Tepat pukul empat sore ketika jam kerja telah selesai, pintu depan kantor Zhafira dibuka lebar oleh dua orang security di kiri dan kanannya.
Seisi kantor geger karena Kaivan datang bersama beberapa orang pria.Yang satu membawa satu buket bunga, yang satunya lagi sedang menabur kelopak bunga mawar di sekeling tempat Kaivan berdiri.Dan ada satu pria membawa kamera film sepertinya mereka akan melakukan syuting.Pak Wisnu keluar dari ruangannya, bibir pria itu tersenyum melihat Kaivan karena Kaivan sudah meminta ijin kepada beliau.Sedangkan para karyawan yang lain tampak melongo bingung termasuk Bella dan Nova.Saat itu Zhafira sedang berada di pantry untuk membuat kopi.“Bu Fira, sebaiknya Bu Fira ke Banking Hall sekarang,” kata pak Wawan-sang OB.“Ada apa memang, Pak? Ada nasabah yang marah-marah lagi?” tebak Zhafira asal seraya mengaduk kopinya.“Bukan ... duh, itu ... aduh, Bu ... mending Ibu liat sendiri.” Pak Wawan tampak gelisah.“Kenapa sih?” Zhafira mulai melangkah membawa kopinya.“Bu, saya bawain aja kopinya ... Ibu duluan ke Banking Hall.” Pak Wawan merebut cangkir kopi dari tangan Zhafira.Karena melihat gelagat OB yang tidak santai membuat Zhafira ikut cemas, ia membiarkan pak Wawan membawakan cangkir kopinya dan mulai menarik langkah keluar dari pantry.Padahal pak Wawan sudah diberi arahan oleh pak Wisnu untuk memanggil Zhafira ke Banking Hall karena orang-orang kepercayaan Kaivan sudah selesai men-decor.Mata Zhafira terbelalak melihat Kaivan berdiri di tengah-tengah Banking Hall membawa satu buket bunga dikelilingi taburan kelopak bunga mawar.Di belakangnya ada Gerry yang sibuk menatap layar televisi kecil yang terhubung pada kamera, pria itu seperti sedang bertindak sebagai Sutradara film.Sementara para teman sekantor Zhafira termasuk pak Wisnu berjajar mengelilingi ruangan dengan memberi jarak untuk menyaksikan acara lamaran Kaivan kepada Zhafira.Langkah Zhafira terasa berat, jantungnya berdetak cepat dengan napas pendek-pendek.Tidak mempercayai apa yang dilihatnya, Kaivan membuat kejutan—melamarnya di kantor.Apalagi kalau bukan lamaran, pria itu membawa buket bunga mawar merah yang indah dan sedang menatapnya dengan senyum lebar.Tapi ini Jazziel Kaivan Gunadhya, si cucu Konglomerat terkenal di Negaranya sekaligus nasabah prioritasnya yang baru ia kenal dalam waktu hitungan hari.Langkah Zhafira berhenti tepat di bagian luar lingkaran taburan kelopak bunga mawar.Kaivan kemudian berlutut dengan satu kaki membuat semua orang terkejut dan menahan napas termasuk Zhafira.Mata Zhafira membelalak, kedua tangannya terangkat menutup mulut yang ikut terbuka lebar bersamaan dengan kakinya yang mundur satu langkah.“Zhafira, aku memang baru mengenal kamu ... tindakan ini mungkin impulsif tapi aku enggak bisa menahannya, aku mencintai kamu semenjak kamu masuk ke ruangan aku dan saat ini aku sangat ingin menjadikanmu sebagai istriku ... bisakah kita saling mengenal lebih jauh setelah menikah nanti? Bisakah kita pacaran setelah menikah? Jadi ....”Kaivan menjeda, satu tangannya yang bebas mengeluarkan sesuatu dari saku celana.Sebuah kotak kecil beludru berwarna biru, Kaivan membukanya langsung sehingga Zhafira dan semua orang yang ada di sana bisa melihat cincin bertahtakan berlian yang indah.“Zhafira, nikah yuk!”Hening, semua orang mengarahkan tatapannya pada Zhafira sementara yang bersangkutan menelan saliva dengan wajah pucat pasi dan mata berkaca-kaca.Seperti mimpi tapi ini nyata, Zhafira bahkan tidak tau perbedaannya.Tapi yang Zhafira ketahui adalah Kaivan tidak main-main, Kaivan serius dengan ucapannya, Kaivan menginginkannya sebagai istri.Semua yang dilakukan Kaivan selama beberapa hari ini sesungguhnya sudah mampu membuat Zhafira luluh.Termasuk segala tutur kata lembut dan sikap Kaivan yang tidak pernah memaksakan kehendak kecuali urusan menikah.Dan lagi baru saja pria itu menunjukan keseriusan ingin menikahinya hingga membuat acara lamaran seniat ini.Zhafira maju selangkah masuk ke dalam lingkaran kelopak bunga dan seketika hembusan napas lega dari orang-orang yang menyaksikan lamaran itu terdengar saling bersahutan.Kaivan tau tindakannya akan mendapat respon positif dari Zhafira, tidak ada wanita yang bisa menolak pesonanya apalagi ia sudah melakukan banyak hal untuk membuat Zhafira terkesan.“Iya, ayo ... kita menikah.” Zhafira menjawab disertai satu buliran kristal yang lolos jatuh dari sudut matanya.Zhafira terharu, hatinya pun membuncah akan rasa bahagia.Ia akhirnya memiliki keluarga, yang akan mencintai dan menyayanginya sepenuh hari, yang akan menjadi rumah tempatnya pulang dan merasa nyaman.Seketika tepuk tangan membahana di Banking Hall, kedua sahabat Zhafira saling berpelukan ikut merasa bahagia.Pasalnya hanya Zhafira yang belum memiliki kekasih, gadis itu keukeuh ingin mencari pria yang serius mencintainya karena ia tidak ingin memiliki rumah tangga yang gagal seperti kedua orang tuanya.Zhafira bertekad tidak akan membuat anaknya merasakan pengalaman pahit yang ia rasakan sekarang.Kaivan menyerahkan satu buket bunga yang langsung Zhafira terima, setelah itu Kaivan menyematkan cincin yang ternyata begitu pas dijari manis Zhafira.Pria itu mengecup punggung tangan Zhafira kemudian bangkit berdiri.“Boleh aku peluk, Fir?” Kaivan meminta ijin dan mendapat anggukan kaku dari Zhafira.Kaivan melingkarkan kedua tangan di tubuh calon istrinya membuat Zhafira bisa menyembunyikan rona merah pada pipi di dada Kaivan.Untuk merayakan lamarannya yang diterima oleh Zhafira, Kaivan membawa teman satu kantor Zhafira menikmati makan malam bersama di sebuah restoran.“Fir, sekali lagi selamat ya ... saya minta maaf karena waktu itu kasih alamat kossan kamu sama pak Kaivan, abis pak Kaivan maksa banget,” ujar pak Wisnu memberi alasan.“Iya Pak, enggak apa-apa ... aku tau kok gimana pak Kaivan kalau udah maksa.”Pak Wisnu tertawa pelan mendengarnya. “Saya udah lama kenal pak Kaivan dan kamu harus percaya sama saya, Fir ... pak Kaivan pria baik, dia bahkan jarang dugem kalau enggak terpaksa karena harus menemani klien ... dia lebih ke anak mama, cocok sama kamu Fir ... saya berharap kamu dan pak Kaivan bahagia.”“Makasih, Pak ... iya, saya juga ngerasanya gitu ... anak orang kaya tapi gayanya santuy ya, Pak.”Pak Wisnu mengangguk setuju, keduanya lantas menoleh ke arah Kaivan yang tengah berjalan mendekat.Pria itu baru saja terlibat pembicaraan serius dengan Garry.“Ayo Pak, makan yang banyak ... pesan lagi.” Kaivan menawarkan bahkan ia memperbolehkan jika ada yang ingin take away untuk keluarganya di rumah karena Kaivan merasa bersalah telah menahan mereka semua pulang ke rumah untuk menyaksikan dan merayakan pesta lamarannya sehingga mereka harus pulang terlambat.Tentu saja hal itu disambut baik oleh para teman sekantor Zhafira yang anak kos, maklum lah biaya hidup di Jakarta tinggi.Menjadi berkah tersendiri bagi mereka karena teman sekantornya dinikahi oleh nasabah prioritas yang royal.Ucapan selamat disertai doa sekaligus terimakasih didapat Kaivan juga Zhafira sebelum mereka berpisah di parkiran resto.Kaivan harus mengantar sang pujaan hati hingga kossannya.“Kamu seneng, Fir?” Kaivan bertanya setelah mereka tiba di depan pintu kamar Zhafira.Sengaja Kaivan turun dan mengantar Zhafira hingga sana untuk memastikan Zhafira aman, so sweet ‘kan si anak mami ini jika sedang jatuh cinta.Betapa malangnya sang mantan yang telah meninggalkan Kaivan dengan alasan jika Kaivan terlalu baik.“Iya, Mas ....” Zhafira menjawab sambil menundukan pandangan.Zhafira tidak berani menatap mata Kaivan, hatinya selalu berdebar kencang setiap kali melakukannya.“Oke, aku pulang ya ... udah malem.” Kaivan pamit membuat Zhafira mendongak demi menatap wajah sang tunangan sebelum pria itu pergi.“Mas ...,” panggil Zhafira, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya dan ia harus menanyakan saat ini juga.“Ya?” Kaivan melangkah mengikis jarak.“Keluarga Mas ... udah tau tentang Fira dan keluarga Fira?” Zhafira bertanya hati-hati.“Mereka udah tau, itu kenapa aku berani melamar kamu di kantor ... hari sabtu sekarang, kita akan ke Surabaya mengunjungi papa kamu bersama ayah dan bunda.”Kelegaan segera saja menjalari hati Zhafira, karena jika ayah dan bunda Kaivan bersedia mendatangi papanya itu berarti mereka merestui hubungan ini.“Mas, biar Fira minta papa yang datang ke Jakarta ... Fira enggak enak hati kalau ayah sama bundanya Mas harus datang jauh-jauh dari Vietnam.”Kaivan mengangkat tangan mengusap kepala Zhafira.“Enggak apa-apa, kita janjian ketemu di Surabaya ... ayah sama bunda langsung ke Surabaya dari Vietnam.”Zhafira mengangguk seraya tersenyum, mempercayakan semuanya kepada Kaivan.“Fir,” panggil Kaivan parau.“Ya Mas,” sahut Zhafira dengan jantung berdebar seakan sesuatu yang besar akan terjadi.“Boleh aku cium kening kamu?” Kaivan meminta ijin padahal Zhafira inginnya Kaivan langsung saja menciumnya.Kalau ditanya seperti ini, Zhafira jadi malu.Zhafira mengangguk tapi wajahnya menunduk dengan kerjapan mata cepat.Sisi wajah Zhafira dibingkai oleh telapak tangan besar Kaivan.Perlahan wajah Zhafira mendongak bersamaan dengan kepala Kaivan yang merunduk.Cup.Sebuah kecupan dalam dan lama mendarat di kening Zhafira hingga ia memejamkan mata.Jantung Zhafira mulai menaikan tempo debaran begitu juga dengan Kaivan, bahkan Kaivan ingin melakukan lebih, mengecup pipi dan bibir Zhafira misalnya.Tapi Kaivan memutuskan untuk menjauhkan wajahnya, lamarannya saja pasti sudah membuat Zhafira syok apalagi ajakan menikah dengan waktu dekat dan sekarang harus diperparah dengan sentuhan yang lebih intim—Kaivan tidak berani, khawatir justru Zhafira akan takut dan menjauh.“Aku pulang ya, Fir.” Kaivan pamit lagi.Zhafira pun mengangguk lagi sambil tersenyum dan masih tersenyum meski punggung tegap Kaivan sudah menjauh kemudian hilang di balik dinding pembatas.Zhafira buru-buru masuk ke dalam kossannya, menutup pintu dan bersandar di sana.Telapak tangannya ia simpan di dada, Zhafira baru dalam hal ini.Kekasihnya di masa lalu hanya sebatas memegang tangan dan merangkulnya saja bahkan Zhafira belum pernah merasakan bagaimana rasanya ciuman pertama.Bersama Kaivan, Zhafira memiliki pengalaman baru.Setelah menikah nanti, pacaran mereka akan halal dan lebih bermakna.Tidak sabar rasanya Zhafira ingin segera menikah dengan Kaivan, eh.***“Hallo, Pa ... apa kabar?” sapa Zhafira melalui sambungan telepon.“Hai, Fir ... Papa-Bunda dan adik-adik kamu baik, kamu apa kabar?” balas Herry-sang papa menjawab dengan lengkap.“Fira baik, Pa ....”“Syukurlah, Fir ... kamu jaga kesehatan ya, makan teratur jangan sampai sakit,” ujar Herry.“Karena kalau kamu sakit, Papa enggak bisa langsung datang menemui kamu,” sambung Herry di dalam hati.“Iya, Pa ... Papa juga jaga kesehatan ya.” Zhafira menyahut.“Iya, Fir ... ada apa malam-malam telepon? Pasti bukan mau nanya keadaan Papa aja, kan?” tebak Herry yang merasa curiga.“Gini, Pa ... Fira mau nikah.”“Waw ... selamat ya Fir ....” Herry terdengar terkejut.“Apa dia baik, Fir?” sambung Herry bertanya.“Iya, Pa ... Mas Kai baik ... dia serius sama Fira.”“Syukurlah, Fir ... Papa ikut bahagia.”“Makasih, Pa ... sabtu besok, Mas Kai sama kedua orang tuanya mau ketemu Papa ... Mas Kai mau minta restu, Papa.”“Cepat sekali ya, Fir ... apa yang harus Papa siapkan? Papa akan beres-beres rumah dulu kalau gitu.” Herry tampak antusias.“Jangan repot-repot, Pa ... nanti kita ketemuan di resto hotel tempat mereka menginap aja ... Papa, bunda dan adik-adik datang ya.”“Oh gitu, Fir ... calon suami kamu pasti kaya ya, Fir ... kamu malu ya kalau mereka datang ke rumah Papa?”Zhafira tertawa pelan, Papanya mulai playing victim.Padahal alasan Zhafira menyetujui ide Kaivan untuk mengatur pertemuan kedua belah pihak keluarga di restoran adalah agar tidak merepotkan sang ibu tiri yang tidak pernah menyukainya.Zhafira menceritakan kondisi hubungannya dengan sang ibu tiri juga ayah tirinya kepada Kaivan sehingga membuat Kaivan memutuskan untuk tidak pernah merepotkan papa dan mama Zhafira.Kaivan yang akan menangani semua proses sebelum pernikahan.“Bukan gitu, Pa ... tapi sekarang itu sudah biasa lamaran dilakukan di resto-resto ... biar kekinian gitu, Pa.” Zhafira memberikan alasan yang masuk akal.“Oh gitu ... oke deh, nanti Papa datang sama bunda dan adik-adik.”“Makasih ya, Pa ....”“Ya, Fir ....”Dan sambungan telepon pun terputus.Zhafira menghembuskan napas lalu menghubungi Dewi-sang Mama.“Hallo, Fir ...,” jawab sang mama dari ujung panggilan sama.“Mama belum tidur?” Zhafira bertanya basa-basi.“Belum, lagi ngelonin ayah kamu nih!” Dewi berujar vulgar dan Zhafira sudah tau ke mana arah pembicaraan mamanya.“Ma, hari minggu besok ada acara enggak?” Tanpa menanggapi ucapan sang mama—Zhafira langsung melontarkan pertanyaan.“Kenapa memang, kamu mau ke Bandung?” Alih-alih menjawab—Dewi malah balik bertanya.“Iya Ma, Fira mau nikah ... dan kedua orang tua juga calon suami Fira mau ketemu Mama minta restu.”“Waaaw, sejak kapan kamu pacaran? Kok enggak pernah ajak pacar kamu ke Bandung ketemu Mama? Ini beneran ‘kan Fir?”“Iya, Ma ... Mama ada waktu ‘kan hari minggu?”Zhafira dan Kaivan telah mendiskusikan hal ini, setelah dari Surabaya mereka akan langsung ke Bandung agar urusan meminta restu segera selesai karena Kaivan menginginkan pesta pernikahannya berlangsung bulan depan.Kaivan tidak ingin menunda-nunda.“I-iya bisa ... mereka mau datang ke rumah Mama, Fir?” Dewi memastikan.“Enggak Ma, nanti kita ketemuan di restoran ya.”“Oke, nanti Mama sama om Jo datang.”Om Jo yang dimaksud adalah suami mamanya Zhafira, Zhafira menolak memanggil ayah karena selain umurnya lebih muda dari sang mama—gaya berpakaian dan tingkah suami Mamanya itu mirip seperti preman—Zhafira tidak menyukainya.Hal itu lah yang membuat Zhafira memutuskan untuk hidup sendiri.Zhafira buru-buru menerima panggilan bekerja di Bank agar bisa memiliki penghasilan untuk menghidupi diri sendiri sebagai bentuk protes kepada kedua orang tuanya.Zhafira sudah pernah menceritakan masalah tersebut kepada Kaivan dan Kaivan masih tetap tidak berubah pikiran, pria itu mengatakan jika ia akan menikahi Zhafira dan bukan keluarganya jadi Kaivan tidak masalah bagaimana pun keluarga Zhafira.“Oh ya, Fir ... papa kamu udah tau?”“Udah Ma, tanggapan Papa juga baik.”Zhafira selalu dingin setiap kali berbicara dengan mamanya, sebetulnya juga mereka jarang berkomunikasi kecuali penting.“Syukurlah, untuk biaya nikah ... kamu minta papa kamu ya, karena Mama yang biayain kamu kuliah, papa kamu enggak ada kontribusinya sama sekali tapi dia mampu nyekolahin anaknya dari perempuan itu di sekolah terbaik.”Mamanya mulai itung-itungan tapi Zhafira tidak bisa protes karena memang semenjak SMA—mamanya lah yang membiayai seluruh uang sekolah hingga kuliah.Mamanya memiliki bisnis konveksi yang membuat seragam sekolah untuk sekolah-sekolah Swasta para kaum jetset di Bandung.“Iya, Ma ... Fira hanya minta restu aja dari Mama.”“Asal kamu bahagia, Mama akan merestui.”“Oke, makasih Mah ... selamat malam.”Keduanya memutuskan sambungan telepon.Sudah Zhafira duga, kedua orang tuanya memang tidak peduli.Mereka bahkan tidak ingin tau lebih jauh siapa calon suami Zhafira.Dewi tidak sekali pun bertanya siapa nama calon suami Zhafira.Kedua orang tuanya juga tidak bertanya pria yang akan menikahi Zhafira itu anak siapa, pendidikannya apa, kerja di mana dan lain sebagainya.Hatinya Zhafira berdenyut ngilu. “Enggak apa-apa, nanti Fira juga akan punya keluarga seperti mereka,” gumam Zhafira pada dirinya sendiri.Hari jum’at sore Kaivan dan Zhafira bertolak ke Surabaya, mereka menggunakan pesawat komersil dan tiba di Bandara tepat waktu. “Fir, kita langsung ke hotel ya ... ayah sama bunda udah sampe di hotel, nanti kamu mandi dulu trus kita makan malam bareng mereka sekaligus aku kenalin kamu sama mereka.” Kaivan membacakan jadwal acara mereka malam ini dan mendengar ayah bunda disebut membuat Zhafira gugup. “Kalau mereka enggak suka Fira gimana, Mas?” Zhafira bertanya pelan seiring langkahnya terseok menyamakan langkah Kaivan. “Mereka suka sama kamu, kok ... buktinya mereka enggak menolak waktu aku minta waktu mereka datang ke Surabaya untuk meminta restu papa kamu.” Kaivan meraih tangan Zhafira kemudian menggenggamnya erat. “Jangan over thinking lagi ya, sejauh ini jalan kita mulus ... tinggal kita lalui aja,” ujar Kaivan menenangkan. Meski sebenarnya hati Zhafira masih saja gundah, banyak yang Zhafira cema
Narendra dan Aura sudah menikahkan empat anaknya, jadi mereka sudah terbiasa memperlakukan besannya dengan baik. Seperti saat ini, walau semestinya papa dari Zhafira yang menjamu calon menantu dan calon besan tapi malah Narendra dan Aura yang memfasilitasi pertemuan tersebut. Bagi mereka tidak masalah siapa yang harus menjamu, yang terpenting adalah anaknya bisa hidup bahagia dengan gadis yang dicintai. Sebuah resto mewah di hotel tersebut menjadi pilihan Aura bertemu calon besan. Herry-papanya Zhafira datang tepat waktu bersama istri dan kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Narendra dan Aura menyambut kedatangan calon besan dengan sangat ramah dan tangan terbuka. “Saya Narendra dan ini istri saya Aura,” kata Narendra memperkenalkan diri lebih dulu. “Saya Herry dan ini Arum istri saya lalu dua anak saya Zivanya dan Zahra.” Gantian Herry memperkenalkan diri. Keduanya saling berjabat tanga
“Kamu baik-baik aja?” Kaivan bertanya karena ia lihat Zhafira menjadi sangat pendiam semenjak mengantar kedua orang tuanya hingga lobby.Zhafira menganggukan kepala sambil memaksakan senyum.Tapi Kaivan tau jika ada yang sesuatu yang mengganjal di hati dan benak Zhafira.Kaivan membuka pintu kamar suitenya, seperti di Surabaya—ia juga mencari hotel yang memiliki kamar suite atau Familly room yang memiliki dua kamar agar bisa selalu dekat dengan Zhafira meski pada kenyataannya Zhafira lebih suka mengurung diri di kamar.Mereka bermaksud membawa koper sebelum meninggalkan hotel untuk kembali ke Jakarta yang akan dilakukan melalui perjalanan darat karena sang driver beserta mobil dikabarkan sudah standby di parkiran.“Fir,” panggil Kaivan membuat langkah Zhafira yang hendak masuk ke dalam kamar terhenti.Kaivan mendekat menyusul Zhafira dan ketika Zhafira berbalik ia mendapati Kaivan begitu dekat hingga saat mendongak, hembusan napas Kaivan l
Hampir setiap hari Zhafira dijemput Kaivan dari kantor.Seperti malam ini, Kaivan mengatakan hendak membawa Zhafira makan malam tapi bukan disebuah resto melainkan di rumah kakek dan nenek dari pihak bundanya.Monica-sang nenek dan Edward-kakek dari pihak Bundanya meminta Kaivan membawa Zhafira untuk makan malam di rumah mereka.“Ya ampun, ada bidadari Mi ... itu bidadari ‘kan Mi!” Edward berseru saat melihat seorang gadis cantik masuk ke dalam rumahnya digandeng oleh Kaivan.Bibir Monica mencebik disertai delikan tajam membunuh.“Grandpa ... Grandma, kenalin ... ini Fira, calon istri Kai.”Untuk yang kedua kalinya Zhafira merasa kesal karena Kai tidak mengatakan apapun tentang acara makan malam bersama keluarga.Zhafira tidak memiliki waktu mempersiapkan dirinya bertemu mereka.Ingin memprotes pun percuma karena ia dan Kaivan sudah berada di sini.“Ini sih seleraku,” celetuk Edward mengikuti slogan seb
Pagi ini Zhafira tidur dengan nyenyak setelah tadi malam berkumpul dengan para ipar dan kerabat suaminya. Mereka membuat bridal shower untuk Zhafira dan dari sana Zhafira yakin jika keluarga suaminya memang baik dan menerimanya dengan terbuka meski ia bukan dari keluarga Konglomerat seperti mereka. Kaivan juga sudah berjuang sejauh ini, rasanya tidak adil jika Zhafira menyerah hanya khawatir dengan prasangka maupun judge yang mungkin diberikan salah satu keluarga Kaivan. Zhafira menatap dirinya di cermin, pakaian adat berbahan brukat telah membalut tubuhnya dengan sempurna ditambah mahkota ciri khas tanah kelahirannya bertengger di kepala begitu mewah dengan butiran batu kristal. Rangkaian bunga melati tersampir di pundaknya menjadi ciri khas pengantin adat Sunda. Bibir Zhafira tersenyum tipis, puas dengan maha karya MUA dari tim wedding organizer. Kaivan memang tidak main-main ketika mengatakan ingin menikah se
Narendra dan Aura sudah lima kali menikahkan anak mereka dan setiap pernikahan pasti selalu tersimpan cerita. Aura menggenggam tangan suaminya. “Tugas kita selesai, Yah.” Narendra menoleh kemudian sedikit membungkuk untuk mengecup kening sang istri yang di matanya selalu cantik tidak pernah menua. “Iya ... semoga anak-anak kita bahagia seperti yang kita rasakan.” Aura mengangguk mengaminkan kemudian mengembalikan tatapan pada Kaivan dan Zhafira yang tengah berbahagia. “Makasih sayang,” ucap Kaivan setelah menurunkan Zhafira. Rasa syukur tidak berhenti hatinya bisikan untuk sang pencipta karena telah dipertemukan dengan Zhafira. Tuhan mengirim Zhafira untuknya, gadis cantik-sederhana-polos dan lugu yang belum terjamah pria manapun. *** Zhafira sudah berganti pakaian dengan gaun pengantin rancangan desiner ternama dunia. Ia diperkenalkan dengan kakak perempuan dan ad
“Maaf ya Mas.” Zhafira melirih dalam pelukan suaminya ketika mereka berada di dalam lift. “Maaf untuk apa?” Kaivan bertanya. Wajah pria itu menunduk agar bisa menatap wajah sang istri yang kini terbenam di dadanya. “Mama sama papa ...,” kata Zhafira mirip sebuah bisikan yang terdengar pilu. “Enggak apa-apa, mereka enggak berbuat aneh kok ... seperti membakar ballroom atau bergulat di pelaminan.” Zhafira tertawa mendengar kelakar Kaivan, pria itu memang pandai mengubah mood-nya. Akhirnya mereka tiba di depan kamar pengantin, sesaat Zhafira tercenung menatap pintunya.Baru tersadar ada kewajiban yang harus dipenuhi setelah resmi menyandang status istri Kaivan. “Fir, kalau kamu belum siap malam ini ... enggak apa-apa, aku enggak akan maksa ... kita punya waktu seumur hidup untuk malam pertama,” ujar Kaivan yang mengerti dengan kekhawatiran yang tercetak di wajah cantik istrinya. Ia tau
Zhafira melenguh pelan di sela ciuman membuat Kaivan semakin rakus memagut bibirnya, membelit lidah Zhafira hingga Zhafira kewalahan tapi berusaha belajar dan mengimbangi kemampuan Kaivan. Tangan Kaivan kembali merayap di naik ke perut Zhafira, memberikan sentuhan lembut seringan bulai kemudian meremat pelan bagian lekukan di pinggang Zhafira. Kaivan melanjutkan sentuhannya sampai menemukan bagian menyebul di balik kain berenda. “Aaah ....” Zhafira mendesah dalam pagutan ketika Kaivan memberikan rematan lembut di dada. Tidak ada penolakan dari Zhafira yang memang sedang dilingkupi sebuah perasaan asing yang menyenangkan. Zhafira terdiam ketika telapak tangan Kaivan mulai menyusuri punggungnya. Ia hanya bisa berpegangan dengan melingkarkan tangan di sekeliling pundak Kaivan. Kaivan mulai merasakan Zhafira bisa menanggapi ciumannya dengan baik, sang istri ternyata belajar dengan cepat. Seti
“Arumi Kamaniya Gunadhya.” Suara sang Papa yang pelan namun terdengar tegas membuat Arumi-bocah berumur lima tahun itu menegang. Arumi sedang bermain di halaman belakang, ia masuk ke dalam rumah untuk mengambil air minum karena udara hari ini sangat panas. Tapi malah bertemu papanya yang baru saja pulang kerja. Dan kenapa sang Papa tampannya memanggil namanya dengan tegas, sudah dipastikan karena telah melihat hasil ujian semester ini. Arumi membalikkan badan, matanya menatap takut-takut sang papa lantas mengumpulkan keberaniannya untuk memberikan senyum sejuta pesona. “Enggak mempan, sayang.” Meski keluar kata ‘sayang’ tapi ekspresi wajah Kaivan terlihat datar. “Duduk sini samping Papa.” Kaivan menepuk Spaces kosong di sofa yang ia duduki. Arumi duduk di samping papanya dengan gerakan lemah gemulai bak seorang princess. Bahkan sempat merapihkan rok belakangnya agar tidak kusu
“Kamu pucat, Yang … tadi enggak sarapan sih,” tegur Kaivan, tangannya terulur mengusap keringat di pelipis Zhafira setelah mengangkat helm proyek di kepala istrinya. Mereka sedang berada di salah satu proyek untuk keperluan pengecekan dan koordinasi karena perhari ini pengerjaan resmi di mulai. Zhafira memaksakan sebuah senyum untuk menunjukkan ia baik-baik saja. “Tadi Fira belum lapar, tapi Fira bawa bekal kok Mas di mobil.” Zhafira berdusta, padahal tadi ia muntah-muntah di kamar mandi sehingga terlambat ikut sarapan di meja makan. Dan sebenarnya bukan tidak lapar tapi Zhafira merasakan mual dan begah pada perutnya. Ia sadar selama beberapa hari terakhir terlambat makan sehingga bisa dipastikan asam lambungnya pasti kambuh. Zhafira tidak ingin Kaivan mengetahui hal tersebut. “Ga, bawain bekal di mobil untuk ibu …,” titah Kaivan pada sekertaris Zhafira. “Baik Pak,” sahut pria
Suasana kantor Kaivan tampak kondusif di jam setelah makan siang. Anggukan seorang satpam yang ada di loby depan menyambut kedatangannya setelah bertemu klien sejak pagi tadi. “Istri saya masih di atas?” Kaivan bertanya pada salah seorang sekuriti yang berada di dalam gedung. “Masih, Pak ... ibu dia atas sama Rey.” Pria itu menjawab sambil setengah berlari lebih dulu untuk menekan tombol lift. Kaivan mengangguk samar kepada security sebelum masuk ke dalam lift diikuti sekretaris cantiknya bernama Irma. “Nanti malam ada acara sosial bersama pak Wali Kota, Pak.” Irma memberitau sambil membaca iPad di tangannya. “Belikan satu gaun untuk istri saya, saya lupa kasih tahu kalau hari ini ada pesta.” “Baik, Pak!” Ting … Detik berikutnya setelah lift berdenting, Kaivan dan Irma keluar dari lift. Seorang pria muda tampan dan bertubuh atletis seperti K
Setelah resign, Zhafira tidak memiliki kegiatan selain menggambar sketsa. Setiap hari ia menghabiskan waktunya di perpustakaan menggambar banyak bangunan menunggu Kaivan pulang kerja yang saat itu sedang asyik dengan kedekatan bersama Imelda sehingga pulang selalu larut malam. Ternyata apa yang ia kerjakan itu tidak sia-sia. Zhafira mengirim semua karyanya pada Architecture Design Competition yang diadakan oleh Ikatan Arsitek Indonesia dan juga Lomba design gedung dan jembatan yang diadakan pemerintah. Dan hasil Karya Zhafira selalu menjadi pemenangnya. Seperti malam ini, Zhafira diundang oleh Gubernur Jawa Barat untuk menerima penghargaan dan hadiah atas kemenangannya dalam mendesain ulang bangunan yang tidak berfungsi dengan baik atau bahkan terbengkalai di Kota Bandung menjadi bangunan dengan fungsi baru yang nyaman, aman, berkelanjutan, dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar dan kota itu sendiri.
Suara tangis Rey yang membahana membuat Kaivan dan Zhafira terjaga dari tidur yang lelap di dini hari. Kaivan menegakan tubuhnya lebih dulu, menurunkan kedua kakinya lalu beranjak menghampiri box bayi Rey. “Tunggu aja di sana, Yang … aku bawa Rey ke sana.” Zhafira menaikkan kakinya kembali, menumpuk bantal untuk membuatnya nyaman bersandar ketika menyusui. Sementara itu Kaivan mengecek popok Rey. “Alexa, play You Are My Sunshine,” perintah Kai pada smart speaker yang berada di atas nakas. Lagu You Are My Sunshine mengalun dengan volume rendah dan tangis Rey perlahan berhenti. Kaivan jadi bisa dengan mudah mengganti popok Rey yang sudah penuh. Zhafira memperhatikan Kaivan dari atas ranjang, suaminya begitu mahir mengganti popok dengan lebih dulu membersihkan bagian bawah tubuh Rey. Tidak sia-sia Kaivan resign, karena selain memiliki banyak waktu untuk bersama Zhafira—ia juga me
Bayi laki-laki gempal yang diberi nama Reynand Arkananta Gunadhya itu hanya selisih satu bulan lahir ke dunia dengan anak keempat pasangan Arkana dan Zara. Bahkan Zara sudah bisa menghadiri peresmian resort kemarin. Zhafira jadi semangat untuk cepat pulih karena ada rumah baru mereka yang menanti di Bandung. “Eeeh, sudah cantik cucu Nenek.” Nenek Shareena memuji Zhafira yang sudah mandi dan cantik sepagi ini. Nenek Shareena bersama grandma Monica masuk ke ruangan rawat Zhafira. “Nenek … Grandma.” Zhafira balas menyapa dengan senyumnya yang khas. Zhafira duduk bersandar di ranjang yang bagian kepalanya dibuat tegak. Wajah Zhafira berseri-seri, segar dan cantik. “Kemarin Grandma pulang duluan anterin nenek kamu ini yang masuk angin … pakai acara kerokan lah kita sampe rumah.” Grandma Monica misuh-misuh karena gara-gara itu ia tidak bisa langsung bertemu cicitnya. “Terus sekarang
Zhafira memejamkan matanya tatkala rasa mulas dan nyeri di bagian pinggang menghantam begitu dahsyat. Genggaman tangan Zhafira di tangan Kaivan yang duduk di samping sambil mengusap perutnya pun mengerat kuat. Keduanya sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Kebetulan heli milik kakek Kallandra yang beberapa bulan terakhir ini terparkir di halaman belakang Villa merupakan heli jenis KA 62 yang mampu menampung hingga sepuluh orang sehingga grandpa Edward, grandma Monica juga nenek Shareena bisa ikut menemani Zhafira yang akan melakukan persalinan.Sementara kakek Kallandra dan keluarga yang lain akan menyusul setelah acara peresmian resort selesai. Di antara rasa sakit yang sedang Zhafira alami selama ini, terselip lega dan puas karena dengan mengepalai proyek pembangunan resort tersebut—ia bisa membuktikan siapa dirinya kepada dunia. Zhafira bukan hanya Zhafira yang berasal dari keluarga broken home dan manta
Zhafira merasakan tubuhnya tidak nyaman, perutnya mulas tapi setiap kali duduk di atas closet—mulas itu lenyap entah ke mana. Sayangnya Zhafira tidak memiliki waktu untuk mengkhawatirkannya karena besok adalah peresmian resort dan hari ini segala sesuatunya harus sudah siap seratus persen. Jam sembilan malam Zhafira masih sibuk menata venue padahal sudah ada Event Organizer tapi Zhafira tidak percaya begitu saja dan tetap mengecek setiap detailnya satu persatu. Kakinya yang bengkak terasa kebas, belum lagi rasa mulas semakin sering mendera meski hilang timbul. “Yang, kita pulang sekarang … udah malem.” Nada suara dan sorot mata yang tegas milik Kaivan tidak bisa Zhafira tawar lagi, ia harus menurut. Selama ini Kaivan selalu mengalah, berusaha mengerti keinginannya jadi tidak semestinya Zhafira membantah apalagi ini demi kebaikan dirinya dan si janin. “Iya Mas, Fira pamit sama EO-nya dulu.”
Beberapa hari terakhir Kaivan selalu terbangun tengah malam terusik oleh pergerakan Zhafira yang gelisah dalam tidurnya. Perut Zhafira sudah sangat besar, dokter mengatakan jika sebentar lagi akan melahirkan tapi Zhafira masih bertahan tinggal di Puncak hingga peresmian resort. Begitulah permintaan Zhafira pada Kaivan yang tidak bisa Kaivan tolak. “Yang,” panggil Kaivan menegakan sedikit tubuhnya mengecek keadaan sang istri. “Begah, Mas … Fira juga engap banget, keluh Zhafira dengan mata berkaca-kaca. Semenjak hamil Zhafira memang mudah mengeluarkan air mata membuat Kaivan kalang kabut berusaha agar air mata Zhafira berhenti mengalir. “Coba bobonya sambil duduk, nanti aku benerin posisi tidur kamu kalau kamu udah terlelap.” Kaivan mencoba mencari solusi dengan terlebih dahulu ia menegakan tubuhnya bersandar pada headboard agar Zhafira bisa bersandar di dadanya. Zhafira menurut, dengan ban