Samantha benar-benar tertidur pulas. Bahkan, dia tidak menyadari jika hari telah berganti. Ketika kru kapal tengah sibuk melakukan rutinitas harian maka gadis itu masih terbuai mimpi. Namun, tidurnya yang lelap itu terganggu oleh suara berisik di luar kabin. Mata biru yang dimilikinya, terbuka lebar. Tampak sebuah kabin yang sempit dengan enam tempat tidur. Lima lainnya kosong dan tampak rapih. Hanya sebuah lubang kecil sebagai sumber pencahayaan serta lubang udara. Tidak bisa disebut sebagai jendela yang layak sebagaimana nyamannya tidur di kamar rumahnya. "Oh, ada kapal yang mendekat!" dia bicara sendiri karena mengintip dari lubang kecil itu. Ingin sekali rasanya dia keluar kabin saat itu juga. Namun, terpikir olehnya untuk berganti pakaian serta mengepang rambutnya agar tampak rapih. Ketika dia keluar dari kabin, ternyata sorot matahari lumayan panas. Untungnya, topi laken pemberian James tidak lupa dikenakan. "Ah, Nona. Ternyata kau sudah bangun. Ada sedikit makanan yang kam
Samantha hanya terdiam. Dia tidak ingin banyak bicara. Memang tidak boleh banyak bicara. Di luar, tengah ada percakapan antara Sayyid dan George. Telinganya menangkap cukup jelas apa yang dibicarakan oleh mereka. Suara keras dari sang kapten seakan sengaja untuk memberi tahu orang-orang dalam lambung kapal apa yang tengah dibicarakan. Bau apek dalam ruangan itu mengingatkan Samantha pada peristiwa penyekapan dirinya dalam kapal Liberty. Berhari-hari berlayar, berhari-hari pula dia tidak disinari cahaya matahari. Jika ditahan dalam kegelapan, Samantha cukup sanggup melakukannya. Namun, apabila diharuskan untuk berada dalam suasana penuh ketegangan, dia tidak yakin akan senantiasa sanggup. Walaupun, keadaan demikian tidaklah asing baginya. "Dengar, dia mau menggeledah kapal ini." Samantha berbisik kepada James. "Kita harus bagaimana?"James tidak serta menjawab. Dia tampak berpikir keras. "Nona, sebaiknya Nona tetap bersembunyi di sini. Biarkan saya menghadang mereka andaikan ada yan
Sayyid berusaha untuk tetap bersikap tenang ketika puluhan serdadu melintas kemudian menapaki geladak kapal Ar-Rihlah. Suara sepatu berderap di atas lantai kayu memperjelas jika mereka ingin sekali melumpuhkan awak kapal dagang tersebut. "Tuan Kapten, kita bisa membicarakan perkara ini dengan pikiran yang dingin.""Heiss, diam!" George nyaris saja memukul kepala Sayyid dengan pegangan pistol. "Aku curiga, sejak kemarin, jika kapal ini memang membawa gadis itu.""Gadis yang mana? Tuan ....""Samantha, Samantha, dia pasti ada di sini."Dalam pikiran Sayyid, tidak ada rencana apa pun untuk melawan sepasukan serdadu Inggris itu. Dia hanya berpikir bagaimana caranya agar bisa lolos dari pemeriksaan. Setelah itu, melanjutkan perjalanan hingga sampai di Pelabuhan Singapura. Kali ini, keadaan tidak semulus rencana. George sepertinya mencium gelagat mencurigakan dari kapal berbahan kayu tersebut. Sayyid hanya terpikir untuk pasrah saja serta tidak berbuat hal-hal yang mengundang pertentangan
Samantha berbaring di dalam kabin. Dia hanya sendirian dalam ruang sempit itu. Kegelapan masih menjadi teman setianya. Ketika kapal bergoyang, tubuhnya pun ikut bergoyang. Hanya saja, gadis itu tidak memperdulikan bagaimana kapal bergerak serta ke arah mana kendaraan tersebut melaju. Hal yang tengah dipikirkannya, bagaimana gadis itu harus bersikap. Tempat tidur di kapal layar tidaklah senyaman di rumah pengasingan. Namun, setidaknya di sana dia bisa bebas berbuat tanpa ada yang terus mengawasinya. Ingin sekali Samantha terpejam kemudian bermimpi indah. Setelah itu, dia terbangun di pagi hari. Namun, hal demikian rasanya sulit terjadi karena pikirannya masih dipenuhi kebimbangan. Di tengah kebimbangan itu, Samantha mendengar seseorang berteriak, "Kapten, mereka datang lagi! Kapal orang Inggris itu melaju kencang ke arah kita!"Dinding kayu bisa meredam suara sehingga teriakan dari luar tidak terdengar dengan jelas. Hanya saja, di tengah lautan luas suara teriakan demikian menjadi s
Kapten George memegang tepi geladak. Matanya tertuju kepada sebuah kapal yang jauh di depan. Tidaklah terlalu jelas terlihat bagaimana suasana di kapal tersebut, cahaya rembulan belum cukup untuk menerangi setiap bagiannya. Dalam pikiran George, "aku harus melumpuhkan kapal itu, kemudian menculik si gadis sialan!"Namun, apa yang terpikirkan olehnya sudah bisa dipahami oleh awak kapal. Diantara mereka ada yang sudah siap dengan senapan. Beberapa orang pun memegang pedang untuk segera digunakan. "Sekarang!"Perintah tersebut sudah cukup jelas bagi prajuritnya untuk menyalakan sumbu. Dalam beberapa detik kemudian, meriam pun memuntahkan pelurunya hingga melesat keluar dari lambung kapal. Darr!Semuanya bersorak ketika tahu sebutir peluru bulat berbahan logam yang mengenai sasaran. Bukan sasaran yang terlampau sulit bagi meriam Armada Laut Britania tersebut menembus sasaran. Objek peluru hanyalah kapal layar dengan lambung kayu tanpa plat baja atau benda apa pun yang kuat menahan gemp
Sebuah ide yang terdengar sederhana, masuk ke dalam kotak kayu. Namun, bagi Samantha itu tidaklah sederhana. Dia harus mengurung diri dalam peti kayu untuk memuat barang kemudian keluar jika diperintahkan. "Apakah kau yakin jika rencana ini akan berhasil?" pertanyaan itulah yang terlontar dari mulut gadis itu. "Sejujurnya, aku tidak terlalu yakin jika ini akan berhasil.""Ha? Kau sendiri tidak yakin?" Samantha heran dengan jawaban dari Kapten Sayyid."Jika ada ide lain, silakan bicara. Jika tidak ada, maka kita jalankan rencana ini."Demikianlah percakapan diantara para awak kapal dan penumpang bersama Kapten Sayyid beberapa saat sebelum kapal Liberty menghancurkan lambung kapal Ar-Rihlah. Sejak percakapan tersebut, Samantha masih meragukan keberhasilan dari rencana yang terlontar dari mulut sang kapten kapal. Kini, Samantha telah berada dalam kotak kayu yang semula berisi muatan. Untungnya, dia menggantikan teh kering sehingga hidungnya tidak terlalu asing dengan bau wangi yang di
Samantha saling tatap dengan Iskandar. Tangan kanan pemuda itu bermaksud membuka pintu yang sejajar dengan lantai tersebut. Namun, Samantha memegang tangan Iskandar sambil menggelengkan kepala. Si Pemuda Melayu mengerti akan maksud dari orang di hadapannya. Lain halnya dengan orang yang baru saja tiba. Pemandangan yang tersaji di depan matanya, mungkin tidak sesuai dengan apa yang semula dibayangkannya."Mana dia? Mana si George?" ternyata James sudah berdiri di bawah kusen pintu kabin. Dia menenteng senapan serta tampak bernafsu. "Ssttt!" Samantha meminta James untuk tidak bicara. "Ke mana?" demikian maksud isyarat yang disampaikan James jika diterjemahkan. Dia mengangkat dagu sambil membelalakkan mata. Iskandar memberi isyarat dengan memelototi lantai tepat dimana lentera diletakkan. James agak mengerti.Mereka bertiga pun berkumpul tepat di depan "pintu" yang menghubungkan kabin dengan sebuah ruangan atau sesuatu. Hal yang belum diketahui. Samantha berpikir jika George "merenc
Duel beradu pedang bukan hanya tentang mempertaruhkan nyawa. Samantha pun berusaha meningkatkan harga dirinya di hadapan George. Karena alasan itu pula, sejak awal dia meminta kepada Sayyid agar menjadi orang yang ditugaskan untuk mencari Si Kapten Kapal Liberty kemudian melumpuhkannya. Ketika waktu itu telah tiba, gadis itu benar-benar mempersiapkan diri secara mental dan fisik. Meskipun sempat mengundang kekhawatiran dari James, Samantha bisa membuktikan jika dia memang sanggup menghadapi George. Seorang gadis yang baru tumbuh dewasa harus menghadapi perwira Angkatan Laut Britania berpengalaman. Terkesan tidak berimbang. Untungnya, keadaan sering berpihak kepada mereka yang berpikiran jernih. "Keserakahan telah melemahkan jiwamu, Tuan George." Seraya mengancam George dengan mendekatkan ujung pedang tepat di leher, Samantha menegaskan kenapa komandan pasukan Inggris itu terkesan mudah dikalahkan. "Ha, kau bermaksud menceramahi aku? Kau tahu apa tentang jiwa manusia?"Samantha ter