kesal.“Fir, gemukan kamu ... hamil duluan ya?” celetuk Dewi santai.Ingin rasanya Zhafira tenggelam di Palung Mariana saat ini juga.Zhafira malu.Narendra dan Kaivan langsung melirik ke arah Zhafira, mereka iba karena tau Zhafira pasti tidak nyaman dengan ucapan mamanya barusan.Sedangkan Aura menaikan satu alisnya. “Kok seorang ibu ngomongnya gitu,” batin Aura menilai.“Kenalin Ma ... ini Ayah Narendra dan ini Bunda Aura ... kalau ini Mas Kai, calon suami Fira.”Berbeda halnya dalam memperlakukan Herry-papa dari Zhafira—kali ini Narendra dan Aura tampak dingin menyambut Dewi-mamanya Zhafira apalagi ketika mereka berjabat tangan dengan Jo-suami Dewi.Narendra dan Aura menjaga jarak begitu juga dengan Kaivan.Lucunya Dewi tampak tidak berdosa, tidak ada ucapan permintaan maaf kepada calon besan karena ia telah datang terlambat.“Pasti udah ketemu papanya Zhafira ya?” tebak Dewi bertanya yang dibalas anggukan pekan Aura karena Narendra sudah malas menanggapi.“Saya sama papanya Fira bercerai sewaktu Fira masih SMP ... dia pemalas, enggak mau kerja ... sekalinya kerja ya apa adanya, enggak mau berusaha ... buat apa laki-laki kaya gitu,” celoteh Dewi membuat Zhafira menatap mamanya lama.Zhafira memberi kode dengan matanya tapi Dewi tidak peka.Pertemuan kali ini bersama mama dari Zhafira hanyalah perkenalan dan meminta restu tapi tidak terlalu mendesak seperti pertemuan dengan Herry karena nanti beliau lah yang akan menjadi wali dalam pernikahan Zhafira dengan Kaivan.Suasana menjadi sangat canggung, Narendra dan Aura bertahan dengan menjaga jarak tidak terlalu banyak bicara dan menjawab sekenanya.Zhafira merasakan perubahan dari calon mertuanya tersebut dan ia merasa tidak enak hati.Tiba-tiba ingin membatalkan pernikahan ini karena merasa tidak pantas bersanding dengan Kaivan dan menjadi menantu Gunadhya.Ekspresi wajah Zhafira mulai cemas dengan wajahnya yang memerah.Lagi, tangan Kaivan bergerak menggenggam tangan Zhafira membuatnya menoleh menatap pria itu.Pendar di mata Zhafira menyiratkan banyak kekhawatiran yang bisa ditangkap dengan baik oleh Kaivan.“Mama dukung kamu cepet nikah, memang udah waktunya ... dari pada hidup sendiri, biar kamu tau bagaimana brengseknya berumah tangga.” Dewi berujar kembali yang tentunya itu tidak sopan diutarakan di depan calon besan.Zhafira memejamkan mata sekilas, mengembuskan napas untuk menata hatinya.Beruntungnya Narendra dan Aura adalah pribadi yang berpikiran terbuka, keduanya sudah melihat ekspresi Zhafira yang tertekan semenjak bertemu mamanya.Meski Zhafira memiliki mama yang slengean seperti itu tapi tidak mengubah perasaan mereka pada Zhafira terlebih Zhafira adalah gadis yang dicintai putra mereka.Pertemuan itu tidak berlangsung lama, Narendra yang mengakhiri terlebih dahulu dengan alasan akan kembali ke Vietnam karena besok harus memimpin rapat.Usai mengantar kepergian Dewi dan Jo, Zhafira menahan Aura dan Narendra sebentar.“Ayah ... Bunda, makasih ya udah meluangkan waktunya ... Fira minta maaf sekali lagi kalau ada kata atau sikap orang tua Fira yang enggak berkenan di hati Ayah sama Bunda.”Zhafira adalah customer service priority tentu ia pandai dalam berkomunikasi dan mengetahui jika ada ketidaknyamanan dengan hanya melihat seseorang dari ekspresinya saja.“Enggak apa-apa, inget pesan Bunda ya ... jangan overthinking ... kamu harus fokus untuk pernikahan nanti.”Aura berpesan seperti itu agar kejadian di masa lalu tidak terulang lagi.Ia tidak tega melihat Kaivan merana karena ditinggal calon istri.Zhafira mengangguk meski sorot matanya tidak yakin bisa mengikuti perkataan Aura.Aura melangkah mendekat lalu memeluk Zhafira. “Berbahagialah Fir, kamu begitu dicintai Kai ... Bunda titip jangan kecewain Kai ya ... kamu hanya harus memikirikan diri kamu sendiri dan Kai, jangan pikirin yang lain ... ya?” Aura menegaskan kembali sambil mengusap kepala Zhafira lembut.Lama Zhafira diam berpikir lantas mengangguk kaku.“Kamu baik-baik aja?” Kaivan bertanya karena ia lihat Zhafira menjadi sangat pendiam semenjak mengantar kedua orang tuanya hingga lobby.Zhafira menganggukan kepala sambil memaksakan senyum.Tapi Kaivan tau jika ada yang sesuatu yang mengganjal di hati dan benak Zhafira.Kaivan membuka pintu kamar suitenya, seperti di Surabaya—ia juga mencari hotel yang memiliki kamar suite atau Familly room yang memiliki dua kamar agar bisa selalu dekat dengan Zhafira meski pada kenyataannya Zhafira lebih suka mengurung diri di kamar.Mereka bermaksud membawa koper sebelum meninggalkan hotel untuk kembali ke Jakarta yang akan dilakukan melalui perjalanan darat karena sang driver beserta mobil dikabarkan sudah standby di parkiran.“Fir,” panggil Kaivan membuat langkah Zhafira yang hendak masuk ke dalam kamar terhenti.Kaivan mendekat menyusul Zhafira dan ketika Zhafira berbalik ia mendapati Kaivan begitu dekat hingga saat mendongak, hembusan napas Kaivan l
Hampir setiap hari Zhafira dijemput Kaivan dari kantor.Seperti malam ini, Kaivan mengatakan hendak membawa Zhafira makan malam tapi bukan disebuah resto melainkan di rumah kakek dan nenek dari pihak bundanya.Monica-sang nenek dan Edward-kakek dari pihak Bundanya meminta Kaivan membawa Zhafira untuk makan malam di rumah mereka.“Ya ampun, ada bidadari Mi ... itu bidadari ‘kan Mi!” Edward berseru saat melihat seorang gadis cantik masuk ke dalam rumahnya digandeng oleh Kaivan.Bibir Monica mencebik disertai delikan tajam membunuh.“Grandpa ... Grandma, kenalin ... ini Fira, calon istri Kai.”Untuk yang kedua kalinya Zhafira merasa kesal karena Kai tidak mengatakan apapun tentang acara makan malam bersama keluarga.Zhafira tidak memiliki waktu mempersiapkan dirinya bertemu mereka.Ingin memprotes pun percuma karena ia dan Kaivan sudah berada di sini.“Ini sih seleraku,” celetuk Edward mengikuti slogan seb
Pagi ini Zhafira tidur dengan nyenyak setelah tadi malam berkumpul dengan para ipar dan kerabat suaminya. Mereka membuat bridal shower untuk Zhafira dan dari sana Zhafira yakin jika keluarga suaminya memang baik dan menerimanya dengan terbuka meski ia bukan dari keluarga Konglomerat seperti mereka. Kaivan juga sudah berjuang sejauh ini, rasanya tidak adil jika Zhafira menyerah hanya khawatir dengan prasangka maupun judge yang mungkin diberikan salah satu keluarga Kaivan. Zhafira menatap dirinya di cermin, pakaian adat berbahan brukat telah membalut tubuhnya dengan sempurna ditambah mahkota ciri khas tanah kelahirannya bertengger di kepala begitu mewah dengan butiran batu kristal. Rangkaian bunga melati tersampir di pundaknya menjadi ciri khas pengantin adat Sunda. Bibir Zhafira tersenyum tipis, puas dengan maha karya MUA dari tim wedding organizer. Kaivan memang tidak main-main ketika mengatakan ingin menikah se
Narendra dan Aura sudah lima kali menikahkan anak mereka dan setiap pernikahan pasti selalu tersimpan cerita. Aura menggenggam tangan suaminya. “Tugas kita selesai, Yah.” Narendra menoleh kemudian sedikit membungkuk untuk mengecup kening sang istri yang di matanya selalu cantik tidak pernah menua. “Iya ... semoga anak-anak kita bahagia seperti yang kita rasakan.” Aura mengangguk mengaminkan kemudian mengembalikan tatapan pada Kaivan dan Zhafira yang tengah berbahagia. “Makasih sayang,” ucap Kaivan setelah menurunkan Zhafira. Rasa syukur tidak berhenti hatinya bisikan untuk sang pencipta karena telah dipertemukan dengan Zhafira. Tuhan mengirim Zhafira untuknya, gadis cantik-sederhana-polos dan lugu yang belum terjamah pria manapun. *** Zhafira sudah berganti pakaian dengan gaun pengantin rancangan desiner ternama dunia. Ia diperkenalkan dengan kakak perempuan dan ad
“Maaf ya Mas.” Zhafira melirih dalam pelukan suaminya ketika mereka berada di dalam lift. “Maaf untuk apa?” Kaivan bertanya. Wajah pria itu menunduk agar bisa menatap wajah sang istri yang kini terbenam di dadanya. “Mama sama papa ...,” kata Zhafira mirip sebuah bisikan yang terdengar pilu. “Enggak apa-apa, mereka enggak berbuat aneh kok ... seperti membakar ballroom atau bergulat di pelaminan.” Zhafira tertawa mendengar kelakar Kaivan, pria itu memang pandai mengubah mood-nya. Akhirnya mereka tiba di depan kamar pengantin, sesaat Zhafira tercenung menatap pintunya.Baru tersadar ada kewajiban yang harus dipenuhi setelah resmi menyandang status istri Kaivan. “Fir, kalau kamu belum siap malam ini ... enggak apa-apa, aku enggak akan maksa ... kita punya waktu seumur hidup untuk malam pertama,” ujar Kaivan yang mengerti dengan kekhawatiran yang tercetak di wajah cantik istrinya. Ia tau
Zhafira melenguh pelan di sela ciuman membuat Kaivan semakin rakus memagut bibirnya, membelit lidah Zhafira hingga Zhafira kewalahan tapi berusaha belajar dan mengimbangi kemampuan Kaivan. Tangan Kaivan kembali merayap di naik ke perut Zhafira, memberikan sentuhan lembut seringan bulai kemudian meremat pelan bagian lekukan di pinggang Zhafira. Kaivan melanjutkan sentuhannya sampai menemukan bagian menyebul di balik kain berenda. “Aaah ....” Zhafira mendesah dalam pagutan ketika Kaivan memberikan rematan lembut di dada. Tidak ada penolakan dari Zhafira yang memang sedang dilingkupi sebuah perasaan asing yang menyenangkan. Zhafira terdiam ketika telapak tangan Kaivan mulai menyusuri punggungnya. Ia hanya bisa berpegangan dengan melingkarkan tangan di sekeliling pundak Kaivan. Kaivan mulai merasakan Zhafira bisa menanggapi ciumannya dengan baik, sang istri ternyata belajar dengan cepat. Seti
Setelah menikah, Kaivan membawa Zhafira ke rumah orang tuanya. Hal itu disambut baik kedua orang tua Kaivan yang sekarang berdomisili di Vietnam dan hanya sesekali pulang ke Jakarta. Sebetulnya Kaivan memiliki beberapa properti yang disewakan tapi Kaivan malas pindah, ia nyaman tinggal di rumah tempat ia tumbuh dan besar apalagi rumah orang tuanya memiliki fasilitas yang lengkap dengan pelayan, koki juga driver. Dua tangan kokoh yang memeluk pinggangnya membuat Zhafira terkesiap disusul hembusan napas hangat menerpa leher. Cup. Sebuah kecupan mendarat di sana. “Lagi apa?” tanya si pelaku kemudian. Alasan Zhafira tidak meronta adalah karena tau siapa lagi yang akan berbuat seperti itu kepadanya jika bukan sang suami tercinta. Sebetulnya Zhafira malu karena di dapur ini bukan hanya mereka berdua tapi ada pak Haris-sang kepala asisten rumah tangga dan beberapa asisten rumah tangga. Tadi Zhaf
“Besok Mas mau keluar kota, Ayang mau ikut?” Kaivan yang barus aja menaiki ranjang bertanya basa-basi. Zhafira tertawa pelan, menyimpan ponselnya ke atas nakas. “Besok Fira kerja ... Mas Kai berapa hari di luar kota?” Zhafira memutar sedikit tubuhnya agar menghadap Kaivan sempurna. “Tiga hari, tapi Mas usahain pulang secepatnya kalau udah selesai.” Zhafira mengangguk tapi kemudian raut wajahnya berubah, Zhafira malah melamun. Ia teringat perkataan pak Wisnu siang ini. “Yang,” panggil Kaivan. “Jangan sedih, kalau Ayang pengen ikut nanti Mas bilang sama pak Wisnu ... pasti diijinin,” kata Kaivan seraya mengangkat dagu Zhafira dengan kedua jemarinya untuk mempertemukan mata mereka. Semburat merah segera saja menghiasi pipi Zhafira. Zhafira kembali menunduk sambil tersenyum malu, bukan itu yang mengganjal di hatinya tapi ia juga tidak berani mempertanyakan kepada Kaiva
“Arumi Kamaniya Gunadhya.” Suara sang Papa yang pelan namun terdengar tegas membuat Arumi-bocah berumur lima tahun itu menegang. Arumi sedang bermain di halaman belakang, ia masuk ke dalam rumah untuk mengambil air minum karena udara hari ini sangat panas. Tapi malah bertemu papanya yang baru saja pulang kerja. Dan kenapa sang Papa tampannya memanggil namanya dengan tegas, sudah dipastikan karena telah melihat hasil ujian semester ini. Arumi membalikkan badan, matanya menatap takut-takut sang papa lantas mengumpulkan keberaniannya untuk memberikan senyum sejuta pesona. “Enggak mempan, sayang.” Meski keluar kata ‘sayang’ tapi ekspresi wajah Kaivan terlihat datar. “Duduk sini samping Papa.” Kaivan menepuk Spaces kosong di sofa yang ia duduki. Arumi duduk di samping papanya dengan gerakan lemah gemulai bak seorang princess. Bahkan sempat merapihkan rok belakangnya agar tidak kusu
“Kamu pucat, Yang … tadi enggak sarapan sih,” tegur Kaivan, tangannya terulur mengusap keringat di pelipis Zhafira setelah mengangkat helm proyek di kepala istrinya. Mereka sedang berada di salah satu proyek untuk keperluan pengecekan dan koordinasi karena perhari ini pengerjaan resmi di mulai. Zhafira memaksakan sebuah senyum untuk menunjukkan ia baik-baik saja. “Tadi Fira belum lapar, tapi Fira bawa bekal kok Mas di mobil.” Zhafira berdusta, padahal tadi ia muntah-muntah di kamar mandi sehingga terlambat ikut sarapan di meja makan. Dan sebenarnya bukan tidak lapar tapi Zhafira merasakan mual dan begah pada perutnya. Ia sadar selama beberapa hari terakhir terlambat makan sehingga bisa dipastikan asam lambungnya pasti kambuh. Zhafira tidak ingin Kaivan mengetahui hal tersebut. “Ga, bawain bekal di mobil untuk ibu …,” titah Kaivan pada sekertaris Zhafira. “Baik Pak,” sahut pria
Suasana kantor Kaivan tampak kondusif di jam setelah makan siang. Anggukan seorang satpam yang ada di loby depan menyambut kedatangannya setelah bertemu klien sejak pagi tadi. “Istri saya masih di atas?” Kaivan bertanya pada salah seorang sekuriti yang berada di dalam gedung. “Masih, Pak ... ibu dia atas sama Rey.” Pria itu menjawab sambil setengah berlari lebih dulu untuk menekan tombol lift. Kaivan mengangguk samar kepada security sebelum masuk ke dalam lift diikuti sekretaris cantiknya bernama Irma. “Nanti malam ada acara sosial bersama pak Wali Kota, Pak.” Irma memberitau sambil membaca iPad di tangannya. “Belikan satu gaun untuk istri saya, saya lupa kasih tahu kalau hari ini ada pesta.” “Baik, Pak!” Ting … Detik berikutnya setelah lift berdenting, Kaivan dan Irma keluar dari lift. Seorang pria muda tampan dan bertubuh atletis seperti K
Setelah resign, Zhafira tidak memiliki kegiatan selain menggambar sketsa. Setiap hari ia menghabiskan waktunya di perpustakaan menggambar banyak bangunan menunggu Kaivan pulang kerja yang saat itu sedang asyik dengan kedekatan bersama Imelda sehingga pulang selalu larut malam. Ternyata apa yang ia kerjakan itu tidak sia-sia. Zhafira mengirim semua karyanya pada Architecture Design Competition yang diadakan oleh Ikatan Arsitek Indonesia dan juga Lomba design gedung dan jembatan yang diadakan pemerintah. Dan hasil Karya Zhafira selalu menjadi pemenangnya. Seperti malam ini, Zhafira diundang oleh Gubernur Jawa Barat untuk menerima penghargaan dan hadiah atas kemenangannya dalam mendesain ulang bangunan yang tidak berfungsi dengan baik atau bahkan terbengkalai di Kota Bandung menjadi bangunan dengan fungsi baru yang nyaman, aman, berkelanjutan, dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar dan kota itu sendiri.
Suara tangis Rey yang membahana membuat Kaivan dan Zhafira terjaga dari tidur yang lelap di dini hari. Kaivan menegakan tubuhnya lebih dulu, menurunkan kedua kakinya lalu beranjak menghampiri box bayi Rey. “Tunggu aja di sana, Yang … aku bawa Rey ke sana.” Zhafira menaikkan kakinya kembali, menumpuk bantal untuk membuatnya nyaman bersandar ketika menyusui. Sementara itu Kaivan mengecek popok Rey. “Alexa, play You Are My Sunshine,” perintah Kai pada smart speaker yang berada di atas nakas. Lagu You Are My Sunshine mengalun dengan volume rendah dan tangis Rey perlahan berhenti. Kaivan jadi bisa dengan mudah mengganti popok Rey yang sudah penuh. Zhafira memperhatikan Kaivan dari atas ranjang, suaminya begitu mahir mengganti popok dengan lebih dulu membersihkan bagian bawah tubuh Rey. Tidak sia-sia Kaivan resign, karena selain memiliki banyak waktu untuk bersama Zhafira—ia juga me
Bayi laki-laki gempal yang diberi nama Reynand Arkananta Gunadhya itu hanya selisih satu bulan lahir ke dunia dengan anak keempat pasangan Arkana dan Zara. Bahkan Zara sudah bisa menghadiri peresmian resort kemarin. Zhafira jadi semangat untuk cepat pulih karena ada rumah baru mereka yang menanti di Bandung. “Eeeh, sudah cantik cucu Nenek.” Nenek Shareena memuji Zhafira yang sudah mandi dan cantik sepagi ini. Nenek Shareena bersama grandma Monica masuk ke ruangan rawat Zhafira. “Nenek … Grandma.” Zhafira balas menyapa dengan senyumnya yang khas. Zhafira duduk bersandar di ranjang yang bagian kepalanya dibuat tegak. Wajah Zhafira berseri-seri, segar dan cantik. “Kemarin Grandma pulang duluan anterin nenek kamu ini yang masuk angin … pakai acara kerokan lah kita sampe rumah.” Grandma Monica misuh-misuh karena gara-gara itu ia tidak bisa langsung bertemu cicitnya. “Terus sekarang
Zhafira memejamkan matanya tatkala rasa mulas dan nyeri di bagian pinggang menghantam begitu dahsyat. Genggaman tangan Zhafira di tangan Kaivan yang duduk di samping sambil mengusap perutnya pun mengerat kuat. Keduanya sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Kebetulan heli milik kakek Kallandra yang beberapa bulan terakhir ini terparkir di halaman belakang Villa merupakan heli jenis KA 62 yang mampu menampung hingga sepuluh orang sehingga grandpa Edward, grandma Monica juga nenek Shareena bisa ikut menemani Zhafira yang akan melakukan persalinan.Sementara kakek Kallandra dan keluarga yang lain akan menyusul setelah acara peresmian resort selesai. Di antara rasa sakit yang sedang Zhafira alami selama ini, terselip lega dan puas karena dengan mengepalai proyek pembangunan resort tersebut—ia bisa membuktikan siapa dirinya kepada dunia. Zhafira bukan hanya Zhafira yang berasal dari keluarga broken home dan manta
Zhafira merasakan tubuhnya tidak nyaman, perutnya mulas tapi setiap kali duduk di atas closet—mulas itu lenyap entah ke mana. Sayangnya Zhafira tidak memiliki waktu untuk mengkhawatirkannya karena besok adalah peresmian resort dan hari ini segala sesuatunya harus sudah siap seratus persen. Jam sembilan malam Zhafira masih sibuk menata venue padahal sudah ada Event Organizer tapi Zhafira tidak percaya begitu saja dan tetap mengecek setiap detailnya satu persatu. Kakinya yang bengkak terasa kebas, belum lagi rasa mulas semakin sering mendera meski hilang timbul. “Yang, kita pulang sekarang … udah malem.” Nada suara dan sorot mata yang tegas milik Kaivan tidak bisa Zhafira tawar lagi, ia harus menurut. Selama ini Kaivan selalu mengalah, berusaha mengerti keinginannya jadi tidak semestinya Zhafira membantah apalagi ini demi kebaikan dirinya dan si janin. “Iya Mas, Fira pamit sama EO-nya dulu.”
Beberapa hari terakhir Kaivan selalu terbangun tengah malam terusik oleh pergerakan Zhafira yang gelisah dalam tidurnya. Perut Zhafira sudah sangat besar, dokter mengatakan jika sebentar lagi akan melahirkan tapi Zhafira masih bertahan tinggal di Puncak hingga peresmian resort. Begitulah permintaan Zhafira pada Kaivan yang tidak bisa Kaivan tolak. “Yang,” panggil Kaivan menegakan sedikit tubuhnya mengecek keadaan sang istri. “Begah, Mas … Fira juga engap banget, keluh Zhafira dengan mata berkaca-kaca. Semenjak hamil Zhafira memang mudah mengeluarkan air mata membuat Kaivan kalang kabut berusaha agar air mata Zhafira berhenti mengalir. “Coba bobonya sambil duduk, nanti aku benerin posisi tidur kamu kalau kamu udah terlelap.” Kaivan mencoba mencari solusi dengan terlebih dahulu ia menegakan tubuhnya bersandar pada headboard agar Zhafira bisa bersandar di dadanya. Zhafira menurut, dengan ban