Melakukan pertimbangan yang memakan waktu cukup lama, Fatih akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam kamar rawat Zulfa. Laki-laki itu ingin melihat keadaan istrinya. Danang menyertainya di belakang.
Sampai di dalam kamar perawatan, semua mata langsung menatap ke arah laki-laki bersurai hitam itu yang tiba-tiba muncul dari arah pintu. Entah Kiai Adnan, Nyai Fatimah, maupun Dewi, semua orang langsung menatapnya. Fatih sudah tidak menghiraukan sekitarnya dan langsung fokus menatap seseorang yang kini terbaring di atas bed rumah sakit.Laki-laki itu terpaku. Pandangan matanya jatuh dan terkunci pada satu titik di mana tubuh sang istri terkulai lemah.Wajah istrinya itu terlihat pucat pasi, nyaris serupa mayat yang membuat batin Fatih merasa teriris melihatnya. Kerudung instan berwarna hitam yang Zulfa kenakan malah memperjelas raut sakit yang terlukis di wajah putih itu. Kecantikannya seolah meredup bersama dengan cahaya kehidupan yang selama ini Fatih lihat mLaki-laki itu berjalan seolah membawa badai dalam langkah-langkah panjangnya. Wajah rupawannya mengeras dengan rahang tegas yang tegang dan amarah yang terpancar jelas dari kedua manik mata. Bibirnya sebentuk garis datar tanpa senyuman. Jangan lupakan kedua tangannya yang erat terkepal.“Shofiya! Di mana kamu?”Laki-laki itu adalah Aji, yang baru kembali dari kamar yang seharusnya ditempati oleh Sabrina, setidaknya hingga Fatih—orang yang membawa perempuan itu ke tempatnya dan memercayakan semua urusan kepadanya—sendiri yang membawa Sabrina pergi.Di kamarnya Shofiya langsung termangu. Kedua manik madunya terpejam, sangat sadar dengan apa yang akan dihadapinya beberapa detik lagi.“Shofiya!”Suara teriakan Aji semakin mendekat. Begitu juga langkah kakinya yang menggema berkat pukulan sepatu kulit yang dikenakannya dan lantai mengkilat ndalem utama.Brak!Laki-laki itu akhirnya sampai di kamar mereka.Shofiya yan
“Pergi! Aku tidak ingin melihat Mas Fatih lagi.”Seketika, hati Fatih rusak berkeping-keping mendengarnya. Ia tidak pernah mendengar Zulfa, istrinya berkata sedingin itu sebelumnya.“Cah Ayu.” Fatih mendekatkan diri dan mencoba meraih tangan istrinya itu. Namun, Zulfa langsung mengelak. Menolak melihat wajah Fatih, apalagi disentuhnya. Fatih benar-benar tercengang di tempatnya.“Nduk, alhamdulillah, kamu sudah sadar.”Nyai Fatimah datang.Dari arah pintu, beliau berjalan cepat menghampiri Zulfa. “Alhamdulillah Ya Allah, akhirnya kamu sadar juga.” Tidak henti-hentinya Nyai Fatimah bersyukur kepada Allah karena menantunya sudah siuman.Kiai Adnan yang datang bersama Nyai Fatimah pun ikut menghampiri. Wajahnya juga tak kalah diliputi ekspresi lega yang serupa dengan ekspresi wajah sang istri.“Ibu,” lirih Zulfa kemudian berusaha duduk di ranjang.“Eh! Jangan, Nduk! Jangan banyak bergerak. Kamu tiduran saja.” Nyai F
“Bah, menantu kita sudah sadar. Bagaimana kalau kita menghubungi Kiai Hisyam dan Nyai Azizah sekarang?” lirih Nyai Fatimah pada sang suami yang duduk di sofa sebelahnya.“Kita sudah membahas ini sebelumnya, Bu. Iya, baiklah, aku akan menghubungi mereka,” balas Kiai Adnan sembari mengangguk.Zulfa yang mendengarnya langsung menyela, “Jangan, Abah! Zulfa mohon, Abah jangan menghubungi keluarga Kediri dulu,” pintanya dengan suaranya yang lemah. “Zulfa tidak ingin Abah dan Umi yang ada di Kediri ikut khawatir juga,” lanjutnya pelan.Kiai Adnan dan Nyai Fatimah langsung terdiam. Ketiganya saat ini masih berada di dalam kamar rawat Zulfa di RSUD Jombang setelah perempuan muda yang masih terbaring di atas ranjang perawatan itu menjalani prosedur USG.Jam di dinding masih menunjukkan pukul delapan pagi. Detik waktunya masih terus bertambah dengan jarum utama yang berputar dengan kecepatannya yang konstan.“Tapi, Nduk,” lirih Nyai Fatimah.
Laki-laki itu adalah Alim Syariffuddin Hisyam. Putra tertua Kiai Hisyam dan Nyai Azizah sebelum Adhim Zein Ad-Din Hisyam dan Zulfa Zahra El-Faza. Kakak pertama dari Zulfa.Bugh! Bugh! Bugh!Pukulan demi pukulan dengan cepat menyusul dan didaratkan Alim di wajah juga tubuh Fatih, tidak peduli dengan laki-laki itu yang baru saja berujar ‘bisa menjelaskan semuanya’ karena Alim memang sudah tidak bisa lagi membendung kemarahannya.Kakak mana yang akan diam saja saat kehidupan juga perasaan adiknya dipermainkan oleh seseorang? Terlebih adik perempuan. Apa yang dilakukan Fatih benar-benar sudah sangat kelewatan di mata Alim.Danang, security, dan santri-santri yang menyaksikan semua itu mencoba melerai, tetapi usaha mereka gagal karena Alim yang bergerak brutal.Kiai Adnan dan Nyai Fatimah yang kaget dan tercengang baru turun dari mobil saat wajah Fatih sudah babak belur, berdarah-darah di pelipis, sudut bibir, dan hidung. Sedangkan Alim hanya
Alim tidak pernah menduga jika semua ini akan terjadi. Kemalangan yang secara bertubi-tubi menimpa kehidupan saudara perempuannya satu-satunya. Zulfa, adik tersayangnya yang cerdas dan jelita, tetapi masih terlalu muda untuk menanggung segala derita rumah tangga—setidaknya menurutnya.Kemarin, Shodiq baru kembali ke Nurul Anwar setelah menemani Adhim melakukan perjalanan selama dua hari untuk mencari seseorang. Seseorang yang menjungkirbalikkan kehidupan Adhim dan hampir menyedot habis kewarasannya selain Zulfa, karena pada akhirnya, Adhim sepertinya berhasil menemukan seseorang yang membuatnya mengerti arti lain dari kata cinta. Ya, dia adalah Nur Walis Pelita.Keadaan Adhim sangat buruk. Sekembalinya Shodiq ke Nurul Anwar kemudian dihadapkan dengan sebuah kenyataan pahit yang menimpa Zulfa saudari sepupunya, Shodiq yang tidak bisa diam saja memutuskan menghubungi Alim setelah memikirkan keputusannya itu baik-baik.Sebenarnya Shodiq ingin mengabari Adhim
Setelah membantu membawa Fatih untuk beristirahat di dalam kamarnya, Danang langsung keluar dari kamar Fatih dan Zulfa lalu mengajak Dewi yang masih ada di ndalem utama untuk mengikutinya guna bicara empat mata. Kedua abdi kepercayaan ndalem itu menyingkir keluar dari ndalem dan berbicara di teras sayap ndalem sebelah kanan.“Kamu yang memberi tahu keluarga ndalem Kediri soal keadaan Neng Zulfa?” tanya Danang sebagai orang yang pertama kali memulai pembicaraan di antara mereka.Dewi yang mendapat pertanyaan seperti itu langsung menggelengkan kepala, “Bukan. Bukan aku, Cak,” jawabnya. Suaranya terdengar sedikit sengau karena habis menangis.“Lalu siapa?” tanya Danang lagi yang kali ini tidak mendapat respons apa-apa dari Dewi.Sembari berkacak pinggang, Danang kemudian berjalan mondar-mandir di depan Dewi. Pikirannya berkecamuk memikirkan bagaimana bisa Alim datang ke Jombang jika tidak ada yang memberi tahu. Selain itu, Danang juga merasa khawatir
Detik demi detik berlalu. Jam terus berputar. Matahari dan bulan beredar bergantian dan hari-hari rontok dari kalender di dinding ruangan. Rasanya masih sama menyedihkannya. Hati Zulfa masih remuk seperti sebelumnya dan hari-hari berjalan seolah tanpa warna. Satu bulan lebih telah berlalu sejak Zulfa meninggalkan Fatih dan kembali ke rumah orang tuanya di Kediri.Perempuan itu disambut tangis dan sedu sedan sang umi, begitu tiba di Kediri dengan kursi rodanya. Ratna menghambur memeluknya dan Kiai Hisyam, abahnya, beliau menatap Zulfa dalam diam penuh kesedihan.Zidan yang langsung diserahkan Ratna kepada seorang khodimah begitu Ratna melihat Zulfa dan Alim tiba melongo menatap Zulfa dengan raut keheranan di wajah lucu khas bayinya, mendapati Aunty Fa-nya tiba-tiba datang dengan lelehan air mata di pipi. Mungkin bocah tampan yang berusia nyaris dua tahun itu berpikir, ternyata bidadari bisa menangis juga.Zulfa tidak mungkin melupakan detail kejadian hari i
Zulfa sudah berkali-kali mendapati pemandangan seperti ini sebelumnya, Fatih yang tiba-tiba muncul di depannya dan berdiri tidak jauh darinya.Namun, alih-alih tersenyum seperti biasa, Fatih yang kali ini menunjukkan ekspresi wajah yang seolah kelelahan.Rambut hitamnya semakin panjang—yang mana lebih panjang dari sebelumnya dan nyaris sepanjang milik Adhim saat terakhir kali Zulfa temui, dengan surai-surai rambut yang terlihat tidak tertata serta kurang rapi. Kedua manik jelaga laki-laki itu menyorot sayu di wajah tampannya yang tampak kuyu.“Cah Ayu.”Zulfa bahkan bisa mendengar dengan jelas suara husky Fatih yang memanggilnya dengan panggilan kesayangannya yang seperti biasa itu.Di tempatnya, Zulfa masih membeku.Mimpi, ilusi, bayangan, atau apa pun sebutannya untuk Fatih yang ini terlihat begitu nyata bagi Zulfa. Seolah-olah, Fatih yang sebenarnya memang benar-benar berdiri di hadapannya.Perempuan itu menghela napa