Detik demi detik berlalu. Jam terus berputar. Matahari dan bulan beredar bergantian dan hari-hari rontok dari kalender di dinding ruangan. Rasanya masih sama menyedihkannya. Hati Zulfa masih remuk seperti sebelumnya dan hari-hari berjalan seolah tanpa warna. Satu bulan lebih telah berlalu sejak Zulfa meninggalkan Fatih dan kembali ke rumah orang tuanya di Kediri.
Perempuan itu disambut tangis dan sedu sedan sang umi, begitu tiba di Kediri dengan kursi rodanya. Ratna menghambur memeluknya dan Kiai Hisyam, abahnya, beliau menatap Zulfa dalam diam penuh kesedihan.Zidan yang langsung diserahkan Ratna kepada seorang khodimah begitu Ratna melihat Zulfa dan Alim tiba melongo menatap Zulfa dengan raut keheranan di wajah lucu khas bayinya, mendapati Aunty Fa-nya tiba-tiba datang dengan lelehan air mata di pipi. Mungkin bocah tampan yang berusia nyaris dua tahun itu berpikir, ternyata bidadari bisa menangis juga.Zulfa tidak mungkin melupakan detail kejadian hari iZulfa sudah berkali-kali mendapati pemandangan seperti ini sebelumnya, Fatih yang tiba-tiba muncul di depannya dan berdiri tidak jauh darinya.Namun, alih-alih tersenyum seperti biasa, Fatih yang kali ini menunjukkan ekspresi wajah yang seolah kelelahan.Rambut hitamnya semakin panjang—yang mana lebih panjang dari sebelumnya dan nyaris sepanjang milik Adhim saat terakhir kali Zulfa temui, dengan surai-surai rambut yang terlihat tidak tertata serta kurang rapi. Kedua manik jelaga laki-laki itu menyorot sayu di wajah tampannya yang tampak kuyu.“Cah Ayu.”Zulfa bahkan bisa mendengar dengan jelas suara husky Fatih yang memanggilnya dengan panggilan kesayangannya yang seperti biasa itu.Di tempatnya, Zulfa masih membeku.Mimpi, ilusi, bayangan, atau apa pun sebutannya untuk Fatih yang ini terlihat begitu nyata bagi Zulfa. Seolah-olah, Fatih yang sebenarnya memang benar-benar berdiri di hadapannya.Perempuan itu menghela napa
Zulfa Zahra El-FazaRasanya tak terdefinisikan, saat Gus Fatih mengatakan jika ia merindukanku dan bayi yang tumbuh dalam kandunganku. Air mataku turun semakin deras setelahnya. Hatiku terasa kebas.Ia kemudian bangkit dari posisi berlututnya yang ada di depanku dan membawaku dalam pelukannya. Aku sudah tidak menolak dan membiarkan tangisku pecah sepecah-pecahnya di dada Gus Fatih.Sungguh, aku sangat merindukannya. Hangat peluknya, bau tubuhnya, dan segala sesuatu yang ada pada Gus Fatih, aku benar-benar merindukan suamiku ini.Bersama isak tangis yang keluar dari mulut dan cairan larikma yang tidak bisa berhenti luruh dari mata, hatiku yang kebas menemukan kembali perasaannya, perasaan sesak yang tak terkira namun kali ini bercampur perasaan lega karena Gus Fatih ternyata tidak melupakanku juga anak kami. Ia masih peduli terhadap kami.Mungkin, aku akan baik-baik saja jika Gus Fatih akhirnya melupakanku karena sejak awal ia tidak benar-
Zulfa Zahra El-FazaSebelum menikah dengan Gus Fatih, Abah memanggilku untuk pergi ke kamar beliau dengan Umi saat kami masih berada di ndalem Kediri. Kami hanya duduk berdua di dalamnya.Abah duduk di sebuah sofa panjang dalam ruangan dan beliau mengizinkanku untuk duduk di sampingnya. Percayalah, hari itu adalah pertama kalinya bagiku melihat kedua netra Abah yang berkaca-kaca menatapku.Abah memelukku, menciumi wajahku kemudian memberikan petuah yang selamanya akan kuingat dalam hidupnya. Kupegang, dan sebisa mungkin kujalankan.Hari itu aku sadar, bagaimana besarnya rasa cinta dan sayang yang dimiliki seorang ayah kepada putrinya. Abah … beliau mengajariku arti cinta yang belum pernah kudapat dari siapa pun selainnya.***Nduk, Zulfa ....Menikah itu bukan tentang sekadar meraih kebahagiaan dalam kebersamaan saja. Tidak. Namun, juga tentang niatnya. Jika niatmu hanya itu, maka tidak akan pernah kamu mendapatkannya, k
Jika Fatih diberi pertanyaan apakah dirinya mencintai Zulfa. Maka, ya, Fatih mencintainya. Fatih sangat mencintai perempuan yang usianya lebih muda empat tahun darinya itu. Zulfa adalah kesayangannya, perempuan yang mengobati luka hatinya karena penolakan Sabrina, istrinya, juga perempuan yang sekarang sedang mengandung anaknya. Zulfa adalah kecintaannya. Mungkin Fatih pernah ragu akan perasaannya dulu. Namun, tidak lagi sekarang. Fatih yakin dan sadar, jika di dunia ini hanya Zulfa yang Fatih inginkan.“Apakah dia selalu seperti ini, Cah Ayu?” gumam Fatih lirih sembari menjauhkan tubuhnya dari Zulfa tanpa melepas pelukan mereka.Zulfa langsung mendongakkan kepala guna melihat wajah Fatih dengan dahi yang sedikit mengernyit. “Dia? Dia siapa Mas?” tanyanya dengan suara yang masih sengau. Belum mengerti, dia siapa yang Fatih maksud di sini.Fatih mengulas senyuman lantas membawa sebelah tangannya ke atas perut Zulfa. “Anak kita,” jawabnya.Zulfa lan
“Kamu yakin dengan keputusan kamu?” tanya Fatih.“Iya, Mas. Zulfa yakin.”Fatih langsung mendesah. “Kenapa?” tanyanya.Zulfa menundukkan kepala.“Mas mohon jangan pergi. Kamu tidak harus melakukan ini, Cah Ayu.”Ada jeda selepas itu.“Zulfa tahu, Mas,” balas Zulfa pada akhirnya. “Tapi Zulfa mohon izinkan Zulfa pergi. Ini permintaan pertama Zulfa pada njenengan. Tolong Mas izinkan.”Fatih menatap perempuan yang ada di hadapannya dengan tatapan nanar. Laki-laki bersurai gelap itu mendesah. Dadanya benar-benar terasa sesak sekarang, seperti dihimpit oleh ribuan batu.Setelah apa yang mereka lewati, kenapa situasi yang tak terduga harus mereka hadapi? Seolah-olah, bahagia alergi berlama-lama menetap untuk mereka.Fatih berlutut di depan Zulfa yang sekarang duduk di atas ranjang kamar mereka, meraih tangan kanannya dan menggenggamnya erat.“Zulfa,” lirihnya menatap wajah cantik istrinya itu. “Kita b
Sekesal-kesalnya Fatih pada Zulfa, laki-laki itu tidak bisa berlama-lama marah kepadanya. Sejak perbincangan terakhir mereka yang membuat Fatih meninggalkan Zulfa sendiri di dalam kamar, Fatih terus menyibukkan diri dengan urusan pesantren. Ia tidak kembali ke ndalem sama sekali karena tidak ingin melihat Zulfa kemudian meluapkan kemarahannya di depan istrinya itu.Fatih memang kecewa dengan keputusan dan permintaan Zulfa, tetapi Fatih tidak bisa menolaknya karena Zulfa yang menginginkannya. Sekali lagi, Fatih benar-benar mencintainya. Fatih tidak ingin Zulfa bersedih dan menangis lagi karenanya. Ya, meski pada kenyatanya ia telah membuat Zulfa menangis lagi tadi. Namun, mau bagaimana lagi, Fatih benar-benar kesal karena Zulfa yang seolah tidak memedulikan kebahagiaannya sendiri dan lebih mementingakan kebahagiaan orang lain.Perempuan itu sangat baik.Fatih terpaksa meninggalkan Zulfa yang menangis sendirian di kamar mereka karena Fatih tidak mau dirinya
Zulfa Zahra El-FazaJika Gus Fatih mengira aku sudah tidur, dia salah. Aku tidak tidur. Mataku memang terpejam, tapi aku tidak benar-benar terlelap sama sepertinya.Sejak tadi aku bisa merasakan Gus Fatih yang berulang kali mencium kepalaku. Menyelipkan hidungnya di antara surai-surai rambutku juga dirinya yang semakin erat memelukku. Beberapa kali aku juga merasakan hidungnya yang bergesekan dengan leherku. Aku bisa merasakan semuanya. Napas hangatnya, juga air matanya.Sama seperti Gus Fatih, aku juga masih terjaga.Saat Gus Fatih dengan hari-hati melingkarkan tangannya di perutku dan kembali menciumi puncak kepalaku, aku semakin bersusah payah menahan isakku. Gus Fatih tidak boleh tahu jika aku masih bangun dan ikut menangis bersamanya.Malam ini adalah malam terakhir kami. Malam perpisahan kami. Tentu saja aku juga merasa sedih.Air mataku tidak bisa kutahan. Untung saja aku dan Gus Fatih tidak saling berhadapan. Setelah maka
Perempuan itu terlihat begitu damai dalam tidurnya. Tidak ada raut kebahagiaan. Namun, juga tidak ada raut kesedihan. Seperti kertas kosong, wajah cantik itu tidak menunjukkan ekspresi apa pun selain damai, tenang, dan kepasrahan.Sabrina dalam bahasa Arab berarti mawar putih. Dalam bahasa Inggris, Sabrina berarti putri legendaris. Namun, Sabrina yang satu ini, ia hanya putri malang yang bukan hanya kehilangan cinta, tetapi kehilangan segalanya dalam hidupnya.***“Mas. Ada satu hal lagi yang Zulfa inginkan.”“Apa?”Zulfa menatap dalam kedua mata jelaga suaminya. “Kalau boleh, Zulfa mau bawa semua seri Supernova yang njenengan punya. Zulfa ingin membacanya selama di Lamongan nanti.”Fatih langsung tertegun menatap istrinya. Laki-laki itu membuka mulutnya hendak bersuara, tetapi tak lama mengatupkan bibirnya kembali. Fatih akhirnya hanya mengerjapkan matanya sekali. “Semuanya?” tanya Fatih.“Nggeh.” Zulfa mengangguk. “Sem
Setelah melaporkan penculikan Pelita ke kantor polisi, Adhim dan Aldo memutuskan mencari tempat penginapan di Karawang. Mereka memutuskan menginap semalam di sebuah hotel yang ada di kota itu sembari memikirkan langkah yang harus mereka lakukan selanjutnya. Mereka memesan satu kamar untuk berdua. Mengingat kondisi Adhim, Aldo tidak tega jika harus membiarkan Adhim tidur sendirian. Jam menunjukkan pukul 23.17 WIB. Aldo pamit keluar untuk mencari makan malam untuk dirinya dan Adhim. Ketika Aldo kembali, laki-laki berambut cepak itu mendapati Adhim yang terisak di atas hamparan sajadah dalam doanya. Aldo paham Adhim pasti sangat terluka dan cemas akan keadaan Pelita. Aldo menunda melangkahkan tungkainya benar-benar masuk ke dalam kamar itu apalagi membuat suara agar tidak mengganggu Adhim. Ia tetap bergeming di pintu sampai Adhim sendiri yang menyadari keberadaannya.
Grup Chat Cowok Soleh 🤟🏻😌 Dibuat oleh Aldoganteng, 05/11/xx AdhimHisyam: Istri gue diculik Arka Jeffreyy_: Hah? Kapan? Gimana bisa bang? Bondan😈: Kobisa bang? Arka kan lagi jadi buron Suta_cowoksunda: Mba Pelitanya udah ketemu? Pcc bang Bondan😈: Dimana diculiknya bang? [@Suta_cowoksunda (Pcc bang)] Otw nyamperin Jeffreyy_: Bang lo yakin mbak Pelita diculik Arka? Udah coba lo hubungi? Aldoganteng: Jangan banyak tanya lu pada. Bantu nyari!!! . Aldo melirik Adhim yang diam tanpa kata di sisinya. Seperti orang melamun dengan ponsel yang masih menyala di pegangan kedua tangannya. Mata cokelat laki-laki berambut gondrong itu tampak menatap kosong layar plasma benda pipih di tangannya itu. . Gru
Kedua kelopak mata itu terbuka pelan, mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang diterima oleh retina matanya, hingga tak lama kemudian, netra berwarna cokelat madu yang ada di baliknya terlihat dengan sempurna. Hatinya membatin; Ini di mana? Apa yang terjadi? Sampai ... Cklek! Suara pintu yang terkuak dari sisi sebelah kanannya menarik penuh atensinya. Kepalanya terasa pusing. Dan sosok yang muncul dari balik pintu yang kini berjalan ke arahnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada itu langsung membuat kedua matanya membola. Tak lama kemudian ia pun sadar, sesuatu telah membatasi pergerakannya. Sosok yang lebih dari cukup untuk dikenalinya itu pun tersenyum menyeringai melihat keterkejutannya. **** Setelah kurang lebih satu jam berkendara dengan kecepatan biasa-biasa saja yang tentu saja
Bunyi nada sambung telepon itu terdengar beberapa kali tanpa sahutan, membuat subjek yang menelepon mengerutkan kening di awal dan segera didera keresahan setelah berkali-kali mengulang tetap tak mendapat balasan. "Pelita, ayo angkat telepon saya," desis Adhim kemudian berusaha menghubungi Pelita lagi. Tiba-tiba perasaannya menjadi sangat tidak enak kali ini. Mata sewarna kopi Adhim melirik jam di dinding kokoh apartemennya dengan tangan yang tetap sibuk menempelkan segenggam ponsel di telinga. Pukul 16.47 WIB, seharusnya waktu yang lebih dari cukup bagi Pelita untuk mengabarinya jika istrinya itu sudah akan atau bahkan sampai Kota Bandung. Tetapi kenapa belum? Dan mengapa pula Pelita tidak kunjung mengangkat teleponnya? Adhim mengacak-acak surai hitamnya pada percobaan ke sekian kalinya, Pelita tetap tidak menjawab panggilannya.
"Bang." Aldo yang baru kembali dari menuntaskan hajatnya di kamar mandi memanggil Adhim. Kini mereka ada di sebuah rest area Kota Bogor, habis beristirahat untuk menunaikan salat Zuhur dan mencari makan siang. Pekerjaan keduanya di Bogor sudah selesai. Lebih cepat dari yang Adhim dan Aldo perkirakan sebelumnya. Perkiraan semula, mereka akan menyelesaikan urusan bisnisnya di Bogor malam nanti, kemudian baru akan kembali ke Bandung keesokan pagi setelah mengistirahatkan diri. Namun ternyata tidak. Pekerjaannya selesai lebih cepat di luar prediksi. "Kita jadi balik Bandung habis ini, Bang?" tanya Aldo santai sembari mendudukkan dirinya kembali di sebuah bangku kayu yang ada di depan Adhim. "Hm," balas Adhim dengan gumaman. Manik cokelatnya mengawasi Aldo yang meraih gelas esnya dan meyesap minuman dingin itu tanpa sisa.
"Bang, lo harus lihat ini!" seruan Aldo itu berhasil membuat Adhim menoleh dengan dahi mengernyit begitu menatap apa yang ditunjukkan oleh temannya itu. "Apa ini, Do?" balas Adhim dengan tanya. Ia benar-benar tidak paham apa maksud titik-titik serupa koordinat yang ditampilkan Aldo di layar ponselnya. "Lo lihat titik ini? Ini lokasi kita, Bang, Bogor," terang Aldo. Sebelah alis Adhim terangkat menatap manik mata Aldo. "Iya. Terus?" tanyanya. "Lo lihat titik koordinat yang ada di Jakarta?" Kepala Adhim menggeleng ringan tidak paham apa yang hendak dikatakan temannya. "Ini titik koordinat yang ngasih tunjuk lokasi keberadaan Pelita, Bang." Kedua netra Adhim membola mencoba mencerna apa yang baru saja disampaikan Aldo kepadanya. "Maksud lo apa?" tanya Adhim. "Pelita? Di Jakarta?" "Jadi, lo tahu, Bang?" balas Aldo dengan tanya. "Dan emang bener, kalau Pelita ada di Jakarta?" Ia melempari tanya kepada Adhim lagi. Kepala Adhim menggeleng. "Nggak mungkin, Do.
Baru saja pesan itu terkirim, layar ponselnya langsung menampilkan notifikasi panggilan telepon dari Adhim. Pelita pun segera mengangkatnya. "Assalamualaikum, Pelita. Kamu sedang apa? Nggak tahu kenapa saya khawatir sama kamu." Pelita merasa bersalah mendengar nada cemas yang begitu kentara dalam suara Adhim itu. "Halo, Pelita. Ada apa? Kenapa saya tidak bisa menelepon kamu dari bakda Magrib tadi? Pelita? Halo?" Pelita menggigit bibir bawahnya. "H-halo, Kak Adhim. Waalaikumussamalam," jawabnya pada akhirnya setelah beberapa lama membisu dalam jeda waktu. "Maaf, Kak. Saya baru tahu Kakak nelepon." Ganti Adhim yang tidak langsung menjawab. "Pelita. Suara kamu ... kenapa?" sahut Adhim kemudian dengan nada penuh selidik. Kali ini Pelita merasakan tremor di tangannya menyadari suaranya yang pasti terdengar sengau setelah hampir seharian menangis di telinga Adhim. "Pelita?" Suara berat Adhim yang terdengar cemas mengalun lagi. "Halo, Pelita?" Pelita kali ini mencoba mengatu
Pelita menatap sendu tubuh papanya yang terbaring di atas bed rumah sakit dari kaca transparan berbentuk persegi panjang yang dipasang di permukaan pintu kamar rawat papanya itu, sejak beberapa menit yang lalu. Masih tidak menyangka, papanya yang bugar dan sehat ketika terakhir kali ditemuinya kini berbaring tak berdaya dengan tubuh yang kehilangan banyak berat badan dan pucat di atas brangkar itu, sedang diperiksa dan ditangani oleh dokter pribadinya. "Papa harus sembuh, Pa. Jangan tinggalkan Pelita kayak Mama." Perempuan itu berbisik lirih sembari menyeka matanya yang basah akan air mata. Pelita sudah terbiasa menangis tanpa suara. Ia hanya perlu mengendalikan isakan agar tidak keluar dari labiumnya. "Aku sayang Papa." Perempuan itu berusaha keras mengeyahkan rasa sesak yang mendera dadanya. "Pelita." Dokter Duta yang semula berada di dalam ruangan bersama beberapa orang perawat keluar menemui Pelita dan langsung dihadiahi pertanyaan olehnya. "Dokter, gimana kondisi Papa sa
"Maafin saya, Kak. Saya harus ke Jakarta tanpa bilang Kak Adhim. Papa saya butuh saya sekarang."Pelita bermonolog sendiri setelah memasukkan beberapa potong baju dan pakain ke tas tangannya yang memiliki ukuran sedang."Saya nggak mau ganggu kerja Kak Adhim," gumamnya lagi kemudian mengusap pipinya yang sedari tadi basah oleh air mata.Perempuan itu kini mengusap perut besarnya."Kamu juga yang kuat ya, Dek," katanya beralih mengajak bicara bayi yang ada di dalam kandungannya. "Mama harus ketemu Papanya Mama di Jakarta. Beliau butuh bantuan Mama. Maafin Mama yang bertindak egois karena harus pergi saat kamu udah mau lahir beberapa minggu lagi. Tapi Mama harus lakuin ini untuk kakek kamu. Mama minta tolong, bantu Mama, ya?! Kamu harus kuat, dan jangan rewel selama kita pergi tanpa Ayah kamu. Mama sayang kamu."Senyuman sedikit terukir di bibir cantik itu saat merasakan gerakan-gerakan yang dibuat bayinya yang seolah merespons setiap kata-