Rasanya begitu sesak. Sangat-sangat sesak. Tidak peduli seberapa erat Dewi memeluk Zulfa dan mencoba menenangkannya, perempuan itu tetap merasakan rasa sakit yang luar biasa di dalam dada. Kali ini hati Zulfa benar-benar remuk seremuk-remuknya.
Dalam hidup Fatih, Zufa ternyata hanyalah orang yang kedua. Cinta pertamanya yang pertama dan kini yang tersisa hanya keraguan di hati Zulfa atas ungkapan cinta yang ditunjukan Fatih padanya dua hari yang lalu. Fatih sudah sejak awal berbohong pada Zulfa! Jadi tidak menutup kemungkinan, kata-kata cinta yang dibisikkan suaminya itu di telinga Zulfa pada pagi hari setelah pergumulan mereka malam itu hanyalah kebohongan semata.Ya, pagi itu setelah keduanya kembali berhubungan badan, Fatih mendekap Zulfa erat dalam pelukannya. Menciumi puncak kepala istrinya itu dengan begitu lembut kemudian membisiki telinga Zulfa dengan kata-kata cinta; “Aku cinta kamu, Zulfa. Sangat cinta.”Untuk pertama kalinya dan terdengar begitu“Aaaaa!”Suara teriakan Dewi membahana ke seluruh penjuru ndalem. Sangat keras. Membuat Nyai Fatimah yang masih duduk dikelilingi Mbok Aminah dan para abdi ndalem terlonjak di kamarnya, begitu juga siapa pun yang ada di ruang tamu ndalem, baik Kiai Adnan, Fatih, bahkan Sabrina, perempuan berwajah jelita yang mengaku dinikahi Fatih jauh sebelum Zulfa. Perempuan yang kali ini menjadi akar dari segalanya.Sadar jika suara teriakan keras itu berasal dari kamarnya dengan Zulfa, Fatih langsung menatap wajah abahnya yang juga tak kalah terkejut, bangkit dari posisi duduk bersimpuhnya di depan sang abah lantas memacu langkah secepat mungkin menuju kamar.Laki-laki itu diserang cemas. Dalam situasi seperti sekarang hanya ada ketakutan yang bisa membayang di benak Fatih selain perasaan kalut yang pekat. Fatih sangat takut Zulfa pergi meninggalkannya.Sejak dirinya dan Danang tiba di ndalem setelah mendapat telepon aneh dari Kiai Adnan dan mendapati Sabrina
Melakukan pertimbangan yang memakan waktu cukup lama, Fatih akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam kamar rawat Zulfa. Laki-laki itu ingin melihat keadaan istrinya. Danang menyertainya di belakang.Sampai di dalam kamar perawatan, semua mata langsung menatap ke arah laki-laki bersurai hitam itu yang tiba-tiba muncul dari arah pintu. Entah Kiai Adnan, Nyai Fatimah, maupun Dewi, semua orang langsung menatapnya. Fatih sudah tidak menghiraukan sekitarnya dan langsung fokus menatap seseorang yang kini terbaring di atas bed rumah sakit.Laki-laki itu terpaku. Pandangan matanya jatuh dan terkunci pada satu titik di mana tubuh sang istri terkulai lemah.Wajah istrinya itu terlihat pucat pasi, nyaris serupa mayat yang membuat batin Fatih merasa teriris melihatnya. Kerudung instan berwarna hitam yang Zulfa kenakan malah memperjelas raut sakit yang terlukis di wajah putih itu. Kecantikannya seolah meredup bersama dengan cahaya kehidupan yang selama ini Fatih lihat m
Laki-laki itu berjalan seolah membawa badai dalam langkah-langkah panjangnya. Wajah rupawannya mengeras dengan rahang tegas yang tegang dan amarah yang terpancar jelas dari kedua manik mata. Bibirnya sebentuk garis datar tanpa senyuman. Jangan lupakan kedua tangannya yang erat terkepal.“Shofiya! Di mana kamu?”Laki-laki itu adalah Aji, yang baru kembali dari kamar yang seharusnya ditempati oleh Sabrina, setidaknya hingga Fatih—orang yang membawa perempuan itu ke tempatnya dan memercayakan semua urusan kepadanya—sendiri yang membawa Sabrina pergi.Di kamarnya Shofiya langsung termangu. Kedua manik madunya terpejam, sangat sadar dengan apa yang akan dihadapinya beberapa detik lagi.“Shofiya!”Suara teriakan Aji semakin mendekat. Begitu juga langkah kakinya yang menggema berkat pukulan sepatu kulit yang dikenakannya dan lantai mengkilat ndalem utama.Brak!Laki-laki itu akhirnya sampai di kamar mereka.Shofiya yan
“Pergi! Aku tidak ingin melihat Mas Fatih lagi.”Seketika, hati Fatih rusak berkeping-keping mendengarnya. Ia tidak pernah mendengar Zulfa, istrinya berkata sedingin itu sebelumnya.“Cah Ayu.” Fatih mendekatkan diri dan mencoba meraih tangan istrinya itu. Namun, Zulfa langsung mengelak. Menolak melihat wajah Fatih, apalagi disentuhnya. Fatih benar-benar tercengang di tempatnya.“Nduk, alhamdulillah, kamu sudah sadar.”Nyai Fatimah datang.Dari arah pintu, beliau berjalan cepat menghampiri Zulfa. “Alhamdulillah Ya Allah, akhirnya kamu sadar juga.” Tidak henti-hentinya Nyai Fatimah bersyukur kepada Allah karena menantunya sudah siuman.Kiai Adnan yang datang bersama Nyai Fatimah pun ikut menghampiri. Wajahnya juga tak kalah diliputi ekspresi lega yang serupa dengan ekspresi wajah sang istri.“Ibu,” lirih Zulfa kemudian berusaha duduk di ranjang.“Eh! Jangan, Nduk! Jangan banyak bergerak. Kamu tiduran saja.” Nyai F
“Bah, menantu kita sudah sadar. Bagaimana kalau kita menghubungi Kiai Hisyam dan Nyai Azizah sekarang?” lirih Nyai Fatimah pada sang suami yang duduk di sofa sebelahnya.“Kita sudah membahas ini sebelumnya, Bu. Iya, baiklah, aku akan menghubungi mereka,” balas Kiai Adnan sembari mengangguk.Zulfa yang mendengarnya langsung menyela, “Jangan, Abah! Zulfa mohon, Abah jangan menghubungi keluarga Kediri dulu,” pintanya dengan suaranya yang lemah. “Zulfa tidak ingin Abah dan Umi yang ada di Kediri ikut khawatir juga,” lanjutnya pelan.Kiai Adnan dan Nyai Fatimah langsung terdiam. Ketiganya saat ini masih berada di dalam kamar rawat Zulfa di RSUD Jombang setelah perempuan muda yang masih terbaring di atas ranjang perawatan itu menjalani prosedur USG.Jam di dinding masih menunjukkan pukul delapan pagi. Detik waktunya masih terus bertambah dengan jarum utama yang berputar dengan kecepatannya yang konstan.“Tapi, Nduk,” lirih Nyai Fatimah.
Laki-laki itu adalah Alim Syariffuddin Hisyam. Putra tertua Kiai Hisyam dan Nyai Azizah sebelum Adhim Zein Ad-Din Hisyam dan Zulfa Zahra El-Faza. Kakak pertama dari Zulfa.Bugh! Bugh! Bugh!Pukulan demi pukulan dengan cepat menyusul dan didaratkan Alim di wajah juga tubuh Fatih, tidak peduli dengan laki-laki itu yang baru saja berujar ‘bisa menjelaskan semuanya’ karena Alim memang sudah tidak bisa lagi membendung kemarahannya.Kakak mana yang akan diam saja saat kehidupan juga perasaan adiknya dipermainkan oleh seseorang? Terlebih adik perempuan. Apa yang dilakukan Fatih benar-benar sudah sangat kelewatan di mata Alim.Danang, security, dan santri-santri yang menyaksikan semua itu mencoba melerai, tetapi usaha mereka gagal karena Alim yang bergerak brutal.Kiai Adnan dan Nyai Fatimah yang kaget dan tercengang baru turun dari mobil saat wajah Fatih sudah babak belur, berdarah-darah di pelipis, sudut bibir, dan hidung. Sedangkan Alim hanya
Alim tidak pernah menduga jika semua ini akan terjadi. Kemalangan yang secara bertubi-tubi menimpa kehidupan saudara perempuannya satu-satunya. Zulfa, adik tersayangnya yang cerdas dan jelita, tetapi masih terlalu muda untuk menanggung segala derita rumah tangga—setidaknya menurutnya.Kemarin, Shodiq baru kembali ke Nurul Anwar setelah menemani Adhim melakukan perjalanan selama dua hari untuk mencari seseorang. Seseorang yang menjungkirbalikkan kehidupan Adhim dan hampir menyedot habis kewarasannya selain Zulfa, karena pada akhirnya, Adhim sepertinya berhasil menemukan seseorang yang membuatnya mengerti arti lain dari kata cinta. Ya, dia adalah Nur Walis Pelita.Keadaan Adhim sangat buruk. Sekembalinya Shodiq ke Nurul Anwar kemudian dihadapkan dengan sebuah kenyataan pahit yang menimpa Zulfa saudari sepupunya, Shodiq yang tidak bisa diam saja memutuskan menghubungi Alim setelah memikirkan keputusannya itu baik-baik.Sebenarnya Shodiq ingin mengabari Adhim
Setelah membantu membawa Fatih untuk beristirahat di dalam kamarnya, Danang langsung keluar dari kamar Fatih dan Zulfa lalu mengajak Dewi yang masih ada di ndalem utama untuk mengikutinya guna bicara empat mata. Kedua abdi kepercayaan ndalem itu menyingkir keluar dari ndalem dan berbicara di teras sayap ndalem sebelah kanan.“Kamu yang memberi tahu keluarga ndalem Kediri soal keadaan Neng Zulfa?” tanya Danang sebagai orang yang pertama kali memulai pembicaraan di antara mereka.Dewi yang mendapat pertanyaan seperti itu langsung menggelengkan kepala, “Bukan. Bukan aku, Cak,” jawabnya. Suaranya terdengar sedikit sengau karena habis menangis.“Lalu siapa?” tanya Danang lagi yang kali ini tidak mendapat respons apa-apa dari Dewi.Sembari berkacak pinggang, Danang kemudian berjalan mondar-mandir di depan Dewi. Pikirannya berkecamuk memikirkan bagaimana bisa Alim datang ke Jombang jika tidak ada yang memberi tahu. Selain itu, Danang juga merasa khawatir
Setelah melaporkan penculikan Pelita ke kantor polisi, Adhim dan Aldo memutuskan mencari tempat penginapan di Karawang. Mereka memutuskan menginap semalam di sebuah hotel yang ada di kota itu sembari memikirkan langkah yang harus mereka lakukan selanjutnya. Mereka memesan satu kamar untuk berdua. Mengingat kondisi Adhim, Aldo tidak tega jika harus membiarkan Adhim tidur sendirian. Jam menunjukkan pukul 23.17 WIB. Aldo pamit keluar untuk mencari makan malam untuk dirinya dan Adhim. Ketika Aldo kembali, laki-laki berambut cepak itu mendapati Adhim yang terisak di atas hamparan sajadah dalam doanya. Aldo paham Adhim pasti sangat terluka dan cemas akan keadaan Pelita. Aldo menunda melangkahkan tungkainya benar-benar masuk ke dalam kamar itu apalagi membuat suara agar tidak mengganggu Adhim. Ia tetap bergeming di pintu sampai Adhim sendiri yang menyadari keberadaannya.
Grup Chat Cowok Soleh 🤟🏻😌 Dibuat oleh Aldoganteng, 05/11/xx AdhimHisyam: Istri gue diculik Arka Jeffreyy_: Hah? Kapan? Gimana bisa bang? Bondan😈: Kobisa bang? Arka kan lagi jadi buron Suta_cowoksunda: Mba Pelitanya udah ketemu? Pcc bang Bondan😈: Dimana diculiknya bang? [@Suta_cowoksunda (Pcc bang)] Otw nyamperin Jeffreyy_: Bang lo yakin mbak Pelita diculik Arka? Udah coba lo hubungi? Aldoganteng: Jangan banyak tanya lu pada. Bantu nyari!!! . Aldo melirik Adhim yang diam tanpa kata di sisinya. Seperti orang melamun dengan ponsel yang masih menyala di pegangan kedua tangannya. Mata cokelat laki-laki berambut gondrong itu tampak menatap kosong layar plasma benda pipih di tangannya itu. . Gru
Kedua kelopak mata itu terbuka pelan, mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang diterima oleh retina matanya, hingga tak lama kemudian, netra berwarna cokelat madu yang ada di baliknya terlihat dengan sempurna. Hatinya membatin; Ini di mana? Apa yang terjadi? Sampai ... Cklek! Suara pintu yang terkuak dari sisi sebelah kanannya menarik penuh atensinya. Kepalanya terasa pusing. Dan sosok yang muncul dari balik pintu yang kini berjalan ke arahnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada itu langsung membuat kedua matanya membola. Tak lama kemudian ia pun sadar, sesuatu telah membatasi pergerakannya. Sosok yang lebih dari cukup untuk dikenalinya itu pun tersenyum menyeringai melihat keterkejutannya. **** Setelah kurang lebih satu jam berkendara dengan kecepatan biasa-biasa saja yang tentu saja
Bunyi nada sambung telepon itu terdengar beberapa kali tanpa sahutan, membuat subjek yang menelepon mengerutkan kening di awal dan segera didera keresahan setelah berkali-kali mengulang tetap tak mendapat balasan. "Pelita, ayo angkat telepon saya," desis Adhim kemudian berusaha menghubungi Pelita lagi. Tiba-tiba perasaannya menjadi sangat tidak enak kali ini. Mata sewarna kopi Adhim melirik jam di dinding kokoh apartemennya dengan tangan yang tetap sibuk menempelkan segenggam ponsel di telinga. Pukul 16.47 WIB, seharusnya waktu yang lebih dari cukup bagi Pelita untuk mengabarinya jika istrinya itu sudah akan atau bahkan sampai Kota Bandung. Tetapi kenapa belum? Dan mengapa pula Pelita tidak kunjung mengangkat teleponnya? Adhim mengacak-acak surai hitamnya pada percobaan ke sekian kalinya, Pelita tetap tidak menjawab panggilannya.
"Bang." Aldo yang baru kembali dari menuntaskan hajatnya di kamar mandi memanggil Adhim. Kini mereka ada di sebuah rest area Kota Bogor, habis beristirahat untuk menunaikan salat Zuhur dan mencari makan siang. Pekerjaan keduanya di Bogor sudah selesai. Lebih cepat dari yang Adhim dan Aldo perkirakan sebelumnya. Perkiraan semula, mereka akan menyelesaikan urusan bisnisnya di Bogor malam nanti, kemudian baru akan kembali ke Bandung keesokan pagi setelah mengistirahatkan diri. Namun ternyata tidak. Pekerjaannya selesai lebih cepat di luar prediksi. "Kita jadi balik Bandung habis ini, Bang?" tanya Aldo santai sembari mendudukkan dirinya kembali di sebuah bangku kayu yang ada di depan Adhim. "Hm," balas Adhim dengan gumaman. Manik cokelatnya mengawasi Aldo yang meraih gelas esnya dan meyesap minuman dingin itu tanpa sisa.
"Bang, lo harus lihat ini!" seruan Aldo itu berhasil membuat Adhim menoleh dengan dahi mengernyit begitu menatap apa yang ditunjukkan oleh temannya itu. "Apa ini, Do?" balas Adhim dengan tanya. Ia benar-benar tidak paham apa maksud titik-titik serupa koordinat yang ditampilkan Aldo di layar ponselnya. "Lo lihat titik ini? Ini lokasi kita, Bang, Bogor," terang Aldo. Sebelah alis Adhim terangkat menatap manik mata Aldo. "Iya. Terus?" tanyanya. "Lo lihat titik koordinat yang ada di Jakarta?" Kepala Adhim menggeleng ringan tidak paham apa yang hendak dikatakan temannya. "Ini titik koordinat yang ngasih tunjuk lokasi keberadaan Pelita, Bang." Kedua netra Adhim membola mencoba mencerna apa yang baru saja disampaikan Aldo kepadanya. "Maksud lo apa?" tanya Adhim. "Pelita? Di Jakarta?" "Jadi, lo tahu, Bang?" balas Aldo dengan tanya. "Dan emang bener, kalau Pelita ada di Jakarta?" Ia melempari tanya kepada Adhim lagi. Kepala Adhim menggeleng. "Nggak mungkin, Do.
Baru saja pesan itu terkirim, layar ponselnya langsung menampilkan notifikasi panggilan telepon dari Adhim. Pelita pun segera mengangkatnya. "Assalamualaikum, Pelita. Kamu sedang apa? Nggak tahu kenapa saya khawatir sama kamu." Pelita merasa bersalah mendengar nada cemas yang begitu kentara dalam suara Adhim itu. "Halo, Pelita. Ada apa? Kenapa saya tidak bisa menelepon kamu dari bakda Magrib tadi? Pelita? Halo?" Pelita menggigit bibir bawahnya. "H-halo, Kak Adhim. Waalaikumussamalam," jawabnya pada akhirnya setelah beberapa lama membisu dalam jeda waktu. "Maaf, Kak. Saya baru tahu Kakak nelepon." Ganti Adhim yang tidak langsung menjawab. "Pelita. Suara kamu ... kenapa?" sahut Adhim kemudian dengan nada penuh selidik. Kali ini Pelita merasakan tremor di tangannya menyadari suaranya yang pasti terdengar sengau setelah hampir seharian menangis di telinga Adhim. "Pelita?" Suara berat Adhim yang terdengar cemas mengalun lagi. "Halo, Pelita?" Pelita kali ini mencoba mengatu
Pelita menatap sendu tubuh papanya yang terbaring di atas bed rumah sakit dari kaca transparan berbentuk persegi panjang yang dipasang di permukaan pintu kamar rawat papanya itu, sejak beberapa menit yang lalu. Masih tidak menyangka, papanya yang bugar dan sehat ketika terakhir kali ditemuinya kini berbaring tak berdaya dengan tubuh yang kehilangan banyak berat badan dan pucat di atas brangkar itu, sedang diperiksa dan ditangani oleh dokter pribadinya. "Papa harus sembuh, Pa. Jangan tinggalkan Pelita kayak Mama." Perempuan itu berbisik lirih sembari menyeka matanya yang basah akan air mata. Pelita sudah terbiasa menangis tanpa suara. Ia hanya perlu mengendalikan isakan agar tidak keluar dari labiumnya. "Aku sayang Papa." Perempuan itu berusaha keras mengeyahkan rasa sesak yang mendera dadanya. "Pelita." Dokter Duta yang semula berada di dalam ruangan bersama beberapa orang perawat keluar menemui Pelita dan langsung dihadiahi pertanyaan olehnya. "Dokter, gimana kondisi Papa sa
"Maafin saya, Kak. Saya harus ke Jakarta tanpa bilang Kak Adhim. Papa saya butuh saya sekarang."Pelita bermonolog sendiri setelah memasukkan beberapa potong baju dan pakain ke tas tangannya yang memiliki ukuran sedang."Saya nggak mau ganggu kerja Kak Adhim," gumamnya lagi kemudian mengusap pipinya yang sedari tadi basah oleh air mata.Perempuan itu kini mengusap perut besarnya."Kamu juga yang kuat ya, Dek," katanya beralih mengajak bicara bayi yang ada di dalam kandungannya. "Mama harus ketemu Papanya Mama di Jakarta. Beliau butuh bantuan Mama. Maafin Mama yang bertindak egois karena harus pergi saat kamu udah mau lahir beberapa minggu lagi. Tapi Mama harus lakuin ini untuk kakek kamu. Mama minta tolong, bantu Mama, ya?! Kamu harus kuat, dan jangan rewel selama kita pergi tanpa Ayah kamu. Mama sayang kamu."Senyuman sedikit terukir di bibir cantik itu saat merasakan gerakan-gerakan yang dibuat bayinya yang seolah merespons setiap kata-