Share

Melamar

Tepat pukul empat sore ketika jam kerja telah selesai, pintu depan kantor Zhafira dibuka lebar oleh dua orang security di kiri dan kanannya.

Seisi kantor geger karena Kaivan datang bersama beberapa orang pria.

Yang satu membawa satu buket bunga, yang satunya lagi sedang menabur kelopak bunga mawar di sekeling tempat Kaivan berdiri.

Dan ada satu pria membawa kamera film sepertinya mereka akan melakukan syuting.

Pak Wisnu keluar dari ruangannya, bibir pria itu tersenyum melihat Kaivan karena Kaivan sudah meminta ijin kepada beliau.

Sedangkan para karyawan yang lain tampak melongo bingung termasuk Bella dan Nova.

Saat itu Zhafira sedang berada di pantry untuk membuat kopi.

“Bu Fira, sebaiknya Bu Fira ke Banking Hall sekarang,” kata pak Wawan-sang OB.

“Ada apa memang, Pak? Ada nasabah yang marah-marah lagi?” tebak Zhafira asal seraya mengaduk kopinya.

“Bukan ... duh, itu ... aduh, Bu ... mending Ibu liat sendiri.” Pak Wawan tampak gelisah.

“Kenapa sih?” Zhafira mulai melangkah membawa kopinya.

“Bu, saya bawain aja kopinya ... Ibu duluan ke Banking Hall.” Pak Wawan merebut cangkir kopi dari tangan Zhafira.

Karena melihat gelagat OB yang tidak santai membuat Zhafira ikut cemas, ia membiarkan pak Wawan membawakan cangkir kopinya dan mulai menarik langkah keluar dari pantry.

Padahal pak Wawan sudah diberi arahan oleh pak Wisnu untuk memanggil Zhafira ke Banking Hall karena orang-orang kepercayaan Kaivan sudah selesai men-decor.

Mata Zhafira terbelalak melihat Kaivan berdiri di tengah-tengah Banking Hall membawa satu buket bunga dikelilingi taburan kelopak bunga mawar.

Di belakangnya ada Gerry yang sibuk menatap layar televisi kecil yang terhubung pada kamera, pria itu seperti sedang bertindak sebagai Sutradara film.

Sementara para teman sekantor Zhafira termasuk pak Wisnu berjajar mengelilingi ruangan dengan memberi jarak untuk menyaksikan acara lamaran Kaivan kepada Zhafira.

Langkah Zhafira terasa berat, jantungnya berdetak cepat dengan napas pendek-pendek.

Tidak mempercayai apa yang dilihatnya, Kaivan membuat kejutan—melamarnya di kantor.

Apalagi kalau bukan lamaran, pria itu membawa buket bunga mawar merah yang indah dan sedang menatapnya dengan senyum lebar.

Tapi ini Jazziel Kaivan Gunadhya, si cucu Konglomerat terkenal di Negaranya sekaligus nasabah prioritasnya yang baru ia kenal dalam waktu hitungan hari.

Langkah Zhafira berhenti tepat di bagian luar lingkaran taburan kelopak bunga mawar.

Kaivan kemudian berlutut dengan satu kaki membuat semua orang terkejut dan menahan napas termasuk Zhafira.

Mata Zhafira membelalak, kedua tangannya terangkat menutup mulut yang ikut terbuka lebar bersamaan dengan kakinya yang mundur satu langkah.

“Zhafira, aku memang baru mengenal kamu ... tindakan ini mungkin impulsif tapi aku enggak bisa menahannya, aku mencintai kamu semenjak kamu masuk ke ruangan aku dan saat ini aku sangat ingin menjadikanmu sebagai istriku ... bisakah kita saling mengenal lebih jauh setelah menikah nanti? Bisakah kita pacaran setelah menikah? Jadi ....”

Kaivan menjeda, satu tangannya yang bebas mengeluarkan sesuatu dari saku celana.

Sebuah kotak kecil beludru berwarna biru, Kaivan membukanya langsung sehingga Zhafira dan semua orang yang ada di sana bisa melihat cincin bertahtakan berlian yang indah.

“Zhafira, nikah yuk!”

Hening, semua orang mengarahkan tatapannya pada Zhafira sementara yang bersangkutan menelan saliva dengan wajah pucat pasi dan mata berkaca-kaca.

Seperti mimpi tapi ini nyata, Zhafira bahkan tidak tau perbedaannya.

Tapi yang Zhafira ketahui adalah Kaivan tidak main-main, Kaivan serius dengan ucapannya, Kaivan menginginkannya sebagai istri.

Semua yang dilakukan Kaivan selama beberapa hari ini sesungguhnya sudah mampu membuat Zhafira luluh.

Termasuk segala tutur kata lembut dan sikap Kaivan yang tidak pernah memaksakan kehendak kecuali urusan menikah.

Dan lagi baru saja pria itu menunjukan keseriusan ingin menikahinya hingga membuat acara lamaran seniat ini.

Zhafira maju selangkah masuk ke dalam lingkaran kelopak bunga dan seketika hembusan napas lega dari orang-orang yang menyaksikan lamaran itu terdengar saling bersahutan.

Kaivan tau tindakannya akan mendapat respon positif dari Zhafira, tidak ada wanita yang bisa menolak pesonanya apalagi ia sudah melakukan banyak hal untuk membuat Zhafira terkesan.

“Iya, ayo ... kita menikah.” Zhafira menjawab disertai satu buliran kristal yang lolos jatuh dari sudut matanya.

Zhafira terharu, hatinya pun membuncah akan rasa bahagia.

Ia akhirnya memiliki keluarga, yang akan mencintai dan menyayanginya sepenuh hari, yang akan menjadi rumah tempatnya pulang dan merasa nyaman.

Seketika tepuk tangan membahana di Banking Hall, kedua sahabat Zhafira saling berpelukan ikut merasa bahagia.

Pasalnya hanya Zhafira yang belum memiliki kekasih, gadis itu keukeuh ingin mencari pria yang serius mencintainya karena ia tidak ingin memiliki rumah tangga yang gagal seperti kedua orang tuanya.

Zhafira bertekad tidak akan membuat anaknya merasakan pengalaman pahit yang ia rasakan sekarang.

Kaivan menyerahkan satu buket bunga yang langsung Zhafira terima, setelah itu Kaivan menyematkan cincin yang ternyata begitu pas dijari manis Zhafira.

Pria itu mengecup punggung tangan Zhafira kemudian bangkit berdiri.

“Boleh aku peluk, Fir?” Kaivan meminta ijin dan mendapat anggukan kaku dari Zhafira.

Kaivan melingkarkan kedua tangan di tubuh calon istrinya membuat Zhafira bisa menyembunyikan rona merah pada pipi di dada Kaivan.

Untuk merayakan lamarannya yang diterima oleh Zhafira, Kaivan membawa teman satu kantor Zhafira menikmati makan malam bersama di sebuah restoran.

“Fir, sekali lagi selamat ya ... saya minta maaf karena waktu itu kasih alamat kossan kamu sama pak Kaivan, abis pak Kaivan maksa banget,” ujar pak Wisnu memberi alasan.

“Iya Pak, enggak apa-apa ... aku tau kok gimana pak Kaivan kalau udah maksa.”

Pak Wisnu tertawa pelan mendengarnya. “Saya udah lama kenal pak Kaivan dan kamu harus percaya sama saya, Fir ... pak Kaivan pria baik, dia bahkan jarang dugem kalau enggak terpaksa karena harus menemani klien ... dia lebih ke anak mama, cocok sama kamu Fir ... saya berharap kamu dan pak Kaivan bahagia.”

“Makasih, Pak ... iya, saya juga ngerasanya gitu ... anak orang kaya tapi gayanya santuy ya, Pak.”

Pak Wisnu mengangguk setuju, keduanya lantas menoleh ke arah Kaivan yang tengah berjalan mendekat.

Pria itu baru saja terlibat pembicaraan serius dengan Garry.

“Ayo Pak, makan yang banyak ... pesan lagi.” Kaivan menawarkan bahkan ia memperbolehkan jika ada yang ingin take away untuk keluarganya di rumah karena Kaivan merasa bersalah telah menahan mereka semua pulang ke rumah untuk menyaksikan dan merayakan pesta lamarannya sehingga mereka harus pulang terlambat.

Tentu saja hal itu disambut baik oleh para teman sekantor Zhafira yang anak kos, maklum lah biaya hidup di Jakarta tinggi.

Menjadi berkah tersendiri bagi mereka karena teman sekantornya dinikahi oleh nasabah prioritas yang royal.

Ucapan selamat disertai doa sekaligus terimakasih didapat Kaivan juga Zhafira sebelum mereka berpisah di parkiran resto.

Kaivan harus mengantar sang pujaan hati hingga kossannya.

“Kamu seneng, Fir?” Kaivan bertanya setelah mereka tiba di depan pintu kamar Zhafira.

Sengaja Kaivan turun dan mengantar Zhafira hingga sana untuk memastikan Zhafira aman, so sweet ‘kan si anak mami ini jika sedang jatuh cinta.

Betapa malangnya sang mantan yang telah meninggalkan Kaivan dengan alasan jika Kaivan terlalu baik.

“Iya, Mas ....” Zhafira menjawab sambil menundukan pandangan.

Zhafira tidak berani menatap mata Kaivan, hatinya selalu berdebar kencang setiap kali melakukannya.

“Oke, aku pulang ya ... udah malem.” Kaivan pamit membuat Zhafira mendongak demi menatap wajah sang tunangan sebelum pria itu pergi.

“Mas ...,” panggil Zhafira, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya dan ia harus menanyakan saat ini juga.

“Ya?” Kaivan melangkah mengikis jarak.

“Keluarga Mas ... udah tau tentang Fira dan keluarga Fira?” Zhafira bertanya hati-hati.

“Mereka udah tau, itu kenapa aku berani melamar kamu di kantor ... hari sabtu sekarang, kita akan ke Surabaya mengunjungi papa kamu bersama ayah dan bunda.”

Kelegaan segera saja menjalari hati Zhafira, karena jika ayah dan bunda Kaivan bersedia mendatangi papanya itu berarti mereka merestui hubungan ini.

“Mas, biar Fira minta papa yang datang ke Jakarta ... Fira enggak enak hati kalau ayah sama bundanya Mas harus datang jauh-jauh dari Vietnam.”

Kaivan mengangkat tangan mengusap kepala Zhafira.

“Enggak apa-apa, kita janjian ketemu di Surabaya ... ayah sama bunda langsung ke Surabaya dari Vietnam.”

Zhafira mengangguk seraya tersenyum, mempercayakan semuanya kepada Kaivan.

“Fir,” panggil Kaivan parau.

“Ya Mas,” sahut Zhafira dengan jantung berdebar seakan sesuatu yang besar akan terjadi.

“Boleh aku cium kening kamu?” Kaivan meminta ijin padahal Zhafira inginnya Kaivan langsung saja menciumnya.

Kalau ditanya seperti ini, Zhafira jadi malu.

Zhafira mengangguk tapi wajahnya menunduk dengan kerjapan mata cepat.

Sisi wajah Zhafira dibingkai oleh telapak tangan besar Kaivan.

Perlahan wajah Zhafira mendongak bersamaan dengan kepala Kaivan yang merunduk.

Cup.

Sebuah kecupan dalam dan lama mendarat di kening Zhafira hingga ia memejamkan mata.

Jantung Zhafira mulai menaikan tempo debaran begitu juga dengan Kaivan, bahkan Kaivan ingin melakukan lebih, mengecup pipi dan bibir Zhafira misalnya.

Tapi Kaivan memutuskan untuk menjauhkan wajahnya, lamarannya saja pasti sudah membuat Zhafira syok apalagi ajakan menikah dengan waktu dekat dan sekarang harus diperparah dengan sentuhan yang lebih intim—Kaivan tidak berani, khawatir justru Zhafira akan takut dan menjauh.

“Aku pulang ya, Fir.” Kaivan pamit lagi.

Zhafira pun mengangguk lagi sambil tersenyum dan masih tersenyum meski punggung tegap Kaivan sudah menjauh kemudian hilang di balik dinding pembatas.

Zhafira buru-buru masuk ke dalam kossannya, menutup pintu dan bersandar di sana.

Telapak tangannya ia simpan di dada, Zhafira baru dalam hal ini.

Kekasihnya di masa lalu hanya sebatas memegang tangan dan merangkulnya saja bahkan Zhafira belum pernah merasakan bagaimana rasanya ciuman pertama.

Bersama Kaivan, Zhafira memiliki pengalaman baru.

Setelah menikah nanti, pacaran mereka akan halal dan lebih bermakna.

Tidak sabar rasanya Zhafira ingin segera menikah dengan Kaivan, eh.

***

“Hallo, Pa ... apa kabar?” sapa Zhafira melalui sambungan telepon.

“Hai, Fir ... Papa-Bunda dan adik-adik kamu baik, kamu apa kabar?” balas Herry-sang papa menjawab dengan lengkap.

“Fira baik, Pa ....”

“Syukurlah, Fir ... kamu jaga kesehatan ya, makan teratur jangan sampai sakit,” ujar Herry.

“Karena kalau kamu sakit, Papa enggak bisa langsung datang menemui kamu,” sambung Herry di dalam hati.

“Iya, Pa ... Papa juga jaga kesehatan ya.” Zhafira menyahut.

“Iya, Fir ... ada apa malam-malam telepon? Pasti bukan mau nanya keadaan Papa aja, kan?” tebak Herry yang merasa curiga.

“Gini, Pa ... Fira mau nikah.”

“Waw ... selamat ya Fir ....” Herry terdengar terkejut.

“Apa dia baik, Fir?” sambung Herry bertanya.

“Iya, Pa ... Mas Kai baik ... dia serius sama Fira.”

“Syukurlah, Fir ... Papa ikut bahagia.”

“Makasih, Pa ... sabtu besok, Mas Kai sama kedua orang tuanya mau ketemu Papa ... Mas Kai mau minta restu, Papa.”

“Cepat sekali ya, Fir ... apa yang harus Papa siapkan? Papa akan beres-beres rumah dulu kalau gitu.” Herry tampak antusias.

“Jangan repot-repot, Pa ... nanti kita ketemuan di resto hotel tempat mereka menginap aja ... Papa, bunda dan adik-adik datang ya.”

“Oh gitu, Fir ... calon suami kamu pasti kaya ya, Fir ... kamu malu ya kalau mereka datang ke rumah Papa?”

Zhafira tertawa pelan, Papanya mulai playing victim.

Padahal alasan Zhafira menyetujui ide Kaivan untuk mengatur pertemuan kedua belah pihak keluarga di restoran adalah agar tidak merepotkan sang ibu tiri yang tidak pernah menyukainya.

Zhafira menceritakan kondisi hubungannya dengan sang ibu tiri juga ayah tirinya kepada Kaivan sehingga membuat Kaivan memutuskan untuk tidak pernah merepotkan papa dan mama Zhafira.

Kaivan yang akan menangani semua proses sebelum pernikahan.

“Bukan gitu, Pa ... tapi sekarang itu sudah biasa lamaran dilakukan di resto-resto ... biar kekinian gitu, Pa.” Zhafira memberikan alasan yang masuk akal.

“Oh gitu ... oke deh, nanti Papa datang sama bunda dan adik-adik.”

“Makasih ya, Pa ....”

“Ya, Fir ....”

Dan sambungan telepon pun terputus.

Zhafira menghembuskan napas lalu menghubungi Dewi-sang Mama.

“Hallo, Fir ...,” jawab sang mama dari ujung panggilan sama.

“Mama belum tidur?” Zhafira bertanya basa-basi.

“Belum, lagi ngelonin ayah kamu nih!” Dewi berujar vulgar dan Zhafira sudah tau ke mana arah pembicaraan mamanya.

“Ma, hari minggu besok ada acara enggak?” Tanpa menanggapi ucapan sang mama—Zhafira langsung melontarkan pertanyaan.

“Kenapa memang, kamu mau ke Bandung?” Alih-alih menjawab—Dewi malah balik bertanya.

“Iya Ma, Fira mau nikah ... dan kedua orang tua juga calon suami Fira mau ketemu Mama minta restu.”

“Waaaw, sejak kapan kamu pacaran? Kok enggak pernah ajak pacar kamu ke Bandung ketemu Mama? Ini beneran ‘kan Fir?”

“Iya, Ma ... Mama ada waktu ‘kan hari minggu?”

Zhafira dan Kaivan telah mendiskusikan hal ini, setelah dari Surabaya mereka akan langsung ke Bandung agar urusan meminta restu segera selesai karena Kaivan menginginkan pesta pernikahannya berlangsung bulan depan.

Kaivan tidak ingin menunda-nunda.

“I-iya bisa ... mereka mau datang ke rumah Mama, Fir?” Dewi memastikan.

“Enggak Ma, nanti kita ketemuan di restoran ya.”

“Oke, nanti Mama sama om Jo datang.”

Om Jo yang dimaksud adalah suami mamanya Zhafira, Zhafira menolak memanggil ayah karena selain umurnya lebih muda dari sang mama—gaya berpakaian dan tingkah suami Mamanya itu mirip seperti preman—Zhafira tidak menyukainya.

Hal itu lah yang membuat Zhafira memutuskan untuk hidup sendiri.

Zhafira buru-buru menerima panggilan bekerja di Bank agar bisa memiliki penghasilan untuk menghidupi diri sendiri sebagai bentuk protes kepada kedua orang tuanya.

Zhafira sudah pernah menceritakan masalah tersebut kepada Kaivan dan Kaivan masih tetap tidak berubah pikiran, pria itu mengatakan jika ia akan menikahi Zhafira dan bukan keluarganya jadi Kaivan tidak masalah bagaimana pun keluarga Zhafira.

“Oh ya, Fir ... papa kamu udah tau?”

“Udah Ma, tanggapan Papa juga baik.”

Zhafira selalu dingin setiap kali berbicara dengan mamanya, sebetulnya juga mereka jarang berkomunikasi kecuali penting.

“Syukurlah, untuk biaya nikah ... kamu minta papa kamu ya, karena Mama yang biayain kamu kuliah, papa kamu enggak ada kontribusinya sama sekali tapi dia mampu nyekolahin anaknya dari perempuan itu di sekolah terbaik.”

Mamanya mulai itung-itungan tapi Zhafira tidak bisa protes karena memang semenjak SMA—mamanya lah yang membiayai seluruh uang sekolah hingga kuliah.

Mamanya memiliki bisnis konveksi yang membuat seragam sekolah untuk sekolah-sekolah Swasta para kaum jetset di Bandung.

“Iya, Ma ... Fira hanya minta restu aja dari Mama.”

“Asal kamu bahagia, Mama akan merestui.”

“Oke, makasih Mah ... selamat malam.”

Keduanya memutuskan sambungan telepon.

Sudah Zhafira duga, kedua orang tuanya memang tidak peduli.

Mereka bahkan tidak ingin tau lebih jauh siapa calon suami Zhafira.

Dewi tidak sekali pun bertanya siapa nama calon suami Zhafira.

Kedua orang tuanya juga tidak bertanya pria yang akan menikahi Zhafira itu anak siapa, pendidikannya apa, kerja di mana dan lain sebagainya.

Hatinya Zhafira berdenyut ngilu. “Enggak apa-apa, nanti Fira juga akan punya keluarga seperti mereka,” gumam Zhafira pada dirinya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status