Zulfa Zahra El-Faza
“Mas.” Aku menggoyangkan lengan Gus Fatih yang sekarang duduk di sampingku.“Hm,” sahutnya tanpa menoleh. Memilih tetap setia dengan kegiatannya menekuri lembar demi lembar dokumen yang ada dalam genggaman tangannya. Dokumen yang diantar oleh Cak Danang tadi bakda Isya. Katanya dokumen itu adalah dokumen yang berisi laporan penjualan dan pemutaran uang di rumah makan.Tidak tahu kenapa, aku merasa Gus Fatih banyak diam sejak dia kembali dari jemaah salat Magrib tadi. Gus Fatih tidak banyak bicara padahal aku masih ingin mengobrol banyak dengannya. Hei, pertanyaanku bahkan masih satu yang kutanyakan.Saat makan malam, Gus Fatih juga terlihat ogah-ogahan melahap makanan yang terhidang di meja makan. Bendoyo terong, ikan klotok, dan sambal ale, makanan kesukaannya, masakan yang sengaja kubuatkan untuknya selain aku yang juga memasak capcay untuk semua orang dan sayur sop ayam untuk Mas Adhim. Dua bulan yang lalu ketika kami masihZulfa Zahra El-FazaSetelah perdebatan panjang, di sinilah kami sekarang. Terbuai dalam dingin dan sejuknya angin malam yang bertiup kencang.Untuk pertama kalinya Gus Fatih mengomel padaku karena keinginanku.Ah, ralat! Keinginan anak kami. Tetapi dia tidak memiliki pilihan lain selain menuruti.Setelah mood swing yang kualami, aku meminta Gus Fatih mengajakku keluar jalan-jalan. Benar-benar tiba-tiba dan aku tahu ini keinginan anaknya.Pada Gus Fatih masalahnya bukan pada jalan-jalan itu sendiri, tapi pada keinginan jalan-jalanku yang memintanya memboncengku menaiki motor.“Ini malam, Cah Ayu. Tadi baru saja hujan dan udaranya benar-benar dingin sekarang. Kamu beneran mau jalan-jalan naik motor?” Begitu katanya kemudian menceramahiku panjang lebar yang intinya memintaku tetap di ndalem saja atau pergi menaiki mobil jika memang masih mau jalan-jalan bersamanya. “Kalau kamu masuk angin bagaimana, hm? Angin malam tidak baik untuk
Zulfa Zahra El-FazaAku ingin menangis.Pertanyaan yang sedari tadi telah kusiapkan seperti tersangkut di tenggorokan. Tidak mau lancar keluar.Huh ... aku menghela napas pelan yang tetap menyisakan gumpalan sesak yang tiba-tiba memenuhi dadaku. Bagaimanapun juga, aku harus menanyakannya. Aku jelas tidak bisa menahannya terlalu lama.Kupandang wajah Gus Fatih lekat-lekat. “Mas ...,” kemudian kataku, merasakan suaraku yang sedikit bergetar.Gus Fatih masih diam menatapku.Aku menggigit bibir. Segala macam rasa mendadak bercampur kemudian berkecamuk. “Apakah ... Mas hanya sayang ke aku?”Aku melihat dahi Gus Fatih yang sedikit tertekuk. Diam menunggu reaksinya aku menahan napas dalam-dalam.“Iya, kenapa bertanya?”Aku sudah menduga inilah jawabannya. Kenapa dia tidak pernah mengatakan cinta padaku? Kenapa hanya sayang? Pikiranku mendadak jatuh pada sosok Sabrina. Sel-sel di kepalaku bahkan dengan kompak m
Dewi Fatma ParamithaSiapa yang akan tega melihat kondisi Neng Zulfa? Dibohongi oleh suami sendiri dan saat dalam keadaan hamil seperti ini akhirnya mengetahui kebohongan itu. Aku tidak tahu apakah aku akan sanggup seandainya ada dalam posisi itu.Gus Fatih. Orang yang kuhormati karena dia gusku, putra bu nyai dan kiaiku ternyata lebih tak terduga dari yang kuketahui sebelumnya. Kupikir, sepertinya siapa pun memang tidak akan ada yang bisa mengerti jalan pikirannya.Gus Fatih menduakan Neng Zulfa dan membohongi semua keluarganya. Sebuah kenyataan menyakitkan. Kenyataan yang membuat Neng Zulfa-ku seperti sekarang dan membuat bu nyai pingsan tadi pagi juga membuat marah besarnya kiai.Pagi-pagi sekali perempuan itu datang. Membuat rona kebahagian di pipi sahabatku memudar dan menyapulenyapkan senyum di bibirnya. Menghadirkan nelangsa dan air mata.Gus Fatih memiliki perempuan lain selain Neng Zulfa. Namanya Sabrina.Setelah kegiata
Beberapa waktu sebelumnyaShofiya Nada Hannan.Perempuan berwajah pualam itu tersenyum sumir melihat kepergian sebuah taksi berwarna putih yang dipesankannya untuk seseorang beberapa menit yang lalu. Sebelum jemaah salat Subuh di lingkungan pesantren keluarga suaminya digelar dan sebelum siapa pun tersadar atas apa yang ia lakukan, termasuk Aji, sang suami. Laki-laki yang dipercayai Fatih untuk menjaga rahasianya demi keberlangsungan rumah tangganya dengan Zulfa.Menurut Shofiya tindakannya sudah benar.Perempuan itu menghela napas kasar sebelum masuk kembali ke dalam ruangan. Dinginnya udara terus melingkupinya dan Shofiya merasa sedikit menggigil karenanya.Maafkan aku, Neng Zulfa. Tapi aku melakukannya untuk kebaikan semuanya, kata hati Shofiya sebelum pintu berbahan kayu jati ndalem suaminya menelan seluruh wujudnya.***Pagi. Kegiatan di ndalem pesantren Nurul Anwar Jombang, Zulfa baru berhasil menyentuh sarapannya
Rasanya begitu sesak. Sangat-sangat sesak. Tidak peduli seberapa erat Dewi memeluk Zulfa dan mencoba menenangkannya, perempuan itu tetap merasakan rasa sakit yang luar biasa di dalam dada. Kali ini hati Zulfa benar-benar remuk seremuk-remuknya.Dalam hidup Fatih, Zufa ternyata hanyalah orang yang kedua. Cinta pertamanya yang pertama dan kini yang tersisa hanya keraguan di hati Zulfa atas ungkapan cinta yang ditunjukan Fatih padanya dua hari yang lalu. Fatih sudah sejak awal berbohong pada Zulfa! Jadi tidak menutup kemungkinan, kata-kata cinta yang dibisikkan suaminya itu di telinga Zulfa pada pagi hari setelah pergumulan mereka malam itu hanyalah kebohongan semata.Ya, pagi itu setelah keduanya kembali berhubungan badan, Fatih mendekap Zulfa erat dalam pelukannya. Menciumi puncak kepala istrinya itu dengan begitu lembut kemudian membisiki telinga Zulfa dengan kata-kata cinta; “Aku cinta kamu, Zulfa. Sangat cinta.”Untuk pertama kalinya dan terdengar begitu
“Aaaaa!”Suara teriakan Dewi membahana ke seluruh penjuru ndalem. Sangat keras. Membuat Nyai Fatimah yang masih duduk dikelilingi Mbok Aminah dan para abdi ndalem terlonjak di kamarnya, begitu juga siapa pun yang ada di ruang tamu ndalem, baik Kiai Adnan, Fatih, bahkan Sabrina, perempuan berwajah jelita yang mengaku dinikahi Fatih jauh sebelum Zulfa. Perempuan yang kali ini menjadi akar dari segalanya.Sadar jika suara teriakan keras itu berasal dari kamarnya dengan Zulfa, Fatih langsung menatap wajah abahnya yang juga tak kalah terkejut, bangkit dari posisi duduk bersimpuhnya di depan sang abah lantas memacu langkah secepat mungkin menuju kamar.Laki-laki itu diserang cemas. Dalam situasi seperti sekarang hanya ada ketakutan yang bisa membayang di benak Fatih selain perasaan kalut yang pekat. Fatih sangat takut Zulfa pergi meninggalkannya.Sejak dirinya dan Danang tiba di ndalem setelah mendapat telepon aneh dari Kiai Adnan dan mendapati Sabrina
Melakukan pertimbangan yang memakan waktu cukup lama, Fatih akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam kamar rawat Zulfa. Laki-laki itu ingin melihat keadaan istrinya. Danang menyertainya di belakang.Sampai di dalam kamar perawatan, semua mata langsung menatap ke arah laki-laki bersurai hitam itu yang tiba-tiba muncul dari arah pintu. Entah Kiai Adnan, Nyai Fatimah, maupun Dewi, semua orang langsung menatapnya. Fatih sudah tidak menghiraukan sekitarnya dan langsung fokus menatap seseorang yang kini terbaring di atas bed rumah sakit.Laki-laki itu terpaku. Pandangan matanya jatuh dan terkunci pada satu titik di mana tubuh sang istri terkulai lemah.Wajah istrinya itu terlihat pucat pasi, nyaris serupa mayat yang membuat batin Fatih merasa teriris melihatnya. Kerudung instan berwarna hitam yang Zulfa kenakan malah memperjelas raut sakit yang terlukis di wajah putih itu. Kecantikannya seolah meredup bersama dengan cahaya kehidupan yang selama ini Fatih lihat m
Laki-laki itu berjalan seolah membawa badai dalam langkah-langkah panjangnya. Wajah rupawannya mengeras dengan rahang tegas yang tegang dan amarah yang terpancar jelas dari kedua manik mata. Bibirnya sebentuk garis datar tanpa senyuman. Jangan lupakan kedua tangannya yang erat terkepal.“Shofiya! Di mana kamu?”Laki-laki itu adalah Aji, yang baru kembali dari kamar yang seharusnya ditempati oleh Sabrina, setidaknya hingga Fatih—orang yang membawa perempuan itu ke tempatnya dan memercayakan semua urusan kepadanya—sendiri yang membawa Sabrina pergi.Di kamarnya Shofiya langsung termangu. Kedua manik madunya terpejam, sangat sadar dengan apa yang akan dihadapinya beberapa detik lagi.“Shofiya!”Suara teriakan Aji semakin mendekat. Begitu juga langkah kakinya yang menggema berkat pukulan sepatu kulit yang dikenakannya dan lantai mengkilat ndalem utama.Brak!Laki-laki itu akhirnya sampai di kamar mereka.Shofiya yan
Setelah melaporkan penculikan Pelita ke kantor polisi, Adhim dan Aldo memutuskan mencari tempat penginapan di Karawang. Mereka memutuskan menginap semalam di sebuah hotel yang ada di kota itu sembari memikirkan langkah yang harus mereka lakukan selanjutnya. Mereka memesan satu kamar untuk berdua. Mengingat kondisi Adhim, Aldo tidak tega jika harus membiarkan Adhim tidur sendirian. Jam menunjukkan pukul 23.17 WIB. Aldo pamit keluar untuk mencari makan malam untuk dirinya dan Adhim. Ketika Aldo kembali, laki-laki berambut cepak itu mendapati Adhim yang terisak di atas hamparan sajadah dalam doanya. Aldo paham Adhim pasti sangat terluka dan cemas akan keadaan Pelita. Aldo menunda melangkahkan tungkainya benar-benar masuk ke dalam kamar itu apalagi membuat suara agar tidak mengganggu Adhim. Ia tetap bergeming di pintu sampai Adhim sendiri yang menyadari keberadaannya.
Grup Chat Cowok Soleh 🤟🏻😌 Dibuat oleh Aldoganteng, 05/11/xx AdhimHisyam: Istri gue diculik Arka Jeffreyy_: Hah? Kapan? Gimana bisa bang? Bondan😈: Kobisa bang? Arka kan lagi jadi buron Suta_cowoksunda: Mba Pelitanya udah ketemu? Pcc bang Bondan😈: Dimana diculiknya bang? [@Suta_cowoksunda (Pcc bang)] Otw nyamperin Jeffreyy_: Bang lo yakin mbak Pelita diculik Arka? Udah coba lo hubungi? Aldoganteng: Jangan banyak tanya lu pada. Bantu nyari!!! . Aldo melirik Adhim yang diam tanpa kata di sisinya. Seperti orang melamun dengan ponsel yang masih menyala di pegangan kedua tangannya. Mata cokelat laki-laki berambut gondrong itu tampak menatap kosong layar plasma benda pipih di tangannya itu. . Gru
Kedua kelopak mata itu terbuka pelan, mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang diterima oleh retina matanya, hingga tak lama kemudian, netra berwarna cokelat madu yang ada di baliknya terlihat dengan sempurna. Hatinya membatin; Ini di mana? Apa yang terjadi? Sampai ... Cklek! Suara pintu yang terkuak dari sisi sebelah kanannya menarik penuh atensinya. Kepalanya terasa pusing. Dan sosok yang muncul dari balik pintu yang kini berjalan ke arahnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada itu langsung membuat kedua matanya membola. Tak lama kemudian ia pun sadar, sesuatu telah membatasi pergerakannya. Sosok yang lebih dari cukup untuk dikenalinya itu pun tersenyum menyeringai melihat keterkejutannya. **** Setelah kurang lebih satu jam berkendara dengan kecepatan biasa-biasa saja yang tentu saja
Bunyi nada sambung telepon itu terdengar beberapa kali tanpa sahutan, membuat subjek yang menelepon mengerutkan kening di awal dan segera didera keresahan setelah berkali-kali mengulang tetap tak mendapat balasan. "Pelita, ayo angkat telepon saya," desis Adhim kemudian berusaha menghubungi Pelita lagi. Tiba-tiba perasaannya menjadi sangat tidak enak kali ini. Mata sewarna kopi Adhim melirik jam di dinding kokoh apartemennya dengan tangan yang tetap sibuk menempelkan segenggam ponsel di telinga. Pukul 16.47 WIB, seharusnya waktu yang lebih dari cukup bagi Pelita untuk mengabarinya jika istrinya itu sudah akan atau bahkan sampai Kota Bandung. Tetapi kenapa belum? Dan mengapa pula Pelita tidak kunjung mengangkat teleponnya? Adhim mengacak-acak surai hitamnya pada percobaan ke sekian kalinya, Pelita tetap tidak menjawab panggilannya.
"Bang." Aldo yang baru kembali dari menuntaskan hajatnya di kamar mandi memanggil Adhim. Kini mereka ada di sebuah rest area Kota Bogor, habis beristirahat untuk menunaikan salat Zuhur dan mencari makan siang. Pekerjaan keduanya di Bogor sudah selesai. Lebih cepat dari yang Adhim dan Aldo perkirakan sebelumnya. Perkiraan semula, mereka akan menyelesaikan urusan bisnisnya di Bogor malam nanti, kemudian baru akan kembali ke Bandung keesokan pagi setelah mengistirahatkan diri. Namun ternyata tidak. Pekerjaannya selesai lebih cepat di luar prediksi. "Kita jadi balik Bandung habis ini, Bang?" tanya Aldo santai sembari mendudukkan dirinya kembali di sebuah bangku kayu yang ada di depan Adhim. "Hm," balas Adhim dengan gumaman. Manik cokelatnya mengawasi Aldo yang meraih gelas esnya dan meyesap minuman dingin itu tanpa sisa.
"Bang, lo harus lihat ini!" seruan Aldo itu berhasil membuat Adhim menoleh dengan dahi mengernyit begitu menatap apa yang ditunjukkan oleh temannya itu. "Apa ini, Do?" balas Adhim dengan tanya. Ia benar-benar tidak paham apa maksud titik-titik serupa koordinat yang ditampilkan Aldo di layar ponselnya. "Lo lihat titik ini? Ini lokasi kita, Bang, Bogor," terang Aldo. Sebelah alis Adhim terangkat menatap manik mata Aldo. "Iya. Terus?" tanyanya. "Lo lihat titik koordinat yang ada di Jakarta?" Kepala Adhim menggeleng ringan tidak paham apa yang hendak dikatakan temannya. "Ini titik koordinat yang ngasih tunjuk lokasi keberadaan Pelita, Bang." Kedua netra Adhim membola mencoba mencerna apa yang baru saja disampaikan Aldo kepadanya. "Maksud lo apa?" tanya Adhim. "Pelita? Di Jakarta?" "Jadi, lo tahu, Bang?" balas Aldo dengan tanya. "Dan emang bener, kalau Pelita ada di Jakarta?" Ia melempari tanya kepada Adhim lagi. Kepala Adhim menggeleng. "Nggak mungkin, Do.
Baru saja pesan itu terkirim, layar ponselnya langsung menampilkan notifikasi panggilan telepon dari Adhim. Pelita pun segera mengangkatnya. "Assalamualaikum, Pelita. Kamu sedang apa? Nggak tahu kenapa saya khawatir sama kamu." Pelita merasa bersalah mendengar nada cemas yang begitu kentara dalam suara Adhim itu. "Halo, Pelita. Ada apa? Kenapa saya tidak bisa menelepon kamu dari bakda Magrib tadi? Pelita? Halo?" Pelita menggigit bibir bawahnya. "H-halo, Kak Adhim. Waalaikumussamalam," jawabnya pada akhirnya setelah beberapa lama membisu dalam jeda waktu. "Maaf, Kak. Saya baru tahu Kakak nelepon." Ganti Adhim yang tidak langsung menjawab. "Pelita. Suara kamu ... kenapa?" sahut Adhim kemudian dengan nada penuh selidik. Kali ini Pelita merasakan tremor di tangannya menyadari suaranya yang pasti terdengar sengau setelah hampir seharian menangis di telinga Adhim. "Pelita?" Suara berat Adhim yang terdengar cemas mengalun lagi. "Halo, Pelita?" Pelita kali ini mencoba mengatu
Pelita menatap sendu tubuh papanya yang terbaring di atas bed rumah sakit dari kaca transparan berbentuk persegi panjang yang dipasang di permukaan pintu kamar rawat papanya itu, sejak beberapa menit yang lalu. Masih tidak menyangka, papanya yang bugar dan sehat ketika terakhir kali ditemuinya kini berbaring tak berdaya dengan tubuh yang kehilangan banyak berat badan dan pucat di atas brangkar itu, sedang diperiksa dan ditangani oleh dokter pribadinya. "Papa harus sembuh, Pa. Jangan tinggalkan Pelita kayak Mama." Perempuan itu berbisik lirih sembari menyeka matanya yang basah akan air mata. Pelita sudah terbiasa menangis tanpa suara. Ia hanya perlu mengendalikan isakan agar tidak keluar dari labiumnya. "Aku sayang Papa." Perempuan itu berusaha keras mengeyahkan rasa sesak yang mendera dadanya. "Pelita." Dokter Duta yang semula berada di dalam ruangan bersama beberapa orang perawat keluar menemui Pelita dan langsung dihadiahi pertanyaan olehnya. "Dokter, gimana kondisi Papa sa
"Maafin saya, Kak. Saya harus ke Jakarta tanpa bilang Kak Adhim. Papa saya butuh saya sekarang."Pelita bermonolog sendiri setelah memasukkan beberapa potong baju dan pakain ke tas tangannya yang memiliki ukuran sedang."Saya nggak mau ganggu kerja Kak Adhim," gumamnya lagi kemudian mengusap pipinya yang sedari tadi basah oleh air mata.Perempuan itu kini mengusap perut besarnya."Kamu juga yang kuat ya, Dek," katanya beralih mengajak bicara bayi yang ada di dalam kandungannya. "Mama harus ketemu Papanya Mama di Jakarta. Beliau butuh bantuan Mama. Maafin Mama yang bertindak egois karena harus pergi saat kamu udah mau lahir beberapa minggu lagi. Tapi Mama harus lakuin ini untuk kakek kamu. Mama minta tolong, bantu Mama, ya?! Kamu harus kuat, dan jangan rewel selama kita pergi tanpa Ayah kamu. Mama sayang kamu."Senyuman sedikit terukir di bibir cantik itu saat merasakan gerakan-gerakan yang dibuat bayinya yang seolah merespons setiap kata-