Zulfa Zahra El-Faza
Setelah perdebatan panjang, di sinilah kami sekarang. Terbuai dalam dingin dan sejuknya angin malam yang bertiup kencang.Untuk pertama kalinya Gus Fatih mengomel padaku karena keinginanku.Ah, ralat! Keinginan anak kami. Tetapi dia tidak memiliki pilihan lain selain menuruti.Setelah mood swing yang kualami, aku meminta Gus Fatih mengajakku keluar jalan-jalan. Benar-benar tiba-tiba dan aku tahu ini keinginan anaknya.Pada Gus Fatih masalahnya bukan pada jalan-jalan itu sendiri, tapi pada keinginan jalan-jalanku yang memintanya memboncengku menaiki motor.“Ini malam, Cah Ayu. Tadi baru saja hujan dan udaranya benar-benar dingin sekarang. Kamu beneran mau jalan-jalan naik motor?” Begitu katanya kemudian menceramahiku panjang lebar yang intinya memintaku tetap di ndalem saja atau pergi menaiki mobil jika memang masih mau jalan-jalan bersamanya. “Kalau kamu masuk angin bagaimana, hm? Angin malam tidak baik untukZulfa Zahra El-FazaAku ingin menangis.Pertanyaan yang sedari tadi telah kusiapkan seperti tersangkut di tenggorokan. Tidak mau lancar keluar.Huh ... aku menghela napas pelan yang tetap menyisakan gumpalan sesak yang tiba-tiba memenuhi dadaku. Bagaimanapun juga, aku harus menanyakannya. Aku jelas tidak bisa menahannya terlalu lama.Kupandang wajah Gus Fatih lekat-lekat. “Mas ...,” kemudian kataku, merasakan suaraku yang sedikit bergetar.Gus Fatih masih diam menatapku.Aku menggigit bibir. Segala macam rasa mendadak bercampur kemudian berkecamuk. “Apakah ... Mas hanya sayang ke aku?”Aku melihat dahi Gus Fatih yang sedikit tertekuk. Diam menunggu reaksinya aku menahan napas dalam-dalam.“Iya, kenapa bertanya?”Aku sudah menduga inilah jawabannya. Kenapa dia tidak pernah mengatakan cinta padaku? Kenapa hanya sayang? Pikiranku mendadak jatuh pada sosok Sabrina. Sel-sel di kepalaku bahkan dengan kompak m
Dewi Fatma ParamithaSiapa yang akan tega melihat kondisi Neng Zulfa? Dibohongi oleh suami sendiri dan saat dalam keadaan hamil seperti ini akhirnya mengetahui kebohongan itu. Aku tidak tahu apakah aku akan sanggup seandainya ada dalam posisi itu.Gus Fatih. Orang yang kuhormati karena dia gusku, putra bu nyai dan kiaiku ternyata lebih tak terduga dari yang kuketahui sebelumnya. Kupikir, sepertinya siapa pun memang tidak akan ada yang bisa mengerti jalan pikirannya.Gus Fatih menduakan Neng Zulfa dan membohongi semua keluarganya. Sebuah kenyataan menyakitkan. Kenyataan yang membuat Neng Zulfa-ku seperti sekarang dan membuat bu nyai pingsan tadi pagi juga membuat marah besarnya kiai.Pagi-pagi sekali perempuan itu datang. Membuat rona kebahagian di pipi sahabatku memudar dan menyapulenyapkan senyum di bibirnya. Menghadirkan nelangsa dan air mata.Gus Fatih memiliki perempuan lain selain Neng Zulfa. Namanya Sabrina.Setelah kegiata
Beberapa waktu sebelumnyaShofiya Nada Hannan.Perempuan berwajah pualam itu tersenyum sumir melihat kepergian sebuah taksi berwarna putih yang dipesankannya untuk seseorang beberapa menit yang lalu. Sebelum jemaah salat Subuh di lingkungan pesantren keluarga suaminya digelar dan sebelum siapa pun tersadar atas apa yang ia lakukan, termasuk Aji, sang suami. Laki-laki yang dipercayai Fatih untuk menjaga rahasianya demi keberlangsungan rumah tangganya dengan Zulfa.Menurut Shofiya tindakannya sudah benar.Perempuan itu menghela napas kasar sebelum masuk kembali ke dalam ruangan. Dinginnya udara terus melingkupinya dan Shofiya merasa sedikit menggigil karenanya.Maafkan aku, Neng Zulfa. Tapi aku melakukannya untuk kebaikan semuanya, kata hati Shofiya sebelum pintu berbahan kayu jati ndalem suaminya menelan seluruh wujudnya.***Pagi. Kegiatan di ndalem pesantren Nurul Anwar Jombang, Zulfa baru berhasil menyentuh sarapannya
Rasanya begitu sesak. Sangat-sangat sesak. Tidak peduli seberapa erat Dewi memeluk Zulfa dan mencoba menenangkannya, perempuan itu tetap merasakan rasa sakit yang luar biasa di dalam dada. Kali ini hati Zulfa benar-benar remuk seremuk-remuknya.Dalam hidup Fatih, Zufa ternyata hanyalah orang yang kedua. Cinta pertamanya yang pertama dan kini yang tersisa hanya keraguan di hati Zulfa atas ungkapan cinta yang ditunjukan Fatih padanya dua hari yang lalu. Fatih sudah sejak awal berbohong pada Zulfa! Jadi tidak menutup kemungkinan, kata-kata cinta yang dibisikkan suaminya itu di telinga Zulfa pada pagi hari setelah pergumulan mereka malam itu hanyalah kebohongan semata.Ya, pagi itu setelah keduanya kembali berhubungan badan, Fatih mendekap Zulfa erat dalam pelukannya. Menciumi puncak kepala istrinya itu dengan begitu lembut kemudian membisiki telinga Zulfa dengan kata-kata cinta; “Aku cinta kamu, Zulfa. Sangat cinta.”Untuk pertama kalinya dan terdengar begitu
“Aaaaa!”Suara teriakan Dewi membahana ke seluruh penjuru ndalem. Sangat keras. Membuat Nyai Fatimah yang masih duduk dikelilingi Mbok Aminah dan para abdi ndalem terlonjak di kamarnya, begitu juga siapa pun yang ada di ruang tamu ndalem, baik Kiai Adnan, Fatih, bahkan Sabrina, perempuan berwajah jelita yang mengaku dinikahi Fatih jauh sebelum Zulfa. Perempuan yang kali ini menjadi akar dari segalanya.Sadar jika suara teriakan keras itu berasal dari kamarnya dengan Zulfa, Fatih langsung menatap wajah abahnya yang juga tak kalah terkejut, bangkit dari posisi duduk bersimpuhnya di depan sang abah lantas memacu langkah secepat mungkin menuju kamar.Laki-laki itu diserang cemas. Dalam situasi seperti sekarang hanya ada ketakutan yang bisa membayang di benak Fatih selain perasaan kalut yang pekat. Fatih sangat takut Zulfa pergi meninggalkannya.Sejak dirinya dan Danang tiba di ndalem setelah mendapat telepon aneh dari Kiai Adnan dan mendapati Sabrina
Melakukan pertimbangan yang memakan waktu cukup lama, Fatih akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam kamar rawat Zulfa. Laki-laki itu ingin melihat keadaan istrinya. Danang menyertainya di belakang.Sampai di dalam kamar perawatan, semua mata langsung menatap ke arah laki-laki bersurai hitam itu yang tiba-tiba muncul dari arah pintu. Entah Kiai Adnan, Nyai Fatimah, maupun Dewi, semua orang langsung menatapnya. Fatih sudah tidak menghiraukan sekitarnya dan langsung fokus menatap seseorang yang kini terbaring di atas bed rumah sakit.Laki-laki itu terpaku. Pandangan matanya jatuh dan terkunci pada satu titik di mana tubuh sang istri terkulai lemah.Wajah istrinya itu terlihat pucat pasi, nyaris serupa mayat yang membuat batin Fatih merasa teriris melihatnya. Kerudung instan berwarna hitam yang Zulfa kenakan malah memperjelas raut sakit yang terlukis di wajah putih itu. Kecantikannya seolah meredup bersama dengan cahaya kehidupan yang selama ini Fatih lihat m
Laki-laki itu berjalan seolah membawa badai dalam langkah-langkah panjangnya. Wajah rupawannya mengeras dengan rahang tegas yang tegang dan amarah yang terpancar jelas dari kedua manik mata. Bibirnya sebentuk garis datar tanpa senyuman. Jangan lupakan kedua tangannya yang erat terkepal.“Shofiya! Di mana kamu?”Laki-laki itu adalah Aji, yang baru kembali dari kamar yang seharusnya ditempati oleh Sabrina, setidaknya hingga Fatih—orang yang membawa perempuan itu ke tempatnya dan memercayakan semua urusan kepadanya—sendiri yang membawa Sabrina pergi.Di kamarnya Shofiya langsung termangu. Kedua manik madunya terpejam, sangat sadar dengan apa yang akan dihadapinya beberapa detik lagi.“Shofiya!”Suara teriakan Aji semakin mendekat. Begitu juga langkah kakinya yang menggema berkat pukulan sepatu kulit yang dikenakannya dan lantai mengkilat ndalem utama.Brak!Laki-laki itu akhirnya sampai di kamar mereka.Shofiya yan
“Pergi! Aku tidak ingin melihat Mas Fatih lagi.”Seketika, hati Fatih rusak berkeping-keping mendengarnya. Ia tidak pernah mendengar Zulfa, istrinya berkata sedingin itu sebelumnya.“Cah Ayu.” Fatih mendekatkan diri dan mencoba meraih tangan istrinya itu. Namun, Zulfa langsung mengelak. Menolak melihat wajah Fatih, apalagi disentuhnya. Fatih benar-benar tercengang di tempatnya.“Nduk, alhamdulillah, kamu sudah sadar.”Nyai Fatimah datang.Dari arah pintu, beliau berjalan cepat menghampiri Zulfa. “Alhamdulillah Ya Allah, akhirnya kamu sadar juga.” Tidak henti-hentinya Nyai Fatimah bersyukur kepada Allah karena menantunya sudah siuman.Kiai Adnan yang datang bersama Nyai Fatimah pun ikut menghampiri. Wajahnya juga tak kalah diliputi ekspresi lega yang serupa dengan ekspresi wajah sang istri.“Ibu,” lirih Zulfa kemudian berusaha duduk di ranjang.“Eh! Jangan, Nduk! Jangan banyak bergerak. Kamu tiduran saja.” Nyai F