Hari itu ... hari yang sesungguhnya sangat tidak dinantikan oleh Putra. Rasanya ia ingin selalu rebah di bangsal rumah sakit, menikmati sepoi angin pagi yang berembus menggoyangkan gorden jendela, memperhatikan wajah-wajah merenung di taman rumah sakit dari kacanya, mengintip ekspresi malam yang tergambar begitu pedih, dan tenggelam dalam suasana sepi yang sesungguhnya teramat menyiksa. Kondisi fisik Putra dikabarkan telah pulih, hanya saja ia tidak bisa berjalan sebagaimana dahulu kala. Kini, kursi roda akan menjadi langkah kakinya. Pulang menjadi momok mengerikan. Kunjungan tetangga yang menanyakan kabar kesehatan, menuntut diurainya tragedi kecelakaan, membuatnya muak. Akan tetapi, Putra dan Bu Ika tinggal di pedesaan. Mereka harus mengikuti aturan adat yang tertanam di dada lekat penghuninya. Putra mendadak menjadi pemurung, meskipun berkali-kali diberi sapaan oleh warga, ia kerap menekuk wajah, memasang ekspresi datar tanpa peduli dengan senyum ramah tamah mereka. Bos Bagong, not
"Anda tidak berhak mengatur penampilan pelayan di tempat ini!" seloroh Bawon menahan emosi. Shofi sibuk mengelap pakaiannya. Lonjakan kaki para penikmat malam tetiba berhenti. Mata-mata mulai memusatkan pandang kepada Shofi. Meraka merasa heran dengan penampilan Shofi. "Hei, jangan tampil sok alim! Berpenampilan suci di tempat keruh justru lebih menakutkan!" Orang lain tertawa. "Saya juga tidak ingin berada di tem..." "Sudah, kembali ke tempat masing-masing. Pelayan ini adalah tanggung jawabku, bukan urusan kalian!" bela Bawon dengan nada agak tinggi tetapi kalimat yang jauh lebih sopan ketimbang ketika berbicara dengan Shofi. "Pelayan barumu itu membuatku risih! Orang berjilbab tidak pantas berada di lokasi dugem begini!" Faktanya bukan hanya Shofi, meski menjadi kaum minoritas, tetapi dia tidak seorang diri di sana. Ada beberapa kaum hawa yang memakai jilbab dan duduk di kursi kayu, menikmati alunan musik, memesan minuman yang tidak mengandung alkohol, ikut berpesta walau eng
Asmaul Khusna. Pesantren yang mengajarkan ilmu agama Islam itu diramaikan dengan alunan suci ayat-ayat Al-Qur'an. Suara para santri menggema ke penjuru dindimg masjid, kemudian keluar melalui celah ventilasi udara. Suara-suara itu menjadi sayap yang terbang menuju langit timur, memeriahkan senja yang keemasan dengan kemegahan warna oranye di antara matahari tenggelam. Kawanan burung pipit pulang usai lelah beranjangsana mencari makan. Hari yang sungguh indah itu disambut dengan kabar menggemparkan pondok. Kang Zaki sedari tadi hilir-mudik di depan kantor putra, absen dari tadarus sore karena mengkhawatirkan nasib Gus Farhan. Pasalnya orang yang membenci Gus Farhan membeberkan fitnah di media masa. Berita Gus Farhan terciduk sedang berkunjung ke diskotik beredar di mana-mana. "Gus ... memangnya benar panjenengan pergi ke diskotik?" Kang Zaki berpura bodoh, padahal dia tahu sendiri jawabannya. Gus Farhan memang pergi ke diskotik bukan hanya satu atau dua kali saja. Ia mengintai Anggi,
Hal buruk sulit sekali tenggelam, ia mudah berkarak di benak anak manusia, dan enggan hengkang meski sudah berkali-kali diabaikan. Setelah kejadian malam lampau, pipi Gus Farhan terasa perih. Ada bekas merah yang membuat pemandangan wajahnya berkurang segar. Lebih-lebih hari selanjutnya ia terlihat murung. Gus Farhan merenung di pelataran masjid, memandang langit yang dipenuhi awan-awan putih. Ia sedang bergulat dengan isi hati, menanyakan tindakannya tersebut benar atau salah. Haruskah ia menuruti saran Kang Zaki untuk menyudahi urusan keluarga Shofi? Keningnya mendadak berkerut, ada yang janggal dari pelayanan polisi. Sampai detik itu juga tidak seorang pun polisi mengabarkan keberadaan Shofi. Seolah-olah Shofi telah lama ditelan bumi, tak kunjung menguap ke permukaan lagi. Santriwan-santriwati mendadak memandangnya sinis, ada pun yang bersikap acuh tak acuh. Gus Farhan menjadi pusat perhatian dengan topik obrolan miring. Ia dianggap sinting karena telah tega melukai kepercayaan A
Agam dengan segenap kegelisahan terpendam, ia mulai bekerja dan terus menggeluti kesibukan dengan banyak berharap Shofi segera ditemukan. Kehilangan Shofi membuat atmosfer rumah terasa senyap, tidak ada lagi senyum Bunda, bahkan aroma masakan yng biasa menggoda pencernaan setiap pagi ikut pergi. Bunda jatuh sakit, sering mendekam di kamar, enggan bersosialisasi dengan para tetangga, bahkan mulai mengabaikan makam. Agam khawatir kondisi Bunda semakin memburuk. Wajahnya kian hari bertambah pucat, bibir kering menandakan dehidrasi, dan yang pasti tidak memiliki semangat menyambut hari. Agam mengurua Bunda, mencari nafkah untuk makan, juga beberes rumah. Semua beban ia pikul, karena Shofi tidak kunjung memberi kabar. Polisi yang diharapkan bisa menemukan Shofi, bahkan tidak tahu kemana rimbanya. Para polisi seolah tidak melakukan peegerakan sedikit pun. "Bunda ... bagaimana dirimu akan menyambut Shofi jika menjadi lemah seperti ini?" tanya Agam sambil menggenggam tangan Bunda kuat-kuat.
Gus Farhan benar mengikuti naluri hati. Ia menutup pintu rumah, menemui harapan baru yang entah untuk apa melakukan hal tersebut. Langkah tertuntun tanpa ragu, menaiki sepeda motor usai membungkus rapat tubuh dengan jaket dan merekatkan reslitingnya. Ia menembus malam, meninggalkan dengkur di pondok Asmaul Khusna. Kang Zaki sempat memanggil namanya dari depan kantor, tetapi telinganya acuh, mengabaikan suara yang sedang memandang dirinya dengan iba. Kang Zaki hanya mampu mengembuskan napas pasrah, berharap tidak ada hal buruk yang terjadi pada dunia Gus Farhan. Ia mengunjungi diskotik, bukan satu atau dua saja, nyaris seluruh diskotik dan club malam yang melayani kemeriahan gemerlap dunia ia datangi, memeriksa pelayan bar, memandang setiap waiter maupun waitress yang bekerja demi mencari seorang putri berharga. Entah dari mana ia menghargai keberadaan Shofi, tetapi untuk yang terakhir kalinya, bening Bunda begitu mahal, ia tidak tahan melihat setiap bulir yang berjatuhan. Lagi-lagi
"Siapa namamu, Mbak?" tanya Shofi. Marti dan Shofi sedang istirahat di ruang belakang. Pertolongan dari Marti kemarin, membuat jarak mereka tidak bersekat meski dipekerjakan pada bagian yang berbeda. Ruang itu dipenuhi oleh perempuan -perempuan penikmat malam. Mereka sedang bersolek menghadap cermin masing-masing. Sementara Marti dan Shofi hanya duduk pada sofa panjang di belakang tubuh mereka. Cahaya ruang begitu terang sehingga mampu dirasakan menusuk sel kulit Shofi. Nyala AC membuat tempat itu terbilang nyaman juga damai. Tidak ada hentakan kaki di atas lantai, tidak ada aroma alkohol, juga jauh dari tatapan liar kaum adam yang membuat Shofi risih. "Nama sialnya Melati, nama penuh doanya Marti." "Ha?" Shofi tidak mengerti, ia menatap wajah Marti dengan penuh tanda tanya."Jangan berpura bodoh, kamu tahu kalau wanita seperti kita telah dibeli oleh Bos Bagong, dijadikan lahan bercocok tanam supaya dapat dipanen!" ungkap Marti dengan ketus, ia mengeluarkan bedak merek pasaran dar
Abah Aziz sedari tadi mondar-mandir di depan gerbang asrama putra. Tidak seperti biasanya ia dirundung gelisah, khawatir jikalau ada masalah baru yang menimpa Gus Farhan. Bayangkan saja, seorang lulusan kampus Islam tertua itu justru menghabiskan malam bersama miras, bukan lantunan ayat suci atau lingkaran pengajian. Abah Aziz dipenuhi dengan amarah. Ia ingin segera bertemu dengan Gus Farhan, menuntut perihal perbuatan yang dianggap tidak senonoh itu. "Ada apa dengan Kyai?" bisik santri yang melongok dari jendela kamar. Semalam itu mengapa Abah Aziz masih di area pesantren putra. "Entahlah, tetapi pasti ada hal mendesak yang sangat penting!" balas teman di sisinya. "Jarang-jarang beliau bersikap demikian, mungkinkah Gus Farhan membuat ulah lagi?""Hush, sembrono kamu, kalau bicara disaring dulu, jangan menimbulkan gosip!" tukas santri pertama sambil memandang pergerakan Abah Aziz. Di luar sana, dingin menusuk sum-sum tulang. Udara yang terhirup seolah akan membekukan aliran darah.